| 0 komentar ]

Remang-remang di Tanggul Indah
Kalau sudah ’ndlosor’ plong

HUJAN rintik-rintik tak membuat kegiatan di warung remang-remang di kawasan Banjirkanal Timur, tepatnya di samping jembatan tak menjadi surut. Puluhan laki-laki hidung belang bersama dengan para waria dan WTS jalanan bercanda bersama di warung tanggul indah (TI) yang sering disebut warung Hubar (Hujan bubar). Sambil menenggak minuman keras jenis congyang dan mendengarkan lagu dangdut dari sebuah tape recorder yang berada di warung, mereka lupa dengan istri yang ada di rumah.

‘’Wah kalau sudah ‘setengah tiang’ (setengah mabuk), rasanya semua masalah jadi lupa. Pokoknya malam ini kita bikin ’kapal pecah’. Ayo tambah congyangnya, nanti saya yang bayar. Apalagi nanti kalau sudah ndlosor (berhubungan dengan WTS dengan hanya menggunakan tikar di semak-semak) rasanya plong,’’ujar seorang pemuda yang mengaku sebagai buruh bangunan.

Sementara itu, petugas gabungan Satpol PP dan Polsek Semarang Tengah terus melakukan operasi penyakit masyarakat (Pekat) dengan sasaran WTS jalanan, kemarin.

Kapolsek Semarang Tengah AKP Prayitno mengungkapkan, operasi dilakukan untuk menciptakan suasana aman menjelang Pilwalkot di sejumlah jalan protokol. lek—Ks

Wawasan
31 Maret 2010

Jurnalis/ wartawan yang menulis pada artikel ini sungguh bias jender.
dia mengatakan WTS. kenapa tidak menggunakan pekerja seks komersial.
dan disitu juga diberitakan bahwa operasi dilakukan untuk menciptakan suasana aman menjelang pilwakot.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

oleh : Ovie Valerious

UU Perkawinan tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan sudah dianggap sebagai UU yang tidak lagi relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini terutama bagi perempuan. Karena UU perkawinan 1974 merupakan produk UU yang memiliki dampak diskriminatif, khususnya bagi perempuan. Diantaranya bisa dilihat dalam BAB I ps. 4 ayat (1) yang berbunyi : Dalam hal seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, seperti tersebut dalam ps. 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Kemudian diperjelas lagi dalam ps. 4 ayat (2) yang berbunyi : pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memebrikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang meliputi :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal dan Ayat tersebut jelas-jelas menyebutkan betapa Negara telah melakukan tindak diskriminatif secara tidak langsung terhadap serorang isteri yang notabene adalah seorang perempuan dengan mengatakan point seperti tersebut di atas, kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika kondisi dalam suatu rumah tangga justru bertolak belakang dari pointer-pointer diatas, suami cacat, suami tidak bisa memenuhi kewajibanya sebagai suami bahkan suami tidak bisa memberikan keturunan karena mandul. Jika mau fear Apakah pengadilan juga akan mengijinkan seorang perempuan menikah lagi dengan laki-laki lain (poliandri) karena alasan-alasan tersebut di atas? Silahkan direnungkan.
Sebagaimana yag telah kita ketahui bahwa bebrapa rancangan Undang-Undang yang telah masuk dalam pembahasan Program Legislative Nasional (Prolegnas) adalah RUU Hukum Materiil Peradilan agama (RUU HMPA). Tentunya ini menjadi angin segar bagi kita bersama, jika memang benar rancangan UU tersebut dapat menjadi alat yang akan mewakili rasa keadilan kita sebagai warga Negara yang berharap untuk segera disahkan, terutama dalam bidang perkawinan, jika memang draft RUU tersebut telah sesuai dengan keinginan dan kondisi masyarakat pada umumnya, dan bukan hanya segelintir kelompok saja yang diuntungkan.
Namun setelah mencermati isi dari draft tersebut justru kita dikejutkan dengan pasal-pasal yang jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Menurut Sri Nur Herawati Komisioner Komnas Perempuan dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh LRC KJHAM pada tanggal 08 Maret 2010 menyebutkan Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam RUU tersebut adalah :
1. Pengadilan agama memriksa dan memutus perkara yang dimasukkan sebagai pidana dengan menggunakan Hukum Acara Pidana;
2. Usia perkawinan perempuan tetap dibawah umur (bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002)
Perkawinan di bawah umur bagi anak selama ini menjadi praktek di masyarakat. Dimana dampak bagi anak secara biologis, psikologis dan social telah merugikan hak anak untuk tumbuh kembang anak.
3. RUU ini memasukkan perkosaan sebagai bentuk dari perzinahan (lihat pasal 48, Bab VIII pengaturan tentang perkawinan perempuan hamil karena zina).
Kategori perkosaan sebagai salah satu bentuk perzinahan akan berdampak secara psikologis bagi perempuan korban. Korban akan merasa kotor, berdosa dan akhirnya menyalahkan disi senriri. Kondisi tersebut bertentangan dengan upaya pemulihan yang menjadi hak korban sebagaimana diantur dalam PP 4 tahun 2006. Pengaturan perkawinan bagi korban perkosaan yang hamil menjadi hak penuh korban.
4. UU ini mengatur penyelesaian terhadap penolakan laki-laki untuk mengawini peremnpuan yang belum kawin, dizinai dan hamil, dengan ancman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan
5. Pengaturan tentang poligami
Pengaturan poligami masih menempatkan perempuan sebagai sub ordinat. Hal ini bertentangan dengan pasal yang menegaskan adanya persamaan suami/isteri. Syarat adanya persetujuan isteri tentu saja semakin membuat posisi perempuan tersubordinat. Perlindungan bagi isteri dalam memberikan persetujuan sama sekali tidak ditegaskan dalam RUU ini, hak isteri untuk mendapat pendampingan dalam pemerikasaan di pengadilan, team medis juga tidak diatur. Dengan demikian pengaturan poligami ini tidak berdampak pada perlindungan bagi perempuan.
Dengan demikian RUU HMPA yang kita harapkan memberikan perubahan dalam system perundang-undangan yang lebih baik ternyata masih terdapat ketidakseimbangan dalam konsep keadilan bagi bersama. Baik dalam aspek umum, bahwa undang-undang menjamin hak-hak seluruh warga Negara, tidak memandang dari sudut agama atau suku apapun. Ataupun khususnya memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang cukup rentan terhadap tindak diskrimatif.
Oleh karena itu, RUU HMPA diharapkan dapat kembali dicermati dari mulai pasal perpasal, agar dapat diketahui dimana letak kekurangan dan kelebihan dari draft tersebut. Sehingga makna dan subtansi dari tujuan perancangan sebuah Undang-undang untuk melindungi warga negaranya tidak menjadi kabur.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

syaiful HALIM
24/03/2010 09:23
Liputan6.com, Kuala Lumpur: Karena menghilangkan anjing milik majikannya, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kuala Lumpur, Malaysia, Naniarti, dihukum tidur di luar rumah selama semalam oleh majikannya, Senin (23/2) lalu. Akhirnya, TKI asal Rembang, Jawa Tengah, itu dibawa anggota Paguyuban Solidaritas Masyarakat Jawa (Pasomaja) ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara itu.

"Para pekerja asal Jawa menyelamatkan dia dan membawanya ke sini," kata Ketua Umum Pasomaja Machrodji Maghfur di Kuala Lumpur, Rabu (24/3).

Naniarti baru bekerja satu bulan di rumah seorang pengusaha mie, Ahing. Ia masuk Malaysia sebagai pembantu 6 Januari 2010 melalui PT ARNI Famili di Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, pemerintah Indonesia tengah menghentikan pengiriman pembantu ke Malaysia untuk sementara hingga ada revisi kesepakatan bilateral.

Menurut Naniarti menceritakan, majikannya pergi ke rumah yang baru untuk persiapan pindah pada Ahad lalu. Saat pulang ke rumah pada sorenya, anjing peliharaan hilang dan hingga malam belum kembali. Maka, ia pun dihukum harus bermalam di luar rumah dalam keadaan hujan lebat.

Saat itu, patroli polisi Diraja Malaysia melihat Naniarti dalam keadaan basah kuyup dan kedingin. Setelah bertanya inu-itu, polisi-polisi langsung pergi dan tidak melakukan pertolongan apa pun. Akhirnya, sang TKI diselamatkan beberapa pekerja asal Jawa yang tinggal tak jauh dari lokasi kejadian.

Naniarti menjelaskan, ia miliki tugas memberi makanan dan memandikan anjing, serta mencuci kandang anjing setiap minggu. "Bahkan, rincian tugas-tugas itu ditulis di atas kertas," katanya di kantor Pasomaja.

Sebelumnya, Naniarti dipekerjakan di kedai obat Cina. Tapi, karena sering salah memberikan obat karena tidak paham obat-obatan China, ia minta berhenti dan dipulangkan ke agensinya. Setelah itu, ia dikembalikan ke agensi pemasok pembantu rumah tangga Malaysia "Pesona Hati Sdn Bhd". Di tempat itu, ia malah dipukuli.

"Jika ada warga Malaysia yang mencari pembantu di Pesona Hati, semua calon pembantu disuruh berdiri satu kaki dengan tangan memegang kedua kuping secara menyilang. setelah ada pembantu yang dipilih barulah diijinkan berdiri normal," kata Naniarti.

Naniarti masih ingin bekerja di Malaysia dan dia mengaku belum menerima gaji. Di kampungnya Rembang, ia meninggalkan seorang suami dan seorang anak.(ANT/SHA)

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Lrc-kjham bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Komnas Perempuan mengadakan DISKUSI PUBLIK dengan tema “ RUU MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN DAN UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN” diskusi ini diselenggarakn di Ruang Sidang Magister Hukum Undip dalam rangka memperingati hari perempuan internasional 8 Maret 2010. Diskusi ini dimoderatori oleh Ibu Ani Purwanti, SH, M.Hum dengan narasumber Bapak Prof. Dr. Nyoman Sarikat Putra Jaya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tentang aspek pemidanaan di dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan implikasinya terhadap perlindungan hak-hak perempuan, Ibu Sri Nurherwati, SH komisioner KOMNAS Perempuan tentang pandangan komnas perempuan terhadap intervensi negara dalam perkawinan berdasarkan pengalaman advokasi kasus, Ibu Dr. Messy Widiastuti anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, dan Evarisan, SH, MH Direktur LRC-KJHAM KJHAM Semarang dengan tema pengalaman advokasi kasus perkawinan siri dan poligami di Jawa tengah
Acara dimulai dengan sambutan dari Direktur LRC-KJHAM Evarisan menyampaikan tentang sejarah diperingatinya 8 maret sebagai Hari perempuan Internasional yaitu sejak tahun 1975,dimana moment-moment ini selalu diwarnai dengan pergerakan perempuan. Indonesia sudah meratifikasi konvensi dan mengesahkannya melalui Undang-undang No 7 Tahun 1984, konvensi ini tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam konvensi menyebutkan bahwa Negara peserta harus membuat perumusan peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan di bidang perkawinan dan keluarga, salah satunya adalah bagaimana Undang-undang perkawinan yang sudah kita miliki sejak tahun 1974 itu sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Akan tetapi Undang-undang masih kita gunakan sampai saat ini, misalkan terkait dengan usia menikah, perkawinan yang tidak dicatatkan atau tidak sah secara agama, kawin mut’ah, serta ketika laki-laki-laki tidak mau bertanggung jawab sementara dia menghamili perempuan atau sudah menyetubuhi perempuan tidak ada aturan hukum yang menjerat pelaku. Harapan kami dengan adanya RUU ini maka akan lebih baik lagi nasib perempuan.
Diskusi dibuka dengan pembicara Evarisan, S.H, M.H mempresentasikan terkait pengalaman lrc-kjham dalam menangani kasus, Evarisan menceritakan pengalaman kasus Ibu LN, Ibu LN dan suaminya menikah sah secara agama, selalu menunda pernikahan di catatan sipil hingga lahir 5 anak, kemudian akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan ibu LN jadi depresi, karena di lingkungan sosial menjadi cemoohan dari masyarakat, sampai saat ini suami pergi dari rumah dan tidak kembali lagi walaupun Ibu LN tau dimana domisili suami. Lima orang anak yang dilahirkan semuanya belum punya akta kelahiran. Kalaupun akta kelahiran akan diurus maka nama bapak biologis tidak bisa dicantumkan dalam akta kelahiran itu. Selain berdampak pada psikis Ibu LN, ternyata ibu LN juga sering mengalami kekerasan fisik dari suaminya. Pertama kali ibu LN datang ke LRC-KJHAM menyampaikan apa yang dia alami dan lrc-kjham mencoba menyampaikan kepada Polisi, ternyata pada saat laporan kepada polisi, polisi tidak bisa menerima laporan ibu LN, karena polisi meminta ada bukti otentik kalau Ibu LN adalah istri dari Bapak A. Kemudian minta supaya Undang-undang PKDRT dipakai ternyata tidak bisa dan kalau penganiayaan bisa diproses secara hukum maka pasal yang digunakan adalah 351 KUHP dan seterusnya dan ancaman pidana sangat ringan. Kemudian di dalam KUHP juga hanya mengatur kekerasan fisik, sementara kekerasan psikisnya mau dihina, dicaci maki tidak ada satu pasalpun yang bisa dijerat. Kemudian penelantaran tidak bisa. Kemudian anak yang tadi dilahirkan tidak bisa mendapat akta kelahiran dari catatan sipil.
Kasus yang kedua ibu RSI, Ibu RSI mempunyai anak satu, dan anaknya sudah menikah dan mempunyai anak jadi Ibu RSI sudah mempunyai cucu. Tetapi suami tetap mengajuan poligami di Pengadilan. Pengajuan poligami ini dengan alasan karena ibu RSI tidak bisa memberikan anak laki-laki-laki, saat penandatanganan ini penuh dengan intimidasi bahkan terjadi pengrusakan barang, karena Ibu RSI tidak mau menandatangani karena tidak rela suaminya akan poligami. Tetapi sebelum itu ternyata suami sudah kawin siri dengan istri kedua dan lahir satu anak laki-laki saat ini usai 4 tahun. Pada saat meminta surat ijin tidak hanya ancaman fisik juga psikis, kalau tidak mau tanda tangan maka kamu akan saya cerai, selama persidangan suami tidak henti-hentinya mengintimidasi korban, pada saat pengajuan ijin poligami dia belum didampingi oleh LRC-KJHAM dan maju sidang sendiri, pada akhirnya ijin poligami dikabulkan dan terjadi poligami, menikahi secara sah istri yang ke dua. Tetapi janji akan berbuat adil tidak dilakukan oleh suami, bahkan sampai kekerasan psikis luar biasa membuat Ibu RSI dibawa ke psikiater. Kemudian ternyata janji untuk tidak menceraikan dilanggar, si suami mengajukan gugatan cerai. Setiap kali sidang Ibu RSI selalu pingsan, sampai dibawa ke ruang sidang dan dibawa ke ruang hakim dan LRC-KJHAM selaku kuasa hungan dengan memberanikan diri memohon perceraian jangan dikabulkan dan perceraian tidak dikabulkan, tetapi poligami tetap dilakukan dalam kondisi penuh ketidakadilan. Kita juga mau mengajukan pembatalan perkawinan karena perkawinan kedua seharusnya batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat juga banyak pelanggaran yang terjadi. Apa yang dilakukan Ibu RSI ini, ijin poligami yang didapat tetapi tidak sah secara hukum karena penuh dengan intimidasi, syarat berpoligami juga tidak terpenuhi, Undang-undang perkawinan KHI jelas ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Juga tidak ada jaminan perlakuan adil dari suami.
Kasus yang ketiga kasus dalam pacaran, pacaran dengan laki-laki kemudian terjadi persetubuhan dan hamil sebelumnya dijanjikan akan dinikahi, karena usia sama-sama dewasa maka juga tidak bisa disentuh oleh hukum, karena Undang-undang kita tidak mengakomodir kalau korban diatas 18 tahun bahkan 14 tahun di dalam KUHP. Yang terjadi mulai dari perawatan kehamilan sampai hamil dilakukan sendiri oleh perempuan dan anak yang dilahirkan tidak dapat mendapatkan akta kelahiran dengan mencantumkan nama bapak biologisnya. Dan juga tidak dinafkahi sampai anak ini lahir. Kalau kita lihat bahwa belum ada Undang-undang yang melindungi ketika terjadi kasus seperti itu. Dari tiga kasus ini ada 3 hal yang bisa simpulkan.
Pertama tidak mencatatkan perkawinan secara negara, poligami, kawin mut’ah, menghamili atau menyetubuhi baik itu hamil atau tidak, itu tidak bisa disentuh hukum, tidak dianggap sebagai suatu bentuk kejahatan.
Kedua tentang usia, tentang usia ini juga sangat beragam walaupun sudah ada Undang-undang No. 23 tahun 2002 ternyata tidak ada satupun pasal yang bisa mempidanakan ketika terjadi perkawinan dibawah umur, contoh konkrit kasus pujiono, kasus pujiono bisa sampai di pengadilan bukan karena dia mengawini anak dibawah umur ataupun kawin siri atau sah secara agama, tetapi pencabulannya seandainya tidak menunjukan atau belum ada bukti mengarah kesana maka pujiono pasti akan bebas tidak bisa dijerat secara hukum.
Kemudian yang ke tiga, bahwa Undang-undang pidana khususnya KUHP tidak mengatur atau tidak memberikan perlindungan kepada tiga kejahatan yang tadi disebutkan, apalagi kekerasan psikis, seksual, ekonomi, yang terjadi dipernikahan hanya sah secara agama, maka KUHP tidak bisa menyentuh dan tidak akan mendapatkan hak-haknya, hak itu antara lain ketika terjadi perceraian maka harta gono-gini ini tidak bisa didapat. Kemudian kalau suami meninggal maka hak atas warisan tidak bisa didapat, kemudian belum terjadinya putusnya perkawinan maka kalau terjadi pelanggaran misalnya suami tidak memberikan nafkah maka ini juga tidak bisa dituntut kita mau pakai apa.
Di dalam pasal 16 CEDAW sudah sangat jelas terkait usia yang layak untuk menikah, tentang pertunangan dan kawin siri. Selain pasal 16 konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini juga, direkomendasi umum no 21 tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan kekeluargaan lebih jelas lagi terkait dengan kewajiban negara. Perkawinan juga harus dilarang sebelum mereka masuk usia dewasa sepenuhnya dan kemampuan untuk bertindak. Dan data dari WHO ketika anak dinikahi sebelum usia dewasa akan berdampak pada reproduksi anak.
Negara mempunyai kewajiban membuat peraturan perundang-undangan sekaligus perangkat harus dipersiapkan untuk bisa melindungi perempuan dan anak yang ada dalam kondisi seperti kawin siri, poligami, kawin kontrak serta tidak dinikahi secara sah baik secara agama maupun Negara.

Pembicara kedua Ibu Messy
Ibu messy mengkritisi pasal perpasal. di Pasal 5 ayat 1 disebutkan Setiap Perkawinan Wajib Dilangsungkan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dalam artian untuk menghindari pernikahan yang tidak dicatatkan, pernikahan yang istilahnya dibawah tangan atau pernikahan lain yang menurut agama diperbolehkan namun di dalam pasal ini disebutkan setiap pernikahan harus dilangsungkan dihadapan pejabat pencatat nikah dalam artian ini menguntungkan bagi kita semua kalau ada pernikahan yang dilakukan tidak dilangsungkan dihadapan pencatat nikah itu adalah tidak diperbolehkan. Di pasal 5 ayat 2 disebutkan Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ayat 1 tidak mempunyai kekuatan hukum, jadi kalau pernikahan tersebut diharapkan mendapatkan haknya atau terjadi sengketa ada kekuatan hukumnya harus dicatatkan.
Bab III dalam peminanangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya.
Rukun dan syarat perkawinan pasal 14 ayat 1 Perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan mempelai perempuan 16 tahun. RUU ini harus direvisi, tidak bisa umur 16 tahun tetapi harus 18 tahun.
Pasal 14 ayat 2 Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ayat 1 tidak mempunyai kekuatan hukum kembali di depan bahwa harus dicatatkan dan tidak boleh istilahnya dibawah tangan.
Dipasal 27 ayat 1 mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempelai perempuan,
Bab 6 larangan perkawinan dan perkawinan yang dilarang.
Pasal 34 ayat 1 dalam hal seorang laki laki mempunyai 4 orang istri yang bersangkutan dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan apabila tidak memenuhi hal-hal yang harusnya dilaksanakan. kenapa kok 4 enggak 1 saja, padahal azaz perkawinan dari UU perkawinan No. 1 tahun 1974 azaz nikah satu orang saja karena menimbulkan ketidakadilan. Kalau syarat pernikahan lebih dari satu seharusnya harus ijin kepada istri yang lama dan harus adil ini merupakan aturan yang sulit.
Bab VIII perkawinan dengan perempuan hamil, di pasal 47 ayat 1 seorang perempuan hamil karena zina dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya. Bu Messy menguusulkan kata dapat diganti dengan kata harus.
BAB IX beristri lebih dari 1 pasal 50 ayat 1 beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan dibatasi hingga 4 orang istri.
Pasal 52 ayat 1 Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan.
Pasal 54 harus dipenuhi dengan syarat-syarat adanya persetujuan istri. Persetujuan istri tidak mudah karena walaupun ada seorang istri yang bisa menerima suaminya beristri lebih dari satu, tapi pada umumnya perempuan menginkan satu saja istrinya. Itu terbukti ada seorang kiyai yang kita kenal di Bandung, begitu kita kagumi dengan satu istri begitu dia kawin lagi, pada saat istrinya satu bisnisnya melonjak semua prodak yang dibuat laku dan banyak kunjungan disana sehingga usahanya booming begitu ada berita dia menikah lagi langsung turun drop sampai habis, itu bukti bahwa sebetulnya kita perempuan menginginkan bahwa suami kita mempunyai satu istri saja, kita ingin saling memiliki apapun kekurangan diantara kita.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak anak mereka. Pasal ini perlu ada tambahan kepastian tertulis keperluan hidup yang layak dan mapan bagi anak-anaknya.
Pasal 54 ayat 3 ditiadakan karena membuat rancu ayat 1. coba pasal 54 ayat 1. dalam hal istri tidak memberikan persetujuan permohonan ijin lebih dari 1 orang walaupun telah memenuhi persyaratan pengadilan disebutkan pengadilan dapat menetapkan untuk istri lebih dari satu. Jadi kami mengusulkan untuk dibatalkan untuk tidak mau memberikan ijin permohonan menikah lebih dari satu sangat rancu dan bisa menjadi pasal karet, dan sebetulnya istrinya tidak mau malah mengatakan mau, saya usulkan untuk dihapus dan dikaji ulang.
BAB X Pencegahan Perkawinan Harus ada sanksi pejabat pencatat nikah yang melangsungkan/membantu melangsungkan pernikahan yang tak memenuhi syarat. Ini sanksinya belum jelas, karena pernikahan yang tidak dicatatkan ternyata ada pejabat pencatat nikah yang membantu melakukan pernikah dan terjadi pernikahan yang tidak dicatatkan.
Bab 11 pasal 67 suatu perkawinan dapat dibatalakan bila seorang suami beristri lebih dari satu orang tanpa ijin pengadilan.
BAB 12 mengenai hak dan kewajiban suami istri, di pasal 73 ayat 2 suami istri harus saling mencintai, menghormati, setia dan membimbing serta saling memberi bantuan lahir batin.
Pasal 74 ayat 2 Hak dan kedudukan suami dan istri seimbang. Pasal 74 ayat 5 Apabila suami tidak memberi nafkah dengan rela membebaskan suami dari kewajiban. Ini mohon diganti bukan membebaskan suami tetapi istri membantu mencari nafkah. Sekarang juga Suami rejekinya kurang dan tidak bisa menafkahi jadi istri bisa membantu jadi bukan dibebaskan tetapi istri membantu.
Bab 13 harta kekayaan dalam perkawinan. Pasal 82 ayat 1 Perkawinan tidak mengakibatkan percampuran harta suami dan harta istri kecuali suami istri menentukan lain. Usulan saya bagaimana kalau tidak, ini dihapus ketika suami istri ini hasil berdua ya merupakan hasil bersama kecuali mereka menentukan lain jadi dibalik, otomatis sebuah keluarga penghasilan untuk keluarga tersebut, kecuali ditentukan lain, jadi tidak sejak awal disebutkan terpisah.
Pasal 86 ayat 2 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Kenapa kok suami saja kalau suami istri bagaimana, Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama bagaimana kalau suami istri tidak suami saja yang berkewajiban menjaga harta bersama.
Bab 13 kedudukan anak. Dipasal 96 dalam hal perkawinan perempuan hamil maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 hari terhitung dari sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam artian anak ini adalah anak ibunya. Dalam artian hanya anak ibunya. Saya usulkan bagaimana kalau ternyata kehamilan itu adalah hasil hubungan laki-laki yang dinikahi, jadi anak itu memang anak dari laki-laki karena lahirnya duluan dan kurang dari 180 hari padahal memang anak dia, tetapi disebutkan ini hanya anak istrinya, ini perlu dikaji ulang.
Ketentuan pidana Pasal 141 setiap orang juga dengan sengaja melangsungkan pernikahan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah hanya di denda 6 juta menurut bapak ibu kurang ya, karena biasanya orang yang mempunyai uang berlebih akan melakukan. Jadi dendanya saya usulkan ditambah sehingga membuat jera dan menikah dihadapan pencatat nikah. Kemudian pasal 143 Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri 2 ke 3, atau ke 4 tanpa mendapat ijin dari yang terdahulu, di denda juga hanya Rp.6.000.000 kurang ya bu. Perlu dipertimbangkan ditambah dendanya. Pasal 141 melakukan perzinahan dipidana paling lama 3 bulan kurang ya, perlu dipertimbangkan. Demikian bapak ibu sekalian memang sedikit dan saya dangkal pengetahuan saya terbatas tetapi saya rasa cukup saya haturkan semua, terimakasih atas perhatiannya.

Dilanjutkan dengan presentasi Sri Nur Herawati, kalau kita lihat direkomendasi umum no. 19 ada pelarangan dan pencegahan perkawinan poligami, kemudian larangan poligami dan nikah siri dan usia minimum kawin 18 tahun ini sejalan dengan UU anak, tetapi komentar akhirnya kita diperingatkan untuk segera mengamandemen Undang-undang No. 1 tahun 1974 melakukan strategis efektif dengan prioritas dan jadwal waktu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkup keluarga dan perkawinan. RUU HMPA ini sebenarnya tindak lanjut Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Undang-undang tersebut berisi susunan dan hukum acara yang ada diperadilan agama, sehingga para hakim membutuhkan hukum materinya, untuk itu kenapa di dalam Undang-undang ini menyangkut ketentuan pidana. Kalau kita melihat UU perkawinan yang pertama perlu kita lihat dan juga kritisi karena undang-undang ini sangat ambivalen penuh dengan kontradiktif. Undang-undang ini tujuannya untuk melindungi perempuan tetapi jalannya ditengah bertolak belakang dengan tujuan. Kita melihat dipengaturan poligami di dalam Undang-undang ini sama sekali tidak memahami latar belakang. Kemudian masalah dan kondisi psikologi korban sehingga akhirnya di dalam syarat maupun alasannya mengandung unsure sub ordinat dan di dalam syaratnya harus persetujuan istri, dan syarat suami mempunyai kemampuan dan adil. Dalam praktek syarat-syarat ini pengadilan agama yang memberikan ijin karena keputusan diambil alih oleh pengadilan ketika istri tidak memberikan ijin. Pengadilan sendiri tidak memastikan apakah syarat dan alasan ini tidak mengandung diskriminatif, kalau kita lihat ternyata alasan cukup diskriminatif, sub ordinat bagaimana perempuan tidak mempunyai keturunan, sakit atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan kemudian tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, bagaimana pengadilan bisa memastikan itu kalau dia tidak memahami soal perilaku KDRT, itu yang terjadi pada praktek pengadilan agama selama ini. Kalau alasan-alasan yang dikemukan suami, bahwa istri memenuhi ketiga alasan itu ternyata disebabkan adanya KDRT maka seharusnya ini tidak dikabulkan, karena hakimnya tidak faham soal konsep KDRT ijin dikeluarkan, dan saya pernah mendapatkan kasus di Jakarta Timur, istrinya menderita sakit selama 10 tahun suami seorang dokter RSCM suami tidak pernah memberikan pengobatan. Sampai selama 10 tahun tidak pernah dirawat, kemudian anak-anak membawa ke rumah sakit karena bapaknya merasa malu, ketika anak membawa ke rumah sakit, bapaknya ijin dan bapak mengajukan ijin poligami, panggilan ke rumah tidak ada yang menerima karena ke rumah sakit, proseslah pengadilan agama, karena tidak hadir keluarlah putusan verstek tanpa hadirnya pihak termohon. Tetapi kemudian kita analisa, ini bagian dari KDRT karena ternyata diduga ibu menderita karena pembagian dalam rumah tangga tidak imbang. Jadi ibu rumah tangga, mengatur rumah tangga, tidak boleh bertanya abcd, kemudian sistem keuangan menggunakan sistem raiburs, bisa dibayangkan, satu bulan dikasih satu juta laporannya harus ada satu juta. Yang menurut bapak dianggap boros missal beli bakso dalam satu bulan 2 kali beli bakso dicoret, beli baju sampai tiga kali boros coret. Jadi menurut bapak pengeluaran rumah tangga 500ribu maka si istri akan mendapatkan 500ribu, 500ribu ini akan dilaporkan lagi kalau uangnya sudah habis untuk reinburs sampai 10 tahun, akhirnya tertekan dia dari keluarga demokratis dan tidak kekurangan, ketika mendapatkan suami seperti ini akhirnya sakitlah dia dan tidak mendapatkan pengobatan. Akhirnya anak-anak melakukan perlawanan, dan kita tunjukan ini adalah proses KDRT meskipun alasan undang-undang memenuhi tapi alasan ini terjadi karena KDRT, akhirnya penetapan pengadilan ini kemudian dibatalkan. Kemudian bapaknya tidak bisa mengajukan poligami meskipun dia bilang mengikuti hukum negara mematuhi tapi kalau tidak diijinkan saya akan coba lagi dengan cara dia akan meminta persetujuan istri, dibujuklah anak-anaknya, kalau anak-anak masih sekolah terus suruhlah berhenti jangan melawan bapaknya, karena ibunya dalam keadaan sakit dia coba mempengaruhi anak-anak enggak usah ke pengadilan, biarkan saja, bapak akan melakukan upaya hukum lagi dan anak-anak diam diri dulu. Ini yang kita intervensi. Harusnya pelajaran inilah yang akan kita lakukan didalam RUU HMPA tadi, dimana dalam RUU HMPA, mengatur soal persetujuan, alasan ini masih sub ordinat persetujuan ini masih muncul tetapi di kemudian pengadilan diangkat oleh RUU ini selain persetujuan secara lisan maupun tertulis, istri akan dipanggil ke pengadilan untuk dimintai keterangan, ini harus kita masuki bahwa istri mempunyai hak untuk mendapatkan konseling, pendampingan, penguatan, sehingga kalau ketika memutuskan poligami atau tidak nuansanya jelas tidak dalam kondisi yang rentan. Karena kalau di Undang-undang perkawinan ini masih melakukan pembagian peran meskipun di RUU ini masih coba diangkat pembagiannya sama, suami kepala keluarga, istri ibu rumah tangga, kemudian di ayat selanjutnya dicoba diseimbangkan bahwa meskipun kedudukan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga ini kedudukan seimbang tetapi ini juga harus ada penguatan yang lebih karena kondisi psikologi, karena relasi sudah tidak imbang tetap akan melekat, artinya posisi persetujuan tadi memang harus ada penguatan-penguatan. Berkaitan dengan ijin poligami yang tidak ke pengadilan ini sebenarnya dalam pasal 279 KUHP sudah diatur dan masuk dalam kejahatan perkawinan. Sayangnya di RUU ini menjadi pelanggaran, turun ya pak nyoman derajatnya, tadinya sebagai tindak kejahatan jadi pelanggaran makanya hukumannya denda atau kurungan lebih ringan jadi dimana sebenarnya maksudnya RUU ini akan memberikan perasaan keadilan, itu yang mestinya menjadi catatan. Di dalam peraturan yang kemaren memang penegakan hukumnya kurang tegas, kalau kita lihat di dalam KUHP sebenarnya delik laporan, tetapi kalau kita lihat kalau tidak ada yang melaporkan polisi tidak akan gerak dengan alasan ini persoalan keluarga, kita lihat kasus bambang mayangsari sudah jelas, tetapi sama sekali tidak ada tindak lanjut barangkali karena perkawinan Bambang dan Tri tidak dihadapan pejabat atau dibawah tangan jadi tidak diakui telah terjadi perkawinan. Sehingga dimasukan ke perzinahan delik aduan, karena kejahatan perkawinan selama ini tidak menonjol. Yang kedua usia minimum perkawinan dalam UU perkawinan sudah jelas, tadi bu messy menyampaikan itu, dalam RUU ini ada yang aneh, pasalnya 16 dan 19 itu diruunya tetapi dipenjelasan 18 dan 21 jadi ini memang masih bolong-bolong maka ini masih ditutup sama pak mentrinya, itu saya kira jelas bagaimana kita akan melakukan advokasi pasal-pasal itu dan pembagian peran sudah saya sampaikan bagaimana domestik dan publik RUU ini diseimbangkan, tetapi kondisi psikologi, stikma di masyarakat, sertifikasi perempuan adalah milik laki-laki, istri milik suami yang perlu coba untuk dilakukan pembongkaran kembali. Kalau didalam RUU HMPA diatur dalam pasal 50 sampai 55 tadi saya sampaikan ini harus ada proses penguatan maupun konseling. Kita sebenarnya menolak poligami sama seperti yang direkomendasikan di rekomendasi no. 19 akan tetapi kita coba kaji kembali, mungkin tidak kita melarang terjadi poligami, kalau itu tidak mungkin maka yang bisa dilakukan kita melakukan tahapan bagaimana praktek poligami itu bisa diminimalisisir dipersempit dengan cara menguatkan perempuan melakukan konseling, sosialisasi hak perempuan. Kalau kita lihat salah satu anggota klub poligami mengatakan dimadu itu susah dihati, sehingga dia bikin club orang yang sama-sama susah ini melakukan konseling kelompok, sama-sama berdoa sehingga tidak menderita lagi sehingga berkembang menjadi penguatan dibidang ekonomi dan itu diceritakan secara eksplisit dan saya kira itu bukan hal yang bisa kita negasikan bahwa praktik poligami itu poligami terus ada dan bisa berkembang sehingga kita harus bisa mencari celah bagaimana ini bisa diperketat dan persempit. Juga untuk melakukan pengawasan atau paling tidak memberikan perlindungan terhadap perempuan yang hidup dilingkungan perkawinan poligami. Sama-sama sekali kita larang dia akan melakukan poligami dibawah tangan jadi kita tidak bisa melakukan pemantauan kita enggak bisa memberikan perlindungan karena cenderung akan takut karena ada ancaman pidana dsb. Jadi perlu kita kaji kembali bagaimana kita memberikan strategi-strategi yang betul-betul tujuannya untuk perlindungan. Yang kedua di dalam RUU ini sangat menarik, memasukan perempuan hamil akibat perkosaan dalam kelompok hamil dalam perzinahan, sementara dalam RUU ini diberikan definisi perzinahan melakukan hubungan badan di luar nikah laki-laki dengan perempuan yang belum menikah, sementara perkosaan melakukan hubungan badan di luar dengan paksaan. RUU ini tidak memperhatikan kondisi psikologi korban, kalau dia dimasukan dalam kategori perzinahan mungkin secara hukum agama masuk, tetapi dalam hukum positif saya kira kita memperhatikan apalagi kita punya PP No. 4 tahun 1006 tentang penyelenggaraan, pemulihan dan rehabilitasi bagi korban. Artinya ini juga harus masuk dalam pertimbangan bagaimana kita memasukan kelompok-kelompok ini menjadi kelompok yang terlindungi secara psikologi dan terkuatkan. Sehingga korban tidak lagi merasa kotor, berdosa, bersalah akhirnya cenderung untuk menarik diri. Didalam RUU ini mengatur perempuan hamil karena perkosaan dalam pernikahan, padahal ini adalah hak mutlak bagi korban untuk menikah dengan siapapun itu bukan menjadi intervensi negara. Mungkin ini salah masuk karena Negara tidak perlu mengatur menjadi hak penuh korban itu sendiri, kemudian mencoba memasukan laki-laki yang menghamili perempuan yang belum menikah kemudian menolak menikahi selam ini kita kenali ingkar janji dan memang kasus ini angkanya tinggi tetapi kasus-kasus ini masuk di dalam rancangan KUHP. Tidak tau apakah ini penting masuk di dalam RUU HMPA ini, karena ini masuk dalam bentuk kejahatan yang ancamannya penjara maksimal 3 tahun. Sementara di rancangan KUHP ini ada memang harus ada sinkronisasi dan harmonisasi rancangan undang-undang.Didalam penjelasannya pasal ini memastikan bahwa kenapa ini harus dibawa ke pengadilan karena menentukan siapa laki-laki yang harus bertanggung jawab kalau dilakukan lebih dari seorang ini apalagi. Kasus-kasus ini dimasukan membuat kotak sendiri bagi perempuan lalu bagaimana kalau hanya satu orang, dimana kasus ingkar janji selama ini menolak menikahi memang ada dugaan dari si pelaku tidak hanya dengan saya kok, pengingkaran. Pengingkaran ini kemudian dimasukan ke dalam Undang-undang saya kira juga perlu kita cermati bersama apakah bunyi undang-undang ini, karena memang kelemahan legislator kita dalam legal drafting. Sehingga perlu kita cermati, ini justru menimbulkan bentuk kekerasan yang lain, ini kekerasan Negara kalau legal draftingnya sudah menjustifikasi semacam ini. Ada pembagian peran langkah majunya seimbang tetapi di dalam pasal-pasalnya berikutnya mengatur, bahwa suami mempunyai kewajiban pembimbing meskipun keputusan penting keluarga diambil berdua tetapi dia pembim bing. Pembimbing, pelindung bahkan memberikan pendidikan agama bagi istri, ini yang perlu kita teliti bersama kalau melanjutkan namanya perlindungan. Karena justru bentuk-bentuk semacam inilah yang menimbulkan bentuk baru dalam KDRT ataumemberikan peluang kepada KDRT.
Kemudian soal kawin campur. RUU ini juga diakad dengan memberikan kewajiban deposit bagi laki-laki yang akan menikahi perempuan Indonesia. Ini aneh sekali dengan tujuan melindungi kalau di dalam penjelasan kita baca, kalau uang ini akan digunakan kalau suami ini melakukan penelantaran. Sementara bentuk KDRt bukan hanya penelantaran, di dalam RUU ini disebutkan dalam jangka waktu 10 tahun, bagaimana KDRT sudah lebih dari 10 tahun itu sudah terlanjur diambi dan yang mengambil suaminya, setelah 10 tahun perkawinan, bagaimana. Seharusnya Negara memastikan bahwa ada perjanjian bilateral antar Negara dalam hal perlindungan perempuan dalam keluarga dan hubungan perkawinan, itu sampai hari ini kita belum pernah, titik-titik terang terobosan advokasi belum dilakukan. Kita bisa berkaca pada kasus manohara, bagaiman dia berjuang, ibunya mengadu ke Meneg PP kemudian juga komnas perempuan saat itu juga dilapori, tetapi karena saat itu komnas perempuan tidak mempunyai mandat, maka hanya bias mendorong pemerintah bisa melakukan sesuatu. Justru mentri pemberdayaan perempuan melemparkan ke polisi, polisi bilang itu di luar batas kedaulatan RI. Sebenarnya bias dilakukan bagaimana antar diplomatic ini melakukan diplomasi yang tujuannya adalah melindungi perempuan, Malaysia juga sebenarnya punya undang-undang anti KDRt yang itu sebenarnya bisa kita lakukan advokasi, hal-hal seperti ini yang seharusnya mulai kita fikirkan bagaimana mekanisme dan system perlindungan terus-menerus itu yang kita belum punya.
Yang ke enam RUU ini memasukan ketentuan pidana, pelanggaran dan kejahatan pidana. Tadi yang soal melangsungkan perkawinan tidak dihadapan pencatat nikah masuk ke dalam pelanggaran. Kemudian poligami tanpa ijin masuk pelanggaran. Kawin campur yang tidak memberikan deposit 500 juta masuk pelanggaran, kemudian soal rujuk yang tidak tercatat itu masuk pelanggaran. Menurun tadi masalah poligami tanpa ijin itu di kuhp sudah ada dan masuk dalam bentuk kejahatan ini malah degradasi. Dan istilah nikah siri perlu kita cermati supaya kita tidak terjebak dan belok arah. Yang kita inginkan sebenarnya bagaimana perniakahan dicatatkan, karena latar belakang yang kemudian bagaimana persoalan kependudukan kita yang tidak beres, bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual menjadi kasus kdrt yang itu semua peluang-peluang dilakukannya pernikah yang tidak dicatatkan pada akhirnya korbanlah yang kemudian dikriminalisasikan. Beberapa waktu yang lalu saya memberikan komentar di detik.com bahwa tidak feer perempuan itu juga dikriminalkan karena itu justru menjadi kekerasan berlapis bagi perempuan. Dan saya tidak menyangka komentarnya banyak dan justru lebih pada persoalan komnas perempuan gatel jadi seolah-olah pencetus pernikahan dibawah tangan itu justru perempuan.yang meminta perempuan, yang mendorong terjadi perempuan yang dia contohkan kasus mayangsari, rani juliani dll. Saya kira kita juga harus membuka mata bagaimana ini perkasus, kasus yang kecil-kecil. Dibandingkan bagaimana perempuan menghadapi sistem yang dia tidak bisa untuk melakukan perlawanan yang kuat. Saya pernah menangani kasus ini terkait dengan soal KTP, KTP pejabat kejaksaan agung seksi intel hampir semua ktpnya bujangan ternyata istri yang menjadi mitra kami menjadi istri yang ke dua, dan ternyata pejabat kejaksaan agung tersebut sudah menikah lebih dari 3, kalau kita lihat sistem, ktpnya bujangan ini sebelum sama ibu itu sudah menikah bahwa ini sistem kependudukan kita. Kemudian kawin mut’ah, cerai tidak didepan persidangan, pejabat melakukan pencatatan perkawinan, melalaikan tugasnya, berpura-pura menjadi pencatat nikah dan menjadi wali, Undang-undang ini menggunakan hukum acara pidana. Menggunakan hukum acara tidak akan ada pendamping karena tidak mengakui itu, tidak ada unit khusus yang mendampingi karena reskrim bisa melakukan itu justru menimbulkan kekerasan berlapis. Dan saya kira ini menjadi jurang bagi diskriminasi semakin dalam. Saya kira itu catatan-catatan yang saya coba kritisi dari RUU ini dan saya kita memang harus mulai melakukan sesuatu, ini kita baru bongkar pasal-pasalnya barangkali kita bias menambahkan pasal-pasal yang seharusnya ada dan saya tekankan soal perlakuan khusus yang seharusnya ada. Menggunakan hukum acara pidana tidak bisa dihindarkan karena itulah yang berlaku saat ini, tetapi perlakuan khusus yang sudah diatur dalam UUD 45 kalau kita ingat pasal 28 H ayat 2 menegaskan sekali kalau ini memang pasal yang sangat spesifik terhadap perempuan dan anak. Saya kira seperti itu terimakasih banyak wassalamu’alaikum wr. Wb.

Dilanjutkan oleh Profesor Nyoman Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Pengalaman saya jadi pengacara, banyak kasus masuk terkait KDP dan tidak bisa, tidak ada dalam KUHP. Apa kita bilang itu penganiayaan kan sama-sama suka. Perbuatan tidak menyenangkan pada senangnya sulit, termasuk ada tambahan kasusnya syeh puji kebetulan saya diminta untuk jadi saksi, saya dengan tegas pada waktu itu, KUHP tidak memidana kasus kawin siri, tidak memidana kawin pernikahan usia dini. Yang ada di dalam KUHP itu bersetubuh dengan gadis dibawah gadis 12 tahun atau berbuat cabul. Waktu saya jadi saksi saya katakan tidak ada pemidanaan terhadap kawin siri, anak dibawah umur tidak ada, buktikan ada tidak persetubuhan anak dibawah umur 15 tahun itu harus ada visum kalau tidak ada ya tidak bisa dipidana.
Yang perlu diperhatikan pembuatan RUU itu harus didahului dengan naskah akademik, di dalam naskah akademik itu kita liat bahwa masyarakat memang membutuhkan undang-undang yang bersangkutan. Sehingga perlu perumusan normanya yang bagus, prosedur pembuatannya juga bagus, sehingga suatu Undang-undang dapat diaplikasikan dan ditegaskan. Rancanagn Undang-undang ini sesudah ada kasus kasus syeh Puji, secara teori pengaturan sesuatu dalam Undang-undang dasarnya adalah kepentingan hukum yang mau dilindungi. Artinya draf RUU HMPA mengenai KMPA ini apa sebenarnya yang mau dilindungi, kalau kita liat secara keseluruhan, ini tata cara perkawinan yang harus dilindungi. Prosedur bagaimana kalau seseorang kalau mau menikah menurut peradilan agama, disini dikatakan perkawinan ini perkawinan yang berlaku untuk yang beragama islam di dalam pasal 1 ayat 1. ini diatur tata cara perkawinan ini diatur secara rinci oleh karena itu sanksi pidana, itu untuk mempertahankan norma-norma dibidang perkawinan, tata cara perkawinan. Secara normatif memang harus diakui bahwa perkembangan perundang-undang di luar KUHP atau fenomena perundang-undangan di luar KUHP khususnya yang merupakan administrasi, itu menggunakan 3 sistem sanksi, sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi pidana. Nampaknya disini dia menggunakan sanksi pidana untuk memperkuat normanya. Saya terus terang saja di dalam draf Undang-undang ini antara penjelasan dan pasal tidak singkron, saya tidak mengerti apa yang menyusun berbeda-beda, itu boleh saja, saya dulu sama profesor Muladi, Prof Balda finalisasi RUU KUHP saya diserahi 50 pasal, kamu bahas 50 pasal tetapi kami baca secara keseluruhan. Jangan sampai ada aturan yang tumpang tindih. Tadi saja sudah dikatakan mengenai umur, tadi eva mengatakan umur dewasa. Inikan syarat perkawinan, syarat perkawinan bagaimana Undang-undang itu menentukan orang boleh melakukan perkawinan. Kalau disini ditentukan laki-lakinya umur 19 perempuan 16 tetapi penjelasannya lain, tadi saya mendengar Ibu Sri dan pembicara mengatakan kawin kontrak bayar 500 juta tindak pidana, tidak ada tindak pidana itu. Kalau kita teliti dalam undang-undang ini banyak hal kekurang-kekurangannya perlu disusun kembali dikaji kembali supaya ketentuan satu dengan yang lain tidak saling bertentangann.
Di RUU HMPA memuat ketentuan pidana pada di bab 21 pasal sebenarnya pasal 141 sampai 149 disitu tertulis pasal 140 jadi pasal 141 sampai 149. disini di dalam 141 subyeknya siapa saja setiap orang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan pejabat pencatat nikah, dalam pasal-pasal sebelumnya orang kalau melakukan pernikahan harus dihadapan pencatat nikah, kalau tidak dilakukan ada ancaman pidana, ancaman pidananya 6 juta atau kurungan maksimal 6 bulan. Di dalam Pasal 42 subjeknya setiap orang, melakukan perkawinan mut’ah, ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan perkawinan batal demi hukum. Di dalam pasal 143 subyeknya siapa saja setiap orang perbuatan yang dilarang melangsungkan perkawinan dengan istri ke 2,3,4 tanpa ijin dahulu dari pengadilan. Saya dulu ingat s1. kawinilah 1,2,3,4 asal kamu bisa berbuat adil itu saya sangat hafal, tetapi yakinlah kalau kamu tidak bisa berbuat adil itu katanya ayat berikutnya. Jadi beliau mengatakan bahwa islam itu perkawinan berdasarkan monogamy, disini ada ketentuan kalau mau poligami harus minta ijin kepada pengadilan, cumin saying harusnya ada ketentuan kata ijin itu harus bagaimana. Ancaman pidananya 6 juta kurungan 6 bulan.
144 Menceraikan istri tidak didepan siding pengadilan, ini mengatur bagaimana suami kalau menceraikan istrinya tidak boleh mengumbar talak dimana-mana. Ini kan diatur terus terang menurut saya bagus segala akibat hukumnya akan dapat diberikan kepada pengadilan. Status dan lain sebagainya segalanya bisa jelas. Aancaman pidana paling banyak denda 6 juta hukuman kurungan paling lama 6 bulan.
Pasal 145 subjeknya semua orang melakukan perzinahan dengan perempuan yang belum kawin sehingga mengakibatkan hamil dan menolak menikahinya. Jadi kalau bapak melakukan perzinahan dengan yang belum kawin bapak akan dipidanakan tetapi kalau bapak berzina dengan yang sudah kawin tidak akan dipidana tetapi bapak dipidana dengan pasal 284 KUHP. Jadi jangan sampai disini tidak dipidana kemudian melakukan perzinaha, ancaman pidana paling lama 3 bulan.
Pasal 146 subjeknya pejabat pencatat nikah. Pejabat pencatat nikah wajib mencatat perkawinan, kalau tidak dilakukan pejabat pencatat nikah mendapatkan hukuman pidana. Ancaman pidana paling lama 1 tahun denda 12 juta rupiah.
Pasal 147 subyeknya semua orang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai pejabat pencatat nikah atau wali hakim dalam pasal 4 dan 21. Jadi misalnya teman saya menjadi walinya nah ini seolah-olah itu dipidana, kemauan dari undang-undang ini supaya segala perkawinan berjalan dengan teratur itu ancaman pidana 3 tahun cukup lama, ini dibilang rendah-rendah
Pasal 148 subjeknya setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah dalam pasal 22 dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Kan ada persyaratan-persyaratan tertentu. Ini ancaman pidananya paling lama 3 tahun jadi jangan ngaku-ngaku menjadi wali padahal bukan. Ini tolong nanti dikritik. Pasal 149 memberikan kualifikasi tindak pidana dalam pasal 140, pasal 142, 143 dan pasal 145 merupakan pelanggaran. Sedangkan tindak pidana dalam pasal 141, 144, 146, 142 adalah kejahatan. Dari pola ancaman pidananya nampak menggunakan pola campuran, artinya pasal-pasal yang bersangkutan ada yang diancam dengan pidana pola tunggal, misalkan ancaman hukuman 3 tahun penjara tanpa dialternatifkan denda. Juga ada yang menggunakan campuran, begini beberapa pasal ancaman pidana denda paling banyak 6 juta atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan, tetapi dipihak lain penjara 1 tahun atau denda 12 juta rupiah, saya tidak mengerti maksud perancang ini, kalau maksudnya bahwa 6 bulan yang disebutkan belakangan sebagai kurungan pengganti denda kenapa harus dicantumkan. Kalau mengikuti KUHP kita. Pidana dalam KUHP, statusnya denda lebih ringan dari pidana kurungan, saya tidak mengerti apakah maksudnya 6 bulan kurungan pengganti denda yang 6 juta, kalau itu maksudnya perlu dicantumkan sebagai kurungan pengganti. Soalnya kalau tidak ditegaskan sekarang kadang-kadang yang sudah tegas saja tidak dimengerti, dan yang lucu lagi didalam pasal 142 di dalam perumusannya normanya ada sangsi administrative. Apakah maksudnya pembentuk undang-undang pembentuk konsep ini sanksi administrative perkawinan batal demi hukum berupa pidana tambahan atau apa, harus ditempatkan tersendiri. Ancaman pidana dalam 141, 143, 144 dengan pola denda paling banyak 6 juta rupiah atau hukuman kurungan paling lama 6 bulan dan pasal 146 dengan pola sebaliknya dengan kurungan paling lama 1 tahun denda 12 juta. Akan lebih baik polanya konsisten saja dengan pidana paling lama 6 bulan atau denda, kalau memang kurungan itu harus tercantum konsisten saja dengan diatas. Kurungan dulu baru alternatifnya denda. Artinya hakim akan boleh menjatuhkan antara kurungan dan denda. Begitu juga karena pidana perkawinan batal demi hukum apakah pidana tambahan atau tidak kok ndompleng. Artinya pola ancaman pidana yang selama ini misalnya dalam kuhp pasti pidana-pidana pokok sekaligus, di pasal dalam 149 tertera pasal pasal 140 padahal 140 bukan tindak pidana. Pasal 140 bukan tindak pidana, kenapa dikualifikasi sebagai pelanggaran jadi sekali lagi itu. Kualifikasi tindak pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran dalam pasal 149 perlu dikaji penempatannya dan agak janggal pasal 142 yang ancamannya pidananya tiga tahun dipandang sebagai pelanggaran apa dasarnya. 142 itu ancamannya tiga tahun. Tapi disebutkan pelanggaran. Sedangkan pasal 141, 144, 145 yang ancaman pidananya berupa kurungan atau denda dipandang sebagai kejahatan,ini pas atau tidak. Karena pada intinya di dalam KUHP kita kalau kita mengikuti KUHP 72 kejahatan, 73 itu pelanggaran. Pada intinya kejahatan ringan walaupun ancamannya penjaranya tiga bulan karena dicantumkan ke 72 itu dimasukkan ke kajahatan. Saya usulkan tindak pidana dalam pasal 141, 143, 144, 146 adalah pelanggaran. Sedangkan 142, 145, 148 adalah kejahatan. Tindak pidana yang dikatakan bu Nur tadi ini muncul jadi pengadilan agama mempunyai kewenangan untuk memutus perkara pidana dengan menggunakan hokum acara pidana KUHP. Kalau saya memikirkan tidak murni tindak pidana dalam pasal draf RUU ini, karena sudah saya katakan tadi, sudah ada peraturannya bagaimana kalau kita mengadakan perkawinan poligami, bagaimana kita mencatatkan itu sudah ada, sehingga proses pembuktiannya tidak njelimet seperti kasusnya antasari pembunuhan susah. Oleh karena itu saya dapat memahami cuma yang harus dipahami walaupun penyidiknya kepolisian dan kejaksaan harus betul-betul juga memahami, saya khawatir jadi ini betul-betul penyidiknya, jaksanya saya tidak tau apakah aturannya di peradilan agama harus juga beragama islam,itu konsekwensi-konsekwensi yuridis. Seperti kasus di NAD, ada porno, pornonya sudah lama tetapi tidak ada yang melaksanakan. Katanya jaksanya tidak mau melaksanakan terus dia datang kesini pas kita melaksanakan seminar, jaksanya tidak mau melaksanakan jaksa akan melaksanakan eksekusi pidana seperti tercantum pasal 10 oleh karena itu harus ada pidananya sendiri bagaimana pidana yang dijatuhkan dilaksanakan, sama saja bapak ke bali menghadiri eksekusinya pak jaksa ya tidak bisa hanya bisa menyaksikan. Bapak ibu sekalian terus terang saja memang ada beberapa pasal disini, seperti yang saya katakana tadi KUHP kita disusun berdasarkan hasil penelitian yang utama dulunya itu pengaruh agama, terhadap penegakan hokum pidana, agama islam mengadakan penelitian di aceh, agama nasrani di Menado, dan agama hindu di Menado. Di Bali itu betul seperti apa yang dikatakan, bahwa pemuda bali dan pemudi bali pacaran kemudian hamil, laki-laki yang menghamili tidak mau mengawini dia akan dipidana menurut hukum adat. Pertama dia akan disuruh kawin dulu kalau tidak mau disuruh membuatkan upacara, kalau tidak mau membuat upacara bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 bulan. Syukur pasal-pasal itu sudah masuk dalam KUHP. Yang saya khawatir misalnya disini diatur disini diatur nanti di KUHP juga diatur nanti di dalam KUHP kalau nanti bisa diwujudkan katanya DPR sekarang sedang program legislasi termasuk RUU KUHP. Nanti ada undang-undang pemberlakuan KUHP. Sekali lagi banyak hal-hal terus terang menurut saya dengan undang-undang peradilan ini memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak beserta akibat hukumnya dikemudian hari. Saya terus terang saya dengan perubahannya mendukung Undang-undang ini, mungkin nanti akan di ikuti oleh peradilan agama yang lain, bisa jadi agama hindu, membuat tata cara peradilan menurut hukum materiil menurut agama hindu artinya kita semua membutuhkan kepastian.
Deni PBHI
Ada beberapa hal yang menurut saya perlu dicatat. Pertama kita harus lihat, walaupun belum ada naskah akademik, kaau kita lihat dalam undang-undang idiologi tujuan dalam undang-undang selalu ada penjelasan, kalau kita ngomong perlindungan terhadap hak asasi perempuan, kalau kita lihat dalam draf ini tidak. Bahwa sebenarnya kenapa Undang-undang itu dibuat untuk kepentingan, untuk memberikan kepastian hukum kepada hakim karena materi hukum KHI itu bukan perlindungan, danitu konsisten kita lihat dikonsideratnya itu tidak diatur atau memasukkan pasal dan undang-undang yang substansinya perlindungan seperti UU Anak dan UU PKDRT, Apakah ini perlindungan atau tidak ya substansinya di KHI buku I. Implikasinya kita lihat, yang tadi belum disinggung terkait perkawinan dengan anak-anak kalau kita lihat perkawinan dengan anak-anak itu dalam UU itu tidak boleh dan dipidana sedangkan di UU ini yang dipermasalahkan pidananya hanya perkawinan yang tidak dicatatakan, pernikahan mut’ah, itu yang harus dilihat dan perlu hati-hati juga karena pernikahan dimanapun adalah logika keperdataan kenapa logika keperdataan endingnya harus ada pemidanaan itu harus hati-hati dalam memposisikan seperti itu, juga dalam konteks seperti ini dalam beberapa kepercayaan termasuk islam, pernikahan termasuk dari bagian ibadah artinya urusan manusia sama tuhannya, dalam posisi itu apakah negara punya kewenangan masuk ke dalam ranah-ranah yang ritual dan kalau masuk dilihat masuknya sejauh sampai mana, jangan sampai mendekati satu kontroversi tentang perdebatan Negara ikut campur dalam masalah ritual, itu dulu catatan-catatan saya sementara, terimakasih.
Pengadilan agama
Masalah nikah siri dan nikah mut’ah perlu kita beri semacam gambaran bahwa dalam Islam tidak ada nikah siri dan tidak ada nikah mut’ah kenapa bisa dikatakan demikian, karena kalau kita melihat syarat rukun nikah antara lain harus ada saksi, fungsi saksi tidak seperti fungsi saksi dipengadilan. Fungsi saksi di dalam perkawinan menurut islam untuk supaya diketahui untuk pemberitahuan berarti harus diberi tahu umum, sementara nikah siri, siri sembunyi-sembunyi sudah bertentangan dengan azaz hukum islam sendiri dengan adanya fungsi saksi. Kedua alasannya apa karena dalam hukum islam diperintahkan mengadakan walimah. Dan barang siapa yang mendapat undangan nikah harus ijin kecuali ada alasan. Nikah siri tidak ada, demikain juga nikah mut’ah, nikah mut’ah itu nikah kontrak nikah yang disyaratkan berjalan dalam waktu tertentu saja itu sebenarnya juga tidak ada, jadi saya sangat mendukung apabila didalam rancangan undang-undang ini, bagi mereka yang tidak mencatatkan atau tidak melakukan perkawinannya dihadapan pencatat nikah dikenai denda atau pidana itu saya sependat sekali, cuma ada beberapa pendapat tentang pemidanaan ini jungkir balik pasal kalau kita lihat pasal 142 dalam RUU, nikah mut’ah dipidana selama 3 tahun sedangkan yang zina dan hamil dan tidak mau menikahi hanya 3 bulan. Jadi sangat perlu dilihat sangat teliti tentang pemidanaannya. Kemudian masalah poligami, poligami ini kaitannya dengan keyakinan dari ajaran, jadi seseorang kalau memeluk suatu agama pertama yakin karena masalah keyakinan kalau ajaran yang dianutnya begitu. Jadi nanti kalau sampai ada pelarangan poligami akan mendapat pelarangan yang kuat dari umat islam, jadi jalan keluarnya dengan dibatasi jadi membatasi seketat mungki peraturan-peraturan poligami, tapi saya lihat di RUU ini justru ada degradasi dalam Undang-undang perkawinan, ijin istri termasuk syarat harus ada, sedangkan dari RUU pengadilan dapat memberikan ijin kalau syarat-syarat lainnya terpenuhi meskipun istri tidak setuju, itu berarti mundur upaya hak azazi perempuan menurut saya.
ULI
Saya Uli dari PSW Unika. Ketika membaca konsideran RUU ini, diarahkan kepada penghindaran perkawinan yang tidak dicatatkan, penghindaran untuk perkawinan yang kawin siri karena akan melemahkan pihak perempuan, terkait apakah pengakuan perempuan pada anaknya secara hukum, tetapi saya melihat pencatatan sampai bab 19 masih mengacu kepada hokum agama islam, tetapi ketika bab 20 perkawinan campuran ini tidak terjadi pada islam saja, kenapa kemudian perkawinan campuran diatur disini sebagai satu bentuk pengaturan yang melindungi umat islam. Sebenarnya inikan umum kalau positif diangkat sebagai bentuk antisipasi fenomena yang ada ini harus diangkat sebagai sebuah pasal yang penting di dalam revisi UU No. 1 tahun 1974. Nanti pembicara didepan bisa menjelaskan. Bagaimana sebetulnya pembedaan ketika hukum materiil peradilan agama yang arahnya kepada pencatatan perkawinan batas kalau sampai ke ranah pemidanaan, sampai mana batas bisa kita toleransi diatur dalam undang-undang ini. Kedua otomatis pihak kejaksaan siapa yang melakukan penuntutan kalau ada pemidanaan. Disini disebut penyelidikannya polisi kemudian kejaksaan yang melakukan penuntutan jadi disini otomatis pihak kejaksaan dan polisi harus punya latar belakang hukum islam yang baik. Karena ini terkait agama islam ada rukun-rukun islam dan pasal-pasal yang sudah ada aturannya dan ini menjadi tugas berat bagi kepolisian dan kejaksaan. Saya melihat ini sebuah rancangan Undang-undang yang dipersiapkan tidak baik, sebetulnya kalau kita melihat positif. Ada perlindungan terhadap perempuan islam, tetapi ketika sudah masuk ke dalam dicampurkan hukum administrasi, hukum pidana, pengadilan agama,itu saja dari saya terimakasih,
Ovi
Saya Ovi dari KPI Jawa Tengah. Sebenarnya tujuan untuk membentuk sebuah Undang-undang untuk melindungi hak-hak rakyat, kalau kita membicangkan tentang RUU HMPA khususnya, kalau tadi dibahas poligami justru tadi disebutkan ada denda 6 juta ketika seseorang melakukan pernikahan istri, ini berbeda dengan perkawinan campuran yang didenda sebesar 500 juta, perkawinan siri aja Cuma 6 juta, kenapa perkawinan campuran didenda 500 juta. Dan 500 juta belum tentu jatuh ke istri lalu kemana uang 500 juta itu. Untuk mba nur terutama untuk pengawalan RUU ini saya sendiri berharap komisioner komnas perempuan bisa terus mengawal bukan hanya dalam pemenuhan hak perempuan juga anak terutama ketika pembahasan RUU ini tentang poligami dendanya atau paling tidak persyaratan poligami dipersempit lagi atau kalau bias dihapus tidak usah ada poligami, karena tadi sudah disebutkan bahwa prinsip islam sebenarnya itu monogamy bukan poligami. Seperti yang disebutkan dalam surat an-nisa, “bismilahirrahmanirrahim, fankihu maaqobalakum minannisai tsulasa warruba’a, itu masih ada kelanjutannya lagi jadi tidak dipotong sampai disitu. Jadi kalau ada 1,2, 3 dan empat kalau dimungkinkan laki-laki itu mampu, tetapi kita semua yakin manusia tidak akan bisa berbuat adil dan hanya tuhan yang bisa berbuat adil.
Emanuel Unika
Selamat siang semuanya. Kita sudah merdeka sudah lama, tetapi kenapa perempuan tidak mau berbicara lebih keras, padahal jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak tetapi kok hal-hal yang sifatnya diskriminasi seperti ini, hanya didiskusikan segelintir perempuan. Padahal kalau mendobrak banyak yang akan membantu, saya juga akan membantu. Saya Emmanuel.
Saya melihat RUU ini banyak yang tidak beres. Pertama ini tidak jelas naskah akademisnya ada atatu tidak, kalau ada saya juga tidak tahu siapa yang menyusun, saya ingin tahu mereka dari kampus atau apa mungkin ada diskusi terbuka perdebatan terbuka kenapa mereka membuat peraturan seperti ini.
Kita lihat dari depan halaman 2, terminologi zina itu salah kaprah. Pak Nyoman barangkali bisa menjelaskan. Lalu BAB II Saya tidak tau mereka dapat dari mana ini salah kaprah, bab 2 pasal 6 soal isbat nikah kita punya beberapa peraturan tentang isbat, dan ini juga salah kaprah, juga diikuti pasal lain. soal peminangan tadi juga disinggung, perkawinan tidak hanya soal 2 orang saja.
Soal perjanjian kawin itu aneh di pasal 145, ini aneh pelanggaran atas perjanjian kawin dapat dan seterusnya, ini dapat dari mana kok bisa menjadikan alasan untuk seperti ini. Di hukum perjanjian kok dicampur adukan, kalau orang-orang yang benar-benar mengerti ini aneh juga, pasal 48 dijadikan alasan istri atau suami untuk meminta pembatalan menikah. Tadi alasan pembatan nikah disebutkan apa saja tidak bisa seperti ini lalu mana makna nikah dari perkawinan sebagai ibadah kan lain, maaf meski saya bukan dari agama islam perkawinan sebagai ibadah bagaimana Negara ini.
Pasal 53 kenapa sih kok dilihat dari sisi laki-laki kenapa tidak perempuan sekarang banyak suami yang tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai suami.
Soal perkawinan campuran, saya banyak menangani beberapa teman yang mengalami perkawinan seperti ini. Ini apa 500 juta, personah garansi kah? Seperti yang pak Nyoman ini pasti yang buat tidak mengerti. 500 juta ini bagaimana kalau jadi harta bersama kok enak banget. Personah garansikah? Ya kalau nikahnya disini kalau nikahnya di Arab.
Lalu 145 melakukan perjizanahan dengan perempuan yang belum kawin. Lalu bagaimana kalo perempuannya sudah kawin?
Pasal 152 didepan ada isbat dibelakang tidak ada isbat.
Pertanyaan saya terakhir apa yang akan dilakukan oleh KJHAM apakah hanya sekedar diskusikah atau menggelar lompatan yang lebih progresif untuk merubah memberi rekomendasi atau saran yang lebih tinggi, melalui misalkan diskusi tentang undang-undang. Undang teman-teman yang faham sekali tentang undang-undang. Sedikit tetapi faham tentang undang-undang dan tidak mempunyai orientasi apapun tentang ini. Karena kalau saya lihat muatannya orientasinya bukan agama tetapi orientasi sesat. Karena itu kalau mau membuat rekomendasi sebelum ini diberlakukan buatlah rekomendasi dengan terlebih dahulu mengundang teman untuk diskusi secara bijak dan terakhir bijaklah menjadi suami.
Ani
Sebenarnya masih ada 2 yang tunjuk jari bagaimana kalau nanti, kita bahas dulu pertanyaan yang keenam yang panjang dan banyak aspek yang dibahas. Saya persilahkan pak Nyoman dulu
Nyoman
Saya tertarik dengan bapak yang terakir berapi-api banget, kita membahas undang-undang tidak boleh dengan emosi. Tunjukan kelemahannya lalu kita perbaiki berikan saran. Kita harus berterimakasih kepada pembuat undang-undang ini, ada kekurangannya harus kita maklumi, mari kita buatkan tunjukan kekurangannya kasih jalan keluar. Jadi saya bukan pembela tetapi saya akademisi ada kewajiban saya memberikan saran setiap draf undang-undang yang diajukan kepada saya.
Dilihat dari pertimbangan ini kita lihat kenapa RUU HMPA perlu dibangun, dia mengatakan bahwa diberlakukannya undang-undang no. 3 tahun 2000 perubahan undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang peradilan agama yang mengatur susunan, kekuatan dan acara peradilan perlu ditindak lanjuti dengan pembentukan undang -undang yang mengatur tentang hukum materiil peradilan agama, jadi kita harus lihat itu. Pertimbangannya ada di point c nya, bagaimana hukum materiil peraturan agama diatur seperti yang kita saksikan itu.
Tadi perempuan berapi-api, semua gado-gado semua ada disini, campur-campur. Tadi sudah saya katakana bahwa fenomena diluar Undang-undang KUHP terutama Undang-undang administratif kebanyakan mengundang sanksi pidana sebagai penguat berlakunya norma-norma administrative. Artinya kalau kita lihat hukum pidana murni tindak pidana korupsi, narkotika, tetapi Undang-undang perbankan mengatur bagaimana cara tetapi juga diatur sanksi pidana, artinya sanksi-sanksi yang ada dihukum perdata maupun administrasi nampaknya dianggap tidak mempan untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum oleh karena itu diminta hukum pidana tampil.
Saya ingat kenapa dalam hukum islam itu laki-laki boleh punya istri 2,3,4 kalau istri tidak mampu. Tetapi kalau suami tidak mampu cerailah. Kalau suami tidak mampu phk, dan tidak boleh, kalau dia bicara kalau wanita punya suami 1,2,3 anak dikatakan siapa, kalau saya meniakah dengan 4 orang jelas itu anaknya pak nyoman dengan si A, si B. kalau perempuan suaminya 4 anaknya siapa ini. Ini yang harus dihindari.
Pasal 140 kalau kita baca bukan hanya ayat 3nya saja, kita harus baca undang-undang itu secara kesuluruhan. Kadang-kadang kita hanya baca ayat 3nya saja kita memberikan komentar yang gak enak, ayat 1 pelaksanaan perkawinan di Indonesia, coba baca dipenjelasan ada di 140 tetapi dalam penjelasan ada dipasal 142 kan aneh ini, ini ada kekeliruan penjelasan pasal demi pasalnya ada kekeliruan. penempatan pasal demi pasal ada kekeliruan. ternyata pasal 142 ayat 1 cukup jelas, ayat 2 cukup jelas la ayat 3 ketentuan tentang pembebanan uang jaminan terhadap suami calon warga Negara asing dimaksudkan untuk melindungi melindung istri dan anak-anak apabila suami menelantarkan, tidak memberi nafkah, meninggalkan Indonesia secara diam-diam, murtad, menceraikan dll. Maunya undang-undang ini seperti itu, saya hanya membaca penjelasannya saja, coba nanti hasil usulan seminar ini ditata kembali. Saya juga terus terang saja tadi disini tidak mengatur kawin siri, kawin mut’ah, coba lihat saja pasal 39 seorang lelaki muslim atau perempuan muslimat dilarang melakukan perkawinan mut’ah, ada disini. Sekali lagi zina, kalau kita membicarakan konsep zina di dalam KUHP salah satu pihak harus terikat perkawinan. Saya katakan waktu melakukan penelitian ternyata dalam putusan-putusan pengadilan hubungan suami istri diluar perkawinan dipidana sepadan dengan zina, walaupun konsep zina adalah lain. Karena konsep zina dalam hukum pidana salah satu pihak terikat perkawinan, oleh karena itu saya dimana-mana saya katakana, ketika seorang ibu anaknya hamil dan ditinggal nikah itu sulit tapi kalau di bali kena, di bali bisa kena hukum adat. Karena hukum adatnya masih kuat.
Nur
Terimakasih. Tadi saya sudah sebutkan Undang-undang ini belum ada naskah akademisnya makanya departemen agama sangat defensive untuk tidak meneruskan polemic yang berkepanjangan. Karena mereka sudah tau banyak sekali bolong-bolong dan tidak layak. Ini sebenarnya kesempatan kiya buat masuk, kalau ini kita lihat memang difilosofinya tidak nyangkut karena memang sudah hukum peradilan agama, maka harus ada hukum materiilnya. Logikanya seperti itu saja, kita gunakan kesempatan ini untuk memasukan. Mana yang sebenarnya celah-celah yang bisa kita pakai untuk memberikan nafas perlindungan untuk perempuan. Sudah kita masukan dalam latar belakang bagaimana ini satu-satunya instrumen untuk memastikan ada diskriminasi ada atau tidak. Karena tadi saya sudah bahas, syarat-syarat alasan poligami itu justru menimbulkan sub ordinat. Dimana dia coba, disini ada usaha bagaimana supaya bisa tersentuh dengan cara dimintai keterangan di depan persidangan. Tetapi kalau alasan untuk dipoligami terpenuhi pengadilan sudah menutup mata diambil alih oleh pengadilan bahwa si suami diijinkan untuk melakukan poligami itu ditolak. Jadi artinya ada upaya di depan tetapi tidak diiringi dengan tindakan dibelakang, jadi tetap memberi celah bukan mempersempit poligami tetapi menyuburkan poligami, itu yang saya katakan bagaimana naskah ini kita manfaatkan betul kesempaan ini, untuk memasukan hal-hal yang kita bisa gunakan untuk mempersempit atau menghapuskan diskriminasi itu sendiri. Kalau poligami kita kaji ulang bisa kita lakukan dan langsung kita tolak tidak masalah. Tetapi kalau masih ada ini seperti pelacuran, tidak bisa dihapuskan. Akan terus ada, pornografi juga akan terus ada, bagaimana kita bisa mengatur strategi memasukan kedalam undang-undang, bagaimana supaya diskriminasi hilang, misalnya minimal di alasan sudah tidak subordinat lagi tetapi menempatkan perempuan sebagai pengambil keputusan untuk menentukan arah perkawinannya itu sangat penting. Karena di pasal 48 itu ada aturannya seorang istri dilarang mempunyai suami lebih dari 1. Kalau istri dilarang kalau mau menimbulkan kesetaraan jender perlindungan untuk perempuan maka seharusnya aturannya juga sama. Suami juga dilarang beristri lebih dari 1 istrinya, tetapi fenomena dimasyarakat kita tidak bisa menutup mata. Sehingga kita memang harus melakukan pembatasan. Bahkan mahkamah konstitusi sudah menetapkan salah satu gugatan orang yang akan melakukan poligami merasa hak konstitusinya dilanggar dengan pengaturan atau pembatasan poligami, karena dianggap pernikahan itu ibadah sehingga kalau poligami dibatasi maka haknya untuk beribadah menjadi dibatasi. Oleh MK ditolak, pernikahan bukan ibadah, pernikahan adalah kontrak social yang ini bukan pembatasan tetapi memberikan bentuk-bentuk perlindungan. RUU HMPA seharusnya sudah mulai, kalau ini amburadul kesempatan emas untuk kita masuk, bahkan kita coba untuk mendiskusikan bagaimana naskah akademis yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Sepertinya kita lihat kayaknya untuk membuat sekat antara pidana dan perdata, jadi seolah-olah peradilan agama family kord, karena persoalan keluarga kita tidak bisa atur hitam putih, tetapi perlu kita pertimbangkan. Soal pologami apa saja yang perlu kita pertimbangkan, persoalan perceraian, peminangan sampai kemudian soal perzinahan yang diatur disini. Kayaknya pembuat naskah ini mencoba untuk menerobos masuk ke situ hanya kekurang data, informasi dan bahkan presfektifnya masih kacau sehingga sangat sulit, di depan melindungi dibawahnya justru diskriminasinya menguat. Dikanan mencoba mengangkat hak-hak perempuan, dikiri dicoba meruntuhkan kembali. Ini seperti pergumulan batin si pembuat naskah sendiri ya sehingga tidak konsisten. Istilah nikah siri, saya sependapat kita mesti luruskan istilahnya di masyarakat istilahnya bukan nikah siri tetapi pernikahan yang dilakukan tidak dihadapan pejabat pencatat nikah yang sangat umum kita kenal nikah dibawah umum, ini yang lebih pas karena kalau nikah siri perdebatan yang tidak kita jadikan persoalan ini yang berbeda. Saya kira itu dari rangkuman pertanyaan. Saya sependapat bagaiman perlindungan tidak kontradiktif karena masih ada subordinasi, bagaimana kita memunculkan perlawanan khusus ini sangat penting. Kita bisa lihat contoh Undang-undang PTPPO bagaimana perempuan korban traffiking mau dia berangkat secara legak maupun illegal dia dianggap sebagai korban. itu sebenarnya perlakuan khusus bukan diskriminasi dan diakui oleh konstitusi. Masalahnya di Undang-undang ini juga mencantumkan soal itu, sementara akan digunakan kuhap dimana tidak mengenal perlakuan khusus yang cenderung akan menguatkan diskriminasi. Saya kembali teringat soal nikah siri, pemahaman hukum pidana dan agama islam beda, ada satu kasus suami istri berantem terus karena diawali KDP. menzinai perempuan yang belum nikah lalu hamil kemudian menolak mengawini, si perempuan ini dating ke komandannya. Oleh komandannya dinikahkan terjadi pernikahan, karena pernikah diawali tidak ikatan batin akhirnya kedua belah pihak akhirnya berantem terus menimbulkan kdrt. Kemudian terjadilah pelanggaran menceraikan tidak di depan pengadilan tetapi nafkah masih diberikan karena militer rekeningnya masuk ke istri. Karena istri merasa sudah diceraikan tidak dianggap sebagai istri dia mempunyai hubungan laki-laki, teman curhat akhirnya meningkat jadi pacaran, ketika pacaran suami ini menangkap tangan tetapi menangkap tangan tidak dalam zina kalau kita mau kaitkan dengan KUHP, menangkap tangan mereka dalam satu rumah. Saya belum mendapatkan surat edarannya dari MA, jaksa mengatakan kalau ada 2 orang berlainan jenis ada dalam rumah maka patut diduga itu sudah terjadi perzinahan. Proseslah persidangan. Saya heran perzinahan kok diproses di pengadilan ini buktinya apa. Ternyata perempuan ini mengaku nikah siri, dia tidak tahu kalau di KUHP definisi nikah siri berbeda dengan hukum agama. Kalau dia mengaku nikah siri perzianahan ini tidak terbukti. Tetapi karena dia mengaku nikah siri jadi dia diajukan ke persidangan dan memang sangat berat, memang kita mesti berikan pemahaman yang benar apa yang dimaksud nikah siri. Kemudian perzinahan yang dimaksud undang-undang itu bagaimana yang dimaksud hukum agama bagaimana. Kita menganut yang mana, masyarakat belum banyak yang tahu, sehingga kalau kriminalisasi ini terus berlangsung tanpa informasi yang jelas, perempuan akan masuk jeratan pasal 284 karena dia tidak tahu kalau dalam ruangan yang berlainan jenis itu dikategorikan sebagai dugaan perzinahan. Ini merupakan hak untuk mengetahui informasi yang benar dan tepat. Dan kita bisa melalakukan FGD yang lebih intensif dan menghasilkan usulan yang baik.

Evarisan
Karena sudah banyak dijawab tinggal melengkapi, satu hal catatan merah keluarnya RUU dia hanya melihat kelompok segelintir saja, mayoritas yang ada di negeri ini. Apa yang tadi dikatakan siri, pernikahan tidak dicatatkan secara negara, kawin kontrak ini tidak dialami oleh yang bukan muslim, coba kita lihat apakah mentri agama islam tidak demikian. Seharusnya peraturan ini dibuat sifatnya bisa mengakomodir setiap kebutuhan semua perempuan dari agama manapun.
Yang kedua carut marutnya draf menunjukan bahwa kualitas rendah sekali dalam legal drafting dalam hal ini mentri agama, tidak jauh berbeda ketika ini diajukan oleh legislator atau DPR RI sendiri ini masih terjadi. Buktinya apa? Buktinya banyak Undang-undang yang diuji materikan, tetapi diluar keburukan tadi kita harus memberikan masukan-masukan yang cerdas yang tujuannya betul-betul untuk melindungi perempuan, kenapa kita sangat tertarik dengan RUU ini karena ada ketentuan pidananya, walaupun itu jauh dari harapan masyarakat karena belum ada Undang-undang yang mengatur, prinsip asal legalitas itu dipegang betul oleh aparat penegak hukum kita. Ketika tidak bisa menunjukan bukti konkrit maka entah itu pengakuan entah itu apa dianggap tidak ada dan tidak bisa membuktikan. Akhirnya korban banyak berjatuhan tetapi solusi tidak ada ini salah siapa. kebiasaan kita adalah menyalahkan korban, salahnya mencari laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Kemudian satu hal pada dasarnya kita tidak mengintervensi terhadap ritual, ketika ritual itu berdampak, ritual yang diyakini kebanyakan orang itu berdampak negatif atau menimbulkan korban, maka negara mempunyai kewajiban intervensi, kalau Negara melakukan pembiaran ya Negara menjadi pelaku disini. Kemudian kaitannya dengan sulitnya bersikap saya pikir kalau memulai maka tidak sulit kalau berangkat dari fakta. Karena fakta tidak bisa kita nafikan seolah-olah tidak ada karena itu sangat banyak. Itu barangkali yang bisa ditambahkan, terimakasih.

Ani
Waktu yang tersedia sampai jam 1 kalau 2 penanya pertanyaannya singkat kami persilahkan.

Ihwan
Saya Ihwan, ada hal tertentu yang perlu dicermati beberapa materi yang perlu kita masukan dalam undang-undang ini. contoh soal banyak hal yang perlu diluruskan dalam aturan pernikahan. Contoh laki-laki dan perempuan saling mencintai dan keluarga menyetujui dan sepakat untuk menikah. Tetapi oleh si perempuan sekolah di instansi pemerintah dan aturannya tidak boleh menikah dan kalau menikah akan dikeluarkan. Dipekerjaan selama disitu juga tidak boleh menikah, mereka orang yang taat agama takut berdosa kemudian mereka menikah dan tidak dicatatkan. Otomatis mereka kehilangan semua hak, ini perlu dicermati mengapa orang berzinah dibiarkan orang berzina tidak akan dikeluarkan dari sekolah karena tidak menikah, yang dilarang yang menikah. ini yang membikin ada penolakan yang keras karena seolah-olah peraturan ini membiarkan orang yang berzina dan lain-lain itu kumpul kebo dan lain-lain.
Yang kedua pernikahan dibawah umur yang belum diatur yang terkuat dan kjham banyak kasus, saya cukup mengerti penelitian skripsi banyak menemukan perkawinan dibawah umur itu belum tentu buruk seperti dengan persepsi LRC-KJHAM, di Rembang, Pati banyak yang menikah masih kecil, contoh saya punya anak perempuan umur 11 tahun tetangga saya punya anak laki-laki umur 12 tahun kami sepakat menikahkan anak-anak kami tetapi sama tidak pernah melakukan hubungan seksual, si anak laki-laki saya pondokkan ke Jawa Timur sampai dewasa dan si perempuan juga dipondokkan sampai dewasa. Setelah dewasa sudah 20 tahun dan selesai dari pondok baru dicatatkan ke pengadilan agama atau KUA. Jadi pernikahan dibawah umur belum tentu semuanya buruk seperti itu. Satu sisi menguntungkan orang tua jadi si anak tidak akan pacaran dan tidak akan berbuat dosa yang banyak, si perempuan maupun laki-laki dia sudan mempunyai suami atau istri meskipun saya belum bersentuhan dengan dia, dia adalah suami saya saya akan berdosa kalau menghianati dia. Jadi dia sangat mulus kehidupannya dan ketika pulang dari pondok masih bersih. Jadi dia tidak pernah tersentuh oleh siapapun. Tetapi seolah-olah apa yang dilakukan si perempuan salah, bodoh menikah dibawah umur. Padahal perempuan itu merasa bagus karena jauh dari dosa. Jadi hal ini jangan diperpanjang supaya perdebatan ini tidak panjang, karena hanya mengkritik dan menginginkan perlindungan perempuan tanpa melihat efek yang terjadi akan ada penolakan ketika orang mengatakan ini masalah moral.
Ani
Untuk menyingkat waktu langsung saja ibu
Maemunah
Saya Ibu Maimunah dari Suport Group, tadi seperti yang dikatakan dari pengadilan agama terkait tentang pasal 47, orang perempuan hamil karena zina dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya mau diganti sama Ibu Messy harus ya, kemudian yang mau saya tanyakan bagaimana kalau laki-laki yang menzinai sudah punya istri bagaimana, walaupun pengadilan menyetujui tetapi kalau istri yang sah tidak menyetujui berarti tidak sah. Terimakasih salamu alaikum wr. Wb
Bu Nunuk
Sedikit yang menjadi ganjalan, seperti Prof Nyoman tadi diutarakan dalam pasal 42 saya setuju seandainya pasal disitu karena ini berhubungan dengan pembuktian. Pasal 42 disebutkan setiap orang melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama 3 tahun. Saya kira saya setuju tetapi karena ada kata-kata dibelakangnya jadi tidak setuju prof. karena perkawinan mut’ah sendiri belumt dalam pasal 5 dicatatkan dihadapan dipetugas. Sehingga menurut saya tidak perlu membuktikan perkawinan itu batal, otomatis sudah batal sendiri. Karena perkawinan yang belum dicatat, karena perkawinan mut’ah adalah perkawinan kontrak yang tidak dicatatkan. Sehingga tidak perlu kami batalkan. Saya tidak setuju dengan koma dibelakangnya cukup dihukum selama 3 tahun. Saya juga sedikit mengomentari Mba Nur Herawati tadi ada bahwa kejaksaan kok orang dalam satu ruangan dikatakan melakukan perzinahan. Sayakira tidak sedemikian pendeknya kata itu, pasti ada alat bukti yang lain. Dan ternyata dia melakukan pernikahan siri sehingga dia disana akan membongkar. Seperti kasus Pujiono dia mengatakan dia tidak memperkosa, tidak mencabuli tetapi dari alat bukti yang lain bisa dilihat. Visum robek, ketika ulfa tidak pernah berpacaran dengan orang lain. Ketika ulfah tinggal di rumah pujiono. Demikian tambahan dari saya terimakasih.
Bu Ani
Terimakasih, silahkan para pembicara menanggapi pertanyaan tadi, dari Pak Nyoman dulu

Nyoman
Itu yuriprudensi itu memang ada, tetapi dua orang berlainan jenis itu bukti petunjuk yang dilakukan dan ditambah dengan bukti lain, makanya batal demi hokum. Oleh karena itu harus dinyatakan luarnya, perkawinan batal demi hukum, dengan sendirinya. Contoh perkembangan yurisprudensi perkosaan 285 kuhp laki-laki memaksa perempuan dengan kekerasan bersetubuh diancam dengan pemerkosaan, tidak perlu ada ancaman kekerasan fisik dan psikis saja. Contoh Di brebes laki-laki kawin dengan perempuan tetapi tujuannya untuk mencari harta perempuan kemudian beberapa bulan dia memasukan laki-laki ke dalam rumahnya memasukan orang lain ke dalam rumahnya supaya bersetubuh dengan istrinya. Begitu dia datang lampu dimatikan, lampu dimatikan laki-laki itu masuk terjadilah hubungan suami istri. Begitu selesai lampu dicetet hai kamu berzina, 2 minggu lagi gugatan bercerai. Dalam agama islam salah satu alasan bercerai adalah zina, mohon maaf kalau saya salah. Kemudian saya ditanya oleh salah satu pembela itu ada zina tidak ada pemerkosaan tidak, pernah tidak laki-laki berhubungan dengan istrinya kayak suami istri tidak pernah. Karena tidak pernah jadi dia tidak bisa membedakan antara suaminya dan bukan suaminya. Coba saya contohkan saya memboncengkan professor Muladi kan tidak kelihatan gede tangannya, tetapi kalau Bu Ani kan halus. Saya berpendapat bahwa perkosaan bisa terjadi. Kalau ingin memberikan perlindungan pada perempuan khusunya hal perkawinan menurut agama islam, tolong dimana keterlibatan perempuan-perempuan ini dalam perkawinan dimana akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tekanan-tekanan yang akan diberikan kepada pihak perempuan, hak-haknya dimana kira-kira dilanggar persamaannya supaya tidak diskriminasi. Ini harus betul-betul diperinci, saya dulu membuat undang-undang transfer dana, transfer dana itu sampai kemana dari awal sampai akhir, kita teliti satu persatu dimana letak penyimpangan baru kita bisa melihat ini perdata, ini sanski administrasi, ini pidana. Jadi sekali lagi membuat naskah akademik bukan perkara yang gampang, saya sejak dulu membuat dengan professor Muladi, Profesor Balda membuat naskah akademik bahkan kami terakhir membuat naskah akademik RUU KUHP, karena harus dibuat naskah akademiknya, supaya kalau dibahas di DPR supaya bisa dibahas, karena DPR mensyaratkan draf RUU akan dibahas kalau sudah ada naskah akademik.
Kita harus teliti dimana keterlibatan perempuan di dalam perkawinan, seperti poligami saya hanya mengatakan kalau memang agama membolehkan satu, dua, tiga, empat ini kan jadi persoalan, tetapi harus betul-betul sedetil mungkin seteliti mungkin sedrtil mungkin, seketat mungkin peraturannya, buatlah apa yang perlu diperhatikan kalau mau poligami bagaimana, mungkin di dalam naskah akademik itu dicantumkan menjadi bahan pemerintah dalam hal ini Departemen agama untuk tampil di DPR untuk mempertahankan draf ini dan kita membantu lembaga legislative dalam hal ini departemen agama.
Saya menanggapi Bu Eva Departemen Agama, terus terang saja memang 90 %mentrinya agama islam, tetapi pasti ada Dirjen Urusan agam Hindu dll. Disinilah bagaimana Departemen Agama juga memberikan saran kepada mentrinya kepada masing-masing agama nanti membuat hukum acara didalam hukum acara perkawinan agamanya sendiri-sendiri, seperti sekarang ada peradilan militer, peradilan umum, peradilan tata usaha Negara, peradilan agama. Ada keputusan-putusan misalkan sekarang khusus dalam peradilan umum kalau kita mau membuat peradilan harus dengan undang-undang. Seperti Pengadilan Tipikor dengan UU No 30 tahun 2002 sesuai dengan UUD 45. Di indonesia sering kompromi sering undang-undang baru berlaku 3 tahun, terimakasij

Nur
Saya kira memang banyak sekali fakta-fakta dilapangan pasti akan memperkaya bahan untuk RUU ini, juga kearifan budaya membuat kita berkaca, kenapa sampai bisa terjadi seperti itu. Sementara bagaimana fenomena dimasyarakat seperti nikah dibawah umur ini bagaimana, apakah itu terjadi di semua daerah. Kearifan budaya, adat dan budaya ataukah kearifan di tempat-tempat tertentu, yang saya kira bisa memberikan sumbangan yang besar bagi penyusunan naskah akademik sampai draf RUU secara substansi, saya kira sangat menarik kalau kita duduk bersama, karena ini tidak melibatkan banyak orang sehingga konsultasi publik, pelibatan semua elemen memang harus dilibatkan supaya tidak terjadi seperti Undang-undang pornografi, bagaimana sih membuat Undang-undang yang baik supaya kita tidak capek meskipun disediakan oleh konstitusi untuk mengajukan pengujian materiil, kalau itu sudah melibatkan semua unsur bagaimana kita bisa mencermati semua aspek yang ada dilapangan itu aspek dilapangan yang harus kita kedepankan. Sekalai lagi semua bisa menyumbang fakta di masyarakat seperti apa, tidak ada yang terpinggirkan maupun terdiskriminasikan. Menanggapi Bu Maymunah tadi saya sempat bisik-bisik kalau harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinai, ya kalau perempuan masih mau kalau enggak itukan hak seseorang untuk memilih pasangan, saya kira RUU ini agak berlebihan sampai ngatur dia harus nikah denga siapa, kayaknya ini perlu kita ditinjau kembali, sebenarnya masyarakat kita tidak tau soal pemahaman tentang nikah siri, mereka tidak tau karena beda hukum positif dengan hukum agama ada perbedaan yang mendasar, sehingga untuk mencari aman supaya tidak dipidana memakai istilah nikah siri dan karena memang dari fakta-faktanya tidak melakukan hubungan seksual yang dimaksudkan oleh kuhp tetapi karena ada bukti petunjuk, dan tidak tau bahwa nikah siri di KUHP di hukum agama dampaknya berbeda dia anggap tidak ada itu perzinahan. Padahal dalam hukum positif itu menguatkan karena ada edaran MA tadi. Memang bagaimana kita bersosialisasi istilah maupun hukum benar, karena banyak sekali akhirnya perempuan terjebak dalam kondisi demikian, saya kira begitu, kalau mau diperluas saya kira LRC-KJHAM memang harus menyusun gran strategi bagaimana supaya kesempatan ini kita bisa masukan, atau kalau misalkan mau dibuat salah satu contoh kita balikan saja soal alasan poligami, bagaimana kalau alasannya boleh poligami kalau suami tidak bisa memberikan keturunan, suami cacat, karena dia mau poligami. Kalau kita tidak ingin mensubordinatkan perempuan ya kita jangan mensubordinatkan laki-laki. Artinya ini menimbulkan ketidakadilan itu sendiri bagimana kita duduk bersama alasan mana yang kita gunakan untuk membuat mereka malu melakukan poligami, ternyata dampaknya sangat buruk baik untuk istri yang sah dan istri yang menikah siri. Saya kira itu, terimakasih atas usulannya. Mari kita sama-sama saling memberikan penguatan dan bahan agar ini betul-betul menjadi bahan yang siap dan betul-betul melindungi hak perempuan dan anak terimakasih.

Evarisan
Terkait dengan pertanyaan mas Ikhwan tadi, kita tidak bisa memukul rata bahwa perkawinan dibawah umur berdampak negative atau tidak, karena berdasarkan budaya itu dianjurkan, itu saya tidak sepakat karena di depan pasal 16 konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan itu sudah dilarang dan di pasal budaya tetap saja mensubordinatkan perempuan, walaupun mereka tidak bersetubuh, Karena kita hanya melihat dampak perkawinan di fisik semata tetapi tidak melihat dampak psikis, ketika kita mengatur dan merancang undang-undang maka tidak boleh saling bertabrakan, selain dengan konstitusi mutlak tidak bertabrakan tetapi dengan Undang-undang lainnya juga. sehingga terjadi harmonisasi undang-undangnya, kalau terjadi harmonisasi itu untuk melindungi, tetapi kalau untuk undang-undang pornografi saya kita itu hanya untuk unjuk kekuatan saja kita akan melihat dampaknya. Kemudian konvensi/ cedaw tidak bisa dipisahkan denga instrumen HAM lain yang sudah kita adopsi, instrument itu antara lain rekomendasi umum no 21 tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Batas usia sudah sangat ditegaskan, undang-undang harus mengatur dan itu sifatnya segera kalau tadi usulnya mba nur seperti kearifan local. Tetapi kearifan lokalnya seperti apa, kalau dampaknya negatif itu bukan kearifan lokal, tetapi untuk melanggengkan sesuatu yang sifatnya akan mendiskriminasikan perempuan, kita bisa diskusi lebih jauh tentang ini, karena kita tidak boleh pelangeng yang dampaknya mendiskriminasikan

Ani
Saya kira waktu di akhir diskusi jam 1, saya kira cukup banyak pertanyaan diskusi yang berlangsung sejak pagi sampai siang, kalau kesimpulan yang terjadi diantara kita selama diskusi, saya kira ibu bapak sudah punya kesimpulan masing-masing berdasar para narasumber. Tetapi paling tidak ada beberapa hal yang pertama Fenomena hukum indonesia ini kita banyak mengambil aspek pidana dalam pengaturan-pengaturan yang sekarang ini sudah mulai tercampur antara privat publik, tetapi pidana sudah sering diambil untuk mengoptimalkan karena persoalan-persoalan yang terjadi semakin banyak jadi boleh dan banyak contohnya, pidana dipakai untuk pengaturan dalam hal ini pernikah yang tidak dicatatkan.
Yang kedua banyak kelemahan dalam RUU ini tadi dibahas tuntas yang istilahnya tadi dikatakan sesat, tetapi kita tahu banyak inkonsistensi antara pasal dan penjelasan antara satu pasal dengan yang lain, kita sepakat kalau dimungkinkan kita diskusi inten dengan peserta yang lebih sedikit dan masukan-masukan, menurut profesor diurutkan kalau ini dampaknya apa kalau ini aturannya bagaimana, kalau ini seperti apa. kemungkinan akan meminimalisir inkonsistensi aturan-aturan sebenarnya bagus, tetapi menjadi tidak optimal karena persoalan itu.
Yang ketiga dari mba Evarisan dan Ibu Sri kita tidak ingin kalau Undang-undang ini menyangkut kepentingan banyak orang biasanya pro dan kontranya sangat luar biasa, kita ingat dengan Undang-undang pornografi ini juga begitu, tadi pertanyaan dari mas IAIN saya yakin akan selalu terbawa sampai tingkat pusat pada penggodokan ini karena di wilayah-wilayah tertentu dengan kearifan lokal seperti itu, tetapi saya berharap jangan terus belum tuntas masukannya sangat luar biasa tetapi tetep diputuskan dengan situasi yang masih belum sempurna ini akan mengakibatkan polisi bingung, jaksa, dan hakimnya bingung. Sebenarnya kita bisa mensikapi dengan masukan-masukannya ini bagaimana dan sampai terumus sehingga bisa tercapai.
Yang ke empat dari ibu Sri pembicaraan wacana tentang ini, dan wacana pernikahan siri dalam tanda kutip tidak seperti itu, karena menikah yang tidak tercatatkan oleh masyarakat langsung diplesetkan menjadi nikah siri. Ini juga akan membuka pengetahuan perempuan bahwa ada dampak-dampak yang diakhirnya atau ditengahnya banyak kesengsaraan dan bisa berdampak pada hukum yang lain. Sehingga ada pendidikan juga baik untuk wacana di Indonesia juga pendidikan untuk para perempuan. Saya kira itu terimakasih atas atensi, perhatian bapak sekalian. Kita berikan tepuk tangan untuk para pembicara. Saya akhiri salamu’alaikum wr. Wb

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]





Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Baca Selengkapnya »»