| 0 komentar ]

Rabu, 25 November 2009 | 10:25 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Amanda Putri Nugrahanti

SEMARANG, KOMPAS.com — Kota Semarang mendeklarasikan Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan dalam rangka memeringati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November 2009.

Deklarasi ini diharapkan tidak sebatas acara seremonial, tetapi disertai dengan tindakan nyata. Direktur Legal Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Evarisan di Kota Semarang, Rabu (25/11), mengatakan, pemerintah harus menindaklanjuti kampanye tersebut dengan pembuatan perda mengenai perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Kampanye dilakukan hingga 10 Desember, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia. Penghormatan terhadap hak perempuan juga merupakan penghormatan hak asasi manusia. Data penanganan kasus LRC-KJHAM mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Semarang merupakan tertinggi di Jateng. Ada 102 kasus pada 2006, 90 kasus pada 2007, dan 92 kasus pada 2008.

Kompas Jawa Tengah

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Selasa, 27 Januari 2009 | 15:02 WIB

TEMPO Interaktif, Semarang: Provinsi Jawa Tengah akan mendirikan Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan berbasis gender dan anak yang terjadi di lingkup rumah tangga atau masyarakat.

"Agar kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak ada lagi," kata Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah M. Iqbal Wibisono di kantornya, Selasa (27/1).

Pendirian Komisi ini sesuai dengan amanat dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak yang ditetapkan DPRD melalui sidang paripurna pada Selasa (27/1).

Dalam peraturan itu disebutkan definisi kekerasan berbasis gender adalah setiap bentuk pembatasan, pengucilan, pembedaan dan seluruh bentuk perlakuan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin dan bertujuan untuk mengurangi, menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia, yang akibatnya berupa dan tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi.

Koordinator Legal Resources Center-Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) Jawa Tengah, Evarisan, menyambut baik dengan adanya peraturan daerah tentang perlindungan korban kekerasan berbasis gender dan anak ini.

"Saya yakin ini akan bisa mencegah maraknya kekerasan gender dan anak," katanya kepada Tempo, Selasa (27/1). Menurutnya, peraturan ini merupakan bukti konkret tindakan pemerintah untuk mencegah kekerasan.

Evarisan menyatakan selama 2008 lalu telah ada 1.017 orang perempuan di Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan berbasis gender. Adapun kasus kekerasan mencapai 383 kasus yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah.

Evarisan memerinci, dari 383 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang paling banyak adalah kasus perkosaan, 117 kasus, dengan korban 153 perempuan dan melibatkan 206 pelaku pemerkosaan. Kemudian kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 104 dengan korban 234 perempuan dan 235 pelaku.

Kota Semarang tercatat sebagai daerah di Jawa Tengah yang paling banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, yakni 92 kasus, Surakarta 24 kasus, Kabupaten Semarang 22 kasus.

ROFIUDDIN

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Dominasi Kasus Eksploitasi Seksual
Senin, 9 November 2009 | 11:17 WIB

Semarang, Kompas - Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, upaya itu belum cukup menghentikan adanya kekerasan terhadap anak. Mayoritas kekerasan terjadi dalam keluarga miskin dan umumnya para pelaku adalah orang-orang terdekat si anak.

Padahal, orang-orang terdekat seperti keluarga, guru, kerabat, dan tetangga adalah tumpuan si anak mendapat rasa aman dan perlindungan. Bahkan, pemerintah pun terkesan mengabaikan hak anak karena hingga kini tiada anggaran untuk perlindungan anak. Seolah terbitnya UU Nomor 23/2002 menjadi satu-satunya jawaban.

Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah Agnes Widanti, Sabtu (7/11), di Semarang, mengatakan, dalam keluarga miskin, orangtua fokus mencari penghasilan sehingga kerap mengabaikan hak-hak anak. Pada kondisi demikian, anak cenderung menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan.

Mereka yang berasal dari keluarga miskin dan kurang pendidikan kerap kali merugikan si anak. Misalnya, mengabaikan pendapat si anak karena mereka menganggap anak belum dapat berpikir.

Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Evarisan mengatakan, selain faktor ekonomi, faktor penyebab kekerasan lainnya adalah sosial dan budaya.

Dalam budaya patriarki, posisi anak hampir selalu menjadi inferior. Orang dewasa menjadi terlalu berkuasa dan anak boleh diabaikan. Kondisi itu menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dan tidak tahu hak-hak mereka.

Kekerasan terhadap anak meliputi pula penganiayaan fisik dan psikis serta kekerasan seksual. Bagi anak perempuan, mereka lebih rentan lagi ketimbang anak laki-laki karena mereka dianggap lebih lemah.

Berdasarkan kasus yang ditangani LRC-KJHAM pada 2007-2008 di Jateng, dari 153 korban perkosaan yang semuanya perempuan, 103 korban di antaranya adalah anak berusia di bawah 18 tahun.

Kasus kekerasan terhadap anak berdampak buruk dan sulit disembuhkan. Kekerasan berdampak fisik, disorientasi terhadap masa depan, depresi berat, traumatis, dan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain.

"Penanganan secara psikologis bagi mereka menjadi sangat penting," kata Evarisan.

Di Kota Solo, kasus kekerasan terhadap anak didominasi kasus eksploitasi seksual komersial (ESK) berupa prostitusi, pornografi, dan perdagangan manusia.

"Dalam 90 persen kasus ESK terhadap anak, berawal dari anak berhubungan seksual dengan pacarnya," kata Sri Lestari dari Yayasan Kakak yang mendampingi anak-anak korban ESK.

Minggu (8/11), Manajer Divisi Anak Yayasan Kakak Shoim Sahriati mengatakan, mereka mayoritas berpacaran dengan orang yang berusia lebih tua. Sering kali pacar mereka yang kemudian dengan sengaja menjerumuskan anak ke dunia prostitusi, bahkan perdagangan manusia.

Ironisnya, upaya perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia masih diskriminatif dan kontraproduktif. Misalnya, UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Namun, UU Perkawinan mencantumkan anak adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun. hal itu perlu segera direvisi. (DEN/ILO/EKI)

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Saturday, 31 October 2009
Polemik dugaan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanas. Belasan penggiat antikorupsi di Kota Semarang pun mengkritisinya lewat pentas teater bertajuk “Ladang Perminus”.


AKSI seni yang digelar di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS),Kota Semarang, Jumat (30/10), adalah jawaban mereka atas berbagai persoalan negeri ini.

Melalui Ladang Perminus, mereka mengangkat isu korupsi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia ke depan para penonton.Ladang Perminus merupakan karya Ramadhan KH yang disadur dalam bentuk visual pementasan teater. Sekretaris Komite Pemberantasan dan Penyelidikan Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah Eko Haryanto menuturkan, novel yang ditorehkan pada tahun 1974 ternyata masih relevan dengan konteks kekinian. ”Tahun 1970-an hingga sekarang pemberantasan korupsi seperti jalan di tempat.Korupsi bisa dianggap sebagai bahaya laten untuk kelangsungan bangsa ke depan,” ujarnya.

Ada indikasi mendorong penilaian korupsi sebagai kejahatan luar biasa menjadi kejahatan “normal”. Salah satu indikasinya terlihat dari penahanan dua pimpinan nonaktif KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah oleh Mabes Polri. Implikasinya, pemberantasan korupsi diperkirakan semakin suram. ”Diperlukan langkah-langkah luar biasa dalam pemberantasan korupsi, termasuk pementasan teater ’Ladang Perminus’,” bebernya. Sia menambahkan, belasan LSM yang berperan serta aktif di antaranya LRC KJHAM, KP2KKN,danYayasan Setara.

Dalam pentas teater ini diceritakan sosok Hidayat yang digambarkan sebagai orang yang cerdas, jujur, idealis, dan setia pada hati nurani.Kemudian muncul penyelidikan skandal korupsi di kantornya. Hidayat dan kawan-kawan yang menjalani karier dengan mulus menjadi korban fitnah sehingga harus dipecat dari kantor tempatnya mencari nafkah. Sumber segala masalah yang ada di kantor Hidayat sebenarnya adalah atasannya yang bernama Kahar.

Di akhir cerita, Hidayat memang dinyatakan tidak terbukti bersalah. Namun, dia merasa kecewa karena ada oknum yang berbuat licik seperti Kahar malah dimakamkan di taman makam pahlawan saat meninggal. Ironi yang mungkin menjadi kenyataan di negeri kita tercinta,Indonesia! (hendrati hapsari)

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

LRC-KJHAM Semarang setiap tahunnya mengadakan kampanye 16 HAri anti kekerasan terhadap perempuan. Tema tahun adalah "Meningkatnya Dukungan Kebijakan Pemkot Semarang Untuk Memperkuat Dan Mempromosikan PPT Kecamatan Sebagai Upaya Meninggikan Penikmatan HAM Korban Melalui PERDA”
Adapun bentuk kegiatannya adalah :
1. Pembuatan Kaos
Kaos dibuat sebagai media penyampaian pesan untuk mendukung setiap pelaksanaan kegiatan kampanye dan akan dibuat sebanyak 350 buah. Pada bagian depan kaos, ditulis pesan kampanye “TIDAK ADA KOMITMEN TANPA PERDA” dengan ikon gambar seorang perempuan sedang menyuarakan pentingnya PERDA bagi keberlangsungan PPT di Kecamatan.
2. Stiker dan Leaflet
Stiker dan leaflet akan dibuat sebanyak 1000 (seribu) eksemplar dan akan dibagikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah serta di tempel pada tempat-tempat strategis di Kota Semarang.
Stiker dan Leaflet ini berisi pesan :
“KAMI BUTUH KOMITMEN PEMERINTAH KOTA SEMARANG UNTUK MEMPERKUAT DAN MEMPROMOSIKAN UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK MELALUI PERATURAN DAERAH”

3. Jingle Iklan
Jingle ini berisi pesan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah Kejahatan terhadap kemanusiaan yang menghancurkan masa depan perempuan dan anak maka diperlukan komitmen pemerintah daerah untuk menghentikan serta memenuhi hak-hak korban melalui Peraturan Daerah. Jingle iklan ini akan disiarkan di beberapa radio terkemuka di Kota Semarang.

4. Penilaian PPT Terbaik
Penilain PPT terbaik ini dilakukan terhadap 4 PPT yang sudah beroperasi di Kota Semarang. Penilaian dilakukan oleh tim yang terdiri dari Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB, LRC-KJHAM serta perwakilan dari masyarakat. adapun kriteria penilaian adalah kelengkapan sarana dan prasana, mekanisme kerja / alur layanan yang terbangun di 4 PPT, respon atau perhatian masyarakat terhadap PPT dan kriteria lainnya yang akan ditentukan oleh tim penilai. PPT terbaik akan diberikan penghargaan sesuai dengan hasil komulatif dari dewan juri, penghargaan akan diberikan pada tanggal 10 Desember 2009 yang bertepatan dengan hari HAM Internasional.

5. Gelar Budaya dan Deklarasi Bersama untuk mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Di Kota Semarang
Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang ini akan diselenggarakan pada tanggal 25 November 2009 sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan untuk menyuarakan usulan adanya PERDA dan bertambahnya dukungan anggaran pada APBD untuk mendukung kegiatan perlindungan hak asasi perempuan korban kekerasan melalui pusat pelayanan terpadu di 4 Kecamatan.

Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang bersama ini akan diikuti sekitar 200 orang dari TIM PPT 4 Kecamatan yang terdiri atas unsur pemerintah Kecamatan Kota Semarang, kepolisian, puskesmas, LSM, Ormas, Tokoh Agama, Anggota DPRD Kota pelajar serta jurnalis.

Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang akan dilaksanakan di Balai Kota Semarang di Jl. Pemuda.

6. Pers Release Situasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah
Tujuan dari pelaksanaan pers release adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang situasi pelanggaran hak asasi perempuan di Jawa Tengah termasuk di Kota Semarang. Opini yang terbangun atas pers release tersebut diharapkan akan mendapatkan perhatian dari masyarakat terutama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam hal penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan mengembangkan kebijakan, program dan anggaran pembangunan yang berperspektif jender dan lahirnya Peraturan Daerah di Kota Semarang khususnya.

Pers Release ini akan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2009 untuk pers release sekaligus untuk mensosialisasikan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia kepada seluruh masyarakat di Jawa Tengah khususnya di Kota Semarang. Pers release ini akan di sebarkan ke berbagai media cetak dan elektronik baik lokal maupun nasional.

Kegiatan ini merupakan kerjasama LRC-KJHAM, HIVOS, UNI EROPA dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Semarang.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Minggu, 12 April 2009 | 15:32 WIB

TEMPO Interaktif, Semarang: Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHAM) Semarang menyatakan, keterwakilan unsur perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu 2009 ini semakin menghawatirkan.

"Banyak perempuan yang tidak bisa meraih suara terbanyak sehingga gagal menjadi wakil rakyat," kata Evarisan, aktivis LRC KJHAM) di kantornya, Ahad (12/4).

"Dari hasil pengamatan di lapangan banyak perempuan yang memang gagal," Evarisan.

Evarisan memprediksi, unsur keterwakilan perempuan pemilu 2004 lalu lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pemilu 2009 tahun ini. Hasil pemilu 2004 lalu menunjukan, dari 100 anggota DPRD Jawa Tengah hanya 16 anggota dari unsur perempuan atau 16 persen. Angka ini meningkat 10 persen dibanding pemilu 1999 yang hanya 6 orang perempuan.


Gagalnya kaum perempuan untuk menduduki jabatan sebagai wakil rakyat tidak lepas dari adanya sistem suara terbanyak untuk menentukan siapa yang menang dalam pemilu kali ini. Banyak sekali calon legislatif dari unsur perempuan yang memperoleh suara dibawah laki-laki.

"Popularitas kaum perempuan masih kalah dengan laki-laki," katanya. Hal ini karena start dan kesempatan yang selama ini diberikan kepada kaum perempuan masih kalah jauh dibandingkan dengan laki-laki.

Selain itu, kata Evarisan, hanya sedikit kaum perempuan yang memiliki modal memadai guna melakukan konsolidasi maupun kampanye. Berbeda dengan kaum laki-laki yang memiliki modal banyak sehingga mampu menjaring suara.

Bahkan, di Jawa Barat ada kejadian seorang calon legislatif laki-laki menghalang-halangi calon legislator perempuan ikut berorasi dalam pelaksanaan kampanye di panggung terbuka. Hal ini karena caleg laki-laki tersebut takut tersaing dengan caleg perempuan yang masih satu daerah pemilihan dan satu partai tapi beda nomor urut tersebut.

Evarisan menyatakan, sistem suara terbanyak menjadi bukti gagalnya negara dalam memberikaan fasilitas bagi kaum perempuan untuk ikut mengurus persoalan bangsa. "Negara selalu penuh ketidakadilan dan diskriminatif," katanya. Padahal, kata Evarisan, unsur perempuan dalam struktur negara sangat diperlukan agar tercipta keseteraan antar laki-laki dan perempuan.

LRC-K3JHAM meminta agar pemerintah memberlakukan sistem tatanegara yang memberi peluang kepada kaum perempuan untuk bisa mengakses di pemerintahan. "Kalau tidak, kaum perempuan akan semakin tertindas," katanya.

ROFIUDDIN

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

LRC-KJHAM bekerja sama dengan Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang, Indonesia Acts dan Tere des Homes Netherland pada tanggal 4 November 2009 mengadakan workshop jurnalis di Vina House dengan Tema "Prinsip dan Etika Peliputan Kasus Perdagangan Anak". Workshop ini di hadiri sebanyak 40 peserta dari unsur wartawan cetak dan elektronik di kota Semarang diantaranya Kompas, Tempo, SINDO, SCTV, Elshinta, Trijaya FM serta beberapa LSM yang konsern dengan isu perdagangan anak yaitu Setara dan LBH APIK serta LSM yang konsern di isu jurnalis yaitu LESPI, AJI dan dari unsur pemerintah yang menangani kasus perdagangan anak yaitu BP3AKB Provinsi Jawa Tengah, serta hadir pula perwakilan dari KPID Jawa Tengah.

Dalam workshop ini yang menjadi fasilitator adalah Fatkhurozi dari LRC-KJHAM Semarang dan Sintha Ardani dari Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang.
Dalam workshop ini Fatkhurozi memaparkan monitoring dan analisis liputan media tingkat nasional yang telah dilakukan oleh Asia Acts antara lain :

1. Kebanyakan jurnalis / media belum memberikan ruang yang cukup bagi anak korban mengungkapkan kisah, gagasan, atau perasaannya. Kebanyakan sumber berita dari kepolisian dan hanya terdapat 1 berita dimana anak korban diberikan ruang untuk mengungkapkan perasaanya. (berita harus berimbang & prinsip kepentingan terbaik anak)
2. Kebanyakan jurnalis belum memahami isu perdagangan anak dengan baik. Misalnya penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan trafiking yang memiliki makna berbeda-beda seperti memasukkan berbagai fenomena berkaitan dengan eksploitasi anak dalam kategori perdagangan anak, contohnya: pengemis anak, penjualan bayi dan sebagainya. (akurasi /kebenaran informasi)
3. Kebanyakan jurnalis belum memahami pengertian anak. Banyak istilah dalam pemberitaan yang menunjuk anak tidak jelas definisinya serta mengaburkan identitas sosial, politik dan hukum anak, seperti, remaja, gadis, gadis dibawah umur.
4. Kebanyakan jurnalis belum memahami pentingnya kerahasiaan identitas untuk melindungi anak korban. Identitas lengkap korban meliputi nama, umur, dan alamat masih banyak dipublikasikan. Dari 14 artikel yang dianalisis, 8 artikel menyebutkan identitas korban lengkap dengan nama, umur, dan alamat korban dengan jelas. (kerahasiaan identitas korban)
5. Penggambaran korban dan situasi korban yang menimbulkan atau berpotensi menimbulkan stigma. Stigma dapat muncul dari cara penulis menyusun artikelnya. Penggambaran korban dan situasi korban berpotensi untuk menjerumuskan korban untuk menjadi korban lagi karena latar belakang mereka.
6. Kebanyakan jurnalis belum memahami perspektif anak dan prinsip pertimbangan terbaik anak dalam pemberitaan. Dari 14 artikel hanya 2 yang yang ditulis dari sudut pandang anak korban. Salah satunya adalah artikel tentang pengalaman survivor perdagangan anak. Anak tersebut menceritakan latar belakang kehidupannya, bagaimana ia terjerumus dan menjadi korban perdagangan untuk prostitusi dan dampak pengalaman tersebut pada pandangannya terhadap hidup. (anak hrs diberikan ruang utk mengungkapkan pendapat dan perasaanya)
Sedangkan hasil Monitoring & Analisis Liputan Media di Jawa Tengah, Fatkhurozi memaparkan bahwa Dari 31 Berita (Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Wawasan dan Solo Pos) ; ada 8 pemberitaan yang mempublikasikan nama asli lengkap korban dan 13 Berita mempublikasikan alamat jelas korban /orang tuanya (kelurahan /desa, RT/RW, Kecamatan & Kabupaten) juga ada 11 Berita menggunakan istilah “gadis /remaja dibawah umur” dan sebanyak 27 sumber berita didapat dari Polisi, LSM dan Pemerintah. Hanya ada 5 berita yang menyertakan pendapat & perasaan korban & keluarganya.
Implikasi atau Dampak dari pemberitaan media tersebut, Fatkhurozi mengungkapkan
1. Tersebarnya informasi yang tidak benar atau kurang akurat di kalangan pembaca baik tentang definisi anak, perdagangan anak dan stereotype anak korban perdagangan, menimbulkan pemahaman yang keliru pula.
2. Trauma, stigma sosial, dan penderitaan-penderitaan lain yang muncul sebagai dampak pemberitaan yang tidak sesuai dengan kode etik termasuk ancaman pelaku dan pengucilan dari masyarakat.
3. Menghambat proses pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak korban /perlindungan & pemenuhan hak asasi korban, dll.

Fatkhurozi memberikan beberapa rekomendasinya antara lain :
1. Perlunya memperluas kegiatan untuk mempromosikan isu perdagangan anak, hak anak, dan kode etik jurnalistik dalam meliput berita-berita yang berkaitan dengan anak kepada jurnalis
2. Perlunya upaya sinergis antara media/jurnalis, NGOs dan Pemerintah untuk mendorong terciptanya guideline dan code of conduct jurnalistik dalam meliput dan melaporkan berita yang berkaitan dengan hidup anak agar berperspektif anak.
3. Perlunya memperluas kegiatan dan kerjasama untuk mendorong peningkatan keterlibatan media masa /jurnalis dalam mempromosikan pemahaman publik terhadap perdagangan orang, perdagangan anak dan hak-hak anak
4. Merumuskan strategi pengintegrasian hak anak dalam pemberitaan isu-isu perdagangan anak oleh media /jurnalis khususnya di Jawa Tengah.
Sedangkan Sinta Ardani menyampaikan beberapa pedoman yang harus dilakukan oleh seorang wartawan adalah :
1. Mengupayakan ketepatan dan kepekaan isu Anak
2. Mencegah publikasi soal Anak yang potensial merusak mereka
3. Mencegah stereotip dan sensasi yang melibatkan Anak
4. Pertimbangan dan meminimalkan dampak negatip pemberitaan
5. Berhati-hati membeberkan identitas Anak
6. Memberikan akses media pada Anak untuk beropini
7. Memverifikasi informasi dari anak secara independen
8. Melindungi anak sebagai narasumber
9. Adil-terbuka pada anak dan wali sebagai subyek peliputan
10. Memverifikasi lembaga yang mewakili kepentingan anak
11. Tidak membayar anak untuk mendapatkan bahan-bahan

Dari workshop jurnalis itu Evarisan dari LRC-KJHAM selaku sebagai moderator mengambil kesimpulan :
1. Jurnalis harus bisa mempengaruhi kebijakan media internal yaitu tentang bagaimana sanksi moral, sanksi social ini diarahkan atau ditujukan kepada suatu media supaya koreksi terhadap kebijakan internal medianya mereka. kemudian juga pendekatan structural, bagaimana kebijakan media ini yang harus disasar secara strukturnya. Dan juga pendekatan substantive, juga kaitannya dengan bagaimana acuan-acuan hukum yang tersedia itu yang memaksa supaya internal media itu melakukan perubahan terhadap kebijakannya mereka. Dilihat dalam UU Pers tentang usia, ternyata usianya itu tidak mengacu pada UU Perlindungan Anak, dalam UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak batasan usia anak adalah 18 tahun kebawah tidak 19 tahun, evarisan mengajak untuk terus menggalang kekuatan agar UU ini harus segera diamandemen terkait dengan pasal tentang usia anak.
Ika dari Kompas juga menyampaikan kode etik yang diatur dalam pasal 1 UU ternyata juga kecil maknanya, artinya juga harus kita pikirkan untuk mengubah pasal tertentu ini.
2. Peran dan fungsi Dewan Pers berkaitan dengan tanggung jawab Negara. Kita punya kewajiban untuk menegur siapa Negara yang lebih punya kewenangan ini : yaitu Infokom, Departemen Penerangan, dan sebagainya.
Bu Lilik menyampaikan ternyata opini anak itu tidak bisa untuk media elektronik, karena hak anak dilindungi, tetapi yang dimaksud ini lebih kepada kontennya. Bagaimana pendapat anak ini tersampaikan kepada masyarakat, bukan pada prosesnya.
3. Terkait dengan aparat penegak hukum kita ingin tahu bagaimana kebijakan Negara, ini juga harus dikasih space juga, aparat penegak hukum juga harus kita kasih space, jadi lengkap, sangat-sangat lengkap pemberitaan yang kita peroleh.
4. jurnalis harus bisa menaikkan posisi tawar, ini antara jurnalis dengan pimred atau dengan penentu kebijakan meminjam istilah Bu Lilik kita harus menjadi virus. Kalau tadi kita bagaimana kita memprovokasi masyarakat, kita pun harus menjadi provokator di dalam media kita sendiri, lha ini butuh keberanian tentunya. Resikonya besar, pecat. Bagaimana juga jaringan jurnalis baik koalisi jurnalis perempuan atau koalisi jurnalis yang lain mengembangkan jaringan yang kuat jadi pemred tidak bisa asal pecat, ada yang harus dia patuhi juga terkait dengan penghargaan terhadap idealisme itu.
5. Internalisasi ini juga sangat penting kaitannya dengan perspektif. Perspektif itu akan muncul kalau ada internalisasi dari jurnalis, alatnya yang kita butuhkan. Alat ini tentunya tidak bisa lepas dari misalkan kalau terkait trafiking ya UU PTPPO kemudian Palermo Protokol serta kebijakan-kebijakan lain yang lebih melindungi anak. Jadi kita memang harus memiliki tool ini,kode etik tentu, karena keberpihakan, perspektif, sensitifitas sangat bergantung sekali pada internalisasi pribadi atau personal jurnalis.
6. Kesimpulan terakhit dari moderator adalah penguatan masyarakat, ini sudah banyak disampaikan karena masyarakat dia ada di posisi yang sangat sentral dan satu lagi kaitannya tidak terlepaskan dari tanggung jawab Negara.



Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2009

“ Meningkatnya Dukungan Kebijakan Pemkot Semarang Untuk Memperkuat Dan Mempromosikan PPT Kecamatan Sebagai Upaya Meninggikan Penikmatan HAM Korban Melalui PERDA”

Terselenggara atas kerjasama ;
LRC-KJHAM – BAPERMAS PEREMPUAN DAN KB PEMERINTAH KOTA SEMARANG – HIVOS – UNI EROPA
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang Telp./Fax. (024) 6723083.
Blog : www.lrc-kjham.blogspot.com
e-mail ; lrc_kjham2004@yahoo.com


I. LATAR BELAKANG
Dari rentang waktu 1999 – 2008 LRC-KJHAM mencatat, telah terjadi 4.473 kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah. Dengan jumlah korban sebanyak 13.356 orang dan 169 korban diantaranya meninggal dunia . Dari catatan tersebut Kota Semarang selalu ada pada peringkat pertama jika dibandingkan dengan kota dan kabupaten yang lain, kasus yang terjadi di Kota Semarang dari tahun 2002 ada 605 kasus.


Tentu saja angka tersebut di atas bukanlah angka pasti. Ibarat fenomena gunung es (Iceberg Fenomenon) yang terlihat atau muncul ke permukaan adalah hanya segelintir saja, sedangkan yang tidak tercatat jauh lebih besar.

Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan regulasi terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan, diantaranya telah disahkannya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Juga telah dikeluarkannya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, dan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 menteri + Kapolri tentang Pembentukan Pelayanan Terpadu (PPT).

Di dalam regulasi tersebut, ditegaskan beberapa hak perempuan korban yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah, diantaranya hak untuk mendapatkan layanan medis, hak untuk mendapatkan layanan hukum, hak untuk mendapatkan layanan psikososial dan hak untuk mendapatkan layanan rohani. Dalam konteks HAM, Negara harus memastikan penikmatan hak tersebut sungguh dapat dirasakan oleh perempuan. Untuk itu negara harus memberikan layanan maksimal pada korban sesuai standart HAM Internasional .

Di tingkat provinsi sudah disahkan PERDA No. 3 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Sedangkan di Kota Semarang baru dikeluarkannya Surat Instruksi Walikota No. 464/13/2005 dan pada tahun 2009 telah dikeluarkannya SK Walikota No. 463/16/2009 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang berbasis Gender tingkat Kecamatan Kota Semarang.

Guna mempercepat pembentukan PPT di tingkat Kecamatan dan untuk mendekatkan akses pada perempuan miskin korban kekerasan, maka sejak tahun 2007 LRC-KJHAM memfasilitasi pembentukan PPT di 4 Kecamatan, bekerjasama dengan Pemerintah Kota Semarang, yakni Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Pedurungan. Pada tahun anggaran 2009-2010 untuk operasional masing-masing PPT tersebut, APBD Kota mengalokasikan dana sebesar Rp. 6.000.000,00 dengan komitmen akan meningkat di tahun 2010-2011.

Akan tetapi PPT di 4 Kecamatan tersebut belum mempunyai payung hukum berupa Peraturan Daerah (PERDA). Dan juga belum ada MOU dengan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri) dan RSUD, sehingga berdampak pada keberlangsungan PPT selanjutnya.

Melalui momentum Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mulai tanggal 25 Nopember – 10 Desember didasarkan moment-moment penting bagi upaya peningkatan /memajukan penghormatan hak asasi manusia. LRC-KJHAM Semarang bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB (BAPERMAS, Perempuan dan KB) PEMERINTAH KOTA SEMARANG dengan dukungan HIVOS dan UNI EROPA akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan untuk Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tersebut, guna mempromosikan peningkatan penikmatan hak asasi perempuan terutama perempuan korban kekerasan berbasis jender dengan mewujudkan komitmen pemerintah melalui PERDA dan mempromosikan adanya PPT diseluruh Kecamatan di Kota Semarang, sebagai salah satu mekanisme pemenuhan /perlindungan hak-hak dasar perempuan korban kekerasan berbasis jender di Kota Semarang.


II. TUJUAN KAMPANYE
1. Mensosialisasikan pentingnya keberadaan PPT di kecamatan sebagai sarana untuk meninggikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban di Kota Semarang.
2. Mempromosikan pentingnya PERDA perlindungan hak asasi korban kepada masyarakat.
3. Menggalang dukungan masyarakat untuk mendorong dikeluarkannya PERDA perlindungan hak asasi korban oleh Pemerintah Kota Semarang
4. Mendorong lahirnya inisitatif perumusan PERDA sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kota Semarang dalam pemenuhan hak asasi korban untuk memastikan alokasi anggaran yang memadai bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban di PPT Kecamatan Kota Semarang.

III. TARGET KAMPANYE
1. Tersosialisasikannya pentingnya keberadaan PPT kecamatan kota semarang sebagai sarana untuk meninggikan perlindungan hak-hak perempuan korban di kota semarang
2. Masyarakat dan Pemerintah Kota Semarang memahami pentingnya PERDA untuk memperkuat hak-hak korban di PPT kecamatan kota semarang
3. Adanya dukungan masyarakat untuk mendorong dikeluarkannya atau dirumuskannya PERDA perlindungan hak asasi korban oleh pemkot semarang
4. Lahirnya inisiatif PERDA perlindungan hak asasi korban sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kota Semarang guna memastikan alokasi anggaran yang memadai bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban di PPT Kecamatan Kota Semarang

IV. TEMA KAMPANYE
Untuk mencapai target Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Semarang tahun 2009, telah terumuskan tema besar kampanye yaitu “ Meningkatnya Dukungan Kebijakan Pemkot Semarang Untuk Memperkuat Dan Mempromosikan PPT Kecamatan Sebagai Upaya Meninggikan Penikmatan HAM Korban Melalui PERDA”
Selanjutnya tema besar kampanye ini yang akan mendasari setiap perumusan konsep dan pelaksanaan rangkaian kegiatan 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Semarang tahu 2009.

V. IKON KAMPANYE
Untuk mempermudah serta mempercepat mobilisasi pencapaian target kampanye maka ditetapkan ikon kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Semarang tahun 2009 Yaitu :
TIDAK ADA KOMITMEN TANPA PERDA
Pilihan ikon kampanye diatas ditetapkan dengan harapan Pemerintah Kota Semarang memberikan komitmennya berupa adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban dan tanpa adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan maka Pemerintah dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam memberikan komitmen dan dukungannya dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang.

VI. BENTUK KEGIATAN / AKTIFITAS KAMPANYE
Adapun rangkaian kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Semarang tahun 2009 adalah ;
1. Pembuatan Kaos
Kaos dibuat sebagai media penyampaian pesan untuk mendukung setiap pelaksanaan kegiatan kampanye dan akan dibuat sebanyak 350 buah. Pada bagian depan kaos, ditulis pesan kampanye “TIDAK ADA KOMITMEN TANPA PERDA” dengan ikon gambar seorang perempuan sedang menyuarakan pentingnya PERDA bagi keberlangsungan PPT di Kecamatan.
2. Stiker dan Leaflet
Stiker dan leaflet akan dibuat sebanyak 1000 (seribu) eksemplar dan akan dibagikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah serta di tempel pada tempat-tempat strategis di Kota Semarang.
Stiker dan Leaflet ini berisi pesan :
“KAMI BUTUH KOMITMEN PEMERINTAH KOTA SEMARANG UNTUK MEMPERKUAT DAN MEMPROMOSIKAN UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK MELALUI PERATURAN DAERAH”

3. Jingle Iklan
Jingle ini berisi pesan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah Kejahatan terhadap kemanusiaan yang menghancurkan masa depan perempuan dan anak maka diperlukan komitmen pemerintah daerah untuk menghentikan serta memenuhi hak-hak korban melalui Peraturan Daerah. Jingle iklan ini akan disiarkan di beberapa radio terkemuka di Kota Semarang.

4. Penilaian PPT Terbaik
Penilain PPT terbaik ini dilakukan terhadap 4 PPT yang sudah beroperasi di Kota Semarang. Penilaian dilakukan oleh tim yang terdiri dari Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB, LRC-KJHAM serta perwakilan dari masyarakat. adapun kriteria penilaian adalah kelengkapan sarana dan prasana, mekanisme kerja / alur layanan yang terbangun di 4 PPT, respon atau perhatian masyarakat terhadap PPT dan kriteria lainnya yang akan ditentukan oleh tim penilai. PPT terbaik akan diberikan penghargaan sesuai dengan hasil komulatif dari dewan juri, penghargaan akan diberikan pada tanggal 10 Desember 2009 yang bertepatan dengan hari HAM Internasional.

5. Gelar Budaya dan Deklarasi Bersama untuk mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Di Kota Semarang
Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang ini akan diselenggarakan pada tanggal 25 November 2009 sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan untuk menyuarakan usulan adanya PERDA dan bertambahnya dukungan anggaran pada APBD untuk mendukung kegiatan perlindungan hak asasi perempuan korban kekerasan melalui pusat pelayanan terpadu di 4 Kecamatan.

Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang bersama ini akan diikuti sekitar 200 orang dari TIM PPT 4 Kecamatan yang terdiri atas unsur pemerintah Kecamatan Kota Semarang, kepolisian, puskesmas, LSM, Ormas, Tokoh Agama, Anggota DPRD Kota pelajar serta jurnalis.

Gelar budaya dan Deklarasi Bersama untuk Mendukung adanya PERDA tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan di Kota Semarang akan dilaksanakan di Balai Kota Semarang di Jl. Pemuda.

6. Pers Release Situasi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah
Tujuan dari pelaksanaan pers release adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang situasi pelanggaran hak asasi perempuan di Jawa Tengah termasuk di Kota Semarang. Opini yang terbangun atas pers release tersebut diharapkan akan mendapatkan perhatian dari masyarakat terutama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam hal penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan mengembangkan kebijakan, program dan anggaran pembangunan yang berperspektif jender dan lahirnya Peraturan Daerah di Kota Semarang khususnya.

Pers Release ini akan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2009 untuk pers release sekaligus untuk mensosialisasikan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia kepada seluruh masyarakat di Jawa Tengah khususnya di Kota Semarang. Pers release ini akan di sebarkan ke berbagai media cetak dan elektronik baik lokal maupun nasional.

VII. Panitia Pelaksana
Penanggungjawab Umum : Evarisan, S.H
Penanggungjawab Pelaksanaan : Anny Aisyah, S.Pd.I
Tim Teknis : Eko Roesanto Fiaryanto, S.H
Yusefin Delliyana, SH
Risma Primahesti, S.psi
Dian Puspitasari, SH
Afidah, S.Pd.I
Misrin
Dewi Kustijanti

VIII. Anggaran Pembiayaan
Anggaran kegiatan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2009 ini atas kerjasama Pemerintah Kota Semarang dan LRC-KJHAM Semarang – HIVOS – UNI EROPA dalam program Woman Access to Justice.

V. PENUTUP

Demikian term of references dibuat sebagai dasar acuan pelaksanaan kegiatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2009 di Kota Semarang, atas perhatianya kami sampaikan terima kasih. Salam.


Baca Selengkapnya »»