(Refleksi Pelaksanaan Pendidikan Komunitas Pencegahan Trafiking)
Oleh : Eko R Fiaryanto
Divisi Pelayanan Hukum LRC-KJHAM, disampaikan dalam TOT Partisipasi Anak Dalam Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Anak, yang diselenggarakan oleh Yayasan KKSP, di Medan, tanggal 28 April – 1 Mei 2009
Jari tengah tangan kiri korban dipotong oleh pelaku karena dianggap korban terlambat bekerja. Korban selama bekerja hanya diberi makan satu hari satu kali dan tidak pernah digaji. Korban mengaku bisa bekerja di brunai Darussalam berangkat dari rumahnya bersama calo lalu dijakarta diberikan pada agen kemudian diantar sampai Pontianak. Di Pontianak korban lalu dibawa agen menuju ke brunai Darussalam. Kini polisi sedang mencari orang-orang yang membawa korban sampai ke Pontianak lalu ke brunai Darussalam, sebelum berangkat dari cilacap korban dibuatkan paspor dengan usia dituakan 4 tahun. Dan dengan alamat palsu. Kasus ini kini ditangani Poltabes Pontianak dan berkoordinasi dengan perwakilan POLRI di Kuching, Serawak, Malaysia.
(Kompas, 1/12/2007)
Sekelumit kisah anak yang diperdagangkan melalui pemberitaan di harian nasional, telah menunjukkan semakin banyaknya anak-anak di Indonesia khususnya perempuan terjebak menjadi korban perdagangan manusia. Alasan ekonomi, masih menjadi alasan utama banyaknya anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia, dari mulai keinginan untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga, ingin melepaskan diri dari jeratan hutang, sampai pada relasi eksploitatif yang diawali dengan bujuk rayu maupun paksaan dengan ancaman dan penculikan.
Perdagangan manusia berdasarkan Protokol Palermo, tahun 2000, Pasal 3 (Protokol untuk Mencegah, Membasmi dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya Perempuan dan Anak-Anak), mendefinisikan : perekruitan, pengiriman, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan penculikan, muslihat, atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyelahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan – secara sadar (consent) dari orang yang memegang kendali kontrol atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Kejahatan perdagangan manusia mengarah pada modus dan pola-pola perbudakan yang telah diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, dalam pasal 4 ”Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.”
Selama tahun 2008, berdasarkan catatan divisi monitoring LRC-KJHAM (monitoring media dan kasus masuk), terjadi setidaknya 14 kasus perdagangan manusia dengan korban sebanyak 33 korban. Ironisnya 14 orang korban masih berusia anak ( < 18 tahun), selebihnya 15 orang berusia 19-30 tahun, 2 orang berusia 31-40 tahun, 1 orang > 40 tahun, dan 1 orang tidak diketahui usianya. Sebagian besar korban trafiking tersebut mengalami eksploitasi seksual dengan modus yang digunakan oleh pelaku (trafiker) adalah bujuk rayu dan menjanjikan dengan iming-iming gaji yang besar, dipekerjakan di cafe maupun pramuniaga toko (counter handphone), memalsukan identitas korban (usia, nama, alamat) karena masih anak-anak, kemudian dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dan pekerja rumah tangga yang rentan mengalami kekerasan (tidak digaji, mengalami penyiksaan sampai pembunuhan)pemalsuan identitas (mengganti umur menjadi lebih tua), yang lebih miris tidak jarang anak-anak yang menjadi korban mengalami perkosaan selama dalam penampungan dan pemindahan dari tempat asal ke tempat tujuan trafiking.
Uraian diatas, menunjukkan dalam kasus perdagangan manusia, terdapat modus pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/ calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa, Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/ KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.
Berdasarkan Deklarasi Beijing kekerasan berbasis gender terjadi karena adanya faktor-faktor ketimpangan gender, yang terjadi baik karena tradisi, sikap, prasangka yang mengekalkan perbedaan jenis kelamin berdasarkan kontruksi masyarakatnya untuk membedakan peran laki-laki dan perempuan.
Bentuk ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak yang berimplikasi pada kondisi rentan menjadi korban perdagangan manusia, diantaranya:
1. Adanya prioritas kepada anak laki-laki untuk mendapatkan kesempatan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi daripada anak perempuan di masyarakat perdesaan, dan kondisi kemiskinan membuat kondisi perempuan lebih banyak yang putus sekolah dan dengan tingkat pendidikan rendah,
2. Tradisi yang dialami anak perempuan di perdesaan, manakala dirinya menginjak usia akhil baliq (walaupun masih kategori anak-anak) yang sudah tidak melanjutkan jenjang pendidikannya, lebih baik dinikahkan. Untuk menghindari paksaan menjalani pernikahan, pilihannya adalah bekerja (merantau ke luar kota / luar negeri) dengan kondisi latar belakang pendidikan yang rendah, usia yang masih anak-anak (kurang dari 18 tahun), menjadi penyebab perempuan korban untuk menuruti kemauan si-penyalur/ calo pencari tenaga kerja, dengan memalsukan identitas, dengan iming-iming, dengan jeratan hutang, dengan janji-janji dan bahkan tidak sedikit yang mengalami kekerasan seksual,
3. Budaya balas budi yang diartikan negatif, bahwa anak perempuan harus membayar kebaikan orang tua, sehingga anak perempuan sendiri rentan terjebak menjadi korban manakala pelaku perdagangan perempuan dilakukan oleh orang tua,
4. Kemiskinan juga yang mendorong anak perempuan rentan menjadi korban perdagangan, dengan paksaan, bujuk rayu serta dorongan keluarga karena kesulitan keuangan ataupun membantu ekonomi keluarga, anak perempuan harus rela meninggalkan keluarga, anak yang bekerja ke luar negeri/ luar daerah terjebak dalam kondisi rentan untuk mengalami kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual,
5. Preferensi – mengakibatkan perempuan korban mengalami ketergantungan dalam membuat keputusan. Keputusan yang dibuat untuk menerima kondisinya menjadi korban trafiking bukan atas dasar keputusan sadar, tetapi keputusan tersebut atas dasar paksaan, bujuk rayu dan karena tidak tega apabila pelaku (suami, orang tua, saudara) dilaporkan ke polisi.
Komitmen konkrit Pemerintah RI untuk melakukan perang terhadap perdagangan manusia telah ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada tanggal 19 April 2007, dan sebagai aturan pelaksananya melalui PP No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam salah satu pasal di dalam Pasal 60-63 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, pemerintah memberikan jaminan kepada masyarakat untuk turut serta melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan korban perdagangan manusia. Wujud peran serta tersebut dengan cara merubah cara pandang/ tradisi-tradisi dalam bentuk subordinasi dan pelabelan (stereotip) terhadap perempuan dan anak, serta melakukan sosialisasi dan pendidikan kritis dengan sasaran tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok muda dewasa (youth) dan anak-anak.
Seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga anggota Indonesia ACT’s, dengan melakukan pendidikan komunitas untuk pencegahan trafiking dengan kelompok sasaran anak-anak. Adapun tingkat keberhasilan dari model pendidikan komunitas tersebut, sedikit akan kami sampaikan beberapa uraian hasil monitoring pendidikan komunitas di salah satu peer group di Jawa Tengah.
Pendidikan komunitas untuk anak dilakukan sebagai wujud untuk mengimplementasikan Hak Anak untuk Berpartisipasi dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang dan untuk menyebarkan virus pengetahuan dengan harapan anak-anak yang menjadi peserta kegiatan tersebut dapat berbuat banyak menyampaikan ilmu yang mereka dapatkan kepada teman sebaya baik di lingkungan sosial dan di lingkungan pendidikan baik formal maupun non formal.
Perdagangan manusia/ trafiking, kesetaraan gender dan apa itu hak anak, pada awalnya diangggap sesuatu yang baru, berbeda dengan pelestarian alam, keanekaragaman hayati, pemilihan umum, ataupun partai politik yang masuk dalam kurkulum pendidikan lingkungan hidup dan konservasi dan pendidikan politik yang masing-masing masuk dalam kurikulim Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu dikarenakan selama ini memang belum ada kurikulum khusus di dalam pendidikan formal dari tingkat SD, SLTP dan SLTA yang dikhususkan untuk memberikan pengetahuan tentang kesetaraan gender, hak anak, dan juga perdagangan manusia.
Hasil dari pendidikan komunitas tersebut, beberapa anak sampai saat ini terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh organisasi lokal untuk mendokumentasikan tentang pemenuhan hak anak (gizi buruk pada anak, akses pendidikan untuk anak) di daerah mereka dan berhasil mengemasnya dalam film dokumenter. Ada juga yang beriniatif untuk membuat tulisan di majalah dinding di sekolahnya, dan pengalaman menyampaikan ilmu yang diperoleh pasca pendidikan komunitas melalui diskusi di pengurusan OSIS serta menyampaikannya sebagai materi dalam kegiatan ektrakulikuler pramuka.
Respon positif yang tercatat dari hasil monitoring tersebut, sudah barang tentu menjadi faktor pendorong untuk mengembangkan model pendidikan komunitas pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak menjadi sebuah langkah advokasi yang cukup masif.
Beberapa keberhasilan dalam pengorganisiran kelompok masyarakat khususnya pada kelompok-kelompok rentan trafiking, adalah Migran Group Wedoro, yang didirikan atas inisiatif perempuan warga Desa Wedoro, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Desa Wedoro merupakan kantong pengiriman tenaga kerja wanita untuk tujuan Malaysia, Singapura, Hongkong dan Timur Tengah, melalui program Feminis Partisipatory Action Research (FPAR) yang difasilitasi oleh terre des hommes (Tdh), perempuan di Desa tersebut berhasil membuat rumah informasi (house of information) yang dikelola oleh kelompok buruh migran / Migran Group Wedoro, yang terdiri dari mantan tenaga kerja wanita, kelompok muda, dan didukung oleh Pemerintah Desa setempat. Kisah sukses lainnya adalah pasca pelaksanaan FGD yang difasilitasi oleh IOM dan Pendidikan Komunitas (community education) yang difalitasi oleh Indonesia ACTs mengenai pencegahan dan penanganan kasus trafiking, pada kurun waktu 2006 – 2007 di Kabupaten Kendal tepatnya di wilayah Kecamatan Cepiring, Kecamatan Gemuh, Kecamatan Ringinarum dan sekitarnya bersama-sama mitra lokal dari teman-teman aktifis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Kendal, rekomendasi konkrit yang dihasilkan pada saat itu adalah membentuk wadah advokasi jaringan pencegahan dan penanganan kasus perdagangan manusia dan pelanggaran hak buruh migran dan disepakati jaringan tersebut bernama Solidaritas Bersama Untuk Buruh Migran (SUBUM), yang sampai saat ini masih eksis melakukan kerja-kerja advokasi memperjuangkan hak-hak buruh migran yang terindikasi mengalami perdagangan manusia.
Fakta-fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa kerja-kerja, baik oleh organisasi/ lembaga sosial maupun gerakan murni masyarakat yang telah berhasil memberikan suatu titik terang pencerahan untuk meningkatkan keterlibatan anak dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan komunitas baik pada anak usia sebaya maupun pada target group dewasa, sebagai berikut :
1. Adanya bahan/ materi baku sebagai bahan advokasi untuk mendorong agar kurikulum tentang hak anak, kesetaraan gender dan khususnya perdagangan manusia, kedepannya dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, seperti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan politik dan pendidikan kesehatan dengan harapan upaya pencegahan perdagangan anak dapat lebih masif dan efektif dan juga dapat merubah pola pikir atau pandangan masyarakat yang selama ini mensuborninatkan perempuan dan anak melalui pendidikan sejak usia dini,
2. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan, dengan pula melibatkan pemerintah di tingkat desa/ kelurahan dengan target advokasi pembentukan peraturan desa/ peraturan kelurahan tentang penataan administrasi kependudukan dalam upaya pencegahan perdagangan perempuan dan anak, karena selama ini dalam kasus perdagangan anak, 90 % modusnya adalah pemalsuan identitas (perubahan umur, surat pindah, data penduduk palsu),
3. Untuk menjalin komunikasi jaringan anak peserta pendidikan komunitas, usulan untuk membentuk Komunitas Bersama Anak Menolak Perdagangan Manusia dirasakan perlu, sebagai wadah untuk berbagi pengalaman dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan anak.
[09.10
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang