| 0 komentar ]

(Refleksi Pelaksanaan Pendidikan Komunitas Pencegahan Trafiking)
Oleh : Eko R Fiaryanto
Divisi Pelayanan Hukum LRC-KJHAM, disampaikan dalam TOT Partisipasi Anak Dalam Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Anak, yang diselenggarakan oleh Yayasan KKSP, di Medan, tanggal 28 April – 1 Mei 2009


Jari tengah tangan kiri korban dipotong oleh pelaku karena dianggap korban terlambat bekerja. Korban selama bekerja hanya diberi makan satu hari satu kali dan tidak pernah digaji. Korban mengaku bisa bekerja di brunai Darussalam berangkat dari rumahnya bersama calo lalu dijakarta diberikan pada agen kemudian diantar sampai Pontianak. Di Pontianak korban lalu dibawa agen menuju ke brunai Darussalam. Kini polisi sedang mencari orang-orang yang membawa korban sampai ke Pontianak lalu ke brunai Darussalam, sebelum berangkat dari cilacap korban dibuatkan paspor dengan usia dituakan 4 tahun. Dan dengan alamat palsu. Kasus ini kini ditangani Poltabes Pontianak dan berkoordinasi dengan perwakilan POLRI di Kuching, Serawak, Malaysia.
(Kompas, 1/12/2007)

Sekelumit kisah anak yang diperdagangkan melalui pemberitaan di harian nasional, telah menunjukkan semakin banyaknya anak-anak di Indonesia khususnya perempuan terjebak menjadi korban perdagangan manusia. Alasan ekonomi, masih menjadi alasan utama banyaknya anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia, dari mulai keinginan untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga, ingin melepaskan diri dari jeratan hutang, sampai pada relasi eksploitatif yang diawali dengan bujuk rayu maupun paksaan dengan ancaman dan penculikan.

Perdagangan manusia berdasarkan Protokol Palermo, tahun 2000, Pasal 3 (Protokol untuk Mencegah, Membasmi dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak-Anak), mendefinisikan : perekruitan, pengiriman, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan penculikan, muslihat, atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyelahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan – secara sadar (consent) dari orang yang memegang kendali kontrol atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.

Kejahatan perdagangan manusia mengarah pada modus dan pola-pola perbudakan yang telah diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, dalam pasal 4 ”Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”

Selama tahun 2008, berdasarkan catatan divisi monitoring LRC-KJHAM (monitoring media dan kasus masuk), terjadi setidaknya 14 kasus perdagangan manusia dengan korban sebanyak 33 korban. Ironisnya 14 orang korban masih berusia anak ( < 18 tahun), selebihnya 15 orang berusia 19-30 tahun, 2 orang berusia 31-40 tahun, 1 orang > 40 tahun, dan 1 orang tidak diketahui usianya. Sebagian besar korban trafiking tersebut mengalami eksploitasi seksual dengan modus yang digunakan oleh pelaku (trafiker) adalah bujuk rayu dan menjanjikan dengan iming-iming gaji yang besar, dipekerjakan di cafe maupun pramuniaga toko (counter handphone), memalsukan identitas korban (usia, nama, alamat) karena masih anak-anak, kemudian dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dan pekerja rumah tangga yang rentan mengalami kekerasan (tidak digaji, mengalami penyiksaan sampai pembunuhan)pemalsuan identitas (mengganti umur menjadi lebih tua), yang lebih miris tidak jarang anak-anak yang menjadi korban mengalami perkosaan selama dalam penampungan dan pemindahan dari tempat asal ke tempat tujuan trafiking.

Uraian diatas, menunjukkan dalam kasus perdagangan manusia, terdapat modus pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/ calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa, Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/ KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.

Berdasarkan Deklarasi Beijing kekerasan berbasis gender terjadi karena adanya faktor-faktor ketimpangan gender, yang terjadi baik karena tradisi, sikap, prasangka yang mengekalkan perbedaan jenis kelamin berdasarkan kontruksi masyarakatnya untuk membedakan peran laki-laki dan perempuan.

Bentuk ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak yang berimplikasi pada kondisi rentan menjadi korban perdagangan manusia, diantaranya:
1. Adanya prioritas kepada anak laki-laki untuk mendapatkan kesempatan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi daripada anak perempuan di masyarakat perdesaan, dan kondisi kemiskinan membuat kondisi perempuan lebih banyak yang putus sekolah dan dengan tingkat pendidikan rendah,
2. Tradisi yang dialami anak perempuan di perdesaan, manakala dirinya menginjak usia akhil baliq (walaupun masih kategori anak-anak) yang sudah tidak melanjutkan jenjang pendidikannya, lebih baik dinikahkan. Untuk menghindari paksaan menjalani pernikahan, pilihannya adalah bekerja (merantau ke luar kota / luar negeri) dengan kondisi latar belakang pendidikan yang rendah, usia yang masih anak-anak (kurang dari 18 tahun), menjadi penyebab perempuan korban untuk menuruti kemauan si-penyalur/ calo pencari tenaga kerja, dengan memalsukan identitas, dengan iming-iming, dengan jeratan hutang, dengan janji-janji dan bahkan tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual,
3. Budaya balas budi yang diartikan negatif, bahwa anak perempuan harus membayar kebaikan orang tua, sehingga anak perempuan sendiri rentan terjebak menjadi korban manakala pelaku perdagangan perempuan dilakukan oleh orang tua,
4. Kemiskinan juga yang mendorong anak perempuan rentan menjadi korban perdagangan, dengan paksaan, bujuk rayu serta dorongan keluarga karena kesulitan keuangan ataupun membantu ekonomi keluarga, anak perempuan harus rela meninggalkan keluarga, anak yang bekerja ke luar negeri/ luar daerah terjebak dalam kondisi rentan untuk mengalami kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual,
5. Preferensi – mengakibatkan perempuan korban mengalami ketergantungan dalam membuat keputusan. Keputusan yang dibuat untuk menerima kondisinya menjadi korban trafiking bukan atas dasar keputusan sadar, tetapi keputusan tersebut atas dasar paksaan, bujuk rayu dan karena tidak tega apabila pelaku (suami, orang tua, saudara) dilaporkan ke polisi.

Komitmen konkrit Pemerintah RI untuk melakukan perang terhadap perdagangan manusia telah ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada tanggal 19 April 2007, dan sebagai aturan pelaksananya melalui PP No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam salah satu pasal di dalam Pasal 60-63 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, pemerintah memberikan jaminan kepada masyarakat untuk turut serta melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan korban perdagangan manusia. Wujud peran serta tersebut dengan cara merubah cara pandang/ tradisi-tradisi dalam bentuk subordinasi dan pelabelan (stereotip) terhadap perempuan dan anak, serta melakukan sosialisasi dan pendidikan kritis dengan sasaran tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok muda dewasa (youth) dan anak-anak.

Seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga anggota Indonesia ACT’s, dengan melakukan pendidikan komunitas untuk pencegahan trafiking dengan kelompok sasaran anak-anak. Adapun tingkat keberhasilan dari model pendidikan komunitas tersebut, sedikit akan kami sampaikan beberapa uraian hasil monitoring pendidikan komunitas di salah satu peer group di Jawa Tengah.

Pendidikan komunitas untuk anak dilakukan sebagai wujud untuk mengimplementasikan Hak Anak untuk Berpartisipasi dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang dan untuk menyebarkan virus pengetahuan dengan harapan anak-anak yang menjadi peserta kegiatan tersebut dapat berbuat banyak menyampaikan ilmu yang mereka dapatkan kepada teman sebaya baik di lingkungan sosial dan di lingkungan pendidikan baik formal maupun non formal.

Perdagangan manusia/ trafiking, kesetaraan gender dan apa itu hak anak, pada awalnya diangggap sesuatu yang baru, berbeda dengan pelestarian alam, keanekaragaman hayati, pemilihan umum, ataupun partai politik yang masuk dalam kurkulum pendidikan lingkungan hidup dan konservasi dan pendidikan politik yang masing-masing masuk dalam kurikulim Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu dikarenakan selama ini memang belum ada kurikulum khusus di dalam pendidikan formal dari tingkat SD, SLTP dan SLTA yang dikhususkan untuk memberikan pengetahuan tentang kesetaraan gender, hak anak, dan juga perdagangan manusia.

Hasil dari pendidikan komunitas tersebut, beberapa anak sampai saat ini terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh organisasi lokal untuk mendokumentasikan tentang pemenuhan hak anak (gizi buruk pada anak, akses pendidikan untuk anak) di daerah mereka dan berhasil mengemasnya dalam film dokumenter. Ada juga yang beriniatif untuk membuat tulisan di majalah dinding di sekolahnya, dan pengalaman menyampaikan ilmu yang diperoleh pasca pendidikan komunitas melalui diskusi di pengurusan OSIS serta menyampaikannya sebagai materi dalam kegiatan ektrakulikuler pramuka.

Respon positif yang tercatat dari hasil monitoring tersebut, sudah barang tentu menjadi faktor pendorong untuk mengembangkan model pendidikan komunitas pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak menjadi sebuah langkah advokasi yang cukup masif.

Beberapa keberhasilan dalam pengorganisiran kelompok masyarakat khususnya pada kelompok-kelompok rentan trafiking, adalah Migran Group Wedoro, yang didirikan atas inisiatif perempuan warga Desa Wedoro, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Desa Wedoro merupakan kantong pengiriman tenaga kerja wanita untuk tujuan Malaysia, Singapura, Hongkong dan Timur Tengah, melalui program Feminis Partisipatory Action Research (FPAR) yang difasilitasi oleh terre des hommes (Tdh), perempuan di Desa tersebut berhasil membuat rumah informasi (house of information) yang dikelola oleh kelompok buruh migran / Migran Group Wedoro, yang terdiri dari mantan tenaga kerja wanita, kelompok muda, dan didukung oleh Pemerintah Desa setempat. Kisah sukses lainnya adalah pasca pelaksanaan FGD yang difasilitasi oleh IOM dan Pendidikan Komunitas (community education) yang difalitasi oleh Indonesia ACTs mengenai pencegahan dan penanganan kasus trafiking, pada kurun waktu 2006 – 2007 di Kabupaten Kendal tepatnya di wilayah Kecamatan Cepiring, Kecamatan Gemuh, Kecamatan Ringinarum dan sekitarnya bersama-sama mitra lokal dari teman-teman aktifis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Kendal, rekomendasi konkrit yang dihasilkan pada saat itu adalah membentuk wadah advokasi jaringan pencegahan dan penanganan kasus perdagangan manusia dan pelanggaran hak buruh migran dan disepakati jaringan tersebut bernama Solidaritas Bersama Untuk Buruh Migran (SUBUM), yang sampai saat ini masih eksis melakukan kerja-kerja advokasi memperjuangkan hak-hak buruh migran yang terindikasi mengalami perdagangan manusia.

Fakta-fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa kerja-kerja, baik oleh organisasi/ lembaga sosial maupun gerakan murni masyarakat yang telah berhasil memberikan suatu titik terang pencerahan untuk meningkatkan keterlibatan anak dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan komunitas baik pada anak usia sebaya maupun pada target group dewasa, sebagai berikut :
1. Adanya bahan/ materi baku sebagai bahan advokasi untuk mendorong agar kurikulum tentang hak anak, kesetaraan gender dan khususnya perdagangan manusia, kedepannya dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, seperti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan politik dan pendidikan kesehatan dengan harapan upaya pencegahan perdagangan anak dapat lebih masif dan efektif dan juga dapat merubah pola pikir atau pandangan masyarakat yang selama ini mensuborninatkan perempuan dan anak melalui pendidikan sejak usia dini,
2. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan, dengan pula melibatkan pemerintah di tingkat desa/ kelurahan dengan target advokasi pembentukan peraturan desa/ peraturan kelurahan tentang penataan administrasi kependudukan dalam upaya pencegahan perdagangan perempuan dan anak, karena selama ini dalam kasus perdagangan anak, 90 % modusnya adalah pemalsuan identitas (perubahan umur, surat pindah, data penduduk palsu),
3. Untuk menjalin komunikasi jaringan anak peserta pendidikan komunitas, usulan untuk membentuk Komunitas Bersama Anak Menolak Perdagangan Manusia dirasakan perlu, sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Press Release
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang
023-6723083
lrc_kjham2004@yahoo.com

Hari Kartini tanggal 21 April diperingati dan dirayakan oleh segenap kelompok masyarakat dengan berbagai aktifitas. Semangat Kartini untuk memperjuangkan perempuan Indonesia agar bebas dari segala bentuk diskriminasi, telah mendapat tempatnya sendiri. Semangat ini pula yang telah mempelopori gerakan perempuan Indonesia untuk memperjuangkan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Walaupun dalam realitasnya kondisi perempuan secara sosial dan budaya berada dalam posisi inferior dan subordinat. Hal ini menjadikan perempuan rentan, serta minimnya akses perempuan untuk menikmati hak-hak dasarnya sebagai manusia.

Salah satu hak dasarnya adalah dalam memperoleh dan melanjutkan pendidikan. Dalam konteks budaya patriarkhi masih ada pandangan masyarakat yang mempersepsikan bahwa untuk memperoleh pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi akan diprioritaskan bagi anak laki-laki, karena dianggap laki-lakilah yang akan meneruskan kedudukan sosial keluarga di dalam masyarakat. Pandangan tersebut berdampak pada tingginya angka buta huruf pada perempuan. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan untuk perempuan sebesar 0,31% dari total anggaran + 1 trilyun.

Hak yang lain yang belum terpenuhi adalah hak atas kesehatan. Minimnya akses perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai berdampak pada tingginya Angka Kematian Ibu, serta tingginya perempuan penderita penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksinya.

Pada realitasnya pula bahwa perempuan belum terbebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut. Berdasarkan pantauan LRC-KJHAM tahun 2008, ada 383 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban sebanyak 1017 dan korban yang meninggal sebanyak 39 orang. Dari data tersebut, bisa dilihat sampai saat ini kekerasan masih terus dialami oleh perempuan.

Untuk mengeliminir kesejangan tersebut di atas, Pemerintah RI telah mengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui UU No. 7 Tahun 1984. Namun UU ini tidak serta merta memberikan perubahan terhadap kondisi perempuan. Bahkan Pemerintah sendiri masih belum mampu memberikan jaminan untuk penikmatan hak asasi perempuan, antara lain disahkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang di dalam substansinya tidak mempertimbangkan fakta-fakta, posisi dan kondisi psikologi perempuan dalam masyarakat berkaitan dengan industri pornografi, yang di dalam muatan pasal-pasalnya justru menempatkan perempuan sebagai subyek yang mendorong maraknya industri pornografi, padahal faktanya posisi perempuan sebagai obyek yang dikorbankan industri pornografi. Kemudian keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merugikan hak politik perempuan.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, LRC-KJHAM menuntut:
1. Penghapusan tindakan diskriminatif dalam segala kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk segala peraturan perundang-undangan yang diskriminatif (diantaranya UU Pornografi dan UU Perkawinan serta Keputusan MK mengenai Uji Materiil Undang-Undang Pemilu);
2. Adanya kurikulum pendidikan yang berpresfektif gender sejak pendidikan usia dini sampai dengan pendidikan tinggi;
3. Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk penghapusan perkawinan terhadap anak perempuan serta poligami;
4. Pemenuhan 5% anggaran APBN dan APBD bagi pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Perempuan.


Semarang 21 April 2009


EVARISAN
Direktur

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Rencana Pembangunan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Mendiskriminasikan Perempuan

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Pemerintah Propinsi Jawa Tengah tahun 2010 yang dilakukan pada tanggal 16 – 17 April 2009 seharusnya menjadi instrument kebijakan yang penting untuk mempromosikan dan merealisasikan hak-hak dasar warga serta Visi Gubernur terpilih “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Oleh karena itu rencana program pembangunan Pemerintah Propinsi harus mampu merepresentasikan dan mengutamakan masalah-masalah hak asasi yang mengakibatkan kemiskinan di pedesaan terutama kemiskinan perempuan di pedesaan.

Penelitian UNDP membuktikan bahwa, pengintegrasian hak-hak asasi perempuan dalam penanggulangan kemiskinan atau dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat di Negara-negara berkembang terbukti mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih cepat, karena isu-isu kemiskinan sangat dekat atau terkait dengan perempuan.

Namun program-program pembangunan yang diusulkan oleh masing-masing SKPD dalam Musrenbang tahun 2009 justru tidak merepresentasikan masalah-masalah pokok kemiskinan yang dialami masyarakat dan perempuan di pedesaan yang dapat dilihat pada ; (i) anggaran yang diusulkan masing-masing SKPD lebih banyak untuk alokasi belanja pegawai; (ii) alokasi anggaran yang rendah untuk realisasi hak-hak dasar masyarakat yang terkait dengan isu kemiskinan di pedesaam; (iii) alokasi anggaran yang sangat kecil untuk merealisasikan hak-hak asasi perempuan di pedesaan; (iv) program yang diusulkan masing-masing SKPD masih sangat kecil serta tidak relevan dengan isu-isu / masalah-masalah kemiskinan perempuan di pedesaan; (v) program-program yang diusulkan dalam Musrenbang masih dalam level untuk mengatasi akibat tidak pada level sebab; (vi) target keluaran program yang ditetapkan masing-masing SKPD tidak spesifik, tidak terukur dan tidak relevan.

Badan Pembedayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BP3AKB) Propinsi Jawa Tengah misalnya, alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan hanya Rp 3.232.500.000,- dari Rp 28.856.515.000,- anggaran badan atau 11%. Kemudian dari Rp. 46.268.349.000,- anggaran Dinas Koperasi dan UMKM hanya Rp. 1.274.000.000,- untuk program peningkatan kualitas hidup perempuan atau 2,8 %. Dari Rp. 1.040.925.327.000,- anggaran Dinas Pendidikan hanya Rp. 3.190.000.000,- yang dialokasikan untuk perempuan atau 0,31%. Dari Rp. 68.299.765.000,- anggaran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa hanya Rp. 700.000.000,- untuk perempuan atau 1 %. Dan dari Rp. 72.493.070.000,- anggaran di Dinas Perindustrian dan Perdagangan hanya Rp. 1.000.000.000,- untuk perempuan atau 1 %.

Kecilnya anggaran serta tidak tepatnya program yang diusulkan dengan masalah-masalah yang dihadapi perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam pembangunan dan melanggar UU Dasar 1945 (hasil amandemen), UU No. 39 /1999 tentang HAM, UU No. 7 /1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW, UU No. 11 /2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Inpres No. 9 /2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Permendagri No. 15 /2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG.

Asumsi bahwa program-program yang diusulkan yang tidak secara khusus terkait dengan masalah-masalah perempuan akan berdampak kepada perempuan adalah asumsi yang tidak tepat dan tidak memahami masalah-masalah perempuan. Menurut Prof. Amartya Sen dalam studinya yang monumental, “Inequality Reexamined”, berpendapat bahwa pertimbangan persamaan bagi semua boleh jadi akan menghasilkan perlakuan yang sangat tidak adil bagi mereka yang tidak beruntung atau dalam situasi yang berbeda (tidak memiliki kapasitas untuk mencapai kesejahteraan). Sehingga suatu program /kebijakan yang netral gender, yang diberlakukan sama kepada laki-laki dan perempuan sementara keadaan /kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya yang melingkupi perempuan menghambat kapasitasnya untuk mampu mengakses /mencapai penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar yang sama dengan laki-laki, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat /dampak penikmatan hak yang berbeda pula, yang akhirnya melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi baru bagi perempuan.

Dengan demikian perempuan dan laki-laki dalam situasi yang tidak adil /masih timpang harus diperlakukan secara berbeda supaya mereka dapat memperoleh kesempataan /akses dan manfaat /hasil yang setara. Ini dinyatakan dengan mewujudkan kondisi pendukung (enable condition) dan atau aksi affirmative yang memungkinkan perempuan mendapatkan akses dan hasil yang sama /setara dengan laki-laki (Pasal 3 dan 4 Konvensi CEDAW).

Mengingat pentingnya anggaran sebagai instrument pemenuhan hak asasi maka, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) Semarang, mendesak Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk ;

1. Menjalankan sepenuhnya mandat UU No. 7 /1984 dan memasukkanya dalam perencanaan pembangunan 2010 dengan menyusun dan menetapkan program-program untuk mempercepat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam pembangunan, sehingga perempuan mendapatkan kesetaraan kesempatan dan peluang (akses) serta mampu menikmati hasil-hasil pembangunan yang selanjutnya akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Program-program dan alokasi anggaran yang diusulkan oleh masing-masing SKPD harus bisa berkontribusi untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan atau kesenjangan penikmatan hak asasi oleh perempuan.
3. Meningkatkan alokasi anggaran untuk program-program pemberdayaan perempuan minimal 5% dari total APBD Propinsi Jawa Tengah.
4. Keluaran /hasil /penerima manfaat program dan anggaran yang diusulkan masing-masing SKPD harus bisa mencerminkan /memastikan perempuan menerima manfaat atas program-program pembangunan dengan merinci keluaran /penerima manfaat program /kegiatan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
5. Menyusun data pilah gender yang akurat untuk masing-masing SKPD sebagai bahan penyusunan program yang berkeadilan gender atau mampu menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
6. Perlunya mengembangkan indikator pembangunan yang berperspektif gender untuk masing-masing SKPD untuk memastikan hak-hak asasi perempuan terjamin dalam pembangunan
7. Memperluas ruang konsultasi dan partisipasi perempuan terutama perempuan di pedesaan dalam penyusunan program-program pembangunan.

Perencanaan pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 tidak jelas dan tidak terukur. Program-program yang direncanakan dan anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan tahun 2010 disusun tanpa memperhatikan permasalahan-permasalahan yang jelas ada di masyarakat. Tentunya, keberhasilan pembangunan tidak mungkin terwujud dan dapat dipastikan gagal tanpa menghasilkan suatu capaian pasti dan tepat untuk mewujudkan masyarakat Jawa Tengah yang sejahtera sebagaimana amanat RPJMD.

Program-program yang dibuat pada RKPD Tahun 2010 oleh seluruh SKPD, tidak mampu menyentuh dan tidak relevan dengan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan dan kebutuhan dasar masyarakat di pedesaan tidak terakomodir dalam program. Perempuan sebagai pihak yang paling banyak berada dalam posisi kemiskinanpun menjadi termarjinalkan. Mereka tidak mampu menikmati hasil-hasil pembangunan yang menjadi haknya, yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi. Pembangunan yang sifatnya diskriminatif dan tidak adil bagi perempuan di Jawa Tengahpun muncul sebagai salah satu dari sebagian kecil bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yang justru paling banyak dilakukan oleh pemerintah.

Ketidakadilan pembangunan yang dihadapi oleh perempuan di Jawa Tengah ke depan, pertama dapat dilihat pada visi dan 6 (enam) misi RPJMD tahun 2008-2013 yang tidak mencantumkan secara jelas adanya permasalahan perempuan di dalamnya. Kedua, tentang sebaran anggaran yang ada. Anggaran yang ditujukan untuk mengatasi masalah perempuan sangat kecil. Sebaran anggaran banyak terserap ke belanja pegawai dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya, anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar, mengatasi permasalahan perempuan tersisih. Ketiga, pada aspek program. Program dibuat hanya pada batas untuk mengatasi akibat ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, tidak melihat pada akar penyebab permasalahan ketiadakadilan tersebut. Koordinasi program antar SKPD dalam implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) sangat buruk. Dengan program dan anggaran yang demikian, capaian pembangunan jelas tidak relevan dengan visi dan misi dan tidak mampu diukur dengan jelas.

Beberapa SKPD yang seharusnya menjadi central untuk mengakomodir kepentingan perempuan, tidak melakukan kewajibannya. Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak & Keluarga Berencana misalnya, hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3.232.500.000 (tiga miliar dua ratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk pemberdayaan perempuan dari anggaran keseluruhannya yang mencapai Rp 28.856.515.000 (dua puluh delapan miliar delapan ratus lima puluh enam juta lima ratus lima belas ribu rupiah). Artinya, hanya sekitar 11 % dari total anggaran badan. Sebagian program yang ada di badan ini lebih banyak untuk pelaksanaan publikasi dan informasi, serta sebagian besar untuk Urusan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Dinas Koperasi dan UMKM dari 11 (sebelas) program, hanya memasukkan 1 (satu) program untuk peningkatan kualitas hidup perempuan sedangkan anggarannya sangat kecil yaitu 2,8 %. Sama halnya dengan Dinas Pendidikan, yang saat ini adalah dinas yang sangat tercukupi dengan anggaran yang begitu besar dari APBN & APBD. Data angaran dari dinas ini yang totalnya mencapai 361 miliar lebih, justru mengalokasikan secara khusus untuk perempuan hanya 0,88 %. Program yang dicanangkan tidak jelas karena tidak mampu menjawab permasalahan pendidikan yang dihadapi perempuan yang ada di Jawa Tengah. Tetapi, sebatas menempelkan isu kekerasan terhadap perempuan di dalamnya. Dinas ini merupakan dinas dengan total anggaran paling banyak, tetapi paling sedikit mengalokasikan untuk menjawab masalah-masalah perempuan di bidangnya. Di bidang ekonomi, Dinas perindustrian dan Perdagangan melakukan diskriminasi yang sama. Hanya sekitar 1 % untuk perempuan, itupun hanya pada satu program.

Dilihat pada sisi yuridis, terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam perencanaan pembangunan tahun 2010. Amanat UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional pelaksanaan pemerintahan tidak terpenuhi terutama pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 31 dan Pasal 33. Di bawahnya, ada Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga tidak dijadikan dasar pertimbangan perencanaan. Dimana hak asasi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang mutlak harus dipenuhi dan secara universal telah diakui. Undang- Undang khusus, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Palaksanaan CEDAW (Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan ) yang telah menjadi hukum nasional tidak dilihat pahami oleh perencana pembangunan di Provinsi ini. UU lain seperti UU No. 11 Tahun 2005 dan Keppres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender ( PUG ) yang kemudian ditegaskan dengan adanya Permendagri No. 15 Tahun 2008 pun tidak dilaksanakan. Terbukti dengan tidak terpenuhinya alokasi sebesar 5 % anggaran APBD Provinsi untuk program pengarusutamaan gender. Pada aspek perencanaan, dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melanggar UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, karena tidak memberikan akses yang luas, partisipasi, dan kontrol dalam perencananaan pembangunan kepada perempuan.

Rencana pembangunan adalah titik awal dari pemenuhan hak-hak untuk perempuan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus segera merombak anggaran – anggaran yang tidak relevan untuk hak-hak masyarakat, dengan mengalokasikannya pada program yang benar-benar untuk menjawab masalah-masalah hak dasar masyarakat. Selain itu, perintah Keppres No. 9 tahun 2000 untuk mengalokasikan APBD sebesar 5 % sesegera mungkin harus diwujudkan. Pengarusutamaan Gender harus dipahami secara sadar sebagai strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dalam penikmatan hasil-hasil pembangunan, bukan untuk mengalokasikan program dan anggaran khusus untuk perempuan ataupun laki-laki. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh semua SKPD yang ada, dengan mengintegrasikan isu PUG pada seluruh program yang ada pada bidang masing-masing dan mengalokasikan anggaran untuk keadilan gender. Diharapkan, ke depannya pembangunan di Provinsi Jawa Tengah dapat mewujudkan peningkatan, pemajuan, pengakuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan di Provinsi Jawa Tengah.

Semarang, 15 April 2009

Divisi Advokasi Kebijakan
Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia
(LRC-KJHAM) Semarang
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang
Telp. (024) 6723083

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Kalau melihat pengertian dan tujuan jeratan hutang sebagaimana dalam pembahasan awal, maka jeratan hutang adalah merupakan alat atau sarana yang dipergunakan para penjerat atau pelaku untuk menjebak korban agar dapat dieksploitasi dan sebagai sarana atau alat untuk melanggengkan eksploitasi pada korbannya yang dijerat.

Dalam banyak kasus, jeratan hutang banyak dialami oleh teman-teman perempuan kita yang menjadi korban perdagangan manusia baik yang diperdagangkan untuk dipekerjakan /yang menyerupai perbudakan atau yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual seperti pelacuran paksa. Tentunya teman-teman perempuan kita yang berada dalam situasi /lingkungan pelacuran punya banyak cerita dan pengalaman bagaimana modus dan dampak jeratan hutang pada mereka serta bagaimana mereka melepaskan diri dari jeratan hutang itu.

Untuk mempermudah kita mengetahui komponen atau apa saja kebutuhan perempuan prostitut yang dipergunakan untuk menjerat mereka, maka sebaiknya kita mengetahui beberapa kebutuhan-kebutuhan rutin teman-teman kita yang dilacurkan yaitu antara lain ;

No Kebutuhan Rutin Penyedia /penarik
A. Yang tinggal di kos /kontrakan ;
1 Biaya makan, minum Warung, PKL, pedagang keliling
2 Biaya pakain, kecantikan atau kosmetik beli dari toko, mall, pasar, sales, tukang kredit
3 Biaya sewa kamar kos atau kontrakan perminggu Ibu kos atau pemilik kos atau pemilik kontrakan
4 Biaya listrik perbulan ibu kos, PLN
5 Biaya air perbulan ibu kos, pengelola air, kelurahan
6 Biaya lendry /mencuci pakaian tukang cuci
7 Dana sumbangan sosial ( sebulan sekali);
- pembangunan tempat ibadah
- pembangunan jalan kampung
- sumbangan yayasan sosial seperti yaitim piatu
- dana kematian,
- sumbangan peringatan 17 Agustusan Pengelola rumah ibadah, pemilik panti, panitia peringatan 17 Agustusan, kelurahan /RW /RT,
8 Dana untuk kas organisasi perempuan prostitut ; perbulan Pengurus organisasi perempuan prostitut
9 Biaya keamanan
pemuda, karangtaruna, preman, polisi, dan sebagainya
10 Biaya ganti atau jaminan ketika terkena razia polisi atau satpol PP polisi atau satpol PP, ibu kos

11 Biaya denda di pengadilan saat terkena razia pekat Ibu kos, hakim atau panitera pengadilan
12 Biaya pemeriksaan kesehatan dokter, rumah sakit, puskesmas
13 Biaya skrining puskesmas, dinas kesehatan, rumah sakit
14 Kerdit kendaraan atau sepeda motor Sales, agen sepeda motor, tukang kredit
15 Beli atau kredit HP toko, tukang kredit
16 Beli pulsa toko
17 Keperluan pacar (makan, minum, HP, pulsa, pakian dll) (yang tinggal bersama ; tiap hari /minggu) pacar
18 Uang susu anak di rumah ; per minggu /bulan Suami, pembantu
19 Uang kiriman untuk orang tua /suami /anak ; per minggu /bulan Orang tua atau anak atau suami
B. Yang tinggal di panti /rumah bordir
1 Biaya makan, minum Pemilik panti
2 Biaya pakain, kecantikan /kosmetik Pemilik panti, toko, tukang kredit, pedagang keliling
3 Biaya sewa kamar kos Pemilik panti
4 Biaya listrik perbulan Pemilik panti
5 Biaya air perbulan Pemilik panti
6 Biaya lendry /mencuci pakaian Pemilik panti, tukang cuci
7 Dana sumbangan sosial ( sebulan sekali);
- pembangunan tempat ibadah
- pembangunan jalan kampung
- sumbangan yayasan sosial seperti yaitim piatu
- dana kematian,
- sumbangan peringatan 17 Agustusan Pemilik panti, pengelola rumah ibadah, pemilik panti, panitia peringatan 17 Agustusan, kelurahan /RW /RT,
8 Biaya keamanan
Pemilik panti
9 Biaya ganti /jaminan ketika terkena razia polisi /satpol PP Pemilik panti, polisi, satpol PP
10 Biaya denda di pengadilan saat terkena razia pekat pemilik panti, panitera /hakim pengadilan
11 Biaya pemeriksaan kesehatan Rumah sakit, dokter
12 Biaya skrining Rumah sakit, puskesmas, dokter, dinas kesehatan
13 Kerdit kendaraan /sepeda motor Tukang kredit, toko, dll
14 Beli /kredit HP Tukang kredit, toko HP
15 Beli pulsa Toko
16 Uang susu anak di rumah ; per minggu /bulan Suami, pembantu
17 Uang kiriman untuk orang tua /suami /anak ; per minggu /bulan Orang tua, suami

Komponen Hutang Perempuan yang Dilacurkan ;
Komponen-komponen yang biasa dijadikan sebagai jeratan hutang kepada para perempuan prostitut atau yang dilacurkan dapat kita kelompokkan dalam 3 tahapan ;
• Saat perekrutan
• Selama transit /di penampungan
• Selama di tempat kerja

A. Saat Perekrutan ;
No Komponen yang dijadikan Jeratan Hutang Modus Penjeratan
1 Biaya transportasi (bus, travel, kereta api, dll) - Pelaku menyewa mobil untuk menujukkan bahwa ia adalah orang kaya dan sukses dengan tujuan agar korban percaya
- Agar niat jahat pelaku tidak diketahui atau agar pelaku dan korban tidak curiga

2 Biaya administrasi (KTP, SKCK, surat kerja, surat ijin kerja, dll) Pelaku berjanji akan mengurus sendiri semua administrasi dengan gratis, ia kemudian mengatakan bahwa ia kenal semua aparat pemerintah jadi gampang mengurusnya. Yang penting korban bersedia menerima pekerjaan yang ditawarkan
3 Biaya konsumsi selama perjalanan pelaku berjanji menanggung semua keperluan korban dalam perjalanan termasuk makan dan minumnya, korban tidak perlu membawa uang atau menyiapkan uang. Sebab kantor pelaku mampu membayar semua kebutuhan yang diperlukan korban
4 Pembelian pakaian, kosmetik, HP, dll, sebagai cara untuk merayu, membujuk korban dan keluarganya atau sebagai syarat kerjanya, atau sebagai bentuk komitmen /keseriusanya /kesungguhanya /kebenaran janji-janjinya.
5 Pemberian kepada keluarga (barang, atau uang) sebagai cara untuk ; (a) merayu, membujuk korban dan keluarganya atau sebagai ; (b) meyakinkan korban dan keluarganya ; (c) sebagi upaya untuk tidak memberi kesempatan kepada korban dan keluarganya menolak ajakan /tawaran pelaku (membuat korban pekewoh /tunduk); (d) sebagai tanda jadi.
Keterangan ; Setelah korban bekerja, semua biaya untuk keperluan diatas dibebankan kepada korban sebagai hutang yang harus dibayar. Nilai hutang yang dibebankan jauh lebih besar dibanding dari pengeluaran yang sebenarnya

B. Selama Transit /di Penampungan ;
No Komponen yang dijadikan Jeratan Hutang Modus Penjeratan
1 Biaya makan, minum Semua uang diambil pelaku, makan dan minum di beri oleh pelaku dengan lauk yang sangat sederhana
2 Biaya penginapan hotel Tempat penginapan telah ditentukan oleh pelaku dengan pertimbangan keamanan dan biaya ditanggung pelaku
3 Biaya keperluan sehari-hari (sabun, odol, pembalut, sampo, dll) Korban diminta beristirahat, mempercantik diri untuk mempersiapkan pertemuanya dengan bosnya yang akan memberinya pekerjaan. Korban tidak diperbolehkan membeli sendiri kebutuhan sehari-harinya agar tidak ada peluang untuk kabur.
4 Biaya kesehatan (obat-obatan, periksa dokter, dll) Korban tidak boleh membeli kebutuhan sehari-harinya agar tidak kabur, pelaku senantiasa memastikan agar korban dalam keadaan sehat untuk meningkatkan penawaranya dengan mucikari atau penerima
Keterangan ; Setelah korban bekerja, semua biaya untuk keperluan diatas dibebankan kepada korban sebagai hutang yang harus dibayar. Nilai hutang yang dibebankan jauh lebih besar dibanding dari pengeluaran yang sebenarnya.

C. Selama di Tempat Kerja /Tujuan ;
No Komponen yang dijadikan Jeratan Hutang Modus Penjeratan
Biaya /uang jasa ke calo /perantara /perekrut/pengantar Penerima /mucikari /germo memberi uang jasa atas keberhasilannya menyediakan /merekrut korban yang diinginkan. Harga tergantung degan situasi /kondisi korban, misalnya masih anak-anak, cantik dan perawan, biasanya perekrut akan mendapatkan uang jasa yang lebih besar.
Biaya /uang pengganti semua kebutuhan yang dipergunakan calo, /perekrut, termasuk pengeluaran untuk korban Perekrut menyampaikan total pengeluaran biaya perekrutan kepada mucikari /germo untuk mendapatkan ganti. Biasanya nilainya dibesarkan dari pengeluaran yang sebenarnya. Biaya ini diluar uang jasa.
Biaya makan dan minum Korban tinggal bersama mucikari /germo tidak diperbolehkan untuk mencari makan diluar dengan tujuan agar korban tidak mempunyai kesempatan kabur, untuk mendapatkan keuntungan dari penyediaan makan dan minum serta agar korban senantiasa terjerat hutang, sebab biaya tersebut dibebankan kepada korban dengan cara potong pembayaran dari tamu.
Biaya penginapan Selama korban tinggal bersama germo /mucikari, mereka diwajibkan membayar sewa tiap harinya yang pembeyaranya terkadang dipotong dari pembayaran tamu /pelanggan.
Biaya kecantikan Para korban senantiasa dipaksa atau dianjurkan untuk menjaga kecantikan tubuhnya untuk menarik para tamu /pelanggan. Para germo /mucikari /tukang kredit /rentenir terkadang memaksa mereka untuk membeli barang-barang kecantikan dari dirinya. Mereka umunnya menjual degan harga tinggi jauh dari harga di pasaran. Kalau korban tidak mempunyai uang mereka di kondisikan untuk kredit dengan cara potong gaji.
Biaya kesehatan
Biaya pakaian Sebagai salah satu cara menarik tamu /pelanggan datang ke rumah bordirnya atau pantinya, para korban diminta untuk berpenampilan menarik dengan berpakain yang seksi dan glamor /mewah. Korban yang baru datang terus ditawari berbagai macam pakain yang sebelumnya tidak pernah pakai di kampung. mereka dipaksa memakai pakaian yang telah disiapkan mucikari. Korban diminta mengkredit pakaian tersebut saat mulai menerima tamu degan cara potong gaji.
Biaya keamanan Pelaku memberitahukan atau menakut-nakuti para korban bahwa pekerjaan mereka itu kalau ketahuan aparat bisa dirazia /ditangkap dan mereka bisa dipenjarakan, oleh karena itu agar aman dan tidak ditangkap mereka harus membayar sekian persen dari gajinya untuk membayar keamanan termasuk beking aparat.
Ganti rugi (jika tamu tidak membayar boking-an) Tamu yang tidak membayar bokingan, dianggap sebagai kesalahan korban. Dan korban harus menggantinya dengan potong gaji kalau menerima pembayaran dari tamu /pelanggan
Biaya saat perekrutan, di penampungan hingga sampai di tempat kerja (pelacuran). Mucikari /germo memberitahukan bahwa ia telah mengeluarkan biaya besar untuk memenuhi kebutuhan korban dari perekrutan sampai di tempat kerja, mulai dari makan, minum, uang pemberian kepad keluarga, HP, pulsa, penginapan dan sebagainya. Dan biaya tersebut dibebankan kepada para korban untuk membayarnya dengan cara potong gaji. Para pelaku umumnya membesarkan nilai hutangnya higga menjadi sangat besar disertai dengan bunga perbulan. Sehingga terkadang meski korban terus dipotong gaji tiap menerima tamu, namun hutangnya tidak berkurang malah terkadang bertambah.

Perpindahtanganan Jeratan Hutang Perempuan yang Dilacurkan :
Salah satu penyebab perempuan yang dilacurkan terjebak hutang /terjebak jeratan hutang disamping nilai pengeluaran atas kebutuhan mereka yang dibesarkan (misalnya harga umum teh botol adalah Rp. 1.500, namun bagi mereka harga teh botol tersebut bisa menjadi Rp. 3000,- /lebih), juga karena hutang tersebut dihitung mulai pengeluaran para pelaku yang dikeluarkan sejak perekrutan (baju, uang pmberian keluarga, dll.), ditambah pengeluaran selama di penampungan (transportasi, makan, minum, penginapan, dll.), ditambah pengeluaran selama di tempat kerja /dipelacuran /dilokalisasi /di panti. Sehingga para korban kebanyakan terkejut /kaget saat tiba-tiba di sampaikan bahwa mereka mempunyai hutang yang besar. Sementara mereka tidak pernah merasa berhutang dengan siapapun. Sebab semua dijanjikan gratis tidak ada biaya.

Berikut proses perindahtanganan dan terjadinya penumpukan hutang yang akhirnya dipakai para pelaku untuk menjerat para perempuan prostitut ;





















Pembesaran nilai pengeluaran kebutuhan korban (semua biaya yang dikeluarkan untuk korban baik saat merekrut, selama di penampungan hingga sampai di tempat kerja /pelacuran) oleh para perekrut /penampung dan mucikari /germo/penerima serta penjumlahan semua biaya untuk pemenuhan kebutuhan korban dan para perekrut, penampung dan penerima /germo (termasuk uang jasa) menjadikan hutang yang harus ditanggung korban sangat basar. Ditambah pula hutang tersebut dikenakan bungan yang tinggi. Hutang tersebut harus korban angsur dengan cara potong gaji /pembayaran dari setiap tamu /pelanggan yang korban layani. Sementara korban juga dibebani dengan biaya-biaya untuk kebutuhan sehari-hari korban selama tinggal di rumah mucikari /germo /penerima.

Jadi kenapa hutang mereka begitu tinggi ?












Akibatnya para korban terjerat hutang dan sulit untuk melepaskan diri dari tempat pelacuran /germo serta sulit untuk melunasi hutang-hutangnya.

Akibatnya posisi korban begitu rentan sebab relasi /hubugannya dengan germo, rentenir, dan para tamu /pelanggan begitu lemah. Posisinya yang terjerat hutang (tidak bisa membayar hutang) mudah untuk menerima tekanan-tekanan atau paksaan dari orang-orang disekitarnya yang bermaksud mengambil keuntungan. Para korban akan mengalami situasi yang sangat sulit untuk menolak atau melawan dari tekanan-tekanan atau situasi yang merugikan atau memeras mereka. Sebab para korban masih mempunyai hutang dengan para pelaku. Tidak hanya itu para korban juga senantiasa diawas-awasi, ditakut-takuti, dan diancam kalau tidak melunasi hutang-hutangnya. Ancaman tersebut tidak hanya ditujukan kepad dirinya, tetapi juga ditjukan kepad keluarganya dikampung misalnya ; kalau tidak nurut /melawan /kabur keluarganya di kampung akan dibunuh. Selain itu ancaman atau hukuman jika ada salah satu diantara korban yang melawan maka semua akan menerima hukuman. Seperti kasus yang didampingi LRC-KJHAM, jika ada salah satu teman korban yang kabur atau tidak dapat memenuhi target tamu atau setoran semua korban mendapat hukuman dengan cara di sekap didalam ruangan seperti sel, atau di suruh berendam di kolam renang yang diisi ular berbisa.

Posisi yang mereka yang rentang akibat jeratan hutang itu menjadikan mereka mudah menjadi obyek eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan eksploitasi seksual /dilacurkan tetapi terkadag mereka dipaksa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain sebagai dalih untuk membayar hutang-hutangnya. Disamping eksploitasi mereka juga mudah menjadi obyek serangan kekerasn baik kekerasan fisik, psikologis maupun kekerasan seksual.

Praktek Ekpolitasi dan Kekerasan dengan Memanfaatkan Jeretan Hutang ;

No JENIS PRAKTEK EKSPLOITASI BENTUK EKSPLOITASI
1 Upah /gaji Ditahan muicikari, diberikan namun sedikit, lebih banyak pihak lain yang menikmati kerjanya (pemilik kos, hotel, penginapan, tukang ojek, perantara, dll), atau tidak diberi sama sekali.
Hutang dipotong langsung dari gaji oleh mucikari /mami tanpa persetujuan /kontrol dari perempuan prostitut
Upah yang dijanjikan tidak sama dengan kenyataan
Dipotong mucikari /mami sebagai ganti pembayaran segala kebutuhan perempuan prostitut di panti (makan, minum, sabun, dll).
Tamu /pelanggan yang tidak membayar dijadikan sebagai hutang perempuan prostitut
2 Situasi Kerja Dipaksa bekerja meski sedang sakit, capek atau menstruasi /hamil
Waktu istirahat terbatas atau tidak ada sama sekali
Bekerja dengan diawas-awasi
Tidak boleh keluar sebelum selesai kontrak
Harus melayani tamu, meski telah melayani banyak tamu /pelanggan
Harus melayani tamu yang diantar perantara
Nilai kebutuhan hidup yang digunakan perempuan prostitut dihargai dengan nilai yang sangat tinggi, misalnya harga penginapan, harga kamar kos, air, listrik, pakaian, makanan, minuman, dll.)
Sering menjadi obyek serangan kekerasan fisik (di pukul, disundut rokok, ditampar, dijambak, dipaksa mabuk /minum alkohol, dipaksa merokok, dipaksa memakai pakaian seksi, dll), kekerasan psikologis (dimaki, dihina, diludahi, dll), dan kekerasan seksual (diperkosa, diminta melayani mucikari, digilir, dipaksa mempraktekkan gaya-gaya hubungan seksual yang tidak aman, dipaksa melayani tamu saat menstruasi, dll).
3 Kebebasan Bergerak Tidak boleh keluar sebelum kontrak selesai
Tidak boleh kontrak rumah sendiri
Tidak boleh pindah kos
Setiap keluar selain bukan untuk melayani tamu dikenakan biaya ganti /charge dan dibebankan kepada perempuan prostitut sebagai hutang
Tidak boleh melayani tamu /pelanggan dari SMS atau telepon
Harus mentaati semua peraturan
Tidak boleh berpacaran dengan orang /masyarakat disekitar /lingkungan pelacuran
Tidak boleh memakai pakaian yang mengumbar aurat di depan umum /dijalan

Pelaku Penjerat Hutang pada Perempuan yang dilacurkan ;

NO TAHAPAN PELAKU
1. Saat Perekrutan Calo, Orang tua /suami yang mempunyai hutang dan menjadikan jasa /pekerjaan anaknya /isterinya sebagai jaminan, Pacar, Teman, Rentenir /Tukang Kredit, aparat setempat.
2. Selama di Penampungan Calo, pemilik penginapan /hotel, teman, pacar, aparat setempat
3. Selama di Tempat Kerja Mucikari, Germo, rentenir /tukang kredit, pemilik kos, aparat setempat, polisi, satpol PP, dll.

Dampak dari Jeratan Hutang kepada Perempuan yang Dilacurkan ;
1. Hasil kerja dinikmati orang lain ; mucikari /germo, pemilik penginapan, pemilik rumah kos, jasa pengamanan /beking aparat, rentenir, tukang kredit dan sebagainya.
2. Korban menjadi kehilangan kekuatan serta potensinya untuk melakukan penolakan /perlawanan sehingga harus tetap menerima perintah atau tekanan-tekanan kepada dirinya seperti diminta melayani tamu yang banyak, atau melakukan pekerjaan tambahan diluar pekerjaanya sebagai prostitut (pelacur) seperti mengepel, mencuci pakaian, memasak, dan sebagainya.
3. korban tidak menghiraukan /tidak memperdulikan kesehatan dirinya, sebab harus terus bekerha untuk dapat melunasi hutang-hutangnya.
4. Korban rentan terhadap penularan HIV /Aids atau penyakit menular seksual.
5. Korban terbiasa mencari /mendapatkan uang secara instans /cepat, sehingga menyulitkan masyarakat atau pemerintah untuk melakukan reintegrasi sosial kepada para korban perempuan yang dilacurkan. (perampasan potensi sumberdaya kemampuan sosial, ekonomi dan budaya)
6. Tergantung kepada keputusan mucikari /germo dan orang-orang yang mengeksploitasinya
7. Korban kesulitan untuk keluar dari pelacuran sebab jeratan hutang /hutang yang menumpuk
8. Korban sering menjadi obyek serangan kekerasan baik fisik, psikologis maupun seksual.

Pengalaman Perempuan yang terjebak dalam pelacuran dalam melepaskan diri dari jeratan hutang :
1. Mencari kelengahan mucikari /germo, korban kemudian melarikan diri dan lapor polisi /LSM /atau aparat pemerintah terdekat seperti RT/RW.
2. Melawan germo /mucikari terus melarikan diri.
3. Menggaet tamu kaya kemudian ditawari siap menjadi simpanananya asal bersdia membeyar hutangnya
4. Bekerja terus terutama berupaya mendapatkan tamu kaya, dan uangnya ditabung untuk membayar hutang.
5. Memacari orang kaya
6. Memacari aparat keamanan /polisi /tentara /PNS, agar germo /mucikari takut.
7. Bunuh diri, dll.

Jadi masih relevan /tepatkah bahwa jeratan hutang yang membelenggu dan memmenjarakan para perempuan yang dilacurkan atau yang terjebak dalam pelacuran tersebut sebagai ketidaksengajaan ? sementara kenyataanya para pelaku terus mengambil keuntungan dari para korban yang terjerat hutang. Atau jeratan hutang yang banyak dialami teman-teman kita yang terjebak dalam pelacuran sebagai kesengajaan untuk mempertahankan praktek eksploitasinya ? manakah yang tepat dari kedua itu ?. lantas bagaimana perlindungan negara kepada mereka yang terjebak dalam jeratan hutang ?.

Disarikan dari ;
• Hasil Konferensi Nasional “Jeratan Hutang dalam Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia” oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, ACILS, ICMC, USAID dan teman-teman NGO dan masyarakat dari perwakilan 12 propinsi tahun 2006.
• Laporan FPAR LRC-KJHAM di Bandungan terhadap Isu Perdagangan Perempuan di Jawa Tengah
• Catatan pendampingan kasus trafiking LRC-KJHAM 2005-2006
• Catatan harian Rumah Informasi untuk Pencegahan dan Penanganan Trafiking LRC-KJHAM di Bandungan
• Hasil Penelitian PKPM UNIKA Atmajaya tentang Jeratan Hutang dalam Perdagangan Manusia

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Apakah Jeratan Hutang itu ?
Jeratan hutang adalah salah satu sarana bagi orang atau kelompok orang atau lembaga atau korporasi untuk menguasai seseorang untuk tujuan mempunyai kendali atau kontrol atas seseorang, atau untuk memaksakan kehendak atau kepentingan, atau untuk eksploitasi.

Menurut Anti Slavery Internatioal /Anti Kemiskinan Internasional, ” seseorang masuk ke dalam jeratan hutang jika tenaga kerja atau kerjanya dipakai sebagai alat untuk melunasi hutang atau uang yang sudah diberikan di muka. Biasanya orang tertipu atau terjebak dalam kerja tanpa upah atau dengan upah yang sangat sedikit (untuk melunasi hutang tersebut), dengan kondisi kerja yang melanggar HAM. Umumnya pula, nilai tenaga atau kerja yang dilakukan oleh pekerja yang terejerat hutang melebihi jumlah uang yang dipinjam atau diberikan dimuka tersebut.”

Sedangkan dalam Konvensi Tambahan PBB tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Institusi serta Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (1956), Jeratan Hutang didefinisikan sebagai :

” Jeratan Hutang, yaitu ; status atau kondisi yang timbul dari suatu janji oleh penerima pinjaman berkenaan dengan jasa yang akan diberikannya secara pribadi atau oleh seseorang yang berada di bawah kekuasaanya sebagai jaminan untuk hutang tersebut, dan jika nilai dari jasa tersebut secara taksiran yang masuk akal tidak diterapkan dalam hal pelunasan hutangnya atau lamanya waktu serta sifat jasa tersebut tidak dibatasi dan tidak didefinisikan”(Pasal. 1a)

Sementara dalam Penjelasan UNHCR mengenai Jeratan Hutang adalah ;

” Seseorang memasuki jeratan hutang saat tenaga mereka diperlukan sebagai alat pembayaran pinjaman, atau uang yang telah diberikan sebelumnya. Biasanya orang akan tertipu atau terperangkap untuk bekerja tanpa bayaran atau dengan bayaran sangat kecil (untuk membayar pinjaman tersebut) dalam kondisi yang melanggar hak asasi mereka. Dalam berbagai kasus, nilai nilai pekerjaan yang dilakukan oleh para buruh ijon lebih besar daripada jumlah asli uang yang dipinjamkan atau diberikan sebelumnya”. The United Nation High Commissioner for Human Rights ; Jeratan Hutang, Mekanisme Perbudakan Universal (19980


Jeratan Hutang dalam Penjelasan International Labour Organization (ILO) /Organisasi Buruh Internasional mengenai Jeretan Hutang dan Buruh Ijon, adalah ;

” Terjadi saat seseorang dijadikan jaminan terhadap hutang atau pinjaman. Inilah hal yang membedakan antara kerja paksa dan perbudakan. Seseorang yang dimaksudkan harus melakukan sebagian atau keseluruhan dari suatu pekerjaan untuk membayar hutang yang telah timbul. Dalam banyak kasus, hutang ini tercipta karena pada satu sisi, pekerjaan atau jasa yang dilakukan dinilai sangat rendah sedangkan pada sisi lain manjikan menyediakan makanan, dan tempat tinggal dengan harga yang sangat tinggi sehingga membuat pekerja sulit melepaskan diri dari hutang tersebut. Hutang juga dapat timbul dari proses perekrutan dan transportasi, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kebebasan dalam suatu hubungan kerja.”
Bagaimana Hutang yang Menjerat itu ?
Hutang dapat disebuat atau digolongkan jaratan hutang atau hutang yang menjerat jika memenuhi unsur-unsur berikut ;

A. Menjurut ILO Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Kerja Paksa 2005 , unsur-unsur Jeratan Hutang adalah ;

1. Seseoarang yang berhutang atau orang lain yang mempunyai hubungan dengan yang berhutang dijadikan sebagai jaminan terhadap hutang /pinjaman
2. Seseoarang yang berhutang tersebut melakukan sebagian atau keseluruhan pekerjaan untuk melunasi hutang dengan tingkat bunga yang sangat tinggi
3. Hutang segaja diciptakan untuk memberikan kesulitan pekerja untuk melepaskan diri dari hutang karena Pekerjaan atau tenaga kerja dinilai sangat rendah dan makanan, tempat, transportasi dan akomodosi lain disediakan oleh majikan atau germo atau mucikari atau pemilik rumah dan sebagainya dengan harga sangat tinggi
4. Hutang yang muncul dari proses perekrutan atau transportasi mempengaruhi tingkat kebebasan dalam hubungan kerja.
5. Terjadi penipuan tentang hak dan kondisi kerja, Informasi kontrak kelihatan resmi tetapi majikan mendapatkan keuntungan finansial atau keuangan atau jasa atas dasar penipuan, yang disemua negara dianggap melanggara hukum.


B. Menurut Nia Sujani dan Fransiska Amin, unsur Jeratan Hutang adalah ;

1. Tidak ada penjelasan atau paksaan
2. Jasa Pribadi dijadikan sebagai jaminan hutang
3. Nilai jasa yang dijadikan jaminan hutang tidak mengurangi hutang


Apa Tujuan dari Jeratan Hutang ?
1. Agar yang meminjamkan tetap dapat mengambil keuntungan secara finansial atau keuangan dari orang atau pihak yang berhutang.
2. Agar seseorang yang berhutang tetap terus bekerja untuknya.
3. Agar seseorang yang berhutang atau bekerja mengalamai kesulitan untuk melepaskan diri dari hutang atau dari pekerjaanya
4. Agar seseorang yang berhutang atau bekerja terus melayani kebutuhan atau kepentingan-kepentingan dengan tanpa bayaran atau dengan bayaran yang sangat rendah kepada orang yang memberi pinjaman atau hutang.
5. Agar yang berhutang atau bekerja tidak melawan atau tunduk dibawah kontroll penguasaan orang yang memberi hutang atau pinjaman
6. dll.

Dampak Jeratan Hutang ?
1. Kondisi kerja yang tak layak, misalnya kondisi kamar yang tidak baik, 1 kamar untuk 4 – 6 orang, tidak ada jendela, tidak ada penerangan, tidak ada air yang cukup, tidur diatas lantai, dan sebagainya.
2. Terbatasnya kebebasan bekerja
3. Meningkatkan tindak kekerasan seperti pekerjaan atau jasa sudah dilaksanakan namun masih sering dipukul dan dicaci, dalam keadaan sakit, capek, atau menstruasi atau sedang hamil tetap dipaksa melayani tamu, dan sebagainya.
4. Meningkatkan elemen pengingkaran terhadap ”kecakapan”. Misalnya sudah melaksanakan pekerjaan dengan baik, namun tetap dianggap tidak baik atau salah atau jelek dan selalu dianggap tidak benar atau salah).
5. Meningkatnya elemen ekploitasi misalnya semula disuruh melakukan pekerjaan A namun kemudian di suruh melakukan pekerjaan B, C, D dan sebaginnya, sementara hutang tidak berkurang malah bertambah besar, sebab pekerjaan-pekerjaan yang dianggap salah atau tidak benar dan kebutuhan-kebutuhan yang baru dibebankan menjadi hutang baru.
6. Meningkatnya kekerasan fisik, psikologis dan seksual
7. Menjadikan korban langgeng di pelacuran disebabkan korban kesulitan untuk melepaskan diri karena beban hutang yang terus membesar atau tidak berkurang.

Jeratan Hutang dan Perdagangan Manusia atau Orang ;
Berdasarkan data kasus Perdagangan Perempuan dan Anak LRC-KJHAM selama tahun 2006 sampai tahun 2008 tentang Jeratan Hutang dalam Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia tercatat mayoritas kasus perdagangan perempuan dan anak, menunjukkan bahwa praktek jaratan hutang merupakan modus yang digunakan para pelaku kejahatan perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak untuk menjerat korbannya dan untuk melanggengkan kontrol atau penguasaanya atas diri korban

Dalam kasus-kasus jeratan hutang, biasanya hutang sudah timbul sejak orang memulai proses perpindahanya ke daerah lain untuk tujuan mencari atau bekerja. Tidak hanya masalah korban tidak mempunyai uang untuk membayar semua biaya untuk keperluan bekerja melainkan para korban juga dikondisikan untuk mempunyai hutang kepada pelaku dengan jumlah yang besar. Seperti dompet dan uang dirampas, korban dijanjikan bekerja dengan biaya gratis atau ditanggung pelaku sehingga korban tidak perlu memekirkan atau mempersiapkan biaya.

Keperluan-keperluan yang membutuhkan biaya tersebut antara lain seperti biaya migrasi, transportasi, makan dan minum, pakaian (akomodasi lain), dokumen atau administrasi perjalanan, biaya pelatihan, biaya penampungan atau penginapan, dan sebagainya. Biaya-biaya yang dijanjikan gratis tersebut kemudian dibebankan kepada korban di tempat kerja atau di tempat tujuan ditambah bunganya sehingga korban mempunyai hutang yang besar dan harus diangsur dengan cara dipotong atau ditahan atau dirampas gajinya.

Situasi tersebut menjadikan pelaku mempunyai kendali penuh terhadap diri korban. Sehingga para pelaku mudah memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada korban. Sementara korban tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti kehendak para pelaku. Akibatnya para korban mengalami kesulitan untuk keluar atau melepaskan diri dari situasi yang mengeksploitasi mereka.

(Disarikan dari hasil Konferensi Nasional “Jeratan Hutang dalam Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia” oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, ACILS, ICMC, USAID dan teman-teman NGO dan masyarakat dari perwakilan 12 propinsi).

Baca Selengkapnya »»