| 0 komentar ]

Tanggal 30 Juli 2009 LRC-KJHAM semarang mengadakan acara Launching Buku 10 Tahun bekerja dengan Cedaw dan diskusi Refleksi 25 tahun Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Acara di buka oleh Prasetyo Ariwibowo, SH dari Biro Hukum Propinsi Jawa Tengah Mewakili Gurbernur Jawa Tengah Bapak H.Bibit Waluyo, dan membacakan sambutan dari Gurbernur Jawa Tengah yang menjelaskan bahwa Hak-hak warga negara sudah tercantum dan di atur dalam konstitusi negara, UUD 1945. Namun demikian dari berbagai indicator kualitas hidup manusia, seperti pendidikan dan Sumber daya ekonomi, negara belum sepenuhnya dapat memenuhi hak setiap warga negaranya.

Kemudian adanya Gender mainstreaming merupakan strstegi untuk memasukkan isu-isu gender ke dalam rancangan dengan tujuan terciptanya kesetaraan gender di setiap lini kehidupan. Maka dengan adanya moment ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengharapkan akan menghasilkan rekomendasi yang aplikatif untuk mempercepat pemenuhan Hal Asasi Perempuan di Jawa Tengah.


Dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber dan diskusi yang di pandu oleh moderator, Prof.Dr.Agnes Widanti, SH. Mhum.

Dalam diskusi kali ini Ibu Sjamsiah Ahmad dari Komnas Perempuan mengangkat tema Refleksi 25 Tahun Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia, Bapak Beni dari Bappeda Propinsi Jawa Tengah, Bapak Prasetyo Ariwibowo, SH dari Bappeda Jawa Tengah dan Ibu Evarisan dari LRC-KJHAM Semarang.

Dalam kesempatan ini Bapak Beni menuturkan bahwa upaya peningkatan kualitas perempuan di Jawa Tengah termaktub dalam visi dan misi dalam RPJMD. Dalam Gender Development Index (GDI) dan Gender Equity Movement (GEM) yang menjadi focus utama pembangunan adalah perempuan dan anak. Berdasarkan data statistic dalam perempuan di parlemen, perempuan pekerja professional, perempuan dalam angkatan kerja, upah perempuan pekerja non pertanian, perempuan dan pendidikan dikatakan bahwa tingkat partisipatif perempuan masih sangat rendah. Kebijakan pembangunan yang selama ini di laksanakan belum optimal. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melakukan upaya pengintegrasian, kebijakan dan strategi serta program bagi terwujudnya peningkatan kualitas perempuan di Jawa Tengah.

Dilanjutkan dengan pemaparan dari anggota Komnas Perempuan, Ibu Sjamsiah Ahmad. Ibu Sjamsiah Ahmad mengatakan bahwa CEDAW sebagai kerangka pemberdayaan perempuan, dan untuk bisa membuat kerangka, harus terlebih dahulu paham CEDAW.

CEDAW sebagai instrument hukum merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang menetapkan persamaan antara perempuan dengan laki-laki dalam menikmati hak-hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam penerapannya, CEDAW menganut prinsip-prinsip antara lain:

1. Prinsip non-diskriminatif, termasuk di dalamnya tindakan khusus sementara, atau Temporary Special Measures dan berhenti manakala tujuan telah tercapai.

2. Prinsip persamaan substantive atau langkah-langkah untuk merealisasi hak-hak perempuan. Namun dikatakan bahwa pendekatan hukum formal dan program-program saja tidaklah cukup dan oleh Komite CEDAW di artikan sebagai persamaan substantive.
3. Prinsip kewajiban negara. Negara yang sudah meratifikasi konvensi wajib melakukan langkah-langkah aktif untuk menerapkan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Kemudian refleksi dari Komnas Perempuan , di Jateng ada sekitar 154 perda yang mengkriminalisasi perempuan. Kebijakan yang diskriminatif lahir dari praktik pengarus utamaan demokrasi procedural, yang mengakibatkan krisis kualitas demokrasi. Kemudian kebijakan daerah yang diskriminatif dapat menyebabkan pengikisan kewibawaan dan kepastian hukum. System ketatanegaraan yang berlaku saat ini belum mampu mencegah persoalan yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah yang diskriminatif.

Harapannya negara harus mengakhiri pelembagaan diskriminasi, demikian pula kita semua. Khusus bagi perempuan, pelembagaan upaya penghapusan diskriminasi berlandaskan konvensi CEDAW oleh semua Badan-Badan Penyelenggara Negara: legislative, Eksekutif dan yudikatif maupun organisasi masyrakat sipil, profesi, keahlian, pengusaha dan lain-lain serta parpol, merupakan kewajiban negara sebagai konsekuensi kedudukan negara Indonesia seagai negara pihak dari konvensi CEDAW.

Narasumber Terakhir yang juga merupakan Direktur LRC-KJHAM , Evarisan SH.,MHum., dalam uraiannya mengatakan bahwa CEDAW mengatur secara detil Hak Asasi Manusia khususnya bagi perempuan. Namun banyak kita jumpai banyak orang yang belum paham dan tahu tenang konvensi ini. Ada 3 prinsip pemenuhan hak, yaitu to promote, to protect dan to respect.

Dalam kesimpulan dikatakan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia yang tidak boleh tersubordinasi oleh kultur maupun agama, dan pemenuhan hak ini harus segera dan tidak boleh di tunda-tunda.
Disampaikan juga beberapa rekomendasi diantaranya :
• Mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuknya
• Mendorong negara menjalankan dengan segala cara yang tepat tanpa di tunda-tunda untuk merealisasikan hak asasi perempuan
• Menciptakan mekanisme yang efektif yang dapat di gunakan oleh perempuan untuk mendapatkan ganti rugi apabila hak mereka dilanggar.
• Ketiadaan hukum tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk tidak merealisasi hak, untuk itu negara harus mencari trobosan hukum dan menyediakan hukum yang melindungi dan menjamin hak
• Menegakkna hukum untuk kasus KBG termasuk kasus menikahi anak di bawah umur

Sri Sutarmi (Volunteer Advokasi Kebijakan LRC-KJHAM Semarang)



Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Launching Buku 10 Tahun Bekerja Bersama CEDAW dan Refleksi 25 Tahun CEDAW

Dalam rangka ;
Refleksi 25 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)
“ Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Jender “


Dua puluh lima tahun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, Pada bulan Februari 2000 pemerintah Indonesia juga juga telah menandatangi Optional Protocol untuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir beberapa regulasi terkait pemenuhan Hak Asasi Perempuan sudah dikeluarkan oleh pemerintah RI, diantaranya UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPO). Namun masih banyak juga regulasi yang melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan yang sangat controversial adalah UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Upaya lain yang juga telah dilakukan adalah mengeluarkan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 menteri tentang Pembentukan Layanan Terpadu dll, bahkan di tingkat provinsi sudah disahkan PERDA No. 3 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak.

Didalam Konvensi CEDAW Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kewajiban negara mencakup jaminan atas hak-hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta hasilnya. Juga menjamin pelaksanaan hak-hak melalui langkah-langkah atau aturan khusus untuk menciptakan kondisi yang diperlukan bagi peningkatan kemampuan akses perempuan atas suatu kesempatan, menjamin hak-hak perempuan tak hanya secara de jure, tapi juga secara de facto dan menjamin pengaturan di sektor publik, juga terhadap tindakan atau praktek atas orang-orang dan lembaga di sektor privat dan swasta.
Dengan melihat realitas tersebut di atas berdasarkan data yang dicatat LRC-KJHAM dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008, telah terjadi 4473 atau hampir 4500 kasus dengan jumlah korban 13.356 orang dan ada 169 korban diantaranya meninggal. Dapat dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan mandate konvensi ini secara konsisten, ditambah dengan dikeluarkannya sejumlah produk kebijakan masih tetap mendikriminasikan perempuan dan cenderung melupakan atau mengabaikan fakta-fakta kekerasan terhadap perempuan yang masih di jumpai di masyarakat.
Melalui moment 30 Juli 2009, dimana 25 tahun silam Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW, maka tepat untuk melakukan refleksi atas pelaksanaan Undang-undang No. 7 Tahun 1984.

Karena sampai saat ini tidak banyak masyarakat termasuk aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum yang mengetahui Undang-undang ini. Dan tepat di umurnya 10 tahun LRC-KJHAM akan mengadakan Launching Buku 10 Tahun LRC-KJHAM Bekerja Bersama CEDAW dan Mengadakan Diskusi Publik untuk mengetahui sejauh mana capaian dan strategi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mempercepat pemenuhan HAP di Jawa Tengah. Juga sejauh mana aparat pemerintah melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan di Jawa Tengah dan Aparat penegak hukum memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban berbasis gender tanpa diskriminasi. Berdasarkan hal tersebutlah Diskusi Refleksi 25 Tahun Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) kami selenggarakan.
Demikianlah Pers release yang kami sampaikan, terima kasih.

Semarang 30 Juli 2009
Direktur
Legal Resources Center untuk
Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia



( Evarizan S.H.MH )



Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]



Hak-hak dan perlindungan bagi korban
1. Hak atas kebenaran
2. Hak atas keadilan
3. Hak atas pemulihan baik secara fisik, psikis & ekonomi

Perlindungan yang bisa diberikan
1. Peraturan perundang-undangan yang berpihak
2. Kontrol terhadap pelaksanaan Perundang-undangan
3. Jaminan kepastian hokum
4. Perlakuan aparat penegak hukum yang adil
5. Fasilitas publik (OSCC, shelter/ trauma center, PPT, RPK)
6. Resosialisasi
7. Pendampingan psikologis dan hokum
8. Penguatan ekonomi korban dan keluarga korban


Bentuk-bentuk layanan bagi Korban KBJ

1. Pelayanan berbasis rumah sakit
2. Pelayanan berbasis lembaga (institusi)
3. Pelayanan berbasis komunitas
4. Sistem layanan terpadu (OSCC)

Apa yang dimaksud dengan Pusat layanan berbasis komunitas

1. Adalah suatu sistem pemantauan terhadap kekerasan terhadap perempuan dan pelayanan terhadap perempuan koraban kekerasan dengan berdasarkan pada tatanan struktur dan mekanisme masyarakat lokal yang berkeadilan jender.

2. Penanganan berbasis masyarakat ini mengandaikan adanya fleksibilitas dalam kerjanya: tidak harus memiliki landasan pendirian lembaga formal (akta pendirian), tidak harus punya kantor, tidak punya struktur kelembagaan formal. Para pekerja kelompok ini bekerja atas dasar kerelawanan.

Apa yang dimaksud dengan Pelayanan berbasis lembaga (institusi)
Suatu lembaga yang memberikan dampingan pshikologis dan hukum secara langsung kepada perempuan korban kekerasan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan korban, sehingga mereka dapat mengenali masalah kekerasan yang dialaminya dan menentukan langkah-langkah untuk mengantisipasi kekerasan itu. Pengelolanya terdiri dari staf dan relawan yang tergabung dalam suatu struktur kepengurusan formal.

Apa yang dimaksud dengan Pelayanan berbasis Rumah Sakit

Layanan rumah sakit biasa dekenal dengan Unit Pelayanan Perempuan (UPP) adalah unit pelayanan khusus di rumah sakit yang diperuntukkan bagi perempuan korban kekerasan utamanya yang berbentuk fisik atau seksual (perkosaan, pelecehan seksual) ataupun yang telah berpengaruh terhadap fisik (penganiayaan).

Apakah pusat pelayanan terpadu
Biasa kita kenal juga dengan OSCC (One Stop Crisis Center) adalah Pelayanan korban kekerasan yang dilaksanakan secara bersama-sama (multi sektoral: RS, Polisi, Jaksa, Hakim, psikososial/ LSM, konselor, pengacara) dalam bentuk pengobatan dan perawatan secara fisik, psikis serta pelayanan sosial dan hukum.
 Lebih efisien tempatnya di rumah sakit
 Tujuannya adalah untuk memotong rantai prosedur layanan.

Mengapa layanan terpadu perlu bagi perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender

a. Karena kasus kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin mencemaskan, sementara perlindungan terhadap perempuan korban masih belum maksimal dan terpisah-pisah.
b. Para korban akan sangat dimudahkan memperoleh layanan yang sesuai dengan kebutuhannya secara lebih cepat (memperpendek jalur birokrasi).
c. Layanan akan lebih efisien dan tepat sasaran jika berbagai pendekatan dan disiplin layanan benar-benar dirancang dan dilakukan dengan memadukan berbagai disiplin layanan.
d. Kerjasama memadukan beberapa disiplin memungkinkan integrasi pendekatan yang menguntungkan bagi pemulihan korban.
e. Pengembangan layanan terpadu berpotensi besar untuk mempererat jaringan kerja dengan berbagai institusi multidisiplin.

Landasan dibentuknya Layanan Terpadu

 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. Jo Rekomendasi Umum PBB No. 19 tahun 1992 tentang Kekerasan terhadap Perempuan jo. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
 SKB (Surat Kesepakatan Bersama) Tiga Menteri dan KAPOLRI tertanggal 25 September 2002 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu
 UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Siapa saja pihak yang harus kita libatkan
 Medik: dokter, perawat, bidan, pshikolog, pshikiater.
 Hukum : polisi, jaksa, hakim, pengacara.
 Pshikososial: konselor, LSM/pendamping.

Prasyarat layanan terpadu
 MoU (Kesepakatan Bersama) sebagai sandaran hukum
 Mekanisme koordinasi antar pihak terkait
 SDM yang sensitive gender
 Politicall Will (Komitmen Politis) untuk bekerjasama dalam rangka upaya

penghapusan kekerasan terhadap perempuan
 SOP (Standart Operasional Procedure) yang disepakati bersama
 Prinsip kemitraan8
 Mekanisme penanganan kasus yang jelas
 Mekanisme evaluasi dan monitoring (akuntabilitas)
 Adanya administrasi keuangan yang bertanggung jawab dan transparan.

Tahapan apa saja yang harus dilakukan

1. perencanaan
2. persiapan
3. pelaksanaan
4. evaluasi



Perencanaan

a. Sharing gagasan antar lembaga terkait.
b. Analisis kebutuhan.
Persiapan
a. Recruitmen calon pengelola oleh dan dari masing-masing lembaga.
b. Training gender yang diikuti oleh seluruh lembaga terkait dalam PLTP.
c. Training ketrampilan penyidikan berperspektif gender – untuk serse (kepolisian).
d. Training ketrampilan layanan kesehatan berperspektif gender – untuk petugas medis (rumah sakit).
e. Setting ruang layanan terpadu.
f. Mencarikan dan menetapkan shelter.
g. Penerbitan liflet dan publikasi lain untuk sosialisasi keberadaan PLTP.
h. Sosialisasi ke masyarakat untuk dukungan terhadap perempuan korban kekerasan.
i. Pembuatan SK Walikota/ Bupati berkaitan dengan Pusat Layanan Terpagu bagi Perempuan (PLTP).
j. Pembuatan MoU antar lembaga.

Pelaksanaan
a. Menempatkan dokter, psikolog, konselor, pendamping, polisi, pengacara untuk memberikan layanan terpadu.

b. Menetapkan budget baik di APBD maupun dari sumber lain.
Evaluasi

 Dilakukan secara bersama-sama setiap 3 bulan sekali dengan indikator :
 Menyampaikan jumlah korban yang melapor ke masing-masing lembaga.
 Menyampaikan jumlah korban yang memilih proses hukum.
 Jumlah korban yang dapat dilayani di PLTP.
 Melaporkan kualitas kekerasan
 Melaporkan kepuasan korban akan layanan berkaitan dengan rasa aman dan nyaman.
 Melaporkan jumlah korban yang mendapat dukungan dari masyarakat dan keluarga.

Prinsip dan Indikator Standard Operating Procedure (SOP) Layanan Terpadu

1. Keadilan

Acuan nilai yang tidak membedakan perlakuan layanan didalam upaya memenuhi hak dasar korban kekerasan terhadap perempuan yaitu keadilan, kebenaran dan pemulihan.
Indicator keadilan adalah
a. Ada tidaknya ketentuan/aturan yang membedakan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, status perkawinan, kelas sosial, ekonomi, agama, ras,dll.
b. Ada tidaknya kesempatan hak utuk memilih prosedur layanan misalnya melalui leaflet, brosur dll

2. Keterbukaan
Kesediaan para pihak untuk memberikan informasi tentang kinerja, tindakan layanan, perkembangan kasus serta data lain yang dibutuhkan dalam upaya pemenuhan hak korban termasuk didalamnya pengelolaan pendanaan.

Indicator keterbukaan

a. Ada tidaknya mekanisme akuntabilitas dalam hal pengelolaan dana, pelaksanaan dan pelaporan kinerja.
b. Ada tidaknya mekanisme evaluasi kerja secara reguler atau berkala.
c. Ada tidaknya prosedur kerja bersama yang dituangkan dalam perjanjian kerja
d. Ada tidaknya akses informasi dan dokumentasi yang dibutuhkan mengenai kebijakan lembaga dan data korban.
e. Ada tidaknya forum atau wadah untuk memfasilitasi pertukaran atau sharing tentang kinerja, tindakan layanan perkembangan kasus.

3. Keterpaduan
Mensinergiskan layanan terkait untuk pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan.
Indicator keterpaduan adalah
a. paradigma terhadap korban; bahwa korban tidak ikut andil.
b. Ada tidaknya forum atau mekanisme untuk memfasilitasi bertemunya perspektif (kesepahaman) mengenai layanan

4. Kesetaraan
Penghormatan atas kesetaraan fungsi, peran dan kedudukan masing-masing lembaga lembaga dalam upaya pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan

Indicator kesetaraan

a. Ada tidaknya aturan atau kebijakan rujukan antar lembaga.
b. Ada tidaknya aturan bersama mengenai penampungan sementara atau shelter.
c. Ada tidaknya kesepakatan pembagian peran atau tanggung jawab antar lembaga baik yang dirujuk maupun perujuk.
d. Ada tidaknya mekanisme penyelesaian sengketa tentang prosedur layanan, sistem rujukan, pendanaan yang menghargai hubungan/nilai yang setara.
e. Ada tidaknya kebijakan atau aturan yang memposisikan setiap lembaga pada kedudukan yang setara dalam kerjasama layanan.
f. Ada tidaknya aturan/kebijakan tentang pendanaan layanan yang disepakati antar institusi.
g. Ada tidaknya informasi mengenai pendanaan layanan kepada korban atau yang membutuhkan layanan.

Prinsip-prinsip Dasar Layanan Terpadu Bagi Perempuan Korban :
a. Menjaga kerahasiaan korban
b. Asas tidak mengadili (non judgement) : perempuan korban kekerasan bukanlah pelaku, sehingga ia tidak boleh dipersalahkan sama sekali atas kekerasan yang dialaminya.
c. Membangun hubungan yang setara (egaliter) antara pendamping dan korban; Perempuan korban kekerasan diperlakukan sebagai sesama manusia dengan cara menghormatinya sebagai manusia.
d. Asas pengambilan keputusan sendiri: perempuan korban kekerasan adalah orang yang paling tahu akan penderitaan yang dialaminya. Karenanya korban perlu dibantu dalam mengambil keputusan yang paling tepat untuk dirinnya sendiri.
e. Asas pemberdayaan (empowerment) : setiap usaha yang diberikan harus dapat menguatkan perempuan korban yang didampinginnya, sehingga akhirnya ia mampu bangkit dari penderitaan yang dialaminya.
f. Asas bekerjasama –team work—dalam relasi setara.



Baca Selengkapnya »»
| 2 komentar ]



Baru saat ini saya benar-benar berfikir kalau menjadi buruh migrant merupakan hak setiap manusia, kalau di Indonesia berarti hak setiap warga Negara Indonesia. Kenapa tidak dinegara ini sampai sekarang belum memiliki kapasitas cukup untuk memberikan lapangan kerja pada seluruh warganegaranya. Sebelumnya saya berfikir kalau masih ada pilihan lain kenapa harus menjadi TKI, bahkan saya berfikir menjadi TKI ke luar negeri atau istilah lainnya buruh migrant adalah pilihan orang-orang tidak kreatif yang tidak bisa bertahan dan mencari peluang di negeri sendiri.

Tapi bukankah setiap manusia punya hak untuk memilih apa yang akan dia lakukan termasuk menjadi TKI di luar negeri. Jadi sangat disayangkan di tengah permasalahan tantangan penderitaan yang di alami buruh migrant diantaranya gaji tidak di bayar, mengalami kekerasan fisik dan psikologis, pelecehan seksual, namun jalan keluar yang di tawarkan pemeritah begitu sederhana yaitu hentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Hal tersebut tak akan menjadi soal ketika Di dalam negeri tersedia lapangan kerja yang luas dan layak. Kebutuhan itu belum dipenuhi Pemerintah.

Mayoritas keberangkatan buruh migrant ke luar negeri di latar belakangi oleh persoalan ekonomi, karna kesempatan kerja sedikit, mau berwirausaha tak punya akses untuk mendapatkan modal, dan tidak memiliki lahan untuk digarap sehingga menjadi buruh tani sangat tidak menjanjikan untuk mencapai kesejahteraan .

Yang melatarbelakangi Perubahan mendasar pandangan saya terhadap pilihan menjadi TKI adalah FPAR. Apa sebenarnya FPAR sehingga harus sampai merubah cara pandang saya. FPAR atau Feminits participation action research adalah sebuah aktifitas penelitian yang sangat berbeda dengan penelitian konvensional. FPAR memposisikan peneliti untuk belajar banyak hal dan tidak memposisikan diri sebagai orang yang lebih tahu. FPAR adalah penelitian bersama komunitas yang harus melibatkan pengalaman komunitas, komunitas tidak hanya sebagai object penelitian tidak hanya sebagai sumber data tapi harus memberdayakan seluruh elemen komunitas sehingga pasca penelitian hasilnya tidak hanya karya tulis hitam diatas putih tapi ada langkah nyata atau aksi perubahan yang dilakukan bersama-sama. Dan FPAR memiliki ruh nilai yaitu nilai-nilai feminism yang meniscayakan solidaritas antar perempuan sehingga menjadi berdaya.

Kita bisa melihat betapa FPAR berbeda dengan penelitian konvensional, Saya berani mengatakan bahwa FPAR akan terus membantuku belajar dan terus belajar lebih humanis. Dari metodologinya tergambar FPAR bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa mengikuti keadaan. Story telling dan writing serta menggambar menjadi aktifitas yang dilaksanakan di FPAR, agar komunitas berekspresi.

Selain itu sangat penting bagi Peneliti dalam FPAR untuk merekam proses penelitian dalam sebuah buku harian( diary) sebagai refleksi dan untuk mengevaluasi langkah-langkahnya. FGD (focus group discussion) pun jadi aktifitas yang bisa dilaksanakan dengan komunits buruh migrant yang notabennya penduduk desa. Sungguh sebelum bersentuhan dengan FPAR saya merasa mustahil bisa berdiskusi dengan orang desa. Saya selalu merasa memiliki pengetahuan lebih dari mereka dan khawatir mereka tidak akan bisa mengikuti alur pikir saya. Ternyata tanpa sadar sayalah yang begitu picik karna selalu terjebak dengan pikiran semacam itu.

FPAR kali ini dilaksanakan LRC KJHAM di Desa Rowo Branten Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal. Salah satu latar belakang mengapa memilih lokasi penelitian di kabupaten Kendal adalah karena menurut Depnaker Kendal, Kab. Kendal terdata sebagai kapubaten terbesar kedua pengirim buruh migrant setelah Kabupaten Cilacap.

FPAR ini berusaha menggali keterkaitan antara Gender dengan persoalan migrasi perempuan dan perdagangan manusia dan prosesnya baru mencapai setengah perjalanaan. Dibutuhkan kesabaran tinggi untuk menggali data namun tetap memberi kontribusi pada sumber data tersebut. Karna sesuatu yang monoton sering terjadi, misalnya dalam menelusuri latar belakang keberangkatan buruh migrant ke luar negeri, hanya ada satu alasan yang selalu muncul yaitu masalah ekonomi. Sehingga masih butuh waktu untuk menggali persoalan lain misalnya relasi kuasa mengapa akhirnya perempuan menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh migrant., tanpa memaksakan pandangan kita tentang hal tersebut.

Perjalanan FPAR ini masih membutuhkan banyak langkah strategis untuk mampu memberdayakan masyarakat dan upaya menjadi problem solving bagi mereka sendiri, karna peneliti bukanlah problem solver. Peneliti merupakan bagian dari komunitas yag sedang belajar bersama dan menjadi fasilitator untuk mengetahui masalah dan mengupayakan penyelesaian. Membuat mereka bergantung dengan relasi kuasa lain misalnya LSM atau NGO yang hanya akan menimbulkan masalah baru.

Terinspirasi dari FPAR sebelumya di desa Wedoro Kabupaten Grobogan yang di motori Dewi Nova dan Evarisan yang telah berhasil mengorganisasikan beruh migrant disana untuk bisa berbuat untuk diri mereka sendiri. Serta karya yang merupakan dokumentasi asli dari aktivitas komunitas buruh migrant selama FPAR. Semoga perjalanan yang baru akan menginjak setengah ini akan mampu menghasilkan hal yang sama atau seharusnya menjadi lebih baik karna FPAR kali memiliki kesempatan banyak belajar dari yang sebelumnya telah dilaksanakan.

Afidah (Volunteer Divisi Pendidikan dan Riset LRC-KJHAM Semarang)
Catatan Pengalaman pendampingan pada kelompok buruh migran di Desa Rowobranten Kecamatan Ringinarum Kab. Kendal Provinsi Jawa Tengah

Baca Selengkapnya »»