| 0 komentar ]

oleh : Ovie Valerious

UU Perkawinan tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan sudah dianggap sebagai UU yang tidak lagi relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini terutama bagi perempuan. Karena UU perkawinan 1974 merupakan produk UU yang memiliki dampak diskriminatif, khususnya bagi perempuan. Diantaranya bisa dilihat dalam BAB I ps. 4 ayat (1) yang berbunyi : Dalam hal seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, seperti tersebut dalam ps. 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Kemudian diperjelas lagi dalam ps. 4 ayat (2) yang berbunyi : pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memebrikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang meliputi :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal dan Ayat tersebut jelas-jelas menyebutkan betapa Negara telah melakukan tindak diskriminatif secara tidak langsung terhadap serorang isteri yang notabene adalah seorang perempuan dengan mengatakan point seperti tersebut di atas, kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika kondisi dalam suatu rumah tangga justru bertolak belakang dari pointer-pointer diatas, suami cacat, suami tidak bisa memenuhi kewajibanya sebagai suami bahkan suami tidak bisa memberikan keturunan karena mandul. Jika mau fear Apakah pengadilan juga akan mengijinkan seorang perempuan menikah lagi dengan laki-laki lain (poliandri) karena alasan-alasan tersebut di atas? Silahkan direnungkan.
Sebagaimana yag telah kita ketahui bahwa bebrapa rancangan Undang-Undang yang telah masuk dalam pembahasan Program Legislative Nasional (Prolegnas) adalah RUU Hukum Materiil Peradilan agama (RUU HMPA). Tentunya ini menjadi angin segar bagi kita bersama, jika memang benar rancangan UU tersebut dapat menjadi alat yang akan mewakili rasa keadilan kita sebagai warga Negara yang berharap untuk segera disahkan, terutama dalam bidang perkawinan, jika memang draft RUU tersebut telah sesuai dengan keinginan dan kondisi masyarakat pada umumnya, dan bukan hanya segelintir kelompok saja yang diuntungkan.
Namun setelah mencermati isi dari draft tersebut justru kita dikejutkan dengan pasal-pasal yang jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Menurut Sri Nur Herawati Komisioner Komnas Perempuan dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh LRC KJHAM pada tanggal 08 Maret 2010 menyebutkan Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam RUU tersebut adalah :
1. Pengadilan agama memriksa dan memutus perkara yang dimasukkan sebagai pidana dengan menggunakan Hukum Acara Pidana;
2. Usia perkawinan perempuan tetap dibawah umur (bertentangan dengan UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002)
Perkawinan di bawah umur bagi anak selama ini menjadi praktek di masyarakat. Dimana dampak bagi anak secara biologis, psikologis dan social telah merugikan hak anak untuk tumbuh kembang anak.
3. RUU ini memasukkan perkosaan sebagai bentuk dari perzinahan (lihat pasal 48, Bab VIII pengaturan tentang perkawinan perempuan hamil karena zina).
Kategori perkosaan sebagai salah satu bentuk perzinahan akan berdampak secara psikologis bagi perempuan korban. Korban akan merasa kotor, berdosa dan akhirnya menyalahkan disi senriri. Kondisi tersebut bertentangan dengan upaya pemulihan yang menjadi hak korban sebagaimana diantur dalam PP 4 tahun 2006. Pengaturan perkawinan bagi korban perkosaan yang hamil menjadi hak penuh korban.
4. UU ini mengatur penyelesaian terhadap penolakan laki-laki untuk mengawini peremnpuan yang belum kawin, dizinai dan hamil, dengan ancman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan
5. Pengaturan tentang poligami
Pengaturan poligami masih menempatkan perempuan sebagai sub ordinat. Hal ini bertentangan dengan pasal yang menegaskan adanya persamaan suami/isteri. Syarat adanya persetujuan isteri tentu saja semakin membuat posisi perempuan tersubordinat. Perlindungan bagi isteri dalam memberikan persetujuan sama sekali tidak ditegaskan dalam RUU ini, hak isteri untuk mendapat pendampingan dalam pemerikasaan di pengadilan, team medis juga tidak diatur. Dengan demikian pengaturan poligami ini tidak berdampak pada perlindungan bagi perempuan.
Dengan demikian RUU HMPA yang kita harapkan memberikan perubahan dalam system perundang-undangan yang lebih baik ternyata masih terdapat ketidakseimbangan dalam konsep keadilan bagi bersama. Baik dalam aspek umum, bahwa undang-undang menjamin hak-hak seluruh warga Negara, tidak memandang dari sudut agama atau suku apapun. Ataupun khususnya memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang cukup rentan terhadap tindak diskrimatif.
Oleh karena itu, RUU HMPA diharapkan dapat kembali dicermati dari mulai pasal perpasal, agar dapat diketahui dimana letak kekurangan dan kelebihan dari draft tersebut. Sehingga makna dan subtansi dari tujuan perancangan sebuah Undang-undang untuk melindungi warga negaranya tidak menjadi kabur.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang