| 0 komentar ]

Hak asasi perempuan adalah hak yang secara khusus yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki diantaranya seperti hak untuk melahirkan, hak untuk mendapatkan cuti hamil, hak untuk mengatur kehamilan.
ke dua adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara, dimana tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, pekerjaan yang layak, kesehatan dll. Artinya hak yang seharusnya didapatkan, dimana laki-laki dan perempuan juga harus mendapatkan, agar perempuan bisa mendapatkan hidup yang bermartabat. Agar perempuan bisa tetap hidup dan melangsungkan kehidupan. Juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat, bukan hidup yang selalu disiksa dan tidak dihargai. Seperti apabila laki-laki boleh sekolah, perempuan juga boleh sekolah. laki-laki boleh dipilih dalam politik perempuan juga boleh dipilih, dan seterusnya.
Hak asasi perempuan sudah dijamin oleh pemerintah Indonesia, diantaranya di atur di dalam UU 1945. juga ada di dalam UU No. 7 tahun 1984 yang biasa di kenal dengan CEDAW. Juga ada di UU No. 34 tahun 1999/ HAM
Anggaran untuk perempuan itu sangat penting karena di UU pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rumah yang layak, dst. Karena ada di dalam UU, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi
1. Sarana, seperti ada kebijakan.
2. Ada program dan kegiatan.
3. Ada kelembagaan, seperti PPT, badan pemberdayaan perempuan, dinas pendidikan.
4. Anggaran.
5. Ada fasilitas
Ini semua yang akan menentukan hak asasi perempuan dipenuhi.
Kewajiban pemerintah selanjutnya adalah Hasil. Karena meskipun sudah dianggarkan, tetapi kalau tidak ada hasil tidak akan ada gunanya. harus ada hasilnya.
Hasil ada dua.
1. Positif
2. Negatif
Positif contohnya ada kesejahteraan, perlindungan, yang melahirkan martabat.
Negative itu mengurangi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, atau mengurangi kekerasan terhadap perempuan, atau mengurangi kekerasan kepada TKW.

Apa kaitannya hak asasi perempuan dengan anggaran yang harus dimasukan ke dalamm APBD/APBN adalah agar hak-hak yang harus di dapatkan perempuan bisa terwujud.
Apakah kebijakan pemerintah sudah melakukan pemenuhan hak kepada perempuan, bisa dilihat dari perencanaan dan anggaran yang dibuat oleh pemerintah. Kalau alokasi anggaran hanya untuk membuat jalan, infrastruktur tetapi tidak ada anggaran untuk memulangkan korban kekerasan, anggaran untuk posyandu juga tidak ada, maka pemenuhan hak asasi perempuan tidak terpenuhi.
Untuk melihat apakah kebijakan/belanja negara ini tepat sasaran kita bisa melihat dari :
1. Target sasaran, program, alokasi anggaran. apakah sudah tepat
2. Dampak. Apakah dampak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ini berdampak kepada pemerintah atau tidak.
Kemudian kita melakukan advokasi rencana anggaran, apakah kebijakan belanja anggaran yang dibuat pemerintah sudah berpihak kepada perempuan atau belum.
Sebelum kita melakukan analisis anggaran, jangan lupa kita pelajari dulu kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, situasi atau kondisi perempuan, kemudian sektor hak apa saja yang dilanggar. Baru kita tentukan, kita mau melakukan analisis anggaran di sektor apa.

Catatan pelatihan analisis anggaran lrc-kjham
di hotel Ndalu, Semarang
bersama ibu-ibu desa wedoro kecamatan Penawangan, desa rajek Kecamatan Godong kabupaten kendal
ibu-ibu desa rowobranten kecamatan ringinawum dan desa tamangede kecamatan gemuh kabupaten kendal.
dan ibu-ibu suport group kota semarang

kontributor
anny

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

hak asasi perempuan adalah hak yang secara khusus yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki diantaranya seperti hak untuk melahirkan, hak untuk mendapatkan cuti hamil, hak untuk mengatur kehamilan.
ke dua adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara, dimana tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll. dimana apabila laki-laki mendapatkan maka perempuan juga harus mendapatkan, agar perempuan bisa mendapatkan hidup yang bermartabat. agar perempuan bisa tetap hidup dan melangsungkan kehidupan. dan hidup yang bermartabat, bukan hidup yang selalu disiksa dan tidak dihargai. seperti apabila laki-laki boleh sekolah, perempuan juga boleh sekolah. laki-laki boleh dipilih dalam politik perempuan juga boleh dipilih, dan seterusnya.

hak asasi perempuan dijamin oleh pemerintah, diantaranya di atur di dalam UU 1945. juga ada di dalam UU No. 7 tahun 1984 yang biasa di kenal dengan cedaw. ada di UU No. 34 tahun 1999/ HAM
anggaran untuk perempuan itu sangat penting karena di UU pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rumah yang layak, dst.
karena ada di dalam UU, maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi
1. sarana, seperti ada kebijakan.
2. ada program dan kegiatan.
3. ada kelembagaan, seperti PPT, badan pemberdayaan perempuan, dinas pendidikan. ke 4. anggaran.
5. ada fasilitas
ini semua yang akan menentukan hak asasi perempuan dipenuhi.

kewajiban pemerintah selanjutnya adalah Hasil. karena meskipun sudah dianggarkan, tetapi kalau tidak ada hasil tidak akan ada gunanya. harus ada hasilnya.
hasil ada dua.
1. positif
2. negatif

positif contohnya ada kesejahteraan, perlindungan, yang melahirkan martabat.
negatif itu mengurangi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, atau mengurangi kekerasan terhadap perempuan, atau mengurangi kekerasan kepada TKW.

apa kaitannya hap dengan anggaran yang harus dimasukan ke dalamm apbd/apbn adalah agar hak-hak yang harus di dapatkan perempuan bisa terwujud.
apakah kebijakan pemerintah sudah melakukan kewajibannya, apa yang dilakukan pemerintah bisa dilihat dari perencanaan dan anggaran yang dibuat oleh pemerintah.
kalau alokasi anggaran hanya untuk membuat jalan, infrastruktur tetapi tidak ada anggaran untuk memulangkan korban kekerasan, anggaran untuk posyandu juga tidak ada, maka pemenuhan hak asasi perempuan tidak terpenuhi.

untuk melihat apakah kebijakan/belanja negara ini tepat sasaran kita bisa melihat dari :
1. target sasaran, program, alokasi anggaran. apakah sudah tepat
2. kemungkinan dampak. apakah dampak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ini berdampak kepada pemerintah atau tidak.
kemudian kita melakukan advokasi rencana anggaran, apakah kebijakan belanja anggaran yang dibuat pemerintah sudah berpihak kepada perempuan atau belum.
semua proses yang kita lakukan di atas adalah analisis anggaran.


catatan pelatihan analisis anggaran lrc-kjham
di hotel ndalu
bersama ibu-ibu desa wedoro, desa rajek

Baca Selengkapnya »»
| 55 komentar ]

Kesehatan adalah : Kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai
tidak terbatas pada perawatan medis melainkan mencakup jangkauan luas terhadap
faktor-faktor sosio-ekonomi yang mempromosikan kondisi-kondisi di mana masyarakat dapat menjalankan hidup dengan sehat dan menjangkau penentu-penentu dasar kesehatan,
seperti: makanan dan gizi, perumahan, akses terhadap air bersih, kondisi kerja yang aman dan sehat serta lingkungan yang sehat
Jaminan Hak Atas Kesehatan
- Pasal 28 H (1) dan Pasal 34 (3) UUD 1945,
hak ini juga diakui secara universal dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, yaitu Pasal 25(1), (2)
DUHAM
kemudian diatur dalam ketentuan yang lebih mengikat pada Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob, dan Pasal 12 CEDAW.
4 elemen terkait hak atas kesehatan,
1) Availability (ketersediaan);
2) Accessibility (adanya akses);
3) Acceptability (dapat diterima
menurut etika dan kebudayaan);
4) Quality (kualitas) (General Comment 14)
kewajiban negara
(1) Menghormati (respect)
(2) Melindungi (protect);
(3) Memenuhi (fulfill);
(4) Mempromosikan (to promote)
Hak Atas kesehatan adalah hak asasi manusia
Pasal 25 ayat (1) DUHAM
Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang dan papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yag diperlukan..........
Ayat (2) ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama
Cedaw Pasal 12
Negara menjamin persamaan hak dalam bidang kesehatan, akses pada pelayanan-pelayanan kesehatan, termasuk yang berkaitan dengan keluarga berencana.
Memastikan pelayanan yang layak sehubungan dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, dan juga gizi yang memadai selama kehamilan dan masa menyusui.
Rekomendasi Umum No.19 Ayat 19, 20, 22:
1. Negara menjamin adanya akses dalam hal perawatan kesehatan
2. kekerasan terhadap perempuan menempatkan perempuan dalam kondisi kesehatan yang rentan
3. termasuk praktek-praktek tradisional dan budaya yang membahayakan kesehatan perempuan,seperti pembatasan makan bagi perempuan yang sedang hamil, mengutamakan anak laki-laki, genital mutilasi, pemaksaan sterilisasi dan aborsi
Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)
Pasal 10 ayat (2) Perlindungan khusus kepada para ibu selama masa yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan
Pasal 12: hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental
Hak atas kesehatan merupakan hak konstitusional : setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD 1945 Pasal 28 huruf H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3)
Realisasi pemenuhan Hak Perempuan atas Kesehatan: Berdasarkan hasil FPAR & WRIA LRC-KJHAM thn 2010
Ketersediaan
Realitas :
Perempuan korban tidak mendapatkan papsmear
Biaya berobat yang mahal
Tidak ada pilihan alat KB yang aman, biaya KB RS Swasta mahal
Layanan Puskesmas hanya sampai jam 11 siang
Gizi makanan kurang
Mahalnya air bersih
Lingkungan dan rumah yang tidak layak huni
Tidak ada bantuan perumahan dari Pemerintah
Belum ada sistem layanan medis bagi korban KBJ di RSUD Kota Semarang, Kab. Kendal dan Kab Grobogan

Keteraksesan
Realitas :
JAMKESMAS/JAMKESDA tidak meng-cover semua anggota keluarga
Kepemilikan JAMKESMAS/JAMKESDA sulit, karena persyaratan yang rumit
Tidak ada informasi yang cukup tentang kesehatan reproduksi maupun penggunaan JAMKESMAS/JAMKESDA
Ada rumah susun tapi yang mengakses bukan masy. Bandarharjo dan harga tidak terjangkau
Tidak ada informasi yang cukup tentang Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), informasi tentang Kesehatan dan kesehatan repruduksi
Puskesmas hanya memberi layanan sampai dengan jam 11 siang sehingga komunitas lebih memilih klinik 24 jam atau bidan praktek
Komunitas jarang mengakses RS milik Pemerintah, karena antri yang lama dan pelayanan kurang ramah
Lokasi RSUD, puskesmas yang jauh
Keberterimaan
Realitas :
Perempuan korban lebih memilih bidan praktek atau klinik 24 jam, karena keramahannya dan bisa memberi layanan sampai malam hari
Obat tanpa kemasan (telanjang), sehingga ada keraguan akan kemanjuran obat tersebut
Kualitas
Realitas
Alat KB tidak ada yang ramah terhadap perempuan
Kebersihan ruangan puskesmas dan RS tidak terjaga
Para medis bersikap tidak ramah
Diberi Obat generik tanpa kemasan (telanjang)
Obat merek khusus sangat mahal dan tidak dicover JAMKESMAS/JAMKESDA
Upaya Hukum yang dapat dilakukan


kita bisa melakukan gugatan secara keperdataan Wanprestasi (ingkar janji)
Pasal 1243 KUH Perdata
Dapat berupa
(a) tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan
(b) melaksanakan apa yang telah diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya © melaksanakan apa yang diperjanjikan namun terlambat
(4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Pasal 1365 KUH Perdata
Melanggar kewajiban hukum
Melanggar hak subyektif orang lain
Melanggar kesusilaan, melanggar keharusan yang diindahkan dalam pergaulan hidup baik terhadap orang lain maupun barang

Ctt: Gugatan harus diajukan terpisah
(Yurisprudensi: MA RI No.1875 K/Pdt/1984)

Rekomendasi
Negara harus menyediakan mekanisme ajudikasi untuk memastikan penikmatan hak perempuan atas kesehatan
Ketersediaan: Fasilitas, produk dan pelayanan yang tepat termasuk penentu-penentu dasar kesehatan: air yang aman dan dapat diminum dan kebersihan, fasilitas rumah sakit, klinik, puskesmas yang memadai, staf medis yang profesional dan terlatih dan obat-obatan yang penting
Keteraksesan (fisik, ekonomi, infomasi): Fasilitas, produk dan pelayanan kesehatan harus dapat dijangkau tanpa diskriminasi
Keberterimaan: Fasilitas, produk dan pelayanan kesehatan harus menghormati etika medis dan sesuai secara budaya, menghormati budaya-budaya individu, minoritas, masyarakat dan komunitas, sensitif gender dan kebutuhan siklus hidup
Kualitas: Fasilitas, produk dan pelayanan kesehatan harus layak secara ilmiah dan medis dan dengan kualitas yang baik

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Edriana Noerdin
Women Research Institute
Semarang, 15 Desember 2011

Studi Kasus Pelayanan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Pada tahun 2010, Human Development Index (HDI) untuk Indonesia, seperti yang dipublikasikan oleh the United Nations Development Program (UNDP), menurun peringkatnya dari 107 menjadi 111. Beberapa indikator utama HDI berhubungan dekat dengan kesehatan, termasuk Tingkat Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu (AKI). Tingginya AKI di Indonesia pada tahun 2009 yang secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebesar 228/100.000 kelahiran menyebabkan menurunnya peringkat HDI Indonesia tersebut. Padahal angka 228/100.000 tersebut sebetulnya jauh berbeda dari angka yang dikeluarkan oleh UNFPA dan UNICEF, yang menyatakan bahwa pada tahun 2005 AKI di Indonesia masih 420/100.000 kelahiran.

Tingginya AKI mencerminkan tidak memadainya pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan, terutama perempuan miskin di daerah-daerah terpencil di berbagai pelosok negeri. Perempuan hamil di daerah terpencil, terutama perempuan miskin yang sedang hamil, mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Apa yang sebaiknya dilakukan jika Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota, Puskesmas di wilayah kecamatan dan bidan yang tinggal di desa dianggap terlalu mahal dan terlalu jauh oleh perempuan miskin yang tinggal di daerah-daerah terpencil? Strategi yang diterapkan seharusnya membawa fasilitas kesehatan reproduksi mendekati rumah penduduk dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes”. Kebijakan tersebut harus mencakup pemenuhan fasilitas di Polindes berupa listrik, air bersih, sanitasi, peralatan yang memadai, dan Satu Bidan yang berdomisili di desa tersebut sehingga mudah bagi ibu hamil untuk mendapatkan pelayakan kesehatan reproduksi dan melahirkan secara cepat dan terjangkau. Pemerintah juga harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai kesejahteraan dan keselamatan bidan yang berdomisili di desa, terutama desa terpencil.

Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi sebaran Bidan yang tidak merata dan hanya berdomisili di daerah-daerah kota kecamatan sehingga sulit diakses oleh ibu hamil yang akan melahirkan. Bidan yang tinggal di desa dan mempunyai peralatan yang memadai dapat menjadi pelopor pelopor yang efektif dalam menghentikan tingginya AKI di Indonesia. Kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” perlu didukung agar bisa memberikan perlindungan kepada perempuan terutama perempuan miskin yang tinggal di daerah terpencil.

Jampersal/Jamkesmas sebagai syarat mutlak efektifitas implemetasi kebijakan ‘Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan’

Temuan penelitian Women Research Institute (WRI) tentang Akses dan Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Kabupaten/Kota di Indonesia (Lampung Utara, Lebak, Indramayu, Jembrana, Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Surakarta), tahun 2007-2008, memperlihatkan bahwa meskipun masyarakat miskin dilindungi oleh asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Jaminan Persalinan/Jampersal, Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas) serta adanya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), mereka tetap sulit mengakses pelayanan kesehatan karena jauhnya jarak menuju fasilitas kesehatan tersebut. Kondisi alam yang bergunung-gunung, jalan rusak dan kurangnya transportasi umum juga menjadi penyebab sulitnya mereka mengakses pelayanan kesehatan. Kelemahan pertama dari Jampersal/Jamkesmas adalah karena system asuransi tersebut tidak menanggung biaya transportasi.

Kelemahan kedua dari system Jamkesmas/Jampersal adalah, seperti yang ditemukan oleh penelitian WRI, bahwa mereka tidak disosialisasikan dengan efektif. WRI menemukan bahwa banyak masyarakat miskin yang tidak mengetahui apapun tentang Jampersal/Jamkermas dan bagaimana cara mendapatkannya. Sehingga karna khawatir biaya persalinan mahal maka mereka lebih baik mencari bantuan persalinan kepada dukun atau melahirkan dirumah dengan fasilitas seadanya.

Kelemahan ketiga dari system Jamkesmas/Jampersal adalah sistem pengembalian klaim untuk persalinan yang memerlukan waktu pemrosesan yang lama sehingga membuat bidan enggan memberikan pelayanan gratis untuk pasien miskin. Menurut peraturan, proses klaim seharusnya selesai dalam dua atau tiga minggu, namun, dalam prakteknya, membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai enam bulan atau bahkan ada yang sampai 1 tahun. Kelambatan proses klaim ini mengganggu keuangan Puskesmas atau bahkan bidan desa sehingga banyak bidan yang akhirnya tetap menarik bayaran dari Masyarakat miskin.

Transformasi Jamkesmas menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) didasarkan pada Pasal 5 Ayat 1 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan: “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Pasal 5 Ayat 2 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang memiliki hak untuk menerima pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau”. Ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia memandang pelayanan kesehatan sebagai hak setiap warganegara. Setiap orang, apakah laki-laki atau perempuan, apakah mampu secara ekonomi atau dikategorikan sebagai masyarakat miskin, memiliki hak atas pelayanan kesehatan. Untuk memperkuat komitmen atas hak kesehatan ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2006. Karena itu, sebaiknya UU tersebut juga menegaskan perlunya Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan, dan ketika hal itu belum tercapai, UU itu harus mengatur bahwa Jamkesnas harus menanggung biaya transportasi bagi ibu-ibu miskin yang tinggal desa terpencil untuk pergi ke Puskesmas atau tempat praktek bidan di luar desa.


Alokasi belanja kesehatan yang kuran memadai.

Kebijakan Satu Desa, Satu Ploindes, Satu Bidan memerlukan dukungan alokasi dana dari pemerintah. Tapi hasil riset WRI menunjukkan kurangnya kemauan politik pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dalam membiayai kesehatan termasuk kesehatan reproduksi perempuan. Alokasi belanja untuk kesehatan sangat minim. Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk belanja kesehatan pada tahun 2008 di 7 kabupaten/kota daerah penelitian WRI adalah sebagai berikut: Lampung Utara 8%, Lebak 10,7%, Indramayu 7,3%, Jembrana 10%, Lombok Tengah 7,1, Sumbawa Barat 9% dan Surakarta 5,8%. Dari 7 kabupaten/kota tersebut hanya Jembrana 10% dan Lebak 10,7% yang telah memenuhi mandat UU no.36/2009 tentang Kesehatan untuk mengalokasikan minimum 10% APBD untuk kesehatan.

Dibawah ini adalah table belanja kesehatan di 7 daerah penelitian WRI pada tahun 2007-2008

No Daerah Belanja Kesehatan
Jumlah (Juta) %APBD Per Kapita
1 Indramayu 73.646 7,3 41.838
2 Lombok Tengah 42.725 7,1 51.740
3 Lebak 75.662 10,7 64.319
4 Surakarta 37.155 5,8 65.934
5 Lampung Utara 43.593 8 74.857
6 Sumba Barat 38.098 9 95.182
7 Jembrana 38.887 10 151.043

Presentase alokasi anggaran daerah sebenarnya bukan ukuran yang akurat untuk melihat kebutuhan dana kesehatan karena jumlah penduduk daerah tersebut berbeda-beda. Jika kita menggunakan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk menentukan ambang batas anggaran kesehatan, target alokasi anggaran per kapita adalah Rp.120.000,- Ukuran tersebut dapat dipakai dalam melihat komitmen politik pemerintah daerah untuk pencapaian MDGs khususnya di bidang kesehatan dan penurunan AKI. Dari table di atas hanya Jembrana yang sudah memenuhi ambang batas untuk pencapaian MDGs.

Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai sebuah keniscayaan meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan.

Pendidikan kepada Masyarakat tentang keadilan dan kesetaraan gender akan mendorong Masyarakat lebih bisa menghargai dan berbagi beban dan tanggung jawab dalam menjaga dan memelihara rumah tangga dan Masyarakat. Perempuan, khususnya perempuan yang hamil dan melahirkan juga mendapat prioritas dalam penjagaan kesehatan dan keselamatan kehamilan dan persalinannya baik oleh keluarga maupun oleh Masyarakat

Masalahnya sekarang adalah bagaimana mendorong kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” berjalan efektif dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai agar mampu menjadi pelopor pengurangan AKI secara drastis. Pendidikan keadilan dan kesetaraan gender untuk para pembuat keputusan dan Masyarakat perlu dilakukan agar mereka memahami bahwa hidup perempuan juga layak diselamatkan. Temuan penelitian WRI mendokumentasikan banyaknya kasus perempuan miskin yang tidak memiliki wewenang atas tubuhnya sendiri dan bahwa keputusan tentang hidup dan matinya selama persalinan berada di tangan suami dan keluarganya. Suami dan keluarga sering pasrah dan menganggap tidak ada gunanya membawa perempuan yang mengalami pendarahan dan komplikasi persalinan ke Polindes atau puskesmas yang berada di bagian lain dari desa tersebut karena selain membutuhkan biaya juga ada anggapan atau kepercayaan bahwa manusia atau perempuan melahirkan sesuai dengan suratan takdirnya, kematian ketika malahirkan dianggap sebagian Masyarakat sebagai mati syahid.


*Disampaikan dalam diskusi lokakarya “mendorong Mekaniskma Adjudikasi yang efektif atas Pelanggaran Hak Perempuan atas Kesehatan di Indonesia”. LRC-KJHAM – Yayasan TIFA. Semarang, 15 Desember 2011.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Oleh : Donny Danardono

Saya telah menulis dua artikel yang, secara langsung dan tak langsung, menawarkan ide-ide pembentukan “mekanisme hukum nasional yang efektif bagi penyelesaian pelanggaran hak perempuan atas kesehatan”. Di situ saya mengusulkan mekanisme hukum khusus bagi penyelesaian kasus-kasus perempuan, yaitu mekanisme hukum berbasis gender. Sebuah mekanisme hukum yang menggabungkan pendekatan hukum formal dan metode peningkatan kesadaran (consciouness raising) perempuan korban.

Penggabungan itu penting, sebab tak semua perempuan korban diskriminasi gender dan seksualitas siap menggunakan norma hukum positif untuk menyelesaikan kasusnya. Mereka harus memerhatikan keunikan relasi gender, orientasi seksual, etnisitas, agama, status sosial, kelas atau nasionalisme (relasi-relasi kuasa) mereka dengan pelaku diskrimasi dan masyarakat sekitarnya. Mereka tak ingin diskriminasi gender dan seksualitas yang tengah mereka alami disusul oleh diskriminasi-diskriminasi berbasis etnis, agama atau status sosial.

Untuk itu para pendamping hukum, penegak hukum dan bahkan aparat kesehatan perlu menghapuskan dikotomi pandangan publik-privat, membentuk ruang-ruang hukum khusus di kepolisian, membentuk lembaga bantuan hukum khusus perempuan, dan membuatkan visum et repertum psikiatricum dan visum et repertum luka tubuh. Hanya dengan cara ini keunikan perempuan korban diskriminasi gender dan seksualitas bisa dipahami, dan kita tak lagi memikirkan sebuah mekanisme hukum baku untuk semua perempuan. Keunikan relasi kuasa antara perempuan korban, pelaku diskriminasi dan masyarakat telah mengakibatkan tak semua perempuan korban siap menerapkan norma hukum positif. Banyak juga yang menempuh mekanisme non-hukum.

Hal ini membuktikan, setidaknya dalam kasus-kasus perempuan, hukum bukan merupakan sebuah diskursus yang siap pakai. Hukum masih harus bersaing dengan diskursus lain, yaitu pengalaman pribadi perempuan korban dalam hal relasi gender, orientasi seksual, agama, etnisitas, status sosial, usia, kelas atau nasionalisme dengan pelaku kekerasan dan masyarakat sekitar. Bisa jadi perempuan itu lebih mementingkan perspektif diri dan orang-orang sekitarnya tentang relasi gender-etnisitas-agama tertentu, sehingga menganggap penyelesaian hukum atas diskriminasi gender yang ia alami akan menghasilkan diskriminasi etnis dan agama. Tentang hal ini Carol Smart― seorang penulis hukum post-modernisme Foucaultian dari Inggris―menulis:
If we accept that law, like science, makes a claim to truth and that this is indivisible from the exercise of power, we can see that law exercises power not simply in its material effects (judgements) but also in its ability to disqualify other knowledges and experiences. Non-legal knowledge is therefore suspect and/or secondary. Everyday experiences are of little interest in terms of their meaning for individuals.

UU Nomor 23 Tahun 2009:
Hegemoni Definisi dan Pelayanan Kesehatan Ketidaksiapan hukum, sebagai sebuah diskursus, untuk menyelesaikan berbagai kasus diskriminasi gender dan seksual membuat kita menunda anggapan konsep teori kontrak sosial klasik (Hobbes, Locke dan Montesquieu) dan kontemporer (Habermas) tentang hukum. Berbagai teori kontrak sosial itu menganggap hukum sebagai peredam dan penyelesai konflik. Hobbes, Locke dan Montesquieu menganggap tanpa negara dan hukum masyarakat akan terus berkonflik. “Homo homini lupus”, ujar Hobbes. Sementara Habermas mengatakan “hukum adalah perekat masyarakat majemuk. Karena ia dibentuk oleh para subyek hukum anggota masyarakat itu dan negara dalam sebuah komunikasi publik”.
Tapi―seperti yang dikatakan oleh Carol Smart―hukum tak selalu siap mendamaikan konflik, ia malah terus bersaing dengan norma-norma sosial lain (knowledges and experiences). Jadi seperti berbagai norma sosial lain, hukum adalah salah satu sumber konflik individu dan sosial. Di Indonesia hal ini bisa diketahui antara lain dari tak jelasnya patokan kedewasaan. Sebab UU Perkawinan, UU Lalu-Lintas, UU Perburuhan dan UU Perlindungan Anak menetapkan patokan berbeda-beda tentangnya.

Saya kira UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga berpotensi menimbulkan persoalan sosial dalam hal kesehatan.
UU Kesehatan ini memang lebih baik daripada UU Kesehatan yang sebelumnya. Ia setidaknya sudah memerhatikan kepentingan perempuan. Misalnya, UU ini membolehkan aborsi terhadap kehamilan karena perkosaan (Pasal 75 Ayat 2b). Sesuatu yang tak terbayangkan pada pasca perkosaan perempuan-perempuan Tionghoa atau yang diduga Tionghoa pada Mei 1998. Saat itu hanya sejumlah kecil pastor Katolik dan pendeta Protestan yang mengatakan, bahwa aborsi kehamilan, khususnya kehamilan karena perkosaan, adalah hak perempuan.
Kebaikan lain dari UU Kesehatan ini adalah anggapannya tentang kesehatan sebagai HAM (Bagian a “Menimbang”). Jadi ia menganggap manusia hanya bisa menjadi manusia bila sehat. UU ini juga mengatakan, bahwa pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dilaksanakan secara non-diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan (Bagian b “Menimbang). Jadi UU ini mewajibkan pemerintah, lembaga kesehatan dan masyarakat untuk tidak mendiskriminasikan seseorang berdasarkan gender, orientasi seksual, agama, status sosial, kelas, usia atau nasionalisme dalam hal pelayanan kesehatan dan berbagai kegiatan lain yang terkait dengan kesehatan. Ia bahkan meminta partisipasi warga.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Carol Smart, rupanya UU ini tidak bisa membebaskan diri dari persaingannya dengan norma-norma sosial lain yang terkait dengan gender, orientasi seksual, agama, status sosial, kelas, usia dan lain sebagainya. Contohnya: dalam Pasal 72 a UU ini secara diskriminatif hanya mengizinkan para “pasangan yang sah” untuk melakukan hubungan seksual dan reproduksi yang sehat, aman, dan bebas paksaan. Barang tentu yang dimaksud dengan “pasangan yang sah” adalah seperti yang ditetapkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jadi UU Kesehatan ini berpihak pada moralitas seksual puritan hetero-seksual dan pada enam agama resmi pemerintah, sehingga mendiskriminasikan kehidupan seksual kelompok gay, lesbian, pelacur, atau mereka yang tak bisa mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena menikah berdasarkan agama-agama yang tak diakui oleh pemerintah.
Persoalan lain adalah UU Kesehatan ini mengidap sebuah paradoks yang akan menyulitkan pelaksanaannya. UU ini tak tulus dalam menganggap kesehatan sebagai HAM. Sebab UU ini kesehatan mengaitkan konsep “kesehatan sebagai HAM” dengan kemanfaatannya, yaitu “dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional” (Bagian b “Menimbang”). Bahkan Pasal 3 UU ini menyatakannya secara lebih keras: “…sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, yakni menjadikan seseorang sebagai manusia berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang ditetapkan dalam Deklarasi Universal HAM dan berbagai instrumen internasional dan nasionalnya. Deklarasi Universal HAM dan berbagai instrumen internasional dan nasionalnya mewajibkan negara mewujudkan HAM itu. Sebaliknya UU Kesehatan ini, saya kira, dirumuskan berdasarkan filosofis negara fasis yang menganggap warganegara sebagai alat negara, bukan sebaliknya. Jadi UU Kesehatan ini menganggap yang sebenarnya punya kehidupan dan yang penting adalah negara, bukan warganegaranya.
Karena itu semangat fasistis UU ini tak terpisah dari cara mendefinisikan dan melaksanakan kesehatan (hidup sehat). Pasal 1 Ayat 1 UU ini mendefinisikan kesehatan seraya mengkaitkannya dengan asas manfaat di luar kesehatan atau di luar kemanusiaan (HAM) itu sendiri: “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
UU ini juga menetapkan Pemerintah sebagai pelaksana, pengawas dan pembina layanan kesehatan, fasilitas kesehatan, sumberdaya kesehatan, akses ke informasi kesehatan, upaya kesehatan, dan jaminan kesehatan (Pasal 14 – 20). Barang tentu untuk itu Pemerintah akan menyiapkan para konsultannya yang ahli di bidang kesehatan. Namun yang mencemaskan adalah UU ini memberi Pemerintah kesempatan untuk memonopoli definisi kesehatan (yang ternyata dirumuskan secara fasistis) dan menetapkan pemerintah sebagai “pembina” pelaksanaan hidup sehat warganegaranya. Tak tertutup kemungkinan bila suatu saat, atau barangkali sudah, Pemerintah hanya menjadi agen dari perusahaan-perusahaan farmasi dan rumahsakit-rumahsakit multi nasional. UU Kesehatan ini jauh dari semangat demokrasi.

Iatrogenic dan Kesehatan sebagai Virtue: Mempertimbangkan Ivan Illich
Ivan Illich (24 September 1926-2 Desember 2002) adalah pastor Katolik kelahiran Wina, Austria. Ia menempuh pendidikannya di Universitas Gregoriana, Roma dan memperoleh gelar doktor sejarah di Universitas Salzburg, Austria. di Pada 1951 ia mendapat tugas pastoral di Puerto Rico dan juga mengajar di Universitas Katolik Puerto Rico. Pada 1956 ia konflik dengan Uskup Puerto Rico yang melarang umat Katolik memilih seorang calon gubernur yang pro alat kontrasepsi. Akibatnya ia dipindah ke New York dan diangkat menjadi Uskup New York saat masih berusia 33 tahun.
Ivan Illich adalah seorang anarkis. Karya-karyanya mendorong orang untuk berpikir dan bertindak dengan menunda dan bahkan melampaui institusi-institusi sosial formal. Pada 1961 ia mendirikan “The Intercultural Centre for Documentation” di Mexico-city. Program lembaga ini adalah mengumpulkan berbagai informasi bagi masyarakat dan para tokoh masyarakat untuk mengurangi pengaruh budaya dan politik Amerika Serikat, sebuah program yang ia sebut sebagai “de-Yankification”. Lembaga ini berkembang menjadi semacam sekolah radikal yang membahas persoalan-persoalan Amerika Latin berdasarkan metode pendidikan—yang ia sebut sebagai— “dynamic group therapy”. Sebuah metode yang ia yakini bisa mengakhiri berbagai asumsi budaya imperalis.
Ia menulis sejumlah buku untuk mengakhiri, setidaknya mengurangi, ketergantungan individu dan masyarakat pada lembaga-lembaga formal seperti negara, hukum, sekolah dan rumah-sakit. Ia berharap individu dan masyarakat bisa mandiri mengupayakan berbagai kebutuhan hidupnya. Baginya berbagai lembaga sosial-formal hanya menghasilkan rasa tidak percaya individu dan masyarakat pada kemampuan sendiri dan berbagai bentuk kesenjangan sosial.
Dalam buku “De-schooling Society” (1971) ia menunjukkan betapa lembaga-lembaga pendirikan formal (sekolah dan universitas) sebenarnya hanya menghasilkan orang-orang yang tak terpelajar (unlearned) dan dengan demikian bodoh, karena tak bisa membedakan proses dari isi pelajaran, pengajaran dari belajar, peningkatan (grade advancement) dari pendidikan, ijazah dari kompetensi, atau kefasihan (fluency) dari kemampuan menyampaikan hal-hal baru. Mereka mengira, bahwa belajar sesuatu identik dengan sekolah di lembaga-lembaga pendidikan formal selama beberapa tahun dan dengan membayar mahal:

Many students, especially those who are poor, intuitively know what the schools do for them. They school them to confuse process and substance. Once these become blurred, a new logic is assumed: the more treatment there is, the better are the results; or, escalation leads to success. The pupil is thereby "schooled" to confuse teaching with learning, grade advancement with education, a diploma with competence, and fluency with the ability to say something new. His imagination is "schooled" to accept service in place of value.

Dalam Limits to Medicine: Medical Nemesis: Expropriation to Health (1976) ia menunjukkan, bahwa pelembagaan cara hidup sehat justru telah secara paradoksal menimbulkan berbagai penyakit baru dan kesenjangan sosial. Diagnosa penyakit dan proses penyembuhan dengan mengkonsumsi obat-obat tertentu seringkali hanya menimbulkan ketergantungan dan berbagai penyakit baru yang tak terkirakan sebelumnya. Misalnya, kebiasaan mengkonsumsi obat sakit kepala atau pain-killer lain akan menimbulkan penyakit baru: iritasi usus. Jadi, keinginan untuk hidup sehat ternyata dipusatkan pada pendirian rumah-sakit, pendidikan para dokter atau pendirian pabrik-pabrik obat ketimbang mengajak masyarakat mengenali dan menyembuhkan sendiri berbagai penyakit yang mereka derita. Dan akhirnya pendirian berbagai rumah sakit akan menimbulkan kesenjangan sosial. Hanya mereka yang punya uang yang bisa mendapat pelayanan utama sebuah rumah sakit. Maka, Ivan Illich menamai ketergantungan pada profesi dan lembaga-lembaga medik ini sebagai iatrogenic, yaitu penyakit-penyakit (epidemi) baru akibat praktek iatros (Yunani: dokter).
Banyak yang menganggap karya dan pemikiran Illich adalah intelektualisme yang tak bisa dipraktekkan. Tapi, saya kira, sinisme pada Illich ini muncul akibat ketergantungan seseorang pada lembaga-lembaga sosial formal (negara, hukum sekolah atau rumah-sakit). Pada sebuah ceramahnya di tahun 1990 Illich menganjurkan setiap orang untuk mengurangi ketergantungannya pada lembaga sosial formal dengan mempraktekkan the art or living, the art of suffering dan the art of dying. Secara sederhana ketiga hal itu bisa diartikan sebagai etika (prinsip berperilaku) hidup sehat dan mau secara wajar menerima rasa sakit. Tubuh yang sakit adalah tubuh yang dalam proses menyeimbangkan diri. Memahami ketiga hal itu akan membuat seseorang mau memperbaiki sanitasi, berbagi pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja, rajin membersihkan gigi dan terutama meningkatkan kebiasaan untuk peduli pada kesehatan pribadi dan berusaha hidup sehat sendiri. Sebaliknya pengabaian pada the art or living, the art of suffering dan the art of dying hanya akan membuat seseorang memasrahkan kesehatannya pada para dokter dan lembaga-lembaga kesehatan profesional. Karena itu Illich menyebut berperilaku hidup sehat sebagai keutamaan (virtue).

Iatrogenic: Kesehatan sebagai HAM vs Kesehatan sebagai Virtue
Saya kira pemikiran Ivan Illich—terutama tesisnya tentang iatrogenic—tersebut berguna untuk memahami bagaimana pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang autarkis (mandiri), demokratis dan jauh dari fasisme (yang menganggap warganegara sebagai alat negara).
Illich mencatat ada tiga bentuk iatrogenic atau munculnya berbagai penyakit baru akibat ketergantungan pada profesi dan lembaga-lembaga medik, yaitu iatrogenic klinis, sosial dan budaya. Jadi iatrogenic adalah paradoks dari praktek medis.
Iatrogenic klinis adalah penyakit baru yang muncul akibat praktek klinis kedokteran dan rumah-sakit. Penyakit ini bisa berupa ketergantungan pasien pada obat-obat tertentu atau pun munculnya penyakit baru akibat mengkonsumsi obat tertentu. Misalnya, obat-obat analgesik (salah satunya obat sakit kepala) yang menyebabkan iritasi usus.
Iatrogenic sosial adalah dampak sosial negatif yang ditimbulkan oleh praktek profesional medis. Misalnya, munculnya kesenjangan sosial-ekonomi akibat pembangunan sebuah rumah-sakit modern (tak semua orang bisa berobat di rumah-sakit itu), diproduksinya alat-alat kesehatan dan obat-obat baru yang mahal, meningkatnya jumlah orang yang stress akibat penyebaran informasi kesehatan ‘berbahaya’secara tidak hati-hati, meningkatnya ketergantungan orang sakit pada profesi medis dan rumah-sakit, dan berkurangnya rasa percaya diri individu dan komunitas untuk bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri.
Iatrogenic budaya adalah dampak budaya negatif yang ditimbulkan oleh praktek profesional medis. Bentuknya adalah melemah atau bahkan hilangnya keinginan seseorang untuk memahami dan mengalami rasa sakit yang diderita. Sejak munculnya praktek medis profesional, kemampuan individu dan masyarakat untuk memahami penyakit sebagai respon wajar dari proses-proses yang berlangsung dalam tubuhnya menjadi hilang. Penyakit menjadi sesuatu yang menakutkan dan dikira hanya bisa disembuhkan oleh para profesional, bukan oleh upaya pribadi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Ketiga bentuk iatrogenic tersebut menunjukkan dampak medik dan sosial bila profesi dan lembaga-lembaga medik memonoli definisi dan praktek kesehatan. Menurut Illich pada tahun 1970-an di Amerika Serikat telah muncul kesadaran umum tentang iatrogenic tersebut. Bahkan menurut Illich: “WHO menganjurkan de-profesionalisasi perawatan kesehatan primer sebagai langkah tunggal yang paling penting dalam meningkatkan taraf kesehatan”.
Namun di Indonesia, konstitusi dan UU Kesehatan hanya menganggap pelayanan kesehatan (oleh profesi medik dan lembaga-lembaga kesehatan) adalah hak asasi manusia. Bagaimanapun konsep ‘Hak” dalam HAM itu punya kelemahan mendasar. “Hak” akan membatasi pengetahuan seseorang dan lembaga pada “hak-hak” yang ditetapkan dalam norma hukum tertentu. Jadi seseorang atau lembaga merasa sudah hidup baik sepanjang tidak melanggar ‘hak hukum’ itu. Padahal seperti saya tuliskan di atas UU Kesehatan ini masih mengidap sebuah paradoks yang mendasar: yaitu menganggap kesehatan sebagai HAM dan sekaligus sebagai sarana pembangunan ekonomi dan sosial negara. UU Kesehatan ini berdiri di antara konsep kesehatan sebagai “upaya mewujudkan kemanusiaan seseorang” dan “manfaat ekonomis dari warganegara”.
Argumentasi hukum seperti ini telah merampas otonomi individu dan masyarakat untuk menjaga kesehatannya sendiri dan menganggap kesehatan sebagai kebajikan atau keutamaan (virtue) manusia, sebagai fitrah manusia. UU Kesehatan ini telah membuat pelayanan kesehatan menjadi heteronom, yaitu dilaksanakan dari luar oleh lembaga-lembaga kesehatan, profesi medik dan pemerintah. Hukum menjadi salah satu penyebab iatrogenic sosial.
Maka, sudah waktunya LSM-LSM perempuan dan mereka yang peduli pada perempuan, dalam mendampingi kasus-kasus kesehatan perempuan tak hanya bertumpu pada UU Kesehatan dan berbagai peraturan pelaksananya, tapi juga pada konsep kesehatan sebagai virtue. Untuk itu mereka juga harus memerhatikan kemajemukan identitas perempuan berdasarkan gender, orientasi seksual, agama, etnisitas, status sosial, kelas, nasionalisme dan lain sebagainya.

Makalah ini sebagai pengantar diskusi “Mendorong Mekanisme Adjudikasi yang Efektif atas Pelanggaran Hak Perempuan atas Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LRC-KJHAM dan Yayasan TIFA di Hotel Horizon, Semarang, Kamis, 15 Desember 2011.
**] Donny Danardono adalah pengajar filsafat di Fakultas Hukum dan PMLP [Program Magister Lingkungan dan Perkotaan] Unika Soegijapranata.

daftar pustaka
Donny Danardono, 2006, “Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme” dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Buku Obor, hal.3-27;
Donny Danardono, 2006, “Menghapuskan Pandangan Dikotomis dan Hirarkis Publik-Privat, Pidana-Perdata, Pria-Perempuan” dan“Strategi Perempuan dalam Mewujudkan Peradilan yang Fair - Epilog” dalam Perspektif Gender dalam Peradilan: Beberapa Kasus, Donny Danardono (ed.), Jakarta, Convention Watch, Universitas Indonesia dan NZAID.
Carol Smart, Feminism and the Power of Law, London, Routledge, 1989, hal.11.
Jürgen Habermas, 1996, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, Polity Press, hal. 105.

Bagian ini adalah penulisan ulang dari makalah yang pernah saya presentasikan di seminar KP2KKN “Diskusi Ahli dan Sinkronisasi Hasil Survey Terhadap Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (Jamkesmas/Jamkesmaskot) Melalui Metode Citizen Report Card (CRC) di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah” yang diadakan oleh KP2KKN di Hotel Semesta, 20-21 Juli 2011

Bagian ini saya dasarkan pada “Ivan Illich: Obituary”, 2002, The Times, London, 5 December.
Ivan Illich, 1971, De-Schooling Society, Harper and Row, New York, hal. 1.
Ivan Illich, 1995, Batas-Batas Pengobatan: Perampasan Hak untuk Sehat, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. xi-xx.
Lihat “Ivan Illich: Obituary”, 2002, The Times, London, 5 December
Francis C. Biley, 2010, “The ‘Sickening’ Search for Health: Ivan Illich’s Revised Thoughts on the Medicalization of life and Medical Iatrogenesis”, Wholistic Healing Publications, Vol. 10 No. 2, hal. 11.
Ivan Illich, 1995, Op.Cit., hal. 309-312.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

‘ MENGEMBALIKAN HAK KONSTITUSIONAL PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN ‘

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional

Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah terus berlangsung hingga saat ini dan menujukkan kecenderungan yang terus meningkat tiap tahunnya. Data Monitoring LRC KJHAM tahun 2011 terhadap Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah, mencatat sedikitnya 1280 perempuan menjadi korban kekerasan, dan 40 korbannya meninggal dunia. Data tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2010 yang tercatat ada 1118 perempuan menjadi korban. Bahkan di awal tahun 2012 saja (Januari – Februari 2012) LRC-KJHAM telah mencatat 332 perempuan telah menjadi korban kekerasan di Jawa Tengah, dengan kasus yang paling tinggi adalah kasus perkosaan dan kriminalisasi terhadap perempuan prostitut. Dari data tersebut diatas, ditemukan berbagai kecenderungan kasus kekerasan yang terjadi di Jawa Tengah, diantaranya adalah (1) Kekerasan terhadap Perempuan dilingkungan Pendidikan / lembaga-lembaga pendidikan non formal berbasis Keagamaan (2) Kriminalisasi terhadap Perempuan Korban Kekerasan (3) Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam konteks perempuan desa dan migrasi.

Pada kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan pendidikan dan lembaga keagamaan, Data Monitoring LRC KJHAM mencatat 9 kasus kekerasan seksual telah terjadi di lingkungan pondok pesantren di Jawa Tengah, dengan 100 perempuan dan anak menjadi korban. Kecenderungan kasus ini dipicu oleh adanya pemahaman yang dangkal dalam menterjemahkan ajaran agama. Korban mempunyai hambatan serius dalam mengakses keadilan, diantaranya adalah sedikitnya korban yang mau melapor karena takut menanggung aib, ataupun adanya ancaman apabila melaporkan kasusnya, selain karena besarnya kekuasaan dan pengaruh ‘nama besar’ dari tokoh agama yang menyebabkan penanganan yang tertutup. Data Kasus Masuk LRC KJHAM juga menengarahi adanya kecenderungan kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, diantaranya 7 perempuan korban kekerasan berbasis gender yang melaporkan kasusnya justru ‘terjebak’ kepada kriminalisasi terhadap dirinya. Pelaku yang merupakan tokoh publik sangat sulit dijerat hukum. Kasus yang semula melaporkan pelaku justru tidak terjamah sama sekali, dan beralih pada penyangkaan pasal terhadap korban, yang terkesan dipaksakan seperti ; pencemaran nama baik, pencurian ATM, penculikan anak, perusakan barang dan lain sebagainya. Sementara hambatan korban untuk mendapatkan keadilan harus berhadapan dengan birokrasi yang tidak berpihak pada korban, pengaruh kuat dari pelaku, ditambah institusi dimana pelaku dan korban bekerja yang justru melemahkan perjuangan korban untuk mendapat keadilan. Sementara itu kecenderungan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perempuan desa dan migrasi nampak pada data monitoring LRC KJHAM 2011 yang menyebutkan sedikitnya terdapat 107 kasus dengan 169 perempuan buruh migran asal jawa tengah mengalami kekerasan diantaranya 21 perempuan meninggal dunia, 13 dinyatakan hilang, dan 8 perempuan terancam hukuman mati. Kebanyakan korban kekerasan buruh migran asal jawa tengah tersebut adalah perempuan pedesaan yang berasal dari daerah kantong buruh migran seperti Cilacap, Banyumas, Wonosobo, Grobogan dan Kendal. Mereka menjadi agen penting dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga ketahanan pangan, namun dirugikan dan dikeluarkan dari pengambilan keputusan, serta menanggung beban yang tidak proporsional dari situasi pekerjaan yang buruk tanpa ada mekanisme yang tidak mampu melindungi mereka. Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar, dalam jumpa persnya saat menghadiri Sidang ke-56 Komisi Kedudukan Perempuan PBB di New York Amerika Serikat pada tanggal 27 Februari – 9 Maret 2012 dengan tema ‘”Peran Perempuan Perdesaan dalam Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan”. Beliau menyampaikan bahwa bangsa Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan dalam percepatan pemberdayaan perempuan pada pembangunan nasional.

Berbagai kasus tersebut menunjukkan tidak seriusnya negara yang diwakili aparat pemerintah, aparat penegak hukum, institusi pendidikan dan pihak-pihak terkait dalam menegakkan terpenuhinya hak perempuan korban kekerasan atas pemulihan, kebenaran dan keadilan. Penanganan yang tidak utuh atas kasus kekerasan terhadap perempuan terbukti telah menyebabkan pengurangan, pengabaian, dan pelanggaran hak-hak konstitusional perempuan sebagaimana yang diakui dan dijamin dalam UUD 1945. Selain itu juga sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen negara untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, seperti yang dijanjikannya melalui UU No.7 Tahun 1984. Maka bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional ini, kami LRC KJHAM menyerukan kepada pemerintah sebagai pemegang sah tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi perempuan, untuk mengembalikan hak konstitusional perempuan korban kekerasan diantaranya dengan ;

1. Memastikan adanya penegakan hukum untuk memutus impunitas pelaku, terlepas dari pelaku yang merupakan tokoh agama, tokoh publik maupun tokoh masyarakat, guna terpenuhinya rasa keadilan dan kebenaran korban.
2. Memastikan Surat Keputusan Menteri KPPPA No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi Perempuan dan Anak korban dapat dijalankan dan diadopsi di seluruh tingkatan layanan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan untuk
3. menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan korban kekerasan serta memastikan berjalannya fungsi layanan terpadu bagi perempuan korban yang dapat menjangkau kelompok perempuan miskin, rentan dan marjinal.
4. Mengembangkan langkah-langkah khusus untuk pemenuhan hak asasi perempuan korban kekerasan dan diskriminasi, agar dapat mengakses layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pekerjaan yang terintegral dengan upaya pemulihan bagi korban.
5. Menerapkan sistem peradilan terpadu bagi perempuan korban kekerasan untuk memastikan peradilan cepat, nyaman dan menghormati hak asasi perempuan korban
6. Memastikan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dan memastikan proses revisi UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dapat merepresentasikan pemenuhan hak-hak buruh migran sebagaimana yang terdapat dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

I. Pendahuluan
Budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan telah menjadi akar dari kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan. Hampir setiap hari perempuan harus berhadapan dengan pandangan yang misoginis, tindakan yang diskriminatif, pengalaman kekerasan, ketertindasan dan berbagai ketidakadilan atas dasar perbedaan laki-laki dan perempuan, berakibat pada hilangnya martabat kemanusiaan dari perempuan.
Perjuangan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan membutuhkan waktu yang panjang, yakni sejak munculnya gerakan perempuan pada tahun 1800an, sebagai reaksi atas situasi mayoritas perempuan yang masih buta huruf, miskin, dan tidak memiliki keahlian. Hal ini dikarenakan budaya yang memusuhi perempuan mengakar hampir disetiap budaya, dan setiap jaman. Parahnya lagi perjuangan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, melawan perbudakan, eksploitasi, kolonialisme tidak pernah dianggap sebagai gerakan hak asasi. Hal tersebut terus terjadi sampai dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia PBBmengenai Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993, yang secara tegas diakuinya hak asasi perempuan sebagai hak asasi perempuan. segala bentuk diskriminasi, penindasan dan pelanggaran terhadap hak perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada konferensi dunia tersebut juga menekankan pentingnya melakukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Meski penegasan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia baru muncul pada tahun 1993, namun sesungguhnya telah terdapat instrumen HAM Internasional yang mengatur persoalan diskriminasi yang dialami perempuan yang dikenal dengan CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang lahir pada tahun 1979. Adapun persoalan Kekerasan terhadap Perempuan secara khusus dibahas dalam Rekomendasi Umum No. 19 CEDAW yang menyebutkan bahwa „kekerasan berdasarkan gender merupakan suatu bentuk diskriminasi yang secara serius menghambat kemampuan perempuan untuk menikmati hak dan kemerdekaannya atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi CEDAW ke dalam peraturan perundang-undangan melalui UU No.7 Tahun 1984, dengan demikian pemerintah Indonesia memegang tanggungjawab penuh atas terpenuhinya hak-hak perempuan sebagaimana terdapat dalam konvensi.
Merespon persoalan kekerasan terhadap perempuan tersebut LRC-KJHAM sebagai lembaga yang konsern dalam mendorong penghormatan hak asasi perempuan telah melakukan monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan dan mendokumentasikannya dari media massa maupun kasus masuk yang didampingi.Adapun tujuan dari monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut diantaranya adalah (1) Memberikan gambaran menyangkut situasi pemenuhan dan pelanggaran HAM yang dialami perempuan korban kekerasan (baik perempuan korban Perkosaan, Pelecehan Seksual, KDRT, KDP, Trafiking, Kekerasan terhadap Buruh Migran, maupun kekerasan terhadap Perempuan Prostitut). (2) Memberikan gambaran menyangkut dampak tindak pelanggaran HAK ASASI MANUSIA bagi perempuan korban kekerasan, (3) Menyampaikan rekomendasi penting berdasarkan instrumen HAM Internasional dan Nasional menyangkut perlindungan efektif yang perlu dibangun dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, dan upaya pemenuhan hak asasi lainnya, serta merekomendasikan berbagai upaya pencegahan tindakan pelanggaran HAM pada perempuan
Sementara dalam melakukan monitoring kasus kekerasan berbasis gender, berikut pelanggaran hak asasinya, LRC-KJHAM menggunakan metode pengumpulan data dan fakta melalui (1) Pengumpulan data kasus yang masuk ke LRC KJHAM, 4 PPTK, Hotline dan Kasus dari Media, (2) Pengumpulan data pendukung, berupa materi tertulis, kliping media, aturan hukum yang berkaitan dengan sasaran pantauan. Adapun wilayah monitoring adalah seluruh Kabupaten / Kota di Jawa Tengah.

II. Meningkatnya Intensitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap perempuan
Kasus KDRT
Kasus Kekekerasan berbasis Gender yang dipantau oleh LRC-KJHAM adalah (1) Kasus Kasus KDRT (2) Kasus KDP (3) Kasus Perkosaan (4) Kasus Pelecehan Seksual (5) Kasus Kekerasan terhadap Buruh Migran (6) Kasus Perdagangan Anak dan Perempuan dan (7) Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Prostitut. Dari jenis kasus yang dipantau oleh LRC-KJHAM, masing-masing menunjukkan kekhasan modus kekerasan.
Kasus KDRT mencapai 197 kasus dengan 227 perempuan menjadi korban dan 227 laki-laki menjadi pelaku. Dari jumlah korban terdapat 10 perempuan yang meninggal dunia karena dibunuh oleh suaminya, mereka ditebas, ditusuk, dicekik, diparang bahkan dimutilasi. Beberapa kekerasan fisik yang diterima korban juga dilakukan dengan cara yang amat kejam seperti disayat/disilet, disiram dengan air panas, disiram dengan air keras, dipukul dengan pipa besi bahkan dibakar. Perempuan korban KDRT juga diserang dengan secara psikologis dengan melakukan perselingkuhan.
Selain itu pada kelompok marjinal dan miskin, perempuan korban KDRT mengalami situasi yang terdesak terutama dengan situasi kemiskinan yang dialami oleh keluarga, karena pelaku cenderung memilih meninggalkan korban dengan meninggalkan korban, menceraikan korban, menekan korban bahkan membunuh korban. Sementara pada kelas menengah keatas, korban KDRT justru rentan menjadi korban kriminalisasi dari pelaku yang adalah tokoh masyarakat.
Kasus Perkosaan
Kasus Perkosaan tahun 2011 mencapai 140 kasus dengan 172 perempuan menjadi korban dan 182 orang pelaku, diantara korban terdapat 4 orang yang meninggal dunia. Dari 172 korban, tercatat 117 anak menjadi korban, yang terjadi hampir disetiap keberadaan anak, tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak perempuan. Mereka diperkosa dilingkungan bermain, di lingkungan sekolah, bahkan di dalam rumah mereka sendiri. Para pelaku adalah orang yang dekat dan sangat dikenal oleh korban, yakni ayah kandung, ayah tiri, guru olah raga, guru mengaji, tetangga, teman terdekatnya hingga perangkat desa dan perangkat kecamatan.
Apabila dilihat dari relasi pelaku dan korban, kasus perkosaan yang paling banyak menelan korban adalah pelaku yang dilakukan oleh pejabat publik / tokoh publik yakni sebesar 7 kasus, dengan 43 korban dan 9 pelaku. Menempati urutan selanjutnya adalah perkosaan yang dilakukan pada lingkungan yang dikenal korban seperti tetangga dengan 28 kasus, oleh 38 pelaku, yang mencapai hingga 32 perempuan dan anak menjadi korban. Adapun perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga seperti ayah tiri, ayah kandung, ayah angkat, paman yang mencapai 13 kasus dengan 13 korban dan 13 pelaku
Mengenai tempat kejadian perkosaan yang paling banyak justru ditempat teraman korban yakni dirumah korban / orang tua korban, disusul dirumah pelaku, dan beberapa kasus dilakukan dilahan yang kosong, persawahan yang kosong, kantor kecamatan yang belum berfungsi, dan diperkebunan. Fakta lokasi perkosaan yang mengejutkan justru terjadi dilingkungan sekolah, yakni di WC Sekolah, di kampus, dan beberapa tempat di sekitar sekolah tempat korban sekolah.
Perempuan korban perkosaan mengalami dampak yang serius seperti depresi berat dan berkepanjangan, mengalami cacat karena tulang pangkal pahanya lepas, mengalami kehamilan tidak dikehendaki, Seriusnya
dampak yang dialami korban tersebut, justru terdapat kasus-kasus yang didamaikan oleh polisi atau aparat desa yang menyebabkan banyak kasus perkosaan tidak terungkap.
Kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Kasus Kekerasan dalam pacaran (KDP) Di Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 137 Kasus dengan 139 perempuan menjadi korban 5 diantaranya meninggal dunia. Catatan kasus tertinggi ada di Kota semarang sebanyak 26 Kasus. Kemudian Kab Sukoharjo 9 Kasus, 1 diantaranya meninggal dunia Kab. Demak terdapat 9 Kasus, dan Kabupaten Kendal 6 kasus, 1 diantaranya meninggal akibat kekerasan yang dialaminya dari pacarnya sewaktu menjadi TKW di Singapura.
Data Monitoring Kasus Kekerasan dalam Pacaran Periode laporan November 2010 – Oktober 2011 mencatat sedikitnya 6 perempuan menjadi korban aborsi tidak aman yang menyebabkan masalah yang serius pada kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu data juga mengungkap para perempuan korban KDP juga rentan dijadikan korban pornografi, mereka dipaksa, dibujuk, dirayu untuk melakukan hubungan hubungan seksula, selanjutnya proses hubungan seksual tersebut direkam melalui video lalu kemudian disebarkan oleh pelaku, atau pelaku melakukan pengacaman akan menyebar video hubungan intim pelaku dan korban yang terjadi sebelumnya, jika tidak mau melakukan hubungan seksual dengan pelaku
Kasus Pelecehan Seksual
Dari Data Monitoring LRCKJHAM setidaknya terdapat 5 kasus pelecehan seksual dengan 10 perempuan menjadi korban. Meski secara kuantitas kasus pelecehan seksual selalu terbilang rendah dibanding data kasus KBJ lainnya, bukan berarti kasus ini sedikit. Hal ini disebabkan sedikitnya korban yang mau melaporkan kasusnya akibat rasa malu dan dianggap sebagai aib. Selain itu pada kasus tertentu pelecehan seksual juga dianggap sebagai tindakan yang lumrah/wajar. Anggapan ini berkaitan dengan elemen / bentuk pelecehan seksual yang luas seperti yang tercatat dalam Manual Pencatatan Kasus Kekerasan Berbasis Gender di Jawa Tengah LRC-KJHAM mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual diantaranya1 dapat berupa siulan, kata-kata, komentar, bisikan maupun bentuk-bentuk lainnya seperti rabaan, usapan, colekan, yang menyasar pada tubuh perempuan dan mengarah pada hubungan seksual, termasuk diantaranya meraba payudara, kemaluan/alat kelamin perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan dari laki-laki, ataupun menciumi tubuh perempuan. Data Monitoring LRC-KJHAM 2011 menemukan kasus pelecehan seksual yang justru dilakukan oleh tokoh publik, yakni Ketua RT dan Guru.
Kasus Kekerasan Buruh Migran
Kekerasan terhadap buruh migran asal Jawa Tengah terjadi pada pra keberangkatan, di penampungan, di negara tujuan, hingga kepulangan menunjukkan peningkatan secara drastis, dimana data pada tahun 2010 mencatat 46 kasus kekerasan buruh migran, dengan 51 perempuan buruh migran menjadi korban, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 107 kasus, dengan 169 korban diantaranya 21 perempuan meninggal dunia dan 13 perempuan dinyatakan hilang, 8 perempuan terancam hukuman mati/pancung baik di Arab Saudi maupun di Cina. Beberapa kasus lainnya diantaranya menjadi TKW Ilegal di Arab Saudi karena melarikan diri dari majikan setelah ada upaya perkosaan, tidak digaji selama bekerja 16 tahun, dan perlakuan yang tidak manusiawi. Kebanyakan korban kekerasan buruh migran adalah perempuan pedesaan yang berasal dari Cilacap, Banyumas, Grobogan dan Kendal.
Kasus Kekerasan terhadap Prostitusi
Kekerasan terhadap Perempuan Prostitut selalu mencapai jumlah yang dramatis, mereka mengalami kekerasan dari pelaku individual, kelompok, maupun negara. Teridentifikasi 60 korban adalah anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan 505 perempuan prostitut mengalami kriminalisasi. Persoalan kekerasan terhadap prostitut juga belum lepas dari pandangan moralitas yang direduksi pada persoalan tubuh perempuan, dan dikukuhkan melalui PERDA-PERDA diskriminatif yang menempatkan prostitut sebagai pelaku kriminal. Data juga menunjukkan sedikitnya 30 prostitut di Kota Semarang mengalami penyakit kelamin dan 2 prostitut dari pekalongan terkena HIV AIDS. Begitu halnya kasus perdagangan perempuan, dari 20 kasus terdapat 57 korban, diantaranya 17 korban adalah anak-anak.

Kasus Trafiking
Kasus perdagangan perempuan dan Anak di Jawa Tengah sedikitnya terdapat 20 kasus trafiking terdapat 50 korban, diantaranya terdapat 17 korban adalah anak-anak. Mereka menjadi korban trafiking untuk tujuan eksploitasi seksual (dijadikan PSK) dan eksploitasi atas tenaganya (diiming-imingi menjadi TKW).

lebih lanjut silahkan buka website lrc-kjham di
www.lrc-kjham.org

Baca Selengkapnya »»