| 0 komentar ]

Urgent Action

HUKUM PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

Perkawinan pada usia anak (dibawah 18 tahun) yang masih dan terus dialami perempuan di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika merupakan masalah serius yang mencemaskan seluruh umat manusia. Praktek mengawinkan anak perempuan pada usia 9, 10, 11, 12 atau 13 tahun terbukti merampas hak asasi anak dan perempuan. Bahkan di beberapa negara, anak perempuan yang baru berumur beberapa bulan telah dijanjikan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki dewasa. Anak-anak perempuan tersebut dibesarkan, dirawat dan dipercantik dengan perhiasan dan dipingit untuk membuat mereka menarik, sehingga dapat dikawinkan dengan penawar tertinggi.

Sejak dinikahkan, maka anak perempuan harus meninggalkan sekolah, orang tua, teman serta rumah tinggalnya. Mereka juga harus menjalani hubungan intim /persetubuhan secara emosional dan fisik dengan laki-laki dewasa walaupun secara fisik dan psikologis anak belum siap. Selanjutnya mereka memasuki situasi yang lebih mencemaskan, tatkala mengandung /hamil, melahirkan dan mengasuh anak, serta harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada perempuan yang telah menikah pada umumnya.

Mereka juga berpotensi besar mengalami kekurangan makanan, dan komplikasi kesehatan yang mengakibatkan kematian saat hamil dan melahirkan anak, karena resiko kelahiran melalui operasi, kurang berat badan, kurang gizi sebagai akibat dari kehamilan dan menyesui berulangkali pada masa dimana mereka sendiri masih dalam masa pertumbuhan.

Disamping itu relasi /hubungan kuasa yang sangat timpang dengan laki-laki dewasa yang menjadi suaminya, menjadikan anak perampuan yang memasuki pernikahan dini sangat rentan terhadap berbagai serangan kekerasan, eksploitasi dan perdagangan baik dari suami, keluarga maupun dari masyarakat.

Bahwa serangkaian pelanggaran hak asasi tersebut jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup anak perempuan dan melanggar Declaration Universal of Human Rights /DU HAM, International Convetion on Civil and Politic Rights (ICCPR) khususnya article 23 & 24, International Convention on Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR) khususnya article 10, International Convention Rights of Children (ICRC) khususnya article 2, 3, 27, 32, 34, 36, & 39, International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) khususnya article 14.

Bahwa Komite Hak Anak PBB dalam sejumlah rekomendasinya sehubungan dengan pasal 2 Konvensi Hak Anak, menyerukan Negara-Negara untuk mengakui prinsip persamaan di muka hukum, dan melarang diskriminasi berdasarkan gender, termasuk untuk menetapkan peraturan yang melarang praktek-praktek tradisional yang berbahaya seperti kawin paksa, kawin usia muda pada anak perempuan, kehamilan pada usia anak dan praktek-praktek yang merugikan kesehatan anak.

Komite Hak Anak PBB juga beranggapan bahwa kedewasaan anak perempuan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan fisik, sementara pertumbuhan mental dan sosial belum matang, dan bahwa berdasarkan kriteria tersebut para anak perempuan yang telah dianggap dewasa dimuka hukum untuk menikah, mengingkari perlindungan yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak /ICRC

Bahwa Konvensi Internasional tentang Penduduk dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo pada September 1994, mendorong pemerintah untuk meninggikan batas usia minumum untuk menikah bagi anak-anak perempuan.

Bahwa dalam laporan awal kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Pelapor Khusus untuk tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk sebab dan akibatnya, mengakui bahwa usia perkawinan merupakan faktor penyebab terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan (E/CN.4/1995/42 ayat 165).

Bahwa dalam kasus Perkawinan anak yang dilakukan Sdr. Pujiono CW terhadap LU (12 th) pada Agustus 2008, jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup LU dan melanggar hak asasi anak dan perempuan.

Bahwa berdasarkan Pasal 78, 81, 82 & 88 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka Sdr. Pujiono CW dan orang tua LU (Suroso), telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 23 tahun 2002.

Mengingat pula bahwa sebagian besar praktek-praktek pelanggaran, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak termasuk anak perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat seringkali dimaafkan oleh negara, sementara berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB tahun 1994/45, Pemerintah bertanggungjawab atas tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk anak perempuan yang dilakukan oleh perorangan.

Mengingat pada bulan Januari 2009, Pudjiono CW bersama Kuasa Hukumnya telah mengajukan Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Semarang terhadap LSM KOMPAK dalam hal ini Sdr. Legianto Toha, karena menganggap LSM KOMPAK telah melakukan pencemaran nama baik dan pada pemeriksaan persidangan tanggal 17 Februari 2009, dengan agenda Jawaban Tergugat (Sdr. Legianto Toha).

Mengingat berlarut-larutnya penanganan kasus tersebut, maka Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang, meminta dukungan agar kawan-kawan mengirimkan surat desakan kepada ;
1. KAPOLRI :
a. untuk mengambil alih penanganan kasus dari POLWILTABES Semarang dan menindaklanjuti proses hukum secara sungguh-sungguh dan segera atas dugaan tindakan pidana yang dilakukan oleh Sdr. Pujiono CW dan Sdr. Suroso (orang tua korban) terhadap UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, sebab tidak ada satu pun alasan pembenar dari aspek hukum, hak asasi dan keadilan masyarakat untuk tidak mempidanakan Sdr. Pujiono CW dan Suroso.
b. Secepatnya menetapkan Sdr. Pujiono CW dan Suroso sebagai tersangka untuk memenuhi rasa keadilan dan hak korban. Berdasarkan Ps. 21 KUHAP, Sdr. Pujiono CW dan Suroso dikawatirkan mengulangi perbuatanya dan menghilangkan alat bukti.
c. Memerintahkan kepada Penyidik agar berkoordinasi dengan Rumah Sakit/ Tenaga Medis untuk segera melakukan visum terhadap korban guna kepentingan pembuktian.
d. Memeriksa seluruh Penasehat Hukum Sdr. Pujiono, karena telah menghalang-halangi pemeriksaan terhadap korban.
e. Segera melakukan penahanan terhadap Sdr. Pujiono CW dan Suroso, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP

2. KOMNAS HAM untuk melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut secara independen, hal ini sesuai dengan kewenangan KOMNAS HAM yang dimandatkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

3. KOMNAS PEREMPUAN memberikan surat rekomendasi ke KAPOLRI, KEJAKSAAN AGUNG dan MAHKAMAH AGUNG agar ketiga Institusi tersebut mengeluarkan surat edaran untuk institusi di bawahnya supaya memprioritaskan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

4. KPAI:
a. untuk Mengambil Kuasa Asuh atas korban dan segera melakukan pemulihan atas korban dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan terhadap korban.
b. Menyelematkan anak dari praktek-praktek budaya yang merendahkan derajat dan martabatnya sebagai manusia, karena bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak

5. KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
a. untuk menghilangkan budaya patriarkhi yang mensubordinatkan perempuan, karena bertentangan dengan mandat UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
b. Harus segera dilakukan perubahan hukum baik dibidang perdata dan pidana, seperti misalnya menentukan batas usia minimum untuk menikah dan batas usia pertanggungjawaban pidana sebagai pencapaian masa dewasa berdasarkan Konvensi Hak Anak.

6. Ketua Pengadilan Negeri Semarang
Meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Semarang untuk menolak Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh Pujiono CW dan kuasa hukumnya, karena Gugatan/ Upaya Hukum tersebut merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan pembaharuan hukum di Indonesia, dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Hak Asasi Perempuan dan Hak Anak.

7. Bersama-sama membuat pengaduan kepada COMITEE CRC karena negara telah lalai melindungi hak anak.

Baca Selengkapnya »»
| 1 komentar ]

JARINGAN PEDULI PEREMPUAN DAN ANAK (JPPA) JAWA TENGAH

LRC-KJHAM; LBH APIK Semarang; Yayasan SETARA; KPI Jawa Tengah; PERISAI; LBH SEMARANG; PBHI Jawa Tengah; AJI Semarang; PMII Jawa Tengah; LKKNU; SUBUM Kendal; PUSPAHAM Jateng; SPEK-HAM; LSM Sahabat Perempuan


SURAT TERBUKA
012/SK-JPPA/VII/2009

DUKUNGAN UNTUK PROSES HUKUM
TERHADAP PELAKU PERNIKAHAN ANAK

Bahwa penyidik dari Polwiltabes Semarang, pada hari Selasa tanggal 14 Juli 2009 bermasud untuk meminta keterangan LU (13 tahun), anak perempuan yang menjadi korban pernikahan terhadap anak yang diduga dilakukan oleh Pudjiono. Pada awal kedatangannya, penyidik menemui LU di rumah orang tuanya di Bedono, dari keterangan orang tua LU, LU berada di rumah Pudjiono yang sekaligus Pondok Pesantren Miftahul Jannah.

Bahwa saat itu penyidik berinisiatif untuk meminta keterangan LU di kantor polisi kalaupun berhalangan karena Pudjiono beralasan LU sedang sakit akibat operasi daging tumbuh/ sejenis kutil di kakinya, pihak penyidik berinisiatif untuk memintai keterangan LU di rumah kediamannya atau di tempat LU berada, dan itupun dipersiapkan secara matang oleh penyidik dengan membawa peralatan untuk proses penyidikan dan mengajak serta Konselor dan Pekerja Bantuan Hukum dari LRC-KJHAM untuk mendampingi LU saat pemeriksaan (berdasarkan surat permohonan dari Polwiltabes Semarang No. R/145/VII/2009/Wiltabes tertanggal 12 Juli 2009), apabila memang harus dilakukan dilakukan di rumah LU maupun di rumah Pudjiono.

Bahwa upaya penyidik mendapat penolakan keras dari Pudjiono, dengan alasan bahwa LU masih dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi, Pudjiono meminta pemeriksaan ditunda pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 2009 karena hari Rabu tanggal 15 Juli 2009 LU harus datang lagi ke dokter untuk mengganti perban. Beberapa saat kemudian Pengacara Pudjiono, Novel Al Bakri dan Agus Jaya Astra memperlihatkan SMS dari Ketua LSM Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS ANAK) Seto Mulyadi (Kak Seto) yang intinya “agar tidak dilakukan pemeriksaan dulu sebab LU sedang sakit”. Penolakan untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap LU tidak hanya dilakukan melalui pengacaranya, tetapi Pudjiono juga berupaya untuk mengumpulkan santri, karyawan dan keluarganya untuk menghalang-halangi penyidik yang berusaha membujuk LU agar bersedia untuk dimintai keterangan saat itu juga di rumah kediaman Pudjiono.

Bahwa penyidik yang semula hanya berniat untuk meminta keterangan LU sebagai saksi korban dalam perkara pernikahan terhadap anak yang diduga dilakukan oleh Pudjiono, karena mendapat tekanan dan desakan penolakan dari Pudjiono yang juga dilakukan dengan memanggil dan mengumpulkan santri serta karyawannya untuk menghalang-halangi penyidik, akhirnya pada hari Selasa tanggal 14 Juli 2009, pukul 17.30 WIB penyidik melakukan tindakan tegas dengan menangkap kembali Pudjiono. Penangkapan tersebut dilakukan karena Pudjiono sebagai seseorang yang seharusnya menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap LU tidak kooperatif dan melakukan upaya untuk menghalang-halangi proses penyidikan, padahal sampai saat ini Pudjiono masih dalam status tahanan kota yang wajib lapor (sejak penangguhan sampai saat itu tidak pernah menjalankan kewajiban wajib lapor, bahkan berniat untuk pergi Umroh).

Bahwa pada saat kejadian tersebut ratusan santri dan karyawan Pudjiono telah melakukan penyerangan dan pengrusakan dengan menggunakan batu dan lain-lain, terhadap mobil (Suzuki Karimun) yang ditumpangi penyidik dari Unit Penanganan Perempuan dan Anak (PPA) Polwiltabes Semarang beserta Konselor/ PBH dari LRC-KJHAM, dalam kejadian tersebut mobil milik Kanit PPA mengalami rusak berat dan salah satu Konselor/ PBH dari LRC-KJHAM mengalami luka-luka di tangan akibat hantaman batu yang menghancurkan kaca mobil yang ditumpanginya.

Bahwa tindakan penyidik Polwiltabes Semarang untuk menangkap kembali Pudjiono diharapkan dapat membantu berjalannya proses penyidikan, tetapi proses penahanan tersebut dikawatirkan terhambat, karena sampai saat ini Kejaksaan Negeri Ambarawa belum mengabulkan perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyidikan (Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981/ KUHAP) yang telah diajukan oleh penyidik Polwiltabes Semarang. Hal tersebut akan berpotensi menimbulkan hambatan terhadap upaya-upaya penyidik yang selama ini telah dilakukan selama proses penyidikan untuk mengungkap perkara pernikahan terhadap anak yang diduga dilakukan oleh Pudjiono.

Bahwa fakta-fakta tersebut menjadi keprihatinan beberapa lembaga/ organisasi sosial masyarakat yang konsern terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah. Proses hukum yang berjalan sejak 28 Oktober 2008 terhadap perkara pernikahan terhadap anak, yang menempatkan anak (LU) dalam kondisi terekspolitasi secara seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah mengakibatkan LU menjadi semakin tertekan secara psikologis karena upaya beberapa pihak yang berupaya untuk menghambat proses hukum tanpa mempertimbangkan pendapat anak. Ditambah lagi ada beberapa pihak yang melakukan upaya-upaya eksploitasi melalui pemberitaan media yang mempertunjukkan seolah-olah LU menerima perkawinan sirri dan poligami terhadap dirinya.

Bahwa dengan mempertimbangkan Rekomendasi Komite Hak Anak PBB sehubungan dengan Pasal 2 Konvensi Hak Anak, menyerukan Negara-Negara untuk mengakui prinsip persamaan di muka hukum, dan melarang diskriminasi berdasarkan gender, termasuk untuk menetapkan peraturan yang melarang praktek-praktek tradisional yang berbahaya seperti kawin paksa, kawin usia muda pada anak perempuan, kehamilan pada usia anak dan praktek-praktek yang merugikan kesehatan anak, Komite Hak Anak PBB juga beranggapan bahwa kedewasaan anak perempuan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan fisik, sementara pertumbuhan mental dan sosial belum matang, dan bahwa berdasarkan kriteria tersebut para anak perempuan yang telah dianggap dewasa dimuka hukum untuk menikah, mengingkari perlindungan yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak /ICRC. Dengan juga mempertimbangkan Konvensi Internasional tentang Penduduk dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo pada September 1994, mendorong pemerintah untuk meninggikan batas usia minumum (19 tahun) untuk menikah bagi anak-anak perempuan.

Bahwa berdasarkan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, bahwa praktek-praktek budaya, tradisi dan ajaran agama tidak boleh dipergunakan untuk merendahkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, termasuk melakukan perbuatan diskriminasi terhadap perempuan yang merendahkan harkat dan martabat peempuan sebagai manusia, maka kami bermaksud meminta kepada beberapa pihak untuk mengambil tindakan-tindakan sebagai berikut :

1. Jaksa Agung RI cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah cq. Kepala Kejaksaan Negeri Ambarawa untuk segera mengabulkan mengabulkan perpanjangan pernahanan yang telah diajukan oleh Polwiltabes Semarang terhadap Pudjiono, semata-mata untuk memperlancar proses penyidikan, karena selama ini yang bersangkutan telah melakukan upaya-upaya untuk menghalang-halangi proses penyidikan dan dengan kedudukannya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Jannah dan pimpinan PT Sinar Landoh Silencer diduga telah memberikan perintah untuk menghalangi penyidik untuk meminta keterangan LU dan menyerang penyidik pada saat melakukan penangkapan kembali terhadap Pudjiono.

2. Kapolri cq. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah cq. Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang untuk tetap melanjutkan proses huku terhadap Pudjiono selaku pelaku yang diduga melakukan pernikahan terhadap anak dan Suroso selaku orang tua LU yang telah mengijinkan dan membantu terjadinya pernikahan terhadap anak.

3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia cq. Komisi Perlindungan Anak Jawa Tengah, sebagai Lembaga Negara yang sah berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk melakukan upaya-upaya advokasi yang berkaitan dengan perlindungan anak dalam hal ini LU dengan cara penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, selama berjalannya proses hukum.

4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), untuk memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini serta melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan secara independen, hal ini sesuai dengan kewenangan KOMNAS HAM yang dimandatkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, karena pada saat proses penanganan perkara tersebut sejumlah aktifis LSM yang konsern mendukung agar proses hukum Pudjiono segera dilanjutkan mengalami ancaman dan intimidasi berupa tuntutan hukum dari pengacara Pudjiono dan terakhir mengalami penyerangan dari santri dan karyawan yang diperintah Pudjiono, pada saat kejadian tanggal 14 Juli 2009 di rumah Pudjiono tersebut diatas.

5. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) memberikan rekomendasi ke KAPOLRI, KEJAKSAAN AGUNG dan MAHKAMAH AGUNG agar ketiga Institusi tersebut mengeluarkan surat edaran untuk institusi di bawahnya supaya memprioritaskan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk kasus pernikahan terhadap anak yang dialami LU.

6. Segenap elemen masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya pemantauan yang kritis selama proses hukum berjalan, serta membantu dengan melakukan upaya-upaya untuk membantu selama proses hukum berlangsung, demi kepentingan terbaik bagi anak berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.


Demikian Surat Terbuka ini kami sampaikan.

Semarang, 17 Juli 2009
Hormat Kami,



Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

No. : 148/SK/LRC-KJHAM/ VII/2009

Sifat : Mendesak

Hal : Desakan untuk Mengambil Alih Pemeriksaan Perkara Pujiono (TSK Pencabulan terhadap Anak dengan Modus Kawin Siri)



Kepada

Yth. Kapala Kejaksaan Agung Republik Indonesia

di

Jakarta


Dengan Hormat,

Perkenalkan kami dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), sebuah NGO’s yang concern pada isu penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan Anak khususnya di Jawa Tengah.

Sebelumnya pada tanggal 19 Maret 2009 kami pernah mengirimkan surat tembusan terkait dukungan kami terhadap upaya konkrit yang telah dilakukan Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang yang telah berani menindak tegas tersangka mengawini anak dibawah umur (Sdr. Pujiono CW) dan atau pencabulan terhadap anak sebagaimana telah diatur oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan terhadap Anak.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kami sangat menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Ambarawa yang tidak mengabulkan permohonan perpanjangan penahanan terhadap sdr. Pujiono. Padahal sebagai salah satu aparat penegak hukum seharusnya Kejaksaan Negeri Ambarawa mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Polwiltabes yakni dengan melakukan penahanan terhadap tersangka. Dengan penahanan TSK tersebut, aparat penegak hukum lebih leluasa untuk memeriksa korban (LU 12 tahun), tanpa dihalang-halangi TSK sebagaimana yang terjadi selama ini.

Perlu kami sampaikan pula bahwa berdasarkan Rekomendasi Umum PBB No. 19 Tentang Kekerasan terhadap Perempuan, bahwa Negara peserta harus mengambil tindakan hukum yang efektif, termasuk sanksi pidana untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. Artinya langkah hukum yang telah dilakukan adalah dalam rangka memenuhi mandate dari Rekomendasi tersebut.

Dalam Deklarasi Wina 1993 juga telah ditegaskan pula, bahwa negara peserta diwajibkan untuk menghapus hukum-hukum dan regulasi yang berlaku dan untuk menghapuskan adat istiadat/ kebiasaan dan praktik-praktik yang mendiskriminasikan dan menimbulkan kerugian terhadap anak perempuan.

Dan di dalam Deklarasi tersebut telah pula disepakati, bahwa batas usia minimum untuk perkawinan adalah 18 tahun. Dengan pertimbangan bahwa sejak perempuan dan laki-laki menikah dia dibebani berbagai tanggung jawab penting, maka perkawinan dilarang sebelum mereka mencapai usia dewasa sepenuhnya dan kemampuan bertindak. Serta menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pada saat anak perempuan memasuki perkawinan di bawah usia menikah dan memiliki anak, akan berdampak buruk pada kesehatan dan pendidikannya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka kami mendesak Kejaksaan Agung untuk:

1. Memeriksa Kejaksaan Negeri Ambarawa terkait penolakan perpanjangan penahanan yang diajukan oleh Kepolisian;
2. Segera memerintahkan Kejaksaan Tinggi untuk mengambil alih pemeriksaan kasus;
3. Mengawasi dan memastikan setiap proses pemeriksaan bertujuan untuk menegakkan hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia khususnya Hak Asasi Anak;
4. Mengabulkan perpanjangan penahan terhadap TSK yang diajukan oleh pihak Polwiltabes Semarang;
5. Melakukan /mencari terobosan-terobosan hukum untuk memastikan bahwa pelaku perkawinan dengan anak-anak dalam hal ini TSK untuk dapat dibawa dan diadili dalam persidangan yang kompeten serta untuk melindungi hak-hak anak;
6. Segera memerintahkan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk melimpahkan berkas berkara ke Pengadilan Negeri Ungaran.

Demikian desakan ini kami sampaikan, demi tegaknya Hukum yang berbasiskan pada pemenuhan HAM dan perlindungan terhadap Anak-anak Indonesia . Atas perhatian dan kepeduliannya kami ucapkan terima kasih.





Hormat kami




Evarisan, SH., MH

Direktur





Tembusan

1. Ketua Mahkamah Agung RI
2. Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah
3. Ketua Pengadilan Negeri Ungaran
4. Jaksa Agung RI
5. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah
6. Kepala Kejaksaan Negeri Ambarawa
7. Kepala Kepolisian RI
8. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah
9. Arsip

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]


Layanan bagi perempuan korban kekerasan penting diperhatikan sebagai pemenuhan hak perempuan korban yang disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan. Layanannya biasanya meliputi layanan konseling, pendampingan hukum apabila korban ingin memproses perkaranya secara litigasi ataupun layanan medis yang biasanya mencakup juga layanan darurat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga layanan kurang dapat memenuhi kebutuhan korban secara memadai sebagaimana yang dibutuhkan, dalam hal bila tempat tinggal korban terlalu jauh untuk dapat mengakses lokasi layanan. Mengacu pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu untuk korban kekerasan berbasis jender adalah suatu hal yang mendesak untuk direalisasikan oleh pemerintah daerah.
Legal Resorce Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Semarang pada tanggal 25 November 2008 meresmikan keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Pedurungan dan Kecamatan Banyumanik. Layanan yang diberikan di Pusat Pelayanan Terpadu tiap kecamatan kepada korban kekerasan berbasis jender pada prinsipnya meliputi layanan konseling, pendampingan hukum, juga layanan penguatan perempuan korban dalam bentuk support group. Guna merealisakikan layanan yang semakin baik, LRC-KJHAM pada Minggu, 28 Juni 2009 mengadakan Workshop Ceria Pengembangan Suport Group di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) 4 Kecamatan di Kota Semarang yang dilaksanakan di Kaliurang, Yogyakarta.
Berikut rangkaian pelaksanaan acaranya :
Hari minggu, 28 Juni 2009 pagi sekitar pukul 07.15 WIB, rombongan berangkat dari kantor LRC-KJHAM. Menuju ke objek wisata Kaliurang. Rombongan terdiri dari 25 orang dewasa dan 14 anak-anak. Siang hari sekitar pukul 12.30 WIB rombongan sampai dan langsung menuju ke tanah lapang di area wisata Kaliurang untuk melepas lelah, lapar dan haus rombongan menyantap hidangan yang telah disediakan sebelumnya. Acara makan siang bersama terasa lebih akrab karena sebelumnya didahului dengan pengisian kuesioner, peserta menyetujui dibentuknya support group di tiap Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di 4 Kecamatan. Support group di 4 Pusat Pelayanan Terpadu diselenggarakan di posko/ secretariat atau jika memungkinkan dapat juga diselenggarakan di rumah salah seorang mitra. Tujuan dibentuknya support group di tiap Pusat Pelayanan Terpadu supaya pelayanan korban kekerasan berbasis jender dapat dapat dimaksimalkan dengan memudahkan biaya, jarak, waktu bagi korban untuk mendapatkan pelayanan. Juga dibahas pula mengenai usaha mandiri yang dapat dikelola oleh mitra dalam rangka peningkatan kapasitas ketrampilan, yang menjadi topic pembahasan support group bulan Juli 2009 mendatang.
Dari Kaliurang, rombongan bertolak ke Malioboro untuk refreshing selama dua jam. Pukul 18.30 WIB rombongan beranjak pulang dari Yogyakarta menuju Semarang.
Kegiatan support group di tiap Pusat Pelayanan Terpadu telah disepakati bersama, namun demikian perlu dibahas lebih lanjut lagi dalam pertemuan rutin support group. Selain membahas kelanjutan kesepkatan pengembangan support group di tiap kecamatan, dalam pertemuan mendatang juga membahas usaha mandiri. Kegiatan workshop ceria pengembangan support group ini akan ada lahi di bulan-bulan mendatang, jadi jangan kecewa bagi yang ingin ikutan.

Dely

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

LRC KJHAM sebuah NGO yang peduli pada persoalan kekerasan terhadap perempuan, membutuhkan 4 orang relawan untuk dapat bergabung dalam tim layanan hukum, konseling bagi perempuan korban kekerasan, membantu melakukan advokasi gender budget dan melakukan kerja-kerja penelitian. Untuk memperkuat kapasitas volunteer diberikan program in-class. Inclass pada tanggal 2-10 Juni 2009 pada pukul 14.00-16.00 antara lain berupa presentasi dan diskusi materi aktual mengenai profil lembaga, kekerasan berbasis gender, bantuan hukum struktural berbasis gender, instrumen hukum HAM internasional dan internasional serta konseling berperspektif gender.

Peluang menjadi volunteer dan adanya inclass adalah momen yang dinanti-nanti khususnya bagi mahasiswa calon aktivis muda. Setelah mengirimkan surat lamaran kerja dan wawancara, enam nominator yang terseleksi dan berkomitmen tinggi berusaha “unjuk gigi” bahwa dirinya yang pantas menduduki empat kursi lowongan volunteer. Enam nominasi volunteer dari latar belakang keilmuan berbeda dan dari berbagai Universitas terkemuka di Semarang antara lain Risma Primahesti S., Yusefin Dellyana, Sri Sutarmi, Afidah, Putrika, Dian Puspita Sari dan Maria Soffi. Materi-materi fresh yang menarik ditambah fasilitator dari staf LRCKJHAM yang berpengalaman menambah serunya inclass di ruang rapat Jl. Panda Barat III/No.1 Semarang.

Hari pertama Inclass tanggal 2 Juni 2009, Fatkurozi, S.PdI mewakili direktur Evarisan S.H, MH untuk mengupas sejarah, visi misi, struktur organisasi, staf lembaga, program kerja dan kerjasama dengan beberapa lembaga internasional seperti Hivos dan Indonesia ACT’s yang telah menjadi mitra. Pengenalan ini sangat dibutuhkan calon volunteer karena “tak kenal maka tak sayang”.

Hari kedua tanggal 3 Juni 2009, Irene Kurnia Arifajar, S.Sos selaku ketua bagian pendidikan dan riset memaparkan fenomena diskriminasi berdasarkan perbedaan gender. Gender merupakan peran manusia dalam masyarakat hasil konstruksi sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Adanya pembedaan berdasarkan gender menimbulkan ketidakadilan gender, lebih banyak dialami oleh perempuan antara lain berupa subordinasi, marginalisasi dalam pembangunan, stereotype masyarakat dan tindak kekerasan. Kasus kekerasan berbasis gender merupakan sorotan utama LRC-KJHAM. Kekerasan berbasis gender tersebut meliputi Perkosaan, Pelecehan Seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Trafficking, Porstitusi dan Buruh Migran.
Hari ketiga tanggal 4 Juni 2009, Sdr. Eko dari Divisi Pelayanan Hukum mempresentasikan materi “Bantuan Hukum Struktural Berbasis Gender”. Perempuan kekerasan berbasis gender berhak mendapat bantuan hukum. Prinsip Bantuan Hukum Struktural Berbasis Gender yaitu kedudukan yang setara antara pendamping yang memberikan layanan hukum bagi mitra. Sehingga setelah masalah selesai diharapkan mitra aktif terlibat dalam pengorganisasian untuk membantu perempuan-perempuan lain yang mengalami kekerasan berbasis gender.

Hari keempat tanggal 5 Juni 2009, Fatkurozi, S.PdI selaku ketua divisi advokasi kebijakan membahas dasar-dasar pengertian HAM, Convention on the Elimination of All form Discrimination Againts Women (CEDAW), Instrumen hukum HAM nasional dan Internasional. Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk hidup dan keberlangsungan hidupnya. Manusia yang juga sebagai warga negara memberikan mandat pada negara untuk menegakkan HAM. Negara sebagai warga internasional menjunjung HAM yang berlaku universal. Walaupun Universal Declaration of Human Right, CEDAW dan perundangan nasional yang mengatur HAM telah ada, kenyataannya masih ada pelanggaran HAM salah satunya diskriminasi terhadap perempuan.

Hari kelima tanggal 8 Juni 2009, Sdr. Eko dari Divisi Pelayanan Hukum, menjelaskan alur penanganan korban kekerasan berbasis gender. Alur pelayanan tidak hanya dimulai saat mitra datang mengadukan masalahnya hingga putusan pengadilan, tetapi juga mitra terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, penanganan kasus yang dihadapinya dan aktif dalam proses advokasi/ pendampingan terhadap mitra lainnya. Pelayanan yang disediakan LRCKJHAM antara lain konseling psikologi, konsultasi hukum, support group dan perlindungan di Shelter (rumah aman). Pelayanan ini diberikan cuma-cuma bagi perempuan miskin korban kekerasan berbasis gender.

Hari keenam tanggal 9 Juni 2009, Fatkurozi, S.PdI menjelaskan konsep dasar konseling dan memperagakan bagaimana praktik konseling kepada korban kekerasan berbasis gender (KBG). Konseling KBG berbeda dengan konseling pada umumnya. Konseling KBG menggunakan pendekatan tidak langsung (client centered), menghindari praktik konseling yang bias gender dan memberdayakan korban untuk dapat menyelesaikan sendiri masalahnya.

Hari ketujuh tanggal 10 Juni 2009 merupakan hari tersulit dan menegangkan karena hanya empat volunteer yang terpilih. Keempat volunteer pilihan diharapkan berkomitmen menjadi keluarga besar LRCKJHAM dalam membantu perempuan korban kekerasan berbasis gender di Jawa Tengah. Selamat datang dan Keep Moving Forward!!!.

Risma Volunter Divisi Bantuan Hukum

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Oleh Evarisan

Sudah banyak kasus penyiksaan, penganiayaan bahkan sampai ada buruh yang meninggal di luar negeri. Ironisnya, hal itu selalu terulang dan terulang.
Kasus yang terbaru dialami oleh Siti Hajar buruh migran asal Jawa Barat yang dianiaya oleh majikannya di Malaysia.


PEMERASAN terhadap ”pahlawan devisa” kita ternyata tidak mengenal ruang dan waktu. Tidak sekadar setelah mereka sampai di negara tujuan. bahkan ketika masih di Indonesia pun kerap menjadi korban kekerasan fisik dan psikis.
Cerita sedih itu juga saya temui bersama Prof Agnes Widanti di Bandara 3 Internasional yang belum lama diresmikan oleh SBY. Saat itu, saya dan Prof Agnes Widanti baru pulang dari sidang judicial review atas UU Pornografi no 44 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum pidana berperspektif gender sementara saya sebagai salah satu pemohon judicial review bersama beberapa jaringan lainnya.

Saat itu, kami menjumpai tiga buruh migran yang baru saja pulang dari negara tempat mereka bekerja. Terjadilah perkenalan tanpa disengaja itu. Tujuan awalnya adalah untuk meminta tanda tangan kartu pos. Itu untuk mendesak Pemerintah Indonesia mengesahkan Konvensi 1990 tentang perlindungan buruh migran dan Keluarganya. Pengumpulan 5000 tanda tangan itu diprakarsai oleh Komnas Perempuan.

Usai perkenalan singkat itu berlanjut pada obrolan ringan seputar pengalaman mereka selama di negara penempatan, yaitu Arab Saudi. Salah satu dari mereka cukup terbuka dan antusias dengan kehadiran kami. Sebut saja namanya Ibu Y asal Demak. Dia telah bekerja 3 tahun 8 bulan. Di sana dia melayani pasangan suami-istri berikut 9 anak majikan. Sebuah pekerjaan yang mahaberat tentunya. Menurutnya mengurus 8 anak di Arab Saudi sama dengan mengurus 50 orang Indonesia. Pekerjaan yang seharusnya dilakoni oleh sedikitnya 5 orang pembantu.

Bisa dibayangkan, betapa berat tanggungan kerja yang dilakukan. Jam tiga pagi, dia sudah harus menyiapkan sarapan sambil bersih-bersih. Sehabis itu, ketika anak-anak bangun, harus dimandikan satu per satu, memakaikan baju, mengambilkan sarapan hingga mereka siap ke sekolah.

Pekerjaan selanjutnya mengepel rumah yang sangat besar dan bertingkat. Membersihkan kamar tidur. Kamar mandi. Menyiapkan makan siang. Makan malam dan lain sebagainya. Praktis, waktunya habis untuk mengerjakan tata laksana rumah tangga si bos tanpa istirahat.

Tapi menurutnya, itu belum seberapa. Yang lebih parah adalah saat bulan Ramadan ketika dia cuma punya waktu tidur satu jam sehari, bahkan tidak tidur sama sekali. Di bulan puasa, jam kerjanya justru semakin panjang karena mempersiapkan buka puasa menjelang maghrib dan menyiapkan makan sahur. Berapa gaji yang diterima dengan pekerjaannya itu? ”800 real,” katanya. Nilai ini setara dengan 1.2 juta rupiah. Penghasilannya tersebut dia kirim kepada keluarganya di kampung halaman.

Sapi Perah
Adakah lagi yang ironis dari penderitaan seorang buruh migran? Masih banyak. Karena ternyata penderitaan itu tidak hanya sewaktu mereka berada di tempat tujuan, tetapi di rumahnya. Keluarganya menantikan real, ringgit, atau dollar. Para buruh migran tak ubahnya sapi perah bagi keluarga.

Pengalaman ibu Y yang bekerja di Arab Saudi menjadi tumpuan ekonomi sembilan saudara laki-lakinya. Mereka tega menggerogoti kekayaannya. Modusnya, anaknya di minta kakak laki-lakinya untuk tinggal bersama mereka agar gampang meminta uang kepadanya. Berbagai alasan dikemukakan untuk mendapatkan uang kiriman dari negeri gurun sahara; mulai anaknya minta jajan sepuluh ribu sehari hingga minta dibelikan motor.

Sebagai ibu yang sangat sayang kepada anaknya, permintaan kakaknya dipenuhi. Namun lama-lama, ibu ini curiga karena setiap kali mau bicara langsung dengan anaknya itu tidak diperbolehkan. Padahal ia ingin mengobati rasa kangen terhadap anaknya lewat bicara, meski lewat telepon saja. Lalu, pada saat ibu Y ini menanyakan uang kirimannya itu apakah sudah dibelikan sawah, tanah, atau rumah, dijawab: ”Belum dapat apa-apa”. Sedihnya lagi, suaminya dibiarkan dan tidak pernah ikut merasakan manisnya real hasil kerjanya.

Pengalaman buruk lain dialami W. Kedua majikannya adalah Guru. Ibu W tidak finish kontrak. Dia hanya bertahan 1 tahun 3 bulan. Bekerja selama itu tidak mendapat apa-apa, bahkan untuk tiket pulang, dia beli sendiri. Padahal, di sana, ia merawat lima anak dan sepasang suami-istri sebagaimana Ibu Y. Kerja yang dilakukan tidak sesuai kontrak kerja. Namun ia masih beruntung karena memiliki empat jam sehari untuk istirahat. Hal yang tidak disukai di tempat kerjanya adalah kebiasaan majikan laki-lakinya yang sering melakukan pelecehan seksual.

Peran Negara
Pemerintah atau negara tidak seharusnya diam melihat berbagai penindasan atau tindakan tidak manusiawi yang dialami buruh migran di luar negeri. Peran itu tentunya tidak hanya dengan membuat UU yang melindungi buruh migran seperti UU No 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, tetapi juga mengawal pelaksanaan UU tersebut.

Wajar kalau kita merasa pesimis terhadap komitmen negara dalam melindungi buruh migran di luar negeri. Karena sudah banyak kasus penyiksaan, penganiayaan bahkan sampai ada buruh yang meninggal di luar negeri. Ironisnya, hal itu selalu terulang dan terulang. Kasus yang terbaru dialami oleh Siti Hajar Buruh Migran asal Jawa Barat yang dianiaya oleh majikannya di Malaysia.

Sebagai negara pengirim buruh migran yang cukup besar, berdasarkan data Komnas Perempuan, diperkirakan setiap tahun mencapai lebih dari 600.000 tenaga kerja. Itu sudah seharusnya diimbangi memberikan perlindungan yang memadai. Negara harus menjamin keterpenuhan hak-hak buruh migran, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan penempatan.

Berbagai kasus penganiayaan dan penindasan terhadap buruh migran semoga tidak hanya menjadi komoditas politik belaka. Itu haruslah dilihat sebagai persoalan kemanusiaan yang harus disikapi secara tegas agar nasib buruk yang menimpa buruh migran kita tidak berulang. Negara harus melindungi keberadaan mereka sebagai warga negara yang sepatutnya mendapat perlindungan. Ratifikasi terhadap Konvensi 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sangat mendesak. (80)

—Evarisan, SH, MH, Direktur LRC-KJHAM Semarang

Pernah Dimuat di Suara Merdeka 19 Juni 2009

Baca Selengkapnya »»