| 2 komentar ]


Tanggal 25 November-10 Desember 2008 yang lalu, dimana setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menjadi aksi nasional bersama oleh organisasi perempuan yang tersebar di seluruh tanah air. Setidaknya Komnas Perempuan mencatat ada 37 organisasi yang melakukan kampanye pada momen tersebut. Legal Resources Center Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (Lrc-Kjham) yakni sebuah lembaga Hak Asasi Perempuan yang bertempat di Semarang Jawa Tengah, melaporkan hasil Kampanye yang dilakukannya sejak tanggal 24 November-12 Desember 2008.
Berikut laporannya:
Diskusi Publik Laporan Monitoring Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah November 2007 - Oktober 2008
Beberapa waktu yang lalu, Legal Resources Center Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (Lrc-Kjham) meluncurkan laporan monitoring kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah dengan tema “Keterlibatan Negara dalam Melanggengkan Pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan”. Diskusi ini dihadiri oleh Lidya Sasando P dari Pengadilan Negeri Semarang, Dyah Retnowati Astuti dari Kejaksaan Tinggi Kota Semarang, Kombes Pol Endro Wardoyo KABID BINKUM POLDA JATENG, Kepala BP3AKB Sri Mulyanah, Direktur LRC-KJHAM Evarisan S.H, dan Dosen Filsafat Hukum dari Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Doni Danar Dono. Diskusi ini bertempat di ruang Serba Guna DPRD Kota Semarang dan dihadiri lebih dari 100 orang dari unsur LSM, Organisasi Masyarakat, Mahasiswa, Jurnalis, Dinas terkait, serta Kelompok Perempuan Korban.
Sri Mulyanah dari Badan pemberdayaan Perempuan perlindungan anak dan keluarga berencana mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkomitmen untuk menciptakan sebuah masyarakat yang berkeadilan jender, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) bernomor 3 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, dimana pada misi penjelasan tentang konsep sejahtera secara jelas disebutkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender pada seluruh program pembangunan. “Jadi ini adalah satu komitmen pembangunan jangka panjang 20 tahun ke depan” tegasnya. Masih menurut sri Mulyanah, program ini sudah mulai dijalankan, setidaknya untuk melaksanakan pasal 5 “Perubahan pola perilaku sosial budaya dalam relasi laki-laki dan perempuan“, “Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, tengah melakukan program pengarusutamaan jender dibidang pendidikan. Dimana pengintegrasian presfektif jender ke dalam kurikulum pembelajaran sudah dimulai dari TK sampai SMA. Selain itu juga mengembangkan model pendidikan keluarga yang responsif jender, bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga Semarang dan Tokoh Agama dalam mengembangkan model relasi jender yang setara dalam keluarga serta Mengembangkan model penanggulangan kekerasan berbasis jender di sekolah”.
Sementara itu direktur LRC-KJHAM Evarisan menjelaskan bahwa peningkatan kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi. Data yang dihimpun lembaga ini menunjukkan selama tahun 2008 ada sebanyak 385 kasus yang dilaporkan ke LRC-Kjham. Kasus tersebut meliputi perkosaan 117 kasus, Kekerasan dalam Rumah Tangga 104 kasus pelecehan seksual dan pencabulan 6 kasus, Kekerasan dalam Pacaran 54 kasus, ekspolitasi perempuan prostitusi 51 kasus, eksploitasi terhadap pekerja migran perempuan 39 kasus dan traffiking ada 14 kasus. Dari semua kasus yang dilaporkan, kasus pemerkosaan relatif sulit untuk dibuktikan, karena definisi pemerkosaan pada pasal 285 KUHP hanya menyatakan terjadi pemerkosaan jika ada penetrasi penis ke vagina. Selain itu biasanya kasus pemerkosaan ini sulit untuk sampai dipengadilan karena tidak adanya saksi yang melihat terjadinya pemerkosaan. Padahal dalam Konvenan Hak Asasi Manusia, perkosaan tidak harus dubuktikan dengan adanya saksi tetapi dengan bukti-bukti yang lain yang bisa digunakan.
Pawai Becak
Sedianya pawai akan dilaksanakan dengan menggunakan kereta kelinci, namun karena transportasi ini hanya boleh dioperasikan di tempat-tempat wisata, akhirnya pawai dilakukan dengan menggunkan transportasi yang ramah lingkungan yakni dengan menggunakan becak. Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 25 November 2008 diambil sebagai hari pelaksanaan pawai tersebut. Lebih dari 100 orang yang terdiri dari unsur Pemerintah, Kepolisian, Puskesmas, Pelajar, LSM, Organisasi Masyarakat dan Media turut melakukan pawai yang diawali dari Kantor Balai Kota Semarang (Jl. Pemuda) - Jl. Siliwangi - Jl. Mgr. Sogiyopronoto - Kantor Kecamatan Semarang Barat dan kembali ke Kantor Balai Kota Semarang. Dalam pawai tersebut Kepala BAPEDA Kota Semarang sekaligus meresmikan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di 4 Kecamatan yakni Kecamatan Semarang Utara, Semarang Barat, Pedurungan dan Banyumanik. Pawai becak ini juga dimaksudkan untuk menyuarakan usulan peraturan daerah dan anggaran pada APBD dalam mendukung kegiatan perlindungan hak asasi perempuan korban kekerasan melalui pelayanan terpadu.

Aksi Teaterikal Anti Perdagangan Perempuan dan Anak
Puluhan perempuan mengenakan jarik-kain panjang bermotif, membawa sayur-mayur, yang lainnya membawa ratusan bibit pohon berjalan berbaris rapi sambil meneriakkan ” Traffiking Anak adalah Bentuk Kejahatan Manusia”, “Trafikking NO- Perlindungan Anak YES”, “Hukum Pelaku Trafficking, Sekarang Juga” melakukan long march dari depan hotel Pandanaran di Jl. Pandanaran Semarang-Jawa Tengah menuju alun-alun simpang lima, tepatnya di depan masjid Baiturrohman lalu dilanjutkan ke bundaran air mancur Universitas Diponegor, Semarang. Para perempuan dan juga nampak beberapa laki-laki tersebut ternyata sedang melakukan aksi Teaterikal dalam rangka memperingati hari Anti Perdagangan Anak Internasional pada tanggal 12 Desember 2008. Aksi ini sekaligus untuk mendesak Pemerintah RI menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Nasional Anti Perdagangan Anak.
Aksi ini diikuti puluhan peserta dari unsur jaringan Indonesia ACTs Jawa Tengah dan jurnalis yang mempunyai perhatian serius dalam penghapusan perdagangan anak.
Para peserta aksi teaterikal ini juga melakuan orasi, membagikan selebaran dan juga bibit pohon. Bibit pohon tersebut sebagai lambang seorang anak yang menjadi korban traffiking. Aksi ini berakhir dengan pembacaan ikrar bersama oleh koordinator Lrc-Kjham Evarisan.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Oleh Evarisan, S.H, M.H
Direktur Legal Resources Center untuk Keadlan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang


Saya sudah melaporkan suami saya ke kantor polisi. Sekarang suami saya sudah ditahan. Tapi saya bingung, karena keluarga suami saya terus meneror saya agar saya mencabut laporan di kepolisian. Tetangga-tetangga tidak peduli, mereka malah menganjurkan supaya saya berdamai dan memaafkan suami saya, kalau tidak, saya disuruh pergi dari kampung.


Di atas adalah penggalan pengalaman salah seorang survivor yang didampingi oleh LRC-KJHAM Semarang, yang sudah lebih dari 15 tahun memendam penderitaan atas kejahatan yang dilakukan oleh suaminya.
Kekerasan fisik, pshikis, seksual dan ekonomi diderakan padanya tanpa rasa perikemanusiaan. Tak hanya dia. Anak-anaknya juga tidak luput menjadi sasaran kekejaman suaminya.
Suaminya di tahan polisi, setelah melakukan pengaduan untuk ketiga kalinya. Dua laporan sebelumnya berbuah “berdamai” karena tidak ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian.

Kekerasan Berbasis Jender
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dalam Rekomendasi Umum No. XVI menegaskan, Kekerasan berbasis jender yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap seorang perempuan karena dia adalah Perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional.
Berdasarkan “amanat” PBB tersebut, maka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), termasuk di dalamnya penganiayaan terhadap isteri, adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berbasis jender.
Sebuah tindakan yang melanggar batas etika. Karena ketika menikah, suami menyatakan “sumpah setia” dan akan mempergauli isterinya secara baik di hadapan penghulu dan masyarakat.
Secara hukum, tindakan penganiayaan terhadap perempuan, baik terhadap isterinya maupun bukan, adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Budaya Patriarki
Selama ini, budaya patriarki dalam relasi social sangat mendominasi. Yaitu dominasi laki-laki yang menempatkan posisi perempuan dalam posisi subordinate. Budaya patriarki inilah, yang, ikut mendukung terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Ketika perempuan masih anak-anak, dia menjadi milik Ayahnya, mulai dari memutuskan akan sekolah atau tidak dan harus menikah dengan siapa. Ketika dewasa dan berpacaran, dia menjadi milik pacarnya. Pada saat menikah, perempuan menjadi milik suaminya.
Proses “peralihan” kepemilikan ini yang kemudian dijadikan alasan pembenar bagi laki-laki (bapak, pacar dan suami) untuk melakukan sesuai dengan apa yang mereka ingin lakukan.
Perempuan diharuskan menutup rapat-rapat kekerasan yang menimpa mereka. Karena dalam pandangan masyarakat patriakh, itu adalah aib keluarga dan aib perempuan itu sendiri.
Kebiasaan seperti ini juga telah diyakini oleh masyarakat dan sudah terinternalisasi ke dalam pola pikir dan tingkah laku perempuan. Perempuan dibiasakan untuk bungkam, meski muka lebam dan badan babak belur.
Pun ketika mereka bertemu tetangga dan temannya lalu ditanya apa yang terjadi, dengan meyakinkan –terpaksa-- mereka mengatakan bahwa dia baru saja terpeleset di kamar mandi atau terbentur pintu, keserempet mobil dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman LRC-KJHAM selama mendampingi dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis jender. Perempuan baru berani bertindak –bercerita pada orang tua atau melapor ke LSM atau melapor ke Polisi—setelah usia perkawinannya puluhan tahun.
Jadi, selama perkawinan berlangsung dan selama itu pula dia memendam kekerasan yang dialaminya. Di tahun 2007 ada 91 kasus yang masuk ke LRC-KJHAM. 58 kasus diantaranya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kekerasan secara psikhis juga sering dialami oleh isteri. Mulai dari dikata-katai “pelacur”, ancaman akan dibunuh, dilarang bersosialisasi, diancam akan disantet dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga kekerasan yang bersifat ekonomis. Seperti dilarang bekerja, tidak dinafkahi, dipaksa bekerja dan mengurus rumah tangga (double burden). Kekerasan seksual juga sering dialami, yaitu dengan melakukan hubungan biologis secara paksa serta menggunakan seks toy yang dapat melukai organ reproduksi isteri.
Dalam satu kasus KDRT tidak hanya kekerasan fisik akan tetapi diikuti oleh kekerasan psikis, penelantaran dan seksual. Isteri mengalami kekerasan berlapis.
Namun, meski sering mengalami perlakuan buruk dari suami, korban KDRT lebih memilih diam dan mengalah. Hal ini disebabkan isteri secara ekonomi tergantung, karena selama masa perkawinan akses untuk mendiri secara ekonomi ditutup oleh suami.
Hal lain adalah khawatir akan masa depan anaknya, serta secara psikologis perempuan takut berstatus janda, tidak siap dengan stigma yang biasanya dilekatkan oleh masyarakat, yang sangat memojokkan perepuan. Faktor tersebutlah yang menjadi kendala perempuan jika hendak melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada aparat.
Ada juga masyarakat yang mengucilkan bahkan mengusir perempuan dari lingkungannya. Selain itu, saat melapor ke polisi, pertama-tama polisi menganjurkan supaya isteri berdamai dengan suaminya.
Alasan yang mengemuka agar perempuan (korban) mengurungkan niatnya melaporkan ke polisi, adalah bahwa pelaku bukanlah orang lain melainkan suaminya sendiri serta “apa tidak kasihan dengan anak-anak apabila suami dipenjara?”
Inilah yang menyebabkan perempuan yang menjadi korban KDRT selalu mengurungkan niatnya dan terpaksa pulang kembali ke rumah yang penuh dengan teror dan ancaman atas jiwanya.

Zero Tolerance Policy
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan Zero Tolerance (toleransi nol) untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Artinya, tidak ada alasan sekecil apapun yang mentolelir kekerasan atas perempuan.
Penganiayaan terhadap isteri adalah sebuah kejahatan terhadap perempuan, yang harus diprioritaskan untuk segera diproses oleh aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman), sebagai syarat terpenuhinya rasa kadilan bagi korban.
Dan siapapun (tetangga, saudara, teman, orang tua) yang mengetahui dan melihat kasus KDRT, hendaknya segera melaporkan ke kepolisian. Sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Publik (masyarakat) ikut bertanggung jawab atas kejahatan (kekerasan) yang menimpa perempuan, sebagai dampak dari relasi yang tidak imbang dan merugikan perempuan.
Perempuan tidak harus bungkam dan bisu atas tindak kekerasan yang dialaminya. Perempuan harus melawan, karena perempuan tidaklah lebih rendah dari laki-laki. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga punya hak asasi.[]

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Absenya Tanggungjawab Negara
Fatkhurozi
(Kabag Operasional LRC-KJHAM Semarang)


Sepanjang sejarah peradaban manusia selalu mencatat adanya pengingkaran terhadap hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, bahkan oleh gerakan HAM itu sendiri yang pada umumnya didominasi oleh kaum pria. Tiga peristiwa besar yang mempengaruhi perkembangan HAM terutama konstribusinya terhadap kategorisasi hak asasi (three generation of human rights) yaitu Revolusi Perancis, Revolusi Sosialis dan proses dekolonisasi juga mengabaikan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia.
Revolusi Perancis misalnya, meskipun melibatkan partisipasi aktif dari ribuan perempuan untuk menggulingkan monarkhi dan melahirkan Deklarasi Revolusi Perancis mengenai Hak-hak Manusia (man rights) dan Warganegara, tetapi Deklarasi tersebut telah mengebiri atau tidak memasukkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak manusia, karena pengertian manusia saat itu adalah manusia yang laki-laki (man), sehingga Deklarasi Revolusi Perancis hanya mengatur hak-hak manusia laki-laki. Seorang revolusioner perempuan Perancis yang bernama, Olympe de Gouges kemudian memproklamasikan ‘Hak Perempuan dan Warganegara Perempuan’ untuk mengimbangi Deklarasi Revolusi Perancis mengenai Hak-hak Manusia (laki-laki) dan Warganegara. (Elizabeth Kingdom, ‘Gendering Rights’, Women’s Rights and the Rights of Man, Aberdeen University Press, 1990).
Hingga lahirnya Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusi pada tahun 1948, kemudian Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW pada tahun 1979 dan Deklarasi PBB mengenai HAM di Wina tahun 1993 yang menegaskan bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, tak serta merta mampu menghapuskan diskriminasi terhadap pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pememuhan hak asasi manusia perempuan di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Pelanggaran Hak Terus Berlangsung
Sejak tahun 1984, Pemerintah RI telah meratifikasi 4 konvenan dari 7 konvenan pokok hak asasi perempuan, yaitu Kovenan CEDAW melalui UU No.7/1984, Kovenan mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial melalui UU No.29/1999, Konvenan mengenai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya /ICESCR melalui UU No.11/2005 dan Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik /ICCR melalui UU No.12/2005.
Pasal 3 CEDAW, ICCR dan ICESCR secara tegas memerintahkan Negera peserta untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memastikan pelaksanaan pemenuhan hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam konvenan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Namun faktanya masih terus ditemukan pembatasan, pengurangan dan perampasan hak asasi perempuan di Indonesia.
Salah satu buktinya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan /KtP yang terus meningkat. Di Jawa Tengah saja sejak tahun 2006 telah tercatat 2633 kasus KtP dengan 7804 korban dan 125 korbanya meninggal dunia akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya (Laporan LRC-KJHAM 2008).
Meski kasus dan korban meningkat namun belum terdapat perlindungan hukum yang tepat dan efektif. Ruang lingkup pemidanaan dan aturan pembuktian kasus KtP juga masih bertentangan dengan perintah Konvenan Hak Asasi yang mengakibatkan ketidakmampuan hukum nasional untuk melindungi korban dan untuk menyelidiki, mengadili serta menghukum pelakunya melalui pengadilan yang kompeten. Bahkan terdapat beberapa jenis /bentuk KtP yang tidak memiliki jaminan perlindungan hukum, seperti kekerasan yang terjadi dalam relasi intim diluar /sebelum perkawinan (kekerasan dalam relasi pacaran), pelecehan seksual dan perkosaan.
Dalam KUHP maupun dalam ketentuan perundangan nasional lainya tentang kejahatan terhadap perempuan tidak mengatur ketentuan tentang kekerasan dalam relasi pacaran bahkan dalam UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pada hal kekerasan tersebut dalam rumpun KtP dikategorisasikan sebagai kekerasan dalam wilayah domestik. Demikian pula dengan pelecehan seksual dan perkosaan, terdapat perbedaan unsur dan ruang lingkup yang sangat jauh dengan norma hak asasi Internasional sehingga beberapa kasus tidak dapat diajukan ke persidangan di pengadilan.
Akibatnya perempuan semakin rentan dan kekerasan terus meningkat. Hak-hak asasi yang fundamental pun terampas seperti hak hidup, hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak untuk terbebas dari penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi /sewenang-wenang atau merendahkan mertabat, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun, hak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional yang kompeten, hak untuk bebas bergerak, dan hak atas akses yang sama untuk memperoleh layanan umum.
Fakta ini semakin mempertegas Rekomendasi Umum PBB No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasan dasarnya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Gagal Realisasikan Tanggungjawab
Dengan demikian Pemerintah telah gagal untuk merealisasikan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagaimana diperintahkan pasal 1 – 5 CEDAW untuk menerapkan prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia, menempuh langkah-langkah konstitusional, legal dan administratif yang tepat untuk menjamin kesetaraan perempuan dengan laki-laki, menyediakan mekanisme remedies (pemulihan) serta sanksi-sanksi bagi tindakan diskriminasi publik maupun pribadi dan untuk menarik (repeal) perundang-undangan yang diskriminatif serta mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan praktek-praktek dan stereotype yang beresiko mengancam ataupun benar-benar mengancam dinikmatinya hak asasi oleh perempuan.
Pemerintah Indonesia juga gagal menjalankan Resolusi Komisi HAM PBB tahun 1994/45 yang menyatakan Pemerintah bertanggungjawab atas tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh perorangan, serta gagal menjalankan prinsip-prinsip Nuremberg, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasinal bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
Kegagalan-kegagalan tersebut terjadi salah satunya dikarenakan Pemerintah Indonesia tidak serius menjalankan prinsip, ‘to the maximum available resources’, ‘achieving progressively the full realization’, dan ‘by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures’ dalam menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah sengaja tidak menjalankan dan tidak memenuhi hak-hak asasi perempuan. Setiap pengabaian dan kesengajaan untuk mengurangi, membatasi dan menghilangkan hak asasi perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Baca Selengkapnya »»