| 1 komentar ]


Disampaikan oleh;
Nihayatul Mukharomah

I.    Abstraksi
Perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai tokoh yang bertubuh sakral oleh mitologi kuno, yang kemudian perempuan dianggap menjadi awal seluruh kesengsaraan manusiawi pada saat lahirnya agama monoteis. Pada akhirnya perempuan adalah sasaran empuk sebagai korban kekerasan.
II. Pendahuluan
Adalah menarik untuk melihat bahwa sejak dahulu kala hampir disetiap negara atau bangsa, perempuan selalu digambarkan memiliki peran, fungsi, dan tanggung jawab sosial yang berbeda dengan laki-laki. Tetapi awalnya perbedaan tersebut selalu bersifat saling melengkapi dan tidak merendahkan antara yang satu dengan yang lainnya.[1]
Yang kemudian harus dicatat dari watak tersebut adalah nilai bahwa dalam mitologi kuno terdapat sebuah sakralisasi perempuan sebagai sumber kekuatan kehidupan. Sakralisasi tersebut bukan hanya terpusat untuk dirinya tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Satu hal yang layak dicatat adalah bahwa sakralisasi dari mitologi kuno tentang perempuan. Sifat tubuh perempuan yang dianggap menjadi sumber kekuatan sakral kehidupan adalah rahim yang memberi kelahiran dan payudara yang memberi dan mempertahankan kehidupan. Artinya sejak awal perempuan selalu diletakkan sebagai mahkluk social yang terikat dalam hubungan interaksi dengan mahkluk-mahkluk yang lain.[2]
Celakanya kemudahan yang diperoleh perempuan sebagai warga negara, ternyata menyisakan jejak perjalanan kebudayaan dalam setiap kemajuan yang berhasil dicapai. Tanpa bisa ditolak, perjalanan panjang kebudayaan selama 20 abad telah secara sistematis membagi ruang perempuan yang jauh dari laki-laki. Maka walaupun kemajuan telah memberi ruang lebih besar pada kegiatan publik, pada kenyataannya terbukti bahwa dalam banyak bidang perempuan tetap dilihat atau bahkan diperlakukan lebih rendah daripada laki-laki. Walaupun pendidikan telah berhasil mencetak kualitas berpengetahuan yang sama antara anak didik perempuan dengan anak didik laki-laki, tetapi ketika mereka harus terjun dan bersaing di pasar kerja, seluruh mitologi perempuan seperti dianggap lemah, kemampuan berpikirnya rendah, hanya bermodalkan tubuh dan tubuhnya bermasalah untuk mengikuti pola kerja industrial, membuat perempuan selalu dikalahkan dalam persaingan kerja.[3]
Terlalu sederhana kalau kita hanya melihat bahwa kekerasan adalah semata-mata bersifat fisik seperti pemukulan, penganiayaan, atau penyiksaan yang dengan mudah menyisakan bukti yang kasat mata. Dalam banyak hal kekerasan selalu bisa mengambil banyak ketakutan secara terus-menerus, menerima ancaman, membuat seseorang dalam perasaan selalu terhina adalah bentuk lain yang sangat sulit dibuktikan, akan tetapi meninggalkan jejak panjang pada ingatan setiap orang. Dalam kerangka negara sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka bentuk-bentuk kekerasan seperti tadi menjadi sebuah takdir lain yang menyertai takdir perempuan.[4] Selain kekerasan seperti yang disebutkan diatas ada juga kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Kekerasan seksual tersebut bisa berupa pencabulan, pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan kawin, dan juga prostitusi.
III. Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan, berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan :
  1. Kekerasan seksual berat, berupa:
a.       Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b.      Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
c.       Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
d.      Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e.       Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f.       Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
  1. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.[5]
Berita-berita di media massa menunjukkan bahwa kasus eksploitasi seksual komersial pada anak-anak telah merebak di tengah masyarakat, dan menjadi fenomena tersendiri. Praktik penyekapan gadis-gadis di bawah umur untuk dijadikan pelacur terjadi di Hotel S, kawasan Kebayoran, Jakarta (Pikiran Rakyat, 24 September 1998). Di Boyolali, Jawa Tengah, terungakap adanya sindikat penjualan gadis di bawah umur. Gadis-gadis itu dijual Rp 450.000/orang ke sebuah penampungan wanita “nakal” di daerah Sunter, Jakarta Utara. Penampungan ini mempunyai jaringan dengan germo-germo di Jakarta dan sekitarnya (Kedaulatan Rakyat, 18 September 1998).
Ironisnya lagi, adanya sindikat penjualan gadis ini tidak hanya melibatkan calo. Banyak kasus penjualan anak gadis untuk dijadikan pelacur juga melibatkan orang tua anak yang bersangkutan. Ini terjadi di Lampung, dimana 10 keluarga petani menjual keperawanan anak gadis mereka untuk menyambung hidup (Liputan 6 SCTV, 4 Agustus 1998).
Sebelumnya, penelitian Kuntjoro (1989) menunjukkan bahwa Indramayu, Jawa Barat termasuk salah satu daerah  pensuplai gadis-gadis muda pekerja seks, di samping beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah yaitu Ngadirojo Kabupaten Wonogiri, Dukuh Seti Kabupaten Pati dan Bangsri Kabupaten Jepara.[6]
Dari pengalaman yang dilakukan Yayasan Kakak Solo (1998) melalui klinik medis dan psikologis, didapatkan gambaran bahwa anak-anak atau remaja yang dilacurkan atau terpaksa melacurkan diri berasal dari keluarga miskin dan keluarga disharmonis (broken home). Selain itu terdapat pula faktor perilaku konsumtif yang ternyata menjadi faktor pemicu lebih kuat. Pada satu sisi, pengalaman seksual usia dini, apalagi yang dibarengi dengan tindak kekerasan mendorong anak-anak itu untuk terjun ke dunia prostitusi karena anggapan sudah kepalang basah karena sudah tidak perawan lagi. Berdasarkan pemerikasaan dan tes kesehatan, sebagian dari anak-anak itu menderita penyakit menular seksual.[7]
Fenomena kekerasan seksual yang sering terjadi di masyarakat seperti kisah nyata yang dialami beberapa perempuan di bawah ini :
Yani, 15(bukan nama sebenarnya) tak pernah menyangka bahwa apa yang disebut kakaknya sebagai rumah kos ternyata sebuah tempat penampungan. Di situlah Yani mulai berkenalan dengan dunia seks komersial. Sebernarnya Yani hanya berniat untuk menjenguk sang kakak. Hingga suatu ketika, oleh germo yang disangkanya seorang ibu kos, Yani diperkenalkan kepada seorang pria setengah baya. Itu terjadi beberapa waktu setelah sang “ibu kos” mengajaknya ke dukun. Pria itu membawa Yani pergi ke sebuah hotel mewah. Pria itu pula yang kemudian merenggut kegadisan Yani. Adapun Yani sendiri tak menyadari saat melakukannya. Dia baru sadar apa yang terjadi ketika pria itu memberinya uang tunai sejumlah Rp 1 juta. Itulah awal mula Yani terjun ke dunia seks komersial.[8]
Tak ada niatan dalam diri Yesyy (bukan nama sebenarnya), untuk sengaja menjerumuskan diri ke dunia prostitusi. Pengalaman masa kecil yang pahit rupanya menjadi factor pendorong yang kuat bagi diri Yesyy untuk masuk ke dunia tersebut. Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian kiranya ungkapa yang pas untuk menggambarkan nasib Yesyy. Yesyy kecil yang mempunyai gangguan pendengaran dan akhirnya membuat dia juga mempunyai gangguan bicara, diperkosa oleh pamannya sendiri saat berusia 4 tahun. Desakan ekonimi dan faktor lingkungan ditambah perasaan kepalang basah karena sudah tak prawan lagi, membuat Yesyy pun tak kuasa menolak ajakan seorang temanya untuk menerjuni dunia seks komersial dan sekaligus menambah daftar panjang anak yang dilacurkan.[9]
Nita (bukan nama sebenarnya), 15, tak berdaya ketika sembilan laki-laki itu menyergapnya di kawasan Terminal Tirtonadi. Di antara mereka ada yang membawa pisau. Nita diancam akan dilukai jika tidak mau melayani. Nita yang lemah mencoba melawan. Tapi malah kena pukul. Nita yang sehari-harinya mengamen di lampu merah itu pun pingsan. Setelah pingsan Nita mendapati dirinya dalam keadaan tak berbalut selembar benangpun. Sementara daerah selakangannya terasa perih luar biasa.[10]
Dampak kekerasan terhadap perempuan, selain menimbulkan luka fisik, juga psikologis. Jumlah perempuan korban yang melaporkan kasusnya ke kepolisian tidak mencerminkan realita kekerasan sesungguhnya, sebab kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Artinya sebenarnya peristiwa kekerasan terhadap perempuan lebih banyak pada kenyataannya. Para korban biasanya enggan mengadukan peristiwa kekerasan yang dialaminya karena takut pada ancaman pelaku, atau masih menganggap kekerasan itu sebagai aib keluarga.[11]

IV. Kesimpulan
Malasah kekerasan terhadap perempuan memang tak ada habisnya. Hal itu disebabkan karena wanita dipandang sebagai makhluk yang sangat rentan mengalami kekerasan. Perlu kita ketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang biasa dialami oleh perempuan. Yang pertama adalah kekerasan seksual berat, berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik seperti: pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban; pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan; pemaksaan seksual untuk tujuan pelacuran; tindakan seksual dengan kekerasn fisik. Yang kedua adalah kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual verbal dan non verbal ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban.
Banyak faktor yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan seksual. Pada awalnya si korban dijebak yang kemudian si perempuan ini terjun ke dunia seks komersial seperti kisah yang dialami Yani, 15 (bukan nama sebenarnya). Juga kisah yang dialami Yesyy (bukan nama sebenarnya) masuk ke dunia seks komersial karena pada awalnya dia mengalami pemaksaan hubungan seksual yang tidak di kehendakinya dan masih banyak kisah-kisah lain yang dialami oleh perempuan korban kekerasan yang tidak bias disebutkan satu-persatu.

V. Daftar Pustaka
Komnas Perempuan, 2009, Penaganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta
Titiana Adinda, 2008, Kekerasan Itu Berulang Padaku, PT.Elek Media Komputindo, Jakarta
Yayasan Kakak, 2002, Anak-anak yang dilacurkan Masa Depan yang Tercampakkan, Yogyakarta
Wikipedia Indonesia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http//:www.google.com


[1] Komnas Perempuan, 2009, Penaganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta, hal.11
[2] Ibid, hal.13
[3] Ibid, hal.22
[4] Ibid, hal.35
[5] Wikipedia Indonesia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, www.google.com
[6] Yayasan Kakak, 2002, Anak-anak yang dilacurkan Masa Depan yang Tercampakkan, Yogyakarta, hal.7-8
[7] Ibid, hal.9
[8] Ibid, hal 13-14
[9] Ibid, hal. 40
[10] Ibid, hal.44
[11] Titiana Adinda, 2008, Kekerasan Itu Berulang Padaku, PT.Elek Media Komputindo, Jakarta, hal. xi

Baca Selengkapnya »»