Oleh Evarisan, S.H, M.H
Direktur Legal Resources Center untuk Keadlan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang
Saya sudah melaporkan suami saya ke kantor polisi. Sekarang suami saya sudah ditahan. Tapi saya bingung, karena keluarga suami saya terus meneror saya agar saya mencabut laporan di kepolisian. Tetangga-tetangga tidak peduli, mereka malah menganjurkan supaya saya berdamai dan memaafkan suami saya, kalau tidak, saya disuruh pergi dari kampung.
Di atas adalah penggalan pengalaman salah seorang survivor yang didampingi oleh LRC-KJHAM Semarang, yang sudah lebih dari 15 tahun memendam penderitaan atas kejahatan yang dilakukan oleh suaminya.
Kekerasan fisik, pshikis, seksual dan ekonomi diderakan padanya tanpa rasa perikemanusiaan. Tak hanya dia. Anak-anaknya juga tidak luput menjadi sasaran kekejaman suaminya.
Suaminya di tahan polisi, setelah melakukan pengaduan untuk ketiga kalinya. Dua laporan sebelumnya berbuah “berdamai” karena tidak ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian.
Kekerasan Berbasis Jender
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dalam Rekomendasi Umum No. XVI menegaskan, Kekerasan berbasis jender yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap seorang perempuan karena dia adalah Perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional.
Berdasarkan “amanat” PBB tersebut, maka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), termasuk di dalamnya penganiayaan terhadap isteri, adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berbasis jender.
Sebuah tindakan yang melanggar batas etika. Karena ketika menikah, suami menyatakan “sumpah setia” dan akan mempergauli isterinya secara baik di hadapan penghulu dan masyarakat.
Secara hukum, tindakan penganiayaan terhadap perempuan, baik terhadap isterinya maupun bukan, adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Budaya Patriarki
Selama ini, budaya patriarki dalam relasi social sangat mendominasi. Yaitu dominasi laki-laki yang menempatkan posisi perempuan dalam posisi subordinate. Budaya patriarki inilah, yang, ikut mendukung terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Ketika perempuan masih anak-anak, dia menjadi milik Ayahnya, mulai dari memutuskan akan sekolah atau tidak dan harus menikah dengan siapa. Ketika dewasa dan berpacaran, dia menjadi milik pacarnya. Pada saat menikah, perempuan menjadi milik suaminya.
Proses “peralihan” kepemilikan ini yang kemudian dijadikan alasan pembenar bagi laki-laki (bapak, pacar dan suami) untuk melakukan sesuai dengan apa yang mereka ingin lakukan.
Perempuan diharuskan menutup rapat-rapat kekerasan yang menimpa mereka. Karena dalam pandangan masyarakat patriakh, itu adalah aib keluarga dan aib perempuan itu sendiri.
Kebiasaan seperti ini juga telah diyakini oleh masyarakat dan sudah terinternalisasi ke dalam pola pikir dan tingkah laku perempuan. Perempuan dibiasakan untuk bungkam, meski muka lebam dan badan babak belur.
Pun ketika mereka bertemu tetangga dan temannya lalu ditanya apa yang terjadi, dengan meyakinkan –terpaksa-- mereka mengatakan bahwa dia baru saja terpeleset di kamar mandi atau terbentur pintu, keserempet mobil dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman LRC-KJHAM selama mendampingi dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis jender. Perempuan baru berani bertindak –bercerita pada orang tua atau melapor ke LSM atau melapor ke Polisi—setelah usia perkawinannya puluhan tahun.
Jadi, selama perkawinan berlangsung dan selama itu pula dia memendam kekerasan yang dialaminya. Di tahun 2007 ada 91 kasus yang masuk ke LRC-KJHAM. 58 kasus diantaranya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kekerasan secara psikhis juga sering dialami oleh isteri. Mulai dari dikata-katai “pelacur”, ancaman akan dibunuh, dilarang bersosialisasi, diancam akan disantet dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga kekerasan yang bersifat ekonomis. Seperti dilarang bekerja, tidak dinafkahi, dipaksa bekerja dan mengurus rumah tangga (double burden). Kekerasan seksual juga sering dialami, yaitu dengan melakukan hubungan biologis secara paksa serta menggunakan seks toy yang dapat melukai organ reproduksi isteri.
Dalam satu kasus KDRT tidak hanya kekerasan fisik akan tetapi diikuti oleh kekerasan psikis, penelantaran dan seksual. Isteri mengalami kekerasan berlapis.
Namun, meski sering mengalami perlakuan buruk dari suami, korban KDRT lebih memilih diam dan mengalah. Hal ini disebabkan isteri secara ekonomi tergantung, karena selama masa perkawinan akses untuk mendiri secara ekonomi ditutup oleh suami.
Hal lain adalah khawatir akan masa depan anaknya, serta secara psikologis perempuan takut berstatus janda, tidak siap dengan stigma yang biasanya dilekatkan oleh masyarakat, yang sangat memojokkan perepuan. Faktor tersebutlah yang menjadi kendala perempuan jika hendak melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada aparat.
Ada juga masyarakat yang mengucilkan bahkan mengusir perempuan dari lingkungannya. Selain itu, saat melapor ke polisi, pertama-tama polisi menganjurkan supaya isteri berdamai dengan suaminya.
Alasan yang mengemuka agar perempuan (korban) mengurungkan niatnya melaporkan ke polisi, adalah bahwa pelaku bukanlah orang lain melainkan suaminya sendiri serta “apa tidak kasihan dengan anak-anak apabila suami dipenjara?”
Inilah yang menyebabkan perempuan yang menjadi korban KDRT selalu mengurungkan niatnya dan terpaksa pulang kembali ke rumah yang penuh dengan teror dan ancaman atas jiwanya.
Zero Tolerance Policy
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan Zero Tolerance (toleransi nol) untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Artinya, tidak ada alasan sekecil apapun yang mentolelir kekerasan atas perempuan.
Penganiayaan terhadap isteri adalah sebuah kejahatan terhadap perempuan, yang harus diprioritaskan untuk segera diproses oleh aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman), sebagai syarat terpenuhinya rasa kadilan bagi korban.
Dan siapapun (tetangga, saudara, teman, orang tua) yang mengetahui dan melihat kasus KDRT, hendaknya segera melaporkan ke kepolisian. Sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Publik (masyarakat) ikut bertanggung jawab atas kejahatan (kekerasan) yang menimpa perempuan, sebagai dampak dari relasi yang tidak imbang dan merugikan perempuan.
Perempuan tidak harus bungkam dan bisu atas tindak kekerasan yang dialaminya. Perempuan harus melawan, karena perempuan tidaklah lebih rendah dari laki-laki. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga punya hak asasi.[]
[18.34
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang