| 1 komentar ]


Lrc- kjham bekerjasama dengan rumah seni yaitu akan menyelenggarakan pameran foto dan diskusi pelanggaran Hak asasi Perempuan di Kota Semarang.

Dalam pameran foto ini, akan diwartakan situasi hak asasi dan perjuangan kaum perempuan di Kota Semarang dalam melawan marginalisasi.
Akan ditampilkan foto-foto berkaitan dengan isu-isu perempuan seperti perempuan dan kemiskinan, perempuan dan lingkungan, perempuan dan kesehatan, strategi-strategi perlawanan kaum perempuan termasuk strategi hak asasi dalam pendampingan perempuan korban kekerasan berbasis gender oleh LRC-KJHAM Semarang.

Tujuan dalam pameran ini adalah Mempublikasikan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang; Mempublikasikan dampak-dampak dari pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang; Mendorong lahirnya kesadaran masyarakat di Kota Semarang terhadap hak-hak asasinya yang dijamin dan dilindungi penggunaannya oleh undang-undang; Menggalang solidaritas dan dukungan publik terhadap upaya penegakan Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang.

sedangkan target yang ingin dicapai adalah Masyarakat mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang; Masyarakat mengetahui dampak-dampak dari pelanggaran Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang; Lahirnya kesadaran masyarakat di Kota Semarang terhadap hak-hak asasinya sebagaimana dijamin dan dilindungi penggunaannya oleh undang-undang; Munculnya solidaritas atau dukungan publik terhadap upaya penegakan Hak Asasi Perempuan di Kota Semarang;

Pameran foto akan dilaksanakan pada tanggal 25 Februari – 15 Maret 2009 di Rumah Seni YAITU, Jl. Kampung Jambe No. 20 Semarang.

Pameran foto ini akan dibuka pada tanggal 25 Februari sekaligus akan diadakan diskusi mengenai foto-foto yang dipamerkan. acara pembukaan sekaligus diskusi akan dimulai pada pukul 19.00 WIB.

Pameran foto ini mengangkat tema "Ketika Perempuan Bertutur"

Kami mengundang rekan-rekan untuk hadir dalam acara ini.
untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami di nomor telepon
024-6723083 atau di hotline kami 024-70558000

Divisi Informasi dan Publikasi
Anny

Baca Selengkapnya »»
| 3 komentar ]

“PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU (PPT) DAN SHELTER BAGI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BERBASIS JENDER DI KOTA SEMARANG ”

Oleh :
Indira Hapsari, S.Sos
Project Officer
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM
(LRC-KJHAM) Semarang



I. Teras Depan

Konteks Jender Budgeting
Anggaran yang Berkeadilan Jender (Gender Budgeting) merupakan suatu strategi untuk mengintegrasikan isu jender ke dalam proses penganggaran dan menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan jender ke dalam komitmen anggaran. Lewat anggaran, dapat dilihat sejauh mana komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya mewujudkan kesetaraan jender dan menjamin hak atas penikmatan dan partisipasi yang sama dalam pembangunan bagi warga negara, khususnya perempuan. Komitmen Pemerintah untuk menjamin pelaksanaan pengarusutamaan jender dituangkan lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 pada pasal 7 ayat 1 , yaitu alokasi anggaran sekurang-kurangnya minimal 5% dari APBD untuk menjamin percepatan persamaan hak perempuan dibandingkan laki-laki. Sedangkan peraturan perundangan nasional dan daerah yang terkait dengan Anggaran yang Berkeadilan Jender adalah (1). Peraturan Mendagri No. 13 tahun 2006 tentang indikator Kinerja yang terkait dengan pelaksanaan PUG; (2). Perda No. 1 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Semarang, dalam ps 66 mewajibkan adanya biaya pendidikan minimal 20% dari APBD; (3). Perda No. 9 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah; (4). Perda No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang terkait pengakuan terhadap kelompok marginal atas beberapa hak dasar; (5). PP No 41 tahun 2007 tentang SOTK Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sejumlah peraturan perundangan diatas merupakan mandat dilaksanakannya anggaran yang berkeadilan jender di Kota Semarang.
Kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada perempuan menyebabkan semakin terpinggirkannya perempuan dari proses dan penikmatan hasil pembangunan. Perempuan harus menghadapi situasi ketiadaan jaminan atas perlindungan hukum, pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik perempuan, pendidikan, ketrampilan, pekerjaan, akses atas modal usaha serta perumahan. Kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang cukup tinggi angkanya di Jawa Tengah tahun 2007-2008 yaitu 383 kasus dengan 1.017 korban dan 39 korban meninggal sedangkan di Kota Semarang, yang menempati urutan teratas di Jawa Tengah, yaitu 92 kasus. Seperti fenomena gunung es, jumlah yang terdata tidak/kurang menunjukkan besaran kasus yang sesungguhnya terjadi, dan keberanian mengungkapkan KTP membutuhkan dukungan berbagai pihak dan melalui proses yang panjang. Dibutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk memberikan layanan yang terpadu bagi korban KTP, sehingga semakin banyak pula korban yang berani melaporkan kasusnya dan tertangani. Melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, legitimasi terhadap pelayanan terpadu untuk perempuan korban kekerasan semakin kuat, sebab kedua undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk pusat pelayanan terpadu untuk korban kekerasan berbasis jender. Penyediaan layanan terpadu yang cepat, mudah dijangkau (biaya dan lokasi), memberi rasa aman, dan nyaman dapat meningkatkan kualitas hidup terutama perempuan dan anak korban kekerasan berbasis jender serta memutus rantai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh perempuan dan anak korban kekerasan. Berdasarkan fakta diatas maka menjadi penting adanya alokasi anggaran yang lebih memadai untuk perempuan di Kota Semarang, khususnya merealisasikan pelayanan yang terpadu bagi upaya pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan berbasis jender.

II. Kesenjangan antara Fakta dan Harapan Pemulihan Hak Korban
Kondisi Korban Kekerasan Berbasis Jender di Jawa Tengah dan Kota Semarang
Kekerasan Berbasis Jender merupakan satu dari sekian bagian yang menjadi kendala dalam penegakan Hak Asasi Perempuan di Indonesia. Pada tahun 1992, dalam sidang ke-11 Konvensi Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Rekomendasi Umum Nomor 19 menjelaskan dengan terang bahwa : “Kekerasan berbasis jender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki”. Dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) ini telah di ratifikasi dan disyahkan oleh Pemerintah Indonesia lewat UU Nomor 7 Tahun 1984.
Berdasarkan hasil monitoring LRC-KJHAM periode November 2007 - Oktober 2008 kekerasan berbasis jender di Jawa Tengah mencapai angka 384 kasus. Yang sebarannya meliputi : 117 kasus perkosaan, 104 kasus KDRT, 54 kasus KDP, 5 kasus pelecehan seksual, 51 kasus eksploitasi prostitut perempuan, 14 kasus trafiking, dan 39 kasus kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran perempuan (TKW). Bahkan dari hasil analisis LRC-KJHAM, modus kekerasan yang dilakukan lebih sadis dan menyasar ke bagian tubuh yang membahayakan perempuan, seperti bagian kepala, leher, dada, dan perut, bahkan hingga berakibat kematian pada korban .
Dari 384 kasus kekerasan berbasis jender yang terjadi didapati bahwa kekerasan berupa perkosaan di kota Semarang angkanya mencapai 14 kasus. Angka ini merupakan angka yang tertinggi dibanding kota lain di Jawa Tengah. Dari gambaran data diperoleh bahwa kejahatan perkosaan sering dilakukan oleh orang yang dikenal baik korban, memiliki hubungan kekeluargaan atau tinggal 1 rumah/dekat dengan korban . Perkosaan dilakukan diantaranya melalui ancaman (tidak naik kelas, tidak diberi uang jajan, uang SPP, makan, dibunuh), iming-iming/janji (permen, uang, mainan, pekerjaan, kesembuhan penyakit), hingga menimbulkan trauma psikologik, perlukaan fisik, khususnya kesehatan reproduksi hingga kematian korban. Perkosaan yang dialami perempuan telah menempatkan perempuan dalam resiko terhadap kesehatannya serta meniadakan kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan keluarga maupun kehidupan publik atas dasar persamaan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di Kota Semarang pun mengalami keadaan yang sama, angkanya mencapai 46 kasus. Modus pelaku dalam melakukan kekerasan mengalami peningkatan dari bentuk kekerasan, alat yang digunakan, bagian tubuh yang disasar, dampak yang dialami korban hingga korban mninggal dunia. Sering kali pelaku berlindung di balik pertimbangan nilai adat, tradisi atau keagamaan yang dianggap lazim secara sosial. Posisi pelaku yang lebih sering adalah suami, menjadikan upaya-upaya perlindungan serta pemulihan menjadi lebih sulit dilakukan.
Kekerasan dalam pacaran, yaitu hubungan/relasi intim yang terjadi sebelum /di luar perkawinan, juga menjadi kejahatan terhadap perempuan yang tinggi angkanya di kota Semarang yakni ada 16 kasus. Modus disempower (melemahkan/membuat tak berdaya) selalu dipilih pelaku untuk melakukan pemaksaan atau kekerasan, seperti bujuk rayu, iming-iming, janji, tipu daya. Termasuk kasus pelecehan seksual yang mencapai 2 kasus dan 75 kasus eksploitasi perempuan prostitut, serta masing-masing 2 kasus kekerasan terhadap buruh migran perempuan dan perdagangan perempuan.
Dampak dari kekerasan berbasis jender yang dialami perempuan dan anak secara fisik dan seksual diantaranya dan tidak hanya terbatas pada luka fisik, cacat, psikosomatis, gangguan siklus menstruasi, PMS dan gangguan organ reproduksi. Secara psikis kehilangan rasa percaya diri, mudah mengalami kecemasan, perasaan tidak aman, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, menyalahkan diri sendiri, apatis thdp hidup, mencoba/melakukan bunuh diri, gangguan dalam aktifitas sosial, trauma psikologik. Secara ekonomi-sosial adalah tergantung pada bantuan orang lain, gangguan produktifitas kerja, pengeluaran ekstra untuk mengurus kasus, penyembuhan luka, pindah rumah, serta kehilangan kendali atas ekonomi keluarga.
Melihat tingginya angka kekerasan serta dampaknya bagi perempuan dan anak, tidak heran ketika kemudian pemerintah kota Semarang menjadikan upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan menjadi urusan wajib pemerintahan /SKPD urutan ke-11 diantara 25 urusan wajib yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Semarang memiliki keberpihakan dalam merealisasikan harapan (idealita) terciptanya kesetaraan jender di kota Semarang. Dan hal demikian bisa dilakukan dengan cara melakukan perlindungan maksimal terhadap korban kekerasan berbasis jender.

III. Catatan Kritis terhadap Program bagi Perempuan dan Anak di Kota Semarang
1. Program Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada APBD Kota Semarang tahun 2008
a. Dinas Kesehatan : (1). Peningkatan Keselamatan Ibu melahirkan dan Anak dengan anggran sebesar Rp. 105.000.000,00; (2). RSU; Pengembangan Ruang Bersalin dengan anggaran sebesar Rp. 3.972.900.000,00
Dalam program Peningkatan Keselamatan Ibu melahirkan dan Anak pada APBD Kota Semarang tahun 2008, terdapat biaya stimulan untuk akses Pap Smear sebesar Rp.3.500.000,00 (sama besar dengan anggaran tahun 2007). Anggaran ini sama esar dengan anggaran tahun lalu. Namun anggaran ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dengan jumlah perempuan yang mengakses layanan tersebut, yaitu semua perempuan yang sudah menikah atau pernah/sudah melakukan hubungan seksual aktif. Sebab layanan ini penting untuk mendeteksi sejak awal gejala gangguan pada organ reproduksi perempuan, salah satunya sebagai dampak dari kekerasan berbasis jender yang dialami oleh perempuan dan anak. Dalam kenyataannya, anggaran untuk program Peningkatan Keselamatan Ibu melahirkan dan Anak ini lebih banyak untuk belanja pegawai, barang dan jasa serta konsultasi ahli. Sehingga alokasi anggaran yang besar ini masih sedikit yang diterima langsung oleh perempuan dan anak. Anggaran meningkat sebab terdapat kegiatan /program sarana fisik seperti ruang bersalin & belanja alat-alat kedokteran pelayanan KB.
Apabila melihat kebutuhan korban kekerasan berbasis jender akan layanan kesehatan, dari catatan pendampingan yang dilakukan oleh LRC-KJHAM mencatat bahwa perempuan korban belum bisa mengakses layanan pemeriksaan kehamilan hingga persalinan secara gratis di RSU Kota Semarang sehingga beberapa korban masih dirujukkan ke RSU Provinsi Tugurejo. Layanan permintaan Visum et Repertum (Puskesmas dan RSU Kota Semarang) serta Visum Psikiatrikum (RSU Kota Semarang) untuk menerangkan kondisi fisik, seksual maupun psikologi korban paska kekerasan yang dialami masih terkendala masalah prosedural dan kewenangan sehingga korban kekerasan masih harus mengakses layanan tersebut ke RS Bhayangkara, RSU Provinsi Tugurejo maupun RS Swasta lain. Layanan pemeriksaan organ reproduksi terhadap kemungkinan dampak penularan Penyakit Menular Seksual, HIV-AIDS maupun gangguan reproduksi lain juga masih belum bisa diakses korban secara gratis di RSU Kota Semarang. Korban masih harus mengeluarkan biaya untuk layanan medis yang diberikan RSU Kota Semarang, atau biaya ekstra untuk transportasi ke RSU Provinsi Tugurejo.
b. BKKBN : Pelayanan KB dan Alat Kontrasepsi dengan anggaran sebesar Rp. 782.417.500,00
Anggaran tersebut meningkat besar dari alokasi pada APBD tahun 2007 yang sebesar Rp. 104.660.000,00 sebab terdapat kegiatan pengadaan sarana pelayanan KB berupa belanja alat-alat kedokteran sebesar Rp. 604.597.500,00. Dikurangi alokasi untuk belanja pegawai dan konsultasi ahli, maka alokasi untuk layanan yang langsung dapat dinikmati perempuan masih kecil. Secara umum, data demografi Kota Semarang memperlihatkan bahwa dari 80% akseptor KB dari Pasangan Usia Subur, hanya sebanyak 20 % saja jumlah laki-laki yang menjadi peserta aktif KB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan reproduksi hanya dibebankan kepada perempuan saja dan kehilangan kemampuan untuk mengontrol keputusan akan hak reproduksinya sendiri, dalam hal ini adalah keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Beberapa korban dilarang oleh suami untuk menggunakan alat kontrasepsi sehingga rentan untuk mempunyai banyak anak atau resiko kehamilan yang tidak dikehendaki sementara korban tidak diberi cukup nafkah atau bahkan tidak dinafkahi sama sekali oleh suami sehingga harus menanggung beban atas pengeluaran rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sendiri, dan untuk dapat mengakses layanan kontrasepsi korban harus mendapat persetujuan suami. Prasyarat tersebut menghambat upaya korban untuk memperoleh perlindungan atas kesehatan reproduksi serta memutus rantai kekerasan yang dialaminya.
c. Badan KESBANGLINMAS : Pendidikan Politik Perempuan dengan anggaran sebesar Rp. 41.500.000,00
Anggaran ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan anggaran tahun 2007 yang sebesar Rp. 50.000.000,00. Alokasi anggaran ini sangat diperlukan dalam konteks penguatan organisasi perempuan sehingga mampu secara signifikan meningkatkan akses partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, khususnya keterlibatan sejak proses perencanaan sampai penganggaran untuk memastikan masuknya program yang sensitive jender dalam rencana pembangunan Kota Semarang.
Pengembangan kapasitas perempuan, partisipasi serta pemberdayaan perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan berbasis jender (KBJ), harus dilakukan dengan mengedepankan persepsi perempuan (korban KBJ) dalam menilai situasi serta kondisi perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dialami, juga melibatkan mereka dalam memformulasi kebijakan perlindungan untuk perempuan dan anak korban KBJ. Dalam cacatan pendampingan yang dilakukan oleh LRC-KJHAM, beberapa institusi/lembaga pengada layanan bagi perempuan dan anak korban KBJ masih tidak melibatkan korban dalam pengambilan keputusan penting bagi hidupnya karena belum menerapkan prinsip relasi yang setara dalam pendampingan. Sehingga korban merasa terpaksa menerima tawaran pendamping karena merasa telah ditolong oleh pendamping.
d. Sekretariat Daerah ; (1). Kegiatan Pembinaan Organiasi Perempuan dengan anggaran sebesar Rp. 1.559.493.800,00; (2). Pameran Hasil Karya Perempuan di Bidang Pembangunan dengan anggaran sebesar Rp. 50.000.000,00; (3). Peningkatan Kapasitas & Jaring Kelembagaan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (SERUNI) dengan anggaran sebesar Rp. 287.000.000,00; (4). Pelatihan Perempuan di Pedesaan dalam Bidang Usaha Ekonomi Produktif dengan anggaran sebesar Rp. 20.000.000,00
Alokasi anggaran untuk program di atas meningkat dibandingkan dengan alokasi APBD tahun 2007, khususnya untuk anggaran SERUNI, namun karena terkendala pencairan dana yang terhambat maka pemenuhan hak atas pemulihan bagi perempuan dan anak korban KBJ pun tidak dapat direalisasi secara maksimal. Apabila dilihat dari dasar pembentukan SERUNI Kota Semarang maka dalam dasar menimbang disebutkan bahwa SERUNI merupakan Jaringan Layanan Terpadu dengan memadukan multi-disiplin dengan pendekatan yang holistik. Sehingga keterpaduan antar pengada layanan dan layanan rujukan antar pengada layanan menjadi syarat utama berjalannya pendampingan untuk pemulihan hak korban KBJ. Namun dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 463.05/112 tahun 2004 pun tidak disebutkan mengenai tanggung jawab untuk melakukan asistensi kelembagaan, terutama agar layanan rujukan dapat berjalan baik dan tidak menghambat upaya perempuan korban untuk mengakses hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Namun masih ada perempuan dan anak korban KBJ yang melaporkan kasusnya ke SERUNI dan tidak tertangani dengan baik karena adanya hambatan pada layanan rujukan. Dan karena tidak adanya MoU antara SERUNI dengan RSU Kota Semarang untuk pemberian layanan medis maka SERUNI Kota Semarang pun masih merujukkan layanan medis bagi perempuan dan Anak korban KBJ ke RSU Provinsi Tugurejo, yang jaraknya jauh dari pusat Kota. Dari catatan pendampingan yang dilakukan LRC-KJHAM juga menemukan fakta adanya beberapa perempuan korban yang justru mengalami diskriminasi oleh pendamping saat melaporkan kasus atau proses pendampingan di SERUNI, seperti dipojokkan, disalahkan, dihakimi sehingga korban merasa tidak nyaman dan aman selama proses pendampingan. SERUNI juga tidak lagi menyediakan layanan rumah aman yang bisa diakses oleh korban, sehingga perempuan dan anak korban KBJ yang memenuhi kriteria layak shelter (mendapat penolakan dari keluarga/masyarakat, terancam jiwanya, memerlukan pendampingan intensif, masih dalam proses litigasi, belum mempunyai tempat tinggal tetap) dirujukkan ke shelter provinsi.
e. Dinas Perindustrian dan Perdagangan : Pelatihan Ketrampilan Peranan Wanita dengan anggaran sebesar Rp. 50.000.000,00
Salah satu dampak yang dialami oleh perempuan korban KBJ adalah masalah ekonomi yang berakar dari ketergantungan ekonomi, terputusnya akses ekonomi secara mendadak, hilangnya kendali atas ekonomi rumah tangga serta pengeluaran ekstra untuk biaya perkara, pindah tempat tinggal, biaya pengobatan atas perlukaan. Situasi ini membuat perempuan, baik yang tidak bekerja maupun yang bekerja mencari nafkah, mengalami keterpurukan yang berdampak pada kemampuannya untuk memutus rantai kekerasan yang dialaminya dan mencari bantuan untuk pulih.
Dalam konteks itulah pelatihan ketrampilan, yang bertujuan tidak hanya memberikan kegiatan namun juga dapat menghasilkan keuntungan, sangat diperlukan oleh korban. Namun program pelatihan ketrampilan yang ada sekarang kurang melibatkan perempuan korban KBJ dalam proses perumusannya sehingga belum secara tepat mampu menangkap kebutuhan perempuan korban akan kemandirian ekonomi. Program yang diberikan pun belum menfasilitasi kebutuhan asistensi dan evaluasi paska pelatihan ketrampilan maupun saat menjalankan usaha, sehingga ketrampilan dan bantuan modal yang diberikan menjadi tidak efektif. Beberapa kendala adalah masalah bahan baku, pengemasan, strategi pemasaran produksi.

2. Pentingnya PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) sebagai Penyelesaian Persoalan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Berbasis Jender
Ada beberapa layanan yang perlu diperhatikan sebagai kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan berbasis jender. Beberapa diantaranya adalah layanan medis, layanan hukum dan layanan psiko-sosial. Meskipun saat ini di masing-masing layanan telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pengada layanan seperti rumah sakit, kepolisian, lembaga bantuan hukum, dan lembaga psikologi; namun peran-peran tersebut masih dilakukan secara sporadis di masing-masing wilayah. Sehingga mereka harus berputar-putar untuk mengakses fasilitas-fasilitas tersebut. Padahal, tidak jarang ditemui adanya korban yang begitu terbatas kemampuannya baik itu kemampuan ekonomi, kemampuan tenaga ataupun waktu. Proses rujukan pun selama ini menjadi kendala yang berarti karena korban terkadang harus secara berulang-ulang menceritakan kekerasan yang dialaminya pada setiap tahapan layanan. Ini tentu semakin mengorek luka psikologis yang secara bersamaan dialaminya. Proses yang panjang dan berbelit ini semakin memperburuk keadaan korban.
Keterbatasan yang merupakan akibat dari bekerja secara sendiri-sendiri juga dapat diamati pada kerja di kalangan penegak hukum. Kerja aparat penegak hukum bisa sangat terhambat jika kemudian butuh waktu yang terlalu lama untuk menerima hasil Visum et Repertum (VER) sebagai alat bukti di persidangan yang harus dikeluarkan lembaga medis. VER merupakan kerjasama bidang hukum dan medis yang bila dikaitkan dengan disiplin psiko-sosial akan lebih mampu menjawab kebutuhan korban akan keadilan. Semua fakta di atas menunjukkan bahwa upaya mengadakan layanan bagi perempuan korban tindak kekerasan, yang sesuai dengan bidang keahlian dan disiplin masing-masing (hukum, medis dan psikologis) belum menjamin upaya pemulihan korban secara cepat dan menyeluruh. Sebab bantuan layanan selayaknya merupakan suatu panduan multi-disiplin dengan pendekatan yang holistik. Inilah yang menunjukkan pentingnya pengadaan layanan terpadu. Hal ini mensyaratkan kesiapan mekanisme kerja pada masing-masing wilayah untuk mengadakan dan mengelola layanan terpadu.

IV. Usulan Program
Sesuai dengan mandat Instruksi Walikota Semarang Nomor 463/13/2005 tentang Sosialisasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, ditegaskan agar di setiap wilayah Kecamatan dan Kelurahan disediakan tempat pengaduan korban tindak kekerasan serta agar mengupayakan usaha-usaha untuk melindungi perempuan dan anak korban kekerasan. Maka dengan hadirnya PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) di tingkat Kecamatan diharapkan perempuan dan Anak korban kekerasan bisa dengan lebih mudah dan cepat mengakses layanan yang mereka butuhkan. Selain itu, berdasarkan profil geografis dan sosial di 4 (empat) kecamatan di kota Semarang, yaitu Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Banyumanik, dan Kecamatan Pedurungan, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak atas PPT (lihat Lampiran II).
Terkait dengan realisasi hak korban kekerasan berbasis jender atas kebenaran, keadilan dan pemulihan lewat PPT di 4 (empat) Kecamatan di Kota Semarang, berikut usulan program agar layanan dapat diakses perempuan dan anak korban kekerasan berbasis jender secara murah atau cuma-cuma :
1. Penyelenggaraan Layanan Medis (fisik maupun mental)
Pelayanan medis ini diberikan kepada perempuan korban kekerasan berbasis jender yang sebagai akibat dari kekerasan, korban mengalami perlukaan fisik atau sebagai dampak dari kekerasan tersebut korban mengalami depresi, trauma dan tekanan psikologis lainnya sehingga harus cepat ditangani untuk membantu pemulihan korban.
a. Layanan Rawat Inap maupun Rawat Jalan

b. Permintaan VER dan Surat Keterangan Medis
c. Konseling Medis
d. Rujukan ke RS untuk kasus yang tidak dapat ditangani Puskesmas Kecamatan
2. Penyelenggaraan Layanan Bantuan/Pendampingan Hukum
a. Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Polsek dan ruang khusus (Unit Perlindungan Perempuan dan Anak) yang ada di Polres, dimana korban KBJ dapat melaporkan kasusnya dengan aman di ruang yang tertutup kepada Polisi atau Polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional.
b. Konsultasi Hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh LSM, LBH atau pendamping hukum lainnya, untuk membantu korban memahami posisi kasusnya dalam kontks aturan hukum internasional, nasional dan lokal serta brsama dengan korban merumuskan strategi hukum atau pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh korban
c. Pendampingan Hukum mulai dari tingkat Kepolisian hingga Persidangan yang secara cuma-cuma diberikan oleh LSM, LBH atau relawan pendamping lainnya yang melakukan pendampingan terhadap korban dalam setiap tahapan proses hukum untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban dalam standart yang setinggi-tingginya
d. Monitoring dan Dokumentasi Kasus dilakukan oleh LSM, LBH, Sekretariat PPT Kecamatan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban KBJ serta untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan pemenuhan hak korban di Kota Semarang, khususnya di 4 (empat) Kecamatan
3. Penyelenggaraan Layanan Psikososial
a. Konseling yang merupakan rangkaian proses yang membantu perempuan dan anak korban kekerasan KBJ untuk mampu mendayagunakan cara-cara dan mengambil pilihan-pilihan untuk menanggulangi/mengatasi permasalahnya, dengan mendengarkan korban dan menyediakan kenyamanan bagi korban. Konseling ini dilakukan oleh tenaga konselor yang berasal dari LSM, Support Group (Kelompok Pendukung-perempuan yang pernah mengalami kekerasan), PKK, organisasi perempuan
b. Pendampingan kasus dan home visit, dimana korban didampingi dalam setiap tahapan penyelesaian kasusnya, baik hukum maupun non hukum serta kunjungan ke rumah. Dengan pendampingan yang terus-menerus ini diharapkan korban akan terkuatkan dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Pendam,pingan serta home visit ini dilakukan oleh LSM, LBH, Support Group Perempuan Korban, PKK, Organisasi Perempuan
c. Intervensi Terapetik, merupakan intervensi yang bersifat klinis-psikologi yang tidak dapat dilakukan oleh seorang konselor dan harus dilakukan oleh tenaga psikolog atau psikiater, khususnya bagi korban dengan danpak trauma psikologi berat atau depresi yang berat
d. Permintaan Visum Psikologikum dan Psikiatrikum yang dapat diakses korban secara cuma-cuma, untuk menerangkan kondisi psikologis-kejiwaan yang dialami korban sebagai dampak kekerasan yang dialaminya, dilakukan oleh tenaga psikolog dan psikiater
e. Pertemuan Support Group, merupakan suatu bentuk konseling kelompok yang terdiri dari perempuan dan anak korban kekersan berbasis jender (dibedakan berdasar jenis kasus dan kondisi korban), yang menjadi relawan untuk memberi dukungan terhadap korban maupun kasus, serta mrupakan kelompok penekan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan perlindungan bagi perempuan dan anak korban KBJ
f. Pemberdayaan Ekonomi, terdiri dari kegiatan assessment kebutuhan perempuan korban, fasilitasi pelatihan ketrampilan, penyediaan/akses terhadap modal ringan atau bantuan modal, asistensi usaha, monitoring dan evaluasi usaha. Kegiatan ini dilakukan oleh LSM, Organisasi Perempuan dan PKK
4. Penyelenggaraan Layanan Rumah Aman
a. Rujukan/akses terhadap rumah aman, yang disediakan untuk dapat diakses 4 (empat) Kecamatan
b. Pelatihan Ketrampilan, kegiatan yang bertujuan tidak hanya memberikan kegiatan saja namun juga dapat menghasilkan keuntungan bagi korban
c. Kegiatan Rehabilitatif, berupa konseling individu yang secara kontinyu dilakukan oleh pendampingan untuk melihat perkembangan kondisi korban
d. Kegiatan Rekreatif, kegiatan yang bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan, kepenatan serta kesedihan perempuan dan aank korban sehingga termotivasi untuk terus optimis dalam merencanakan masa depan
e. Kegiatan Edukasi, bertujuan untuk menambah pengetahuan korban terkait masalah yang dihadapi, isu kekersan terhadap perempuan, pengembangan kepribadian, pemberdayaan ekonomi serta topik lain yang menambah kapasitas korban agar lebih berdaya


I. Daftar lembaga yang bisa dihubungi oleh korban
1. PPT Kecamatan Pedurungan
a. Puskesmas
(1) Puskesmas Tlogosari Kulon : Jl. Taman Satrio Manah II No 01
Telp. 024-6717051
(2) Puskesmas Tlogosari Wetan : Jl. Arteri Sukarno Hatta
Telp. 024-6713083

b. Polsek Pedurungan : Jl. Kalicari Barat Supriyadi, Telp. 024-6709994

c. Polres Semarang Utara : Jl. Brigjend Sudiarto No 442, Telp. 024-6719205

d. Kecamatan Pedurungan : Jl. Bridjend Sudiarto No 357, Telp. 6745382

e. PKK Kecamatan Pedurungan : Jl. Bridjend Sudiarto No 357, Telp. 6745382

f. LSM : LBH Semarang: Jl. Parang Kembang No 14, Tlogosari,
Telp. 024-6710687


2. PPT Kecamatan Semarang Utara
a. Puskesmas
(1) Puskesmas Bulu Lor : Jl. Banowati Selatan II, Telp. 024-3548550
(2) Puskesmas Bandarharjo : Jl. Cumi-cumi Raya, Telp. 024-3513813

b. Polsek Semarang Utara : Jl. Letjen Suprapto No 45, Telp. 024-3545162

c. Polres

d. Kecamatan Semarang Utara : Jl. Taman Brotojoyo 2, Telp. 024-3556110

e. PKK : Jl. Taman Brotojoyo 2, Telp. 024-3556110

f. LSM : LPUBTN : Jl. Srigunting No 10, Telp. 024-3586817


3. PPT Kecamatan Semarang Barat
a. Puskesmas Manyaran : Jl. Abdul Rahman Saleh No 267, Telp. 024-7601883

b. Polsek Kalibanteng : Jl. Madukoro 8

c. Polres Semarang Barat : Jl. Ronggolawe Selatan

d. Kecamatan Semarang Barat : Jl. Ronggolawe No 2, Telp. 024-7602284

e. PKK Semarang Barat : Jl. Ronggolawe No 2, Telp. 024-7602284

f. Ormas : Fatayat NU : Jl. Karonsih Utara No 243 Ngaliyan,
Telp. 024-70318008

4. PPT Kecamatan Banyumanik
a. Puskesmas Banyumanik : Jl. Meranti Raya Banyumanik, Telp. 024-7472460

b. Polsek Banyumanik : Jl. Nusa Indah Banyumanik, Telp. 024-70185085

c. Polres

d. Kecamatan Banyumanik : Jl. Prof Sudarto No 116, Telp. 024-7473400

e. PKK Kecamatan Banyumanik : Jl. Prof Sudarto No 116, Telp. 024-7473400

f. Ormas :
(1) IPPNU : Jl. Tegal Kangkung No 652, Telp. 024-7606833
(2) LPA Jateng : Jl. Jati Barat No 287 Banyumanik, Telp. 024-7471836


5. SERUNI : Jl. Imam Bonjol No 185 Semarang


6. PPT RS Bhayangkara : Jl. Majapahit No 140 Semarang


7. PKPA RS Tugurejo : Jl. Raya Tugurejo Semarang


8. Polwiltabes Semarang : Jl. Dr Sutomo No 19


9. POLDA Jateng : Jl. Pahlawan No. 1 Semarang


10. KPPA Prov Jateng Jl. Pamularsih No. 28 Semarang

Baca Selengkapnya »»
| 18 komentar ]

PROSEDUR dan HAK PEREMPUAN dalam PERCERAIAN
Anda Perlu Tahu

Fakta pendampingan mengatakan bahwa penyebab terbesar dari perceraian disebabkan karena adanya kasus kekerasan yang dialami perempuan, diantara adalah,
Adanya kekerasan fisik seperti pemukulan,
Adanya kekerasan psikis seperti dikata-katai, dituduh selingkuh, suami selingkuh
Adanya kekerasan seksual, seperti pemaksaan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual secara tidak wajar, dipaksa untuk menggugurkan kandungan secara tidak aman
Adanya penelantaran, seperti tidak dinafkahi, adanya eksploitasi ekonomi,

Dalam fakta pendampingan, tidak selalu mudah bagi perempuan korban kekerasan untuk mengambil pilihan bercerai, alasan ini didasari atas pertimbangan-pertimbangan berikut ini
Adanya factor ketergantungan ekonomi terhadap suami karena korban tidak bekerja
Merasa kasihan terhadap pelaku, atau masih ada perasaan cinta
Pertimbangan terhadap keberadaan anak
Disalahkan keluarga dan masyarakat yang masih menempatkan perempuan subordinat.

Pengertian Perkawinan
Berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, definisi dari perkawinan disebutkan sebagai berikut : “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dibentuk atas dasar kesepakatan. Dan kesepakatan tersebut dapat berubah akibat kematian, putusan pengadilan, dan perceraian.

Alasan-alasan Perceraian ( Menurut Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga),
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya ;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
5. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Siapa saja yang dapat mengajukan gugatan perceraian ?
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hokum-nya meliputi tempat kediaman tergugat (pasal 20 PP nomor 9 tahun 1975). Sedang bagi mereka Islam, perceraian dapat diajukan oleh istri kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman / wilayah Penggugat, kecuali Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat (Pasal 3 UU nomor 7 Tahun 1989).

Tata Cara Mengajukan Gugatan Perceraian
1. Istri ( sebagai penggugat ) membuat surat gugatan perceraian disertai dengan alasan-alasannya sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975. Surat gugatan didaftarkan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat kediaman Penggugat (bagi yang beragama Islam). Atau bagi mereka yang beragama selain Islam, diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat kediaman Tergugat (suami)
2. Gugatan perceraian biasanya dilampiri dengan :
a. Buku Nikah / Akta perkawinan asli dengan 1 lembar fotocopynya yang telah dibubuhi materai (Rp 6.000,-) dan disahkan di kantor pos.
b. Foto copy akta kelahiran anak (bila sudah memiliki anak), dibubuhi materai dan dilegalisasi di kantor pos.
c. Surat keterangan dari RT/RW yang di sahkan oleh Kepala Desa/Lurah, sampai kecamatan.
d. Surat ijin dari atasan (bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN)
e. Biaya Panjar Perkara yang berkisar ± Rp. 500.000- Rp. 600.000,-
3. Dalam setiap sidang perceraian, baik penggugat, tergugat ataupun kuasa akan dipanggil untuk mengahadiri sidang tersebut.
4. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah diterimanya berkas/gugatan perceraian.
5. Selama perkara belum diputuskan, dilakukan usaha perdamaian pada setiap sidang pemeriksaan.
6. Suatu perceraian dapat dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya, sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat , kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Hak-hak istri dalam Perceraian

1. Selama berlangsungnya gugatan, perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. selama berlangsungnya gugatan, perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat , pengadilan dapat menentukan ; Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami, Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri
3. Hak atas Nafkah
Dalam PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, mengatur hak isteri dalam perceraian, yakni apabila suami (penggugat) adalah PNS maka isteri akan mendapatkan sebagian gaji dari PNS pria untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anak, dengan pemagian gaji sebagai berikut sepertiga untuk PNS Pria (penggugat), sepertiga untuk bekas anak dan sepertiga untuk anak-anaknya. Namun apabila selama berlangsungnya perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh PNS pria (penggugat) kepada bekas isterinya adalah setengah dari gajinya. Aturan ini tidak berlaku apabila isteri yang menjadi pihak untuk mengajukan perceraian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 213, mengatakan bahwa istri berhak menuntut tunjangan nafkah, yang mana setelah ditentukan oleh Hakim, harus dibayar oleh suami kepadanya selama perkara berjalan.
Bagi yang beragama islam, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz, Mut’tah yang besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami
Berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, bahwa Hak atas pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Akan tetapi pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; sementara biaya pemeliharaan oleh ayahnya.
4. Hak atas Harta Bersama,
a. Pasal 128 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Setelah berakhirnya perkawinan maka harta bersama ( dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga) dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para akhli waris dari masing-masing, dengan tidak memperdulikan persoalan, darimana harta/barang-barang tersebut diperolehnya.
b. Inpres RI No.1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam), Pasal 97 :
Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak sperdua (1/2) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan.

Baca Selengkapnya »»