| 0 komentar ]

LRC-KJHAM saat ini sedang melakukan pelatihan CEDAW untuk Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat Sipil Lokal kerjasama antara LRC-KJHAM, UNI ERPOA dan HIVOS.
acara ini diadakan pada tanggal 26 Januari 2010 sampai 29 Januari 2010 di Hotel Horizon, Semarang. Dalam Pelatihan ini dihadiri oleh peserta dari berbagai pihak yaitu dari unsur DPRD Kota Semarang Komisi D yang diwakili oleh Hj. Uti Indrawati, Sip, dari Pemerintah Kota Semarang antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang diwakili Bu Atiek H, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan & KB Kota Semarang Bapak Arifin, Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh Asri N.K, Bagian Hukum Pemerintah Kota Semarang oleh Marthika Hanindyah, SH, MH, Rumah Sakit kota Semarang oleh H. Sutrisno,SKM, MH, Kermed. Untuk perwakilan dari Aparat Penegak Hukum antara lain Hakim PN Semarang diwakili oleh Rusmawati, S.H, Kejaksaan Tinggi Jateng oleh Rois Kapnanti, Polres Semarang Timur (Unit Penanganan Perempuan dan Anak) Sunarsih, Polres Semarang Barat (Unit Penanganan Perempuan dan Anak) Mungki Kristiarsi dan Polres Semarang Selatan (Unit Penanganan Perempuan dan Anak) oleh Trisna Tiun. Perwakilan dari unsur Pelayanan Terpadu Kota Semarang antara lain PPT Seruni Kota Semarang diwakili MC. Windy Aryade olehwi, SH, PPT Cahaya Kasih Kec.Semarang Barat oleh Dewi Kustijanti, PPT Griya Perempuan Kec.Semarang Utara oleh Sumiyati, PPT Srikandi Banyumanik Kec.Banyumanik oleh Sumaidah, dan PPT Sahabat Perempuan Kec.Pedurungan oleh Nining S. Sedangkan untuk Mitra HIVOS untuk Program WAJ antara lain UPIPA Wonosobo, APM Jambi, SPEKHAM Solo dan LRC-KJHAM Semarang. Untuk perwakilan dari pihak Jaringan antara lain IKAPS yang diwakili oleh Titis Agustiningsih, SH, Isya Grobogan oleh Nikmatun dan LBH APIK Semarang oleh Arigus Wirati.
Tujuan dari pelatihan ini Peserta mengetahui bahwa CEDAW merupakan instrumen pokok Hak Asasi Perempuan dan telah menjadi hukum positif di Indonesia. juga mengetahui bahwa CEDAW sebagai indikator acuan dalam penyusunan program kerja dan anggaran yang responsif gender, dan perumusan kebijakan (PERDA) dalam kerangka pemenuhan Hak Asasi Perempuan. serta mengetahui bahwa CEDAW harus pula dijadikan oleh Aparat Penegak Hukum sebagai acuan dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender dan Peserta menggunakan CEDAW sebagai alat advokasi dalam memperjuangkan Hak Asasi Perempuan (Mengetahui rumusan hak-hak asasi perempuan dalam CEDAW, mengetahui standart pemenuhan Hak Asasi Perempuan berdasarkan CEDAW, mengetahui kewajiban negara dalam merealisasikan CEDAW dan mengetahui Mekanisme pertanggungjawaban negara).
Hasil yang diharapkan dari pelatihan ini adalah Meningkatnya pengetahuan peserta bahwa CEDAW merupakan instrument pokok Hak Asasi Perempuan dan telah menjadi hukum positif di Indonesia. Meningkatnya kemampuan peserta dalam menerapkan CEDAW dalam penyusunan program kerja dan anggaran yang responsif gender, dan perumusan kebijakan (PERDA). Meningkatnya kemampuan peserta dalam mengimplemetasikan CEDAW dalam proses penanganan korban kekerasan berbasis gender. Meningkatnya kemampuan peserta dalam menggunakan CEDAW sebagai alat advokasi dalam memperjuangkan Hak Asasi Perempuan.
Fasilitator dalam pelatihan ini adalah Andik Hardiyanto, S.H dari SIDAN Jakarta dan Evarisan, Direktur LRC-KJHAM.
Beberapa harapan dari peserta untuk pelatihan ini adalah mengetahui Substansi CEDAW, terkait dengan kelembagaan dimana siapa saja atau lembaga mana saja yang bisa diberi tanggung jawab mengenai CEDAW, CEDAW bisa menjadi kerangka acuan dalam bekerja. dan komitmen dari semua jaringan untuk mengimplementasikan CEDAW dalam semua kebijakan.
Kekawatiran dari peserta yang paling banyak adalah tidak bisa mengimplementasikan dan mengaplikasikan hasil pelatihan ini.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Jenis Kekerasan yang dialami perempuan pada tahun 2009
Perkosaan : 210 kasus 232 korban 338 pelaku 5 korban meninggal
kdrt : 149 kasus 149 korban 149 pelaku 16 korban meninggal
pelecehan seksual dan pencabulan : 16 kasus 21 korban 22 pelaku
kekerasan dalam pacaran : 101 korban 119 pelaku 119 korban meninggal 13
eksploitasi terhadap perempuan prostitute : 71 kasus 434 korban 95 pelaku 3 korban meninggal
Eksplotasi terhadap pekerja migran perempuan : 44 kasus 77 korban 18 pelaku 14 korban meninggal
traffiking : 23 kasus 59 korban 54 pelaku

total kasus selama tahun 2008 614 kasus. 1091 korban. 778 pelaku. 48 korban meninggal

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (DUHAM)

FAKTA HAK PEREMPUAN YANG DILANGGAR

Instrumen HAM Internasional
- CEDAW
- Deklarasi Penghapusan KtP
- Rekomendasi Umum No.19 PBB
- Konvensi Hak Sipil dan Politik UU No. 12 tahun 2005
- Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya UU No. 11 tahun 2005
- Resolusi PBB No. 21
- Protocol Palermo: untuk Mencegah, Membasmi, dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak-anak

Hukum Positif

- UUD 1945 Amandemen
- UU NO. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil Politik
- UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
- UU No. 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN
- UU No. 13 Tahun 2006 Tentang LPSK
- UU No. 21 TAhun 2007 Tentang PTPPO

Kewajiban Negara Yang Diabaikan

- Mempromosikan dan memajukan HAM
- Memenuhi
- Melindungi

Pasal 2 CEDAW
Negara-negara Peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuknya, bersepakat untuk mengejar dengan semua sarana yang tepat tanpa ditunda-tunda suatu kebijakan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan untuk tujuan ini, berusaha:

- Mencantumkan asas persamaan laki-laki dan perempuan ke dalam konstitusi-konstitusi nasional mereka atau perundang-undangan lain yang tepat bila belum dimasukkan ke dalamnya dan menjamin, melalui hukum dan sarana-sarana lain yang tepat, realisasi praktis dari asas ini;
- Membuat peraturan perundang-undnagan yang tepat dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksi melarang segala diskriminasi terhadap perempuan;
- Menegakkan perlindungan hokum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kempeten;
- Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai kewajibannya tersebut;
- Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan;
- Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan;
- Mencabut semua ketentuan hukum nasional vang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Indikator kegagalan

Suatu Negara Peserta akan dianggap melanggar
Kovenan, antara lain, apabila:
- Gagal mengambil langkah seperti yang disyaratkan oleh Kovenan;(langkah-langkah kearah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan. Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban Kovenan)
- Gagal menyingkirkan dengan segera hambatan-hambatan dimana ia diwajibkan untuk menyingkirkannya agar pemenuhan hak bisa segera dilaksanakan;
- Gagal untuk mengimplementasikan segera hak yang oleh Kovenan dianggap perlu segera direalisasikan
- Dengan sengaja tidak mencapai standar pemenuhan internasional yang pada umumnya bisa diterima secara internasional, padahal ia punya daya untuk mencapainya;
- Menerapkan pembatasan atas hak yang diakui oleh Kovenan dengan alasan yang tidak sesuai seperti yang diatur oleh Kovenan;
- Sengaja menghambat atau menghentikan realisasi bertahap atas suatu hak, kecuali hal itu dilakukan dengan pembatasan yang sesuai dengan ketentuan Kovenan atau jika hal itu dilakukan karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia atau berhubung suatu force majeur;
- Gagal menyampaikan laporan sebagaimana ditentukan oleh Kovenan.

Dalam penegakan HAP (Hak Asasi Perempuan) sudah seharusnya mengacu pada pendekatan berbasis hak (right based approach) dengan menekankan beberapa prinsip-prinsip sebagai berikut;

- Equality, HAP harus dimiliki secara sama oleh setiap perempuan dari segala lapisan.
- Indivisibility, suatu hak tidak dapat dialihkan oleh hak-hak yang lain, namun dapat dilakukan dengan membuat prioritas-prioritas.
- Standart perform, pendekatan hak biasanya melibatkan target-target jumlah dan ada usaha-usaha untuk memonitor capaian, sebagai misal, UN Conference telah membuat terget-target khusus yang kemudian dikonsolidasikan sebagai UN MDG's
- Participation, pendekatan hak tidak hanya bicara soal pemenuhan hak itu, tapi juga jalan bagaimana pemenuhan hak itu dicapai. Masyarakat harus bisa berpartisipasi secara penuh dalam menentukan hak-hak dan menentukan prioritas-prtioritas.
- Empowerment; orang yang dapat meminta hak-haknya akan merasa lebih pada posisi yang power full dan biasanya lebih asertif.
- Akuntabilitas, harus ada mekanisme dan institusi yang mengatur soal akuntabilitas ini, terutama untuk membuktikan janji-janji pemerintah itu dalam usaha pemenuhan hak-hak perempuan


Rekomendasi

Pemerintah
- Deklarasi Universal digunaannya sebagai standar untuk memantau perlindungan hak asasi manusia oleh pemerintah. Caranya: Menilai sejauh mana isi DUHAM dan Konvenan mendasari RPJP dan RPJM dalam setiap tahunnya
- Segera Amandemen UU yang diskriminatif
- Sinkronisasi UU beserta kebijakan lain di bawahnya
- Membuat indikator keterpenuhan hak asasi perempuan
- Melakukan evaluasi atas implementasi UU No. 7 tahun 1984 dan UU yang relevan lainnya
- Mengalokasikan anggaran pemulihan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan di APBN dan APBD

APH
- Menggunakan UU PKDRT sebagai landasan untuk menuntut pelaku KDRT secara hokum
- Menuntut dan memutus maksimal bagi setiap pelaku KDRT (memenuhi rasa keadilan bagi korban)

Masyarakat/indivdu
- Mengubah budaya patriarki dengan cara merekonstruksi cara berfikir yang patriakh
- Tidak menjadikan budaya permisif sebagai alas an pembenar dilakukannya KDRT

Baca Selengkapnya »»
| 1 komentar ]

Donny Danardono*]

Dalam catatan saya sudah sejak 2003 LRC-KJHAM menjalankan monitoring tahunan terhadap kekerasan berbasis jender yang terjadi di Jawa Tengah dan mempublikasikannya. Sekali saja mereka absen, yaitu 2007. Data-data tentang kekerasan jender itu mereka kumpulkan dari berita-berita yang ada di harian Suara Merdeka, KOMPAS, Wawasan, Jawa Pos – Radar Semarang, dan Pos Solo; dan tentunya juga dari kasus-kasus yang dilaporkan ke LRC-KJHAM sendiri.
Mereka menjalankan monitoring itu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Wanita, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai instrumen hukum internasional dan nasional yang terkait dengan berbagai bentuk kekerasan seksual, fisik, psikologis, ekonomis terhadap perempuan (bentuk-bentuk perkosaan dan pelecehan seksual, maupun trafficking).
Maka, monitoring itu bukan sekedar kompilasi maupun kepedulian terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis jender di Jawa Tengah. Secara tak langsung ia juga merupakan sosialisasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita dan berbagai instrumen hukum yang melindunginya. Dalam jangka waktu tertentu masyarakat akan tahu tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap wanita. Monitoring ini mengubah peristiwa menjadi pengetahuan.

Dari Peristiwa Menjadi Pengetahuan: artikulasi kuasa dalam koran sebagai ruang
Goenawan Mohamad – wartawan, salah seorang pendiri majalah Tempo, dan penyair – pernah mengatakan setiap pembaca koran punya kecenderungan mengabaikan berita-berita yang tiap pagi ia baca. Berita-berita itu mengalir terlalu deras dan tak juga mampir. Ia mengharapkan seorang juru kisah – dalam hal ini penulis cerita pendek di berbagai koran – bisa menggantikan peran wartawan. Para penulis cerita pendek ini akan menebus kembali pemberitaan fragmen-fragmen kehidupan yang mengalir terlalu deras itu di koran-koran:

Ada momen ketika fragmen-fragmen kehidupan datang dengan deras dalam pemberitaan dalam pemberitaan, terserak-serak, dan tiap kali terancam akan hanyut oleh arus waktu (meskipun kelak mungkin akan menjadi anasir dari yang disebut “sejarah”). Dalam keadaan seperti itu, “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat” – untuk memakai kalimat masygul Walter Benjamin. Sebagai alternatif, sang juru kisah datang. Tiap fragmen boleh dikatakan punya peluang untuk ditebus kembali. Sebuah bentuk lain, khususnya cerita pendek, bisa melakukannya.

Walau demikian, Goenawan Mohamad mencatat bahwa tak semua cerita pendek di KOMPAS bisa menjadi penebus pemberitaan di KOMPAS yang mengalir terlalu deras itu. Tak sedikit cerita pendek yang ditulis sama realisnya dengan berita-berita koran. Cerita pendek-cerita pendek itu hanya menyajikan informasi seperti halnya pemberitaan. Maka isi-nya tak juga mampir di benak dan hati pembacanya:

Di tengah unggunan berita yang diletakkan di koran-koran, kita tak selamanya menemukan sebuah cerita pendek yang membawa kita ke sebuah pengalaman alternatif. Ada cerita pendek yang ditulis dan dimuat, tapi yang kita dapatkan tetap sederet informasi, tanpa mengalami metamorfosis. Dalam hal itu cerita pun praktis menjadi sebuah kotak wadah belaka, dengan apa seorang penulis memasukkan pikirannya. Kenapa orang menulis cerita pendek? Kenapa tidak menulis artikel, editorial, surat pembaca, brosus – hal-hal yang juga penting, jika yang hendak disampaikan adalah informasi, atau penjelasan, atau statemen politik?

Menurutnya, cerita pendek yang baik (yang berpotensi menebus kegagalan berita-berita mampir di benak dan hati pembaca) harus mengakhiri sifat fragmen informasi dari berita-berita koran. Caranya adalah dengan menghapuskan batas ‘baru’ dan ‘lama’ berita. Atau menghapuskan batas cerita pendek sebagai sebuah “bentuk” bertutur tertentu dengan “isi” cerita pendek itu sendiri. Sehingga menikmat cerita pendek adalah sekaligus menikmati “bentuk” dan “isi”. Hanya dengan cara ini cerita pendek akan menjadi peristiwa literer yang berkesan, yaitu menjadi penebus berita-berita koran yang fragmentaris, yang mengalir terlalu deras dan tak hendak mampir itu:

Berbeda dengan berita, kisah yang datang kemudian tidak dimaksudkan menambah atau memperbaiki apa yang sebelumnya. Masing-masing berdiri sendiri. Ketika pengisah datang dan menggantikan pewarta, dan kisah pun lahir; wujud yang sampai kepada kita mnejadi berarti justru karea ia telah meniadakan batas “baru” dan “lama”. Penebusan kembali itu berlangsung dalam sebuah proses yang umumnya disebut “bentuk”. [...]. “Isi” menjadi “bentuk”, dan “bentuk” menjadi “isi”. [...]. Dengan begitu sebuah cerita pendek menjadi peristiwa literer.

Pada dasarnya apa yang disampaikan oleh Goenawan Mohamad tersebut bukan sekedar bagaimana menulis cerita pendek yang baik. Ia terutama mau menyampaikan bagaimana cerita pendek di koran bisa mengartikulasikan makna-makna berbagai berita di koran. Tepatnya, tentang bagaimana cerita pendek dan berita-berita sebagai bentuk-bentuk kuasa (wacana) yang berbeda, yang “seharus” bisa saling mengartikulasikan dalam sebuah koran sebagai sebuah ruang pemberitaan. Sehingga baik berita koran maupun cerita pendek berhenti menjadi peristiwa dan berubah menjadi pengetahuan. Berita-berita dan cerita pendek bisa saling menebus kekurangan masing-masing.

Mengartikulasikan Peristiwa Kekerasan Jender sebagai Pengetahuan: Monitoring Tahunan LRC-KJHAM
Disadari atau tidak tampaknya LRC-KJHAM tahu, bahwa berita-berita koran tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah mengalir terlalu deras dan sulit mampir di benak pembacanya. Untuk itu mereka membuat monitoring tahunan tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita di Jawa Tengah dan mempublikasikannya. Maka, seperti sebuah cerita pendek yang baik, monitoring LRC-KJHAM ini menebus kembali berita-berita koran yang mengalir terlalu deras, maupun kasus-kasus yang mereka tangani yang nyaris jauh dari pengetahuan publik. Monitoring ini mengubah peristiwa kekerasan terhadap perempuan menjadi pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan. Sehingga pada waktunya ia membantu khalayak mencegah kekerasan terhadap wanita.
Perubahan dari peristiwa kekerasan terhadap wanita menjadi pengetahuan tentang kekerasan terhadap wanita tampak dari cara LRC-KJHAM menyeleksi peristiwa dan melaporkannya. Mereka “membaca” – dan dengan demikian menyeleksi – peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional dan nasional yang mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita dan yang bisa melindungi wanita. Dengan cara ini proses monitoring ini tak hanya mengkompilasikan kasus-kasus kekerasan terhadap wanita, tapi terutama juga menyebarkan pengetahuan “baru” tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita kepada masyarakat, dan juga para penegak hukum.
Misalnya pada monotoring 2007 secara rapi LRC-KJHAM membuat pemilahan bentuk-bentuk kasus kekerasan terhadap wanita di Jawa Tengah. Mulai dari perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual terhadap perempuan, kekerasan terhadap prostitut perempuan, kekerasan terhadap buruh migran perempuan, dan perdangan perempuan.
Pada masing-masing bentuk kekerasan tersebut mereka mengartikulasikan bentuk pemberitaan dari media massa tentangnya. Artikulasi itu mereka lakukan dalam bentuk kutipan yang kemudian mereka masukkan dalam BOX KASUS. Misalnya, mereka mengutip pemberitaan Wawasan – sebuah harian sore di Semarang – tentang perkosaan ayah terhadap putri kandungnya sebagai berikut:











Teknik kutipan yang kemudian dimasukkan dalam BOX KASUS ini tak hanya mengingatkan orang tentang kasus tersebut, tapi juga mengingatkan ayah sangat mungkin memerkosa anaknya dan kasus itu terjadi di Jawa Tengah. Mereka kemudian menyampaikan jumlah kasus perkosaan di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Tengah, relasi antara pemerkosa dan korban (kebanyakan pemerkosa adalah orang yang dikenal akrab oleh korbannya, yaitu tetangga, teman, orang tua, kepala sekolah, guru sekolah, majikan, dan kakak ipar. Hal ini membuktikan, bahwa perkosaan terjadi bukan karena hasrat seksual yang besar pada pria atau wanita korban yang berpenampilan seronok, tapi karena relasi-kuasa-gender yang timpang). Mereka juga menyampaikan usia pemerkosa dan korbannya. Yang mengerikan adalah ternyata 11 orang korban masih berusiah di bahwa lima tahun. Sementara 32 orang pemerkosa berusia antara 6 – 18 tahun. Catatan monitoring seperti ini tak hanya meminta kewaspadaan siapa siaja – terutama aparat penegak hukum – untuk mengetahui siapa yang potensial menjadi korban perkosaan dan pemerkosa. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus perkosaan juga beragama, yaitu mulai dari kekeluargaan, kedinasan, dilaporkan ke kepolisian, di periksa di pengadilan, ada juga yang mencabut laporan, tapi yang mencengangkan ada juga yang membiarkan. Dilaporkan juga besar tuntutan jaksa dan vonis hakim terhadap pemerkosa (mulai dari 2 tahun sampai seumur hidup). Tak kalah menariknya monitoring ini juga dilakukan terhadap strategi pemerkosaan (mulai dari iming-iming (janji) memberi permen, mainan, uang, ataupun ancaman kekerasan). Pengetahuan tentang strategi perkosaan ini terlalu penting untuk diabaikan oleh setiap orang, khususnya para wanita.
LRC-KJHAM juga memonitor hal-hal yang kurang lebih sama untuk kasus-kasus lainnya. Walau demikian ada juga kelemahaman dari proses monitoring ini. Misalnya, mereka memasukkan berbagai hal yang agak berbeda dalam satu tabel yang sama. Barang tentu hal ini akan membingungkan pembaca laporan monitoring ini. Misalnya, mereka menganggap kasus buronnya pemorkosa sebagai “bentuk penyelesaian kasus perkosaan” dan memasukkan dalam tabel yang sama dengan bentuk penyelesaian “dilaporkan ke kepolisian”, “diselesaikan secara kekeluargaan”, “diselesaiakan secara kedinasan” ataupun “pencabutan laporan”. Mereka juga memasukkan proses-proses penyelesaian di tingkat kepolisian dengan pelaporan ke polisi. Sesuatu yang membingungkan.


Tabel 5 : Penyelesaian Kasus-Kasus Perkosaan di Jawa Tengah :

No Penyelesaian kasus Kasus
1 Di Laporkan Polisi 14
2 Pelaku Buron Polisi 7
3 Pelaku Diamankan Polisi 2
4 Di Tangkap /Di tahan 75
5 Pemeriksaan Polisi 16
6 Penyidikan Polisi 12
7 Keluarga Mencabut Laporan -
8 Proses Persidangan 6
9 Putusan Pengadilan /Vonis 9
10 Kekeluargaan 1
11 Tidak ada penyelesaian (dibiarkan) 2
12 Kedinasan 1
13 Mencabut laporan 1
Jumlah 146 Kasus

artikel ini dipresentasikan tanggal 10 Desember 2008 di Gedung Serba Guna DPRD Jawa Tengah

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Sebagai pribadi yang dilahirkan dan dibesarkan di Pesantren salaf yang kuat dengan tradisinya. Gus Dur cukup berhasil memposisikan antara agama dengan pemikiran-pemikiran modern dan isu-isu kemanusiaan global seperti perdamaian, kemiskinan, pluralisme, demokrasi dan HAM. Menurutunya tidak ada pertentangan antara nilai-nilai agama dengan nilai-nilai universal HAM. Dengan demikian ketaqwaan /atau kepatuhan sesesorang terhadap nilai dan ajaran agamanya secara otomatis akan diikuti dengan penghormatan setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai HAM. Disinilah visi agama sebagai rahmatal lil alamin atau pembawa manfaat, kebaikan, kesejahteraan dan perdamaian bagi seluruh alam, seluruh mahluk termasuk seluruh umat manusia (universal) mampu dijabarkan dan dijalankan tanpa harus melakukan tindakan-tindakan pemaksaan dan kekerasan yang dibenci agama.
Gus Dur mampu mencapai tingkat pemahaman yang utuh –tidak terpisah-pisah terhadap nilai-nilai HAM dan konsisten (istiqomah) dalam pemikiran dan tindakan perjuanganya. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia melihatnya secara parsial, sehingga yang terlihat dari sosok Gus Dur hanyalah peduli terhadap masalah-masalah perdamaian, pluralisme, demokrasi dan pembelaan kaum minoritas ansih. Pada hal ia juga memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Gus Dur juga berupaya merealisasikan pemikiran-pemikiran tersebut melalui tindakan-tindakan kongkret pembelaan hak asasi perempuan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tindakan-tindakan tersebut, diantaranya ; (i) Penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (RUU KdRT) yang selanjutnya disyahkan pada era pemerintahan Megawati; (ii) Perlawananannya terhadap poligami dan penggunaan Al-Qur’an /agama untuk pembenaranya dan mengatakan orang yang berpoligami adalah orang yang tidak paham Al-Qur’an; (iii) Perlawanannya terhadap fatwa haram tentang kepimpinan perempuan termasuk presiden perempuan; (iv) Penerapan kebijakan affirmative action untuk perempuan utamanya di partai politik yang didirikannya; (v) Bersama isterinya mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati untuk pemberdayaan dan perluasan wacana kesetaraan hak perempuan; (vi) Penolakannya terhadap peraturan-peraturan daerah /perda yang mengkriminalkan tubuh perempuan, misalnya keharusan perempuan termasuk non muslim menutup aurat dan memakai jilbab, larangan keluar malam bagi perempuan; (vii) Mendorong dilakukanya dekonstruksi penafsiran terhadap teks-teks keagamaan /Islam yang melanggar atau berpotensi melanggar hak asasi perempuan utamanya menyangkut masalah relasi perempuan dengan laki-laki di sector domestic dan masalah kepemimpinan perempuan; (viii) pembelaanya terhadap upaya kriminalisasi hak politik, sosial dan budaya Inul Daratista; (ix) Pembelaanya terhadap perjuangan perempuan korban 1965; (x) Penolakanya terhadap UU tentang Pornografi dan Pornoaksi.
Pemikiran dan tindakan nyata tersebut adalah bukti bahwa Gus Dur adalah pembela hak asasi perempuan dan bagian dari gerakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Nilai-nilai keadilan gender tersebut patut untuk terus dipromosikan dan dilanjutkan oleh siapa saja, termasuk pemimpin negara, para tokoh agama dan generasi muda baik dari kalangan Muslim, Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu maupun aliran kepercayaan.
Melalui Peringatan 7 Hari Wafatnya Gus Dur dengan ‘Doa Lintas Iman” ini, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak hendak mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa melanjutkan dan melaksanakan pemikiran-pemikiran almarhum utamanya dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia baik yang terjadi di wilayah domestic maupun public jauh lebih penting ketimbang sibuk membicarakan soal pengharggan untuk Gus Dur. Sesegera mungkin Pemerintah RI mengambil tindakan untuk mengamandemen segala peraturan kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah yang mendiskriminasikan perempuan serta mengambil tindakan nyata dan tepat untuk percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan atau percepatan kesetaraan gender yang diwujudkan dalam agenda-agenda pembangunan nasional dan daerah. Tindakan ini perlu dan penting untuk segera dilakukan sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai keadilan gender yang telah diperjuangkan almarhum Gus Dur.

Semarang, 5 Januari 2009.
Koordinator Aksi

Prof. Agnes Widanti, SH.,MH

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Oleh :
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM)
Jl. Panda Barat III No.1 Semarang Telp./Fax (024) 6723083

Dalam rangka :
Memperingati 10 Desember Sebagai Hari HAM Internasional


“Lambannya Perlindungan Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan”


Dalam rentang waktu 12 bulan (November 2008 – Oktober 2009), LRC-KJHAM Semarang mencatat 614 kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang terjadi di Jawa Tengah yang bersumber dari pengaduan kasus ke LRC-KJHAM (104 kasus) dan pemberitaan kasus di 5 media massa yaitu Kompas, Suara Merdeka, Jawa Pos, Wawasan dan Solo Pos (510 kasus). Dari 614 kasus kekerasan yang tercatat terdapat 1091 perempuan korban. Mereka mengalami penderitaan fisik, psikis, seksual, serta perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang bahkan kematian. Dari 1091 perempuan korban, tercatat 48 korbannya meninggal dunia akibat sadisnya kekerasan yang dialami seperti dibunuh, ditusuk, dibakar, diracun serta akibat dari lemahnya perlindungan hak korban dari Pemerintah.
Dari 614 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Jawa Tengah, kasus terbanyak adalah kasus perkosaan dengan jumlah 210 kasus, 338 pelaku, 232 korban dan 5 korbanya meninggal dunia karena disiksa dan dibunuh setelah diperkosa. Kasus kedua terbanyak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga / KdRT yaitu 149 kasus, 149 pelaku, 149 korban dan 16 korbannya meninggal. Kasus ketiga terbanyak adalah kasus kekerasan dalam pacaran /KdP yaitu 101 kasus, 126 pelaku, 119 korban dan 13 korbannya meninggal. Kasus keempat adalah kasus kekerasan atau pelanggaran terhadap perempuan prostitute, tercatat 71 kasus dengan 434 korban. Kasus kekerasan terhadap prostitute paling banyak dilakukan oleh aparat pemerintah seperti Satpol PP, kepolisian, serta dinas pemerintah dan masyarakat. Kasus kelima adalah kasus pelanggaran hak buruh migrant perempuan / TKW, tercatat 44 kasus dengan 77 korban dan 14 korbannya meninggal. Kasus keenam adalah kasus perdagangan perempuan, tercatat 23 kasus, 54 pelaku dan 59 korban. Kasus ketujuh adalah kasus pelecehan seksual, tercatat 16 kasus, 21 korban dan 22 pelaku.
Kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang terjadi pada tahun 2009 di Jawa Tengah meningkat sebesar 37,7% dari kasus yang tercatat pada tahun 2008 (2008 : 383 kasus, 2009 : 614 kasus). Kasus perkosaan misalnya meningkat 44,3 % dari tahun 2008 (2008 : 17 kasus, 2009 : 210 kasus). Jumlah perempuan korban kekerasan yang meninggal pun meningkat, dari 38 perempuan korban yang meninggal pada tahun 2008 menjadi 48 perempuan yang meninggal pada tahun 2009.
Dari 35 Kabupaten /Kota di Jawa Tengah, Kota Semarang tercatat sebagai daerah dengan kasus Kekerasan terhadap Perempuan terbanyak /paling tinggi yaitu 120 kasus, kemudian Kota Surakarta tercatat 30 kasus, dan Kabupaten Kendal 26 kasus. Kota Semarang mengalami peningkatan kasus sebesar 23% dari tahun 2008 dan Kota Surakarta mengalami peningkatan kasus 20% dari tahun 2008.
Selanjutnya dari 614 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2009 di Jawa Tengah, baru 22 kasus yang telah divonis Pengadilan Negeri. Kabupaten Wonogiri tercatat sebagai daerah dengan jumlah kasus terbanyak yang telah di vonis oleh Pengadilan Negeri yaitu 6 kasus, dilanjutkan Kabupaten Purworejo tercatat 4 kasus yang telah divonis Pengadilan Negeri, kemudian Kota Surakarta tercatat 3 kasus yang telah di vonis Pengadilan Negeri. Kota Semarang yang tercatat sebagai daerah dengan kasus kekerasan terhadap perempuan terbanyak di Jawa Tengah hanya tercatat 2 kasus saja yang telah divonis Pengadilan Negeri. Vonis tertinggi untuk pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah 14 tahun penjara untuk kasus perkosaan di Pengadilan Negeri Surakarta, sedangkan vonis terendah adalah percobaan yaitu hukuman penjara 6 bulan dengan masa percobaan 3 bulan untuk kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Banyumas.
Fakta-fakta tersebut diatas menunjukkan semakin meluasnya bentuk-bentuk penyerangan kepada perempuan berdasarkan jenis kelamin /seksualitas dan peranan setereotype perempuan baik yang dilakukan negara, kelompok masyarakat dan perorangan yang didukung dengan rendahnya perlindungan hokum kepada perempuan korban sebagimana terlihat pada kecilnya kasus /pelaku yang berhasil di ajukan ke persidangan di pengadilan untuk mendapatkan hukuman, sehingga menimbulkan hambatan structural yang besar bagi upaya-upaya perlindungan dan penegakan hak-hak asasi perempuan khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender di Jawa Tengah.
Meskipun Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah menjalankan berbagai tindakan untuk mendorong pemajuan pemenuhan dan penikmatan hak asasi perempuan korban kekerasan melalui perwujudan Pusat Pelayaan Terpadu dan Peraturan Daerah No.3 tahun 2009 tentang tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak, namun belum mampu menghapuskan hambatan-hambatan structural, seperti praktek diskriminasi oleh aparat penegak hokum; terbatasnya produk, fasilitas dan layanan PPT; kualitas layanan yang tidak mengacu pada standart tertinggi untuk realisasi penuh hak korban; rendahnya dukungan dan status kebijakan; alokasi anggaran yang rendah; korupsi; buruknya koordinasi kewenangan antar instansi dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro perempuan atau netral gender yang masih dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah seperti Perda No. 10 tahun 2009 tentang Jaminan Kesehatan Daerah.
LRC-KJHAM memandang bahwa masalah-masalah structural tersebut terjadi karena strategi pemajuan realisasi hak asasi perempuan di Jawa Tengah tidak dikaji dan dikembangkan berdasar kerangka hokum HAM internasional dan Nasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW, Konvensi Hak Sipil dan Politik /ICCPR dan Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya /ICESCR yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.7 /1984, UU No. 11/2005 dan UU No.12/2005, sehingga upaya-upaya yang dilakukan belum mampu menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan atau belum mampu meningkatkan kemajuan penikmatan hak asasi oleh perempuan khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender di Jawa Tengah.
Melalui hari Internasional Hak Asasi Manusia 10 Desember 2009, LRC-KJHAM mengingatkan kembali kewajiban dan tanggungjawab negara terhadap pelaksanaan perlindungan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan korban kekerasan berdasar standart tertinggi untuk realisasi penuh hak asasi korban. Oleh karena itu LRC-KJHAM Semarang mendesak Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten /Kota di Jawa Tengah untuk ;
1. Segera mengkaji dan mengembangkan kebijakan pemajuan realisasi hak asasi perempuan korban kekerasan berbasis gender berdasar instrument hokum HAM internasional dan nasional
2. Mengambil tindakan tepat dan kuat untuk realisasi /perwujudan SDM, fasilitas dan layanan PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) agar mampu berfungsi untuk realisasi penuh hak korban berdasar standart tertinggi
3. Mengalokasikan anggaran public yang memedahi untuk mendukung realisasi penuh hak asasi perempuan korban kekerasan berbasis gender berdasar standart tertinggi di Jawa Tengah
4. Mendorong peningkatan dukungan status kebijakan setingkat Peraturan Daerah di Kabupaten /Kota di Jawa Tegah untuk menjamin dan memastikan setiap hak dapat dinikmati dan digunakan perempuan korban kekerasan berbasis gender di Jawa Tengah
5. Mengkaji dan mengamandemen peraturan kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan termasuk kebijakan netral gender baik yang dikeluarkan Pemerintah Propinsi maupuan Kabupaten /Kota di Jawa Tengah
6. Mendorong integrasi analisis gender dan hak asasi manusia ke dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan untuk menghapus diskriminasi atau kesenjangan kesejahteraan yang dialami perempuan melalui realisasi hak asasi yang adil sebagai cara untuk mengurangi kerentanan – penyerangan kepada perempuan di Jawa Tengah.

Semarang, 10 Desember 2009

Legal Resources Center untuk
Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia /LRC-KJHAM Semarang



Evarisan, SH, MH
Direktur

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Di Kota Semarang

Legal Resources Center Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)
Jl. Panda Barat III /1 Semarang (024) 6723083
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong langkah-langkah yang lebih maju dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dilakukan secara serentak di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia dengan beragam aktivitas yang dimulai pada tanggal 25 November sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dengan tujuan untuk mendorong pemajuan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dimana dalam sepanjang sejarah peradaban manusia, kaum perempuan terus mengalami berbagai bentuk diskriminasi seperti kekerasan.
Pembunuhan keji aktivis politik perempuan (Patria, Minerva & Maria Teresa) yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan pada 25 November 1960 oleh dictator Republik Dominika, Rafael Trujillo misalnya telah mendorong keprihatinan dan kecemasan internasional terhadap meluasnya bentuk-bentuk penyerangan berdasarkan jenis kelamin /seksualitas dan peranan setereotype perempuan baik yang dilakukan negara, kelompok masyarakat dan perorangan yang mengakibatkan kematian. Untuk mengingatkan kewajiban dan tanggungjawab negara terhadap pelaksanaan perlindungan HAM atas dasar non diskriminasi termasuk berdasar gender, maka tanggal tersebut kemudian dideklarasikan dan ditetapkan PBB sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
LRC-KJHAM sebagai NGOs yang focus pada pembelaan hak-hak perempuan dan sebagai bagian gerakan internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan, telah memulai kegiatan ‘Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan’ pada 2000. Program ini kemudian diadopsi ditingkat nasional dan dikoordinasi oleh Komnas Perempuan Indonesia.
Berdasar pengalaman LRC-KJHAM yang bekerja di tingkat lokal Jawa Tengah termasuk di Semarang, moment Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan penting untuk merefleksikan tindakan-tindakan yang telah diambil Pemerintah Indonesia khususnya Pemerintah Kota Semarang sudah tepat dan memiliki kapasitas yang cukup kuat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan penikmatan hak asasi perempuan korban kekerasan di Kota Semarang.
Data penanganan kasus LRC-KJHAM memperlihatkan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi di Kota Semarang dan tertinggi di Jawa Tengah. Tahun 2006 tercatat 102 kasus, tahun 2007 tercatat 90 kasus dan tahun 2008 tercatat 92 kasus. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) dan perkosaan anak perempuan adalah yang terbesar di Kota Semarang.
Meskipun terdapat kemajuan tindakan yang diambil terutama dalam program remediesn (pemenuhan hak korban) seperti Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk perempuan korban kekerasan hingga pada level Kecamatan, namun tindakan-tindakan pencegahan dan perlindungan hak berdasar ketentuan hokum yang kuat setingkat Peraturan Daerah (Perda) masih belum menjadi perhatian dan prioritas Pemerintah Kota Semarang. Setidaknya terlihat pada ; (i) kecilnya alokasi anggaran public untuk pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan termasuk untuk PPT Kecamatan; (ii) tidak adanya dukungan kebijakan yang kuat setingkat Perda untuk memastikan setiap hak dapat dinikmati dan digunakan perempuan korban; serta (iii) lemahnya penguatan kapasitas kelembagaan pemberdayaan perempuan, seperti ketiadaan SDM, kecilnya anggaran pemberdayaan perempuan dan ketiadaan sarana yang memadahi.
Untuk itu LRC-KJHAM bersama kelompok perempuan korban kekerasan di Kota Semarang mendesak Pemerintah dan DPRD Kota Semarang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah yang menjamin dan memastikan setiap perempuan korban kekerasan di Kota Semarang mendapatkan hak-haknya secara penuh berdasar standart hak yang setinggi-tingginya sebagaimana diatur dan diperintahkan UU NO. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW. LRC-KJHAM dan kelompok perempuan korban kekerasan di Kota Semarang juga memandang berbagai upaya, langkah dan tindakan-tindakan yang telah diambil Pemkot Semarang belum cukup efektif dan memiliki komitmen yang kuat tanpa kepastian hokum setingkat Perda. Bahwa pandangan dan sikap yang menganggap Perda untuk melindungi hak perempuan korban kekerasan di Kota Semarang adalah belum relevan dan belum menjadi prioritas adalah bentuk pengingkaran terhadap fakta-fakta pelanggaran HAM perempuan korban kekerasan dan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Semarang, 25 November 2009
Legal Resources Center
Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia

Evarisan, SH, MH
Direktur

Baca Selengkapnya »»