| 0 komentar ]

LRC-KJHAM bekerja sama dengan Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang, Indonesia Acts dan Tere des Homes Netherland pada tanggal 4 November 2009 mengadakan workshop jurnalis di Vina House dengan Tema "Prinsip dan Etika Peliputan Kasus Perdagangan Anak". Workshop ini di hadiri sebanyak 40 peserta dari unsur wartawan cetak dan elektronik di kota Semarang diantaranya Kompas, Tempo, SINDO, SCTV, Elshinta, Trijaya FM serta beberapa LSM yang konsern dengan isu perdagangan anak yaitu Setara dan LBH APIK serta LSM yang konsern di isu jurnalis yaitu LESPI, AJI dan dari unsur pemerintah yang menangani kasus perdagangan anak yaitu BP3AKB Provinsi Jawa Tengah, serta hadir pula perwakilan dari KPID Jawa Tengah.

Dalam workshop ini yang menjadi fasilitator adalah Fatkhurozi dari LRC-KJHAM Semarang dan Sintha Ardani dari Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang.
Dalam workshop ini Fatkhurozi memaparkan monitoring dan analisis liputan media tingkat nasional yang telah dilakukan oleh Asia Acts antara lain :

1. Kebanyakan jurnalis / media belum memberikan ruang yang cukup bagi anak korban mengungkapkan kisah, gagasan, atau perasaannya. Kebanyakan sumber berita dari kepolisian dan hanya terdapat 1 berita dimana anak korban diberikan ruang untuk mengungkapkan perasaanya. (berita harus berimbang & prinsip kepentingan terbaik anak)
2. Kebanyakan jurnalis belum memahami isu perdagangan anak dengan baik. Misalnya penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan trafiking yang memiliki makna berbeda-beda seperti memasukkan berbagai fenomena berkaitan dengan eksploitasi anak dalam kategori perdagangan anak, contohnya: pengemis anak, penjualan bayi dan sebagainya. (akurasi /kebenaran informasi)
3. Kebanyakan jurnalis belum memahami pengertian anak. Banyak istilah dalam pemberitaan yang menunjuk anak tidak jelas definisinya serta mengaburkan identitas sosial, politik dan hukum anak, seperti, remaja, gadis, gadis dibawah umur.
4. Kebanyakan jurnalis belum memahami pentingnya kerahasiaan identitas untuk melindungi anak korban. Identitas lengkap korban meliputi nama, umur, dan alamat masih banyak dipublikasikan. Dari 14 artikel yang dianalisis, 8 artikel menyebutkan identitas korban lengkap dengan nama, umur, dan alamat korban dengan jelas. (kerahasiaan identitas korban)
5. Penggambaran korban dan situasi korban yang menimbulkan atau berpotensi menimbulkan stigma. Stigma dapat muncul dari cara penulis menyusun artikelnya. Penggambaran korban dan situasi korban berpotensi untuk menjerumuskan korban untuk menjadi korban lagi karena latar belakang mereka.
6. Kebanyakan jurnalis belum memahami perspektif anak dan prinsip pertimbangan terbaik anak dalam pemberitaan. Dari 14 artikel hanya 2 yang yang ditulis dari sudut pandang anak korban. Salah satunya adalah artikel tentang pengalaman survivor perdagangan anak. Anak tersebut menceritakan latar belakang kehidupannya, bagaimana ia terjerumus dan menjadi korban perdagangan untuk prostitusi dan dampak pengalaman tersebut pada pandangannya terhadap hidup. (anak hrs diberikan ruang utk mengungkapkan pendapat dan perasaanya)
Sedangkan hasil Monitoring & Analisis Liputan Media di Jawa Tengah, Fatkhurozi memaparkan bahwa Dari 31 Berita (Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Wawasan dan Solo Pos) ; ada 8 pemberitaan yang mempublikasikan nama asli lengkap korban dan 13 Berita mempublikasikan alamat jelas korban /orang tuanya (kelurahan /desa, RT/RW, Kecamatan & Kabupaten) juga ada 11 Berita menggunakan istilah “gadis /remaja dibawah umur” dan sebanyak 27 sumber berita didapat dari Polisi, LSM dan Pemerintah. Hanya ada 5 berita yang menyertakan pendapat & perasaan korban & keluarganya.
Implikasi atau Dampak dari pemberitaan media tersebut, Fatkhurozi mengungkapkan
1. Tersebarnya informasi yang tidak benar atau kurang akurat di kalangan pembaca baik tentang definisi anak, perdagangan anak dan stereotype anak korban perdagangan, menimbulkan pemahaman yang keliru pula.
2. Trauma, stigma sosial, dan penderitaan-penderitaan lain yang muncul sebagai dampak pemberitaan yang tidak sesuai dengan kode etik termasuk ancaman pelaku dan pengucilan dari masyarakat.
3. Menghambat proses pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak korban /perlindungan & pemenuhan hak asasi korban, dll.

Fatkhurozi memberikan beberapa rekomendasinya antara lain :
1. Perlunya memperluas kegiatan untuk mempromosikan isu perdagangan anak, hak anak, dan kode etik jurnalistik dalam meliput berita-berita yang berkaitan dengan anak kepada jurnalis
2. Perlunya upaya sinergis antara media/jurnalis, NGOs dan Pemerintah untuk mendorong terciptanya guideline dan code of conduct jurnalistik dalam meliput dan melaporkan berita yang berkaitan dengan hidup anak agar berperspektif anak.
3. Perlunya memperluas kegiatan dan kerjasama untuk mendorong peningkatan keterlibatan media masa /jurnalis dalam mempromosikan pemahaman publik terhadap perdagangan orang, perdagangan anak dan hak-hak anak
4. Merumuskan strategi pengintegrasian hak anak dalam pemberitaan isu-isu perdagangan anak oleh media /jurnalis khususnya di Jawa Tengah.
Sedangkan Sinta Ardani menyampaikan beberapa pedoman yang harus dilakukan oleh seorang wartawan adalah :
1. Mengupayakan ketepatan dan kepekaan isu Anak
2. Mencegah publikasi soal Anak yang potensial merusak mereka
3. Mencegah stereotip dan sensasi yang melibatkan Anak
4. Pertimbangan dan meminimalkan dampak negatip pemberitaan
5. Berhati-hati membeberkan identitas Anak
6. Memberikan akses media pada Anak untuk beropini
7. Memverifikasi informasi dari anak secara independen
8. Melindungi anak sebagai narasumber
9. Adil-terbuka pada anak dan wali sebagai subyek peliputan
10. Memverifikasi lembaga yang mewakili kepentingan anak
11. Tidak membayar anak untuk mendapatkan bahan-bahan

Dari workshop jurnalis itu Evarisan dari LRC-KJHAM selaku sebagai moderator mengambil kesimpulan :
1. Jurnalis harus bisa mempengaruhi kebijakan media internal yaitu tentang bagaimana sanksi moral, sanksi social ini diarahkan atau ditujukan kepada suatu media supaya koreksi terhadap kebijakan internal medianya mereka. kemudian juga pendekatan structural, bagaimana kebijakan media ini yang harus disasar secara strukturnya. Dan juga pendekatan substantive, juga kaitannya dengan bagaimana acuan-acuan hukum yang tersedia itu yang memaksa supaya internal media itu melakukan perubahan terhadap kebijakannya mereka. Dilihat dalam UU Pers tentang usia, ternyata usianya itu tidak mengacu pada UU Perlindungan Anak, dalam UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak batasan usia anak adalah 18 tahun kebawah tidak 19 tahun, evarisan mengajak untuk terus menggalang kekuatan agar UU ini harus segera diamandemen terkait dengan pasal tentang usia anak.
Ika dari Kompas juga menyampaikan kode etik yang diatur dalam pasal 1 UU ternyata juga kecil maknanya, artinya juga harus kita pikirkan untuk mengubah pasal tertentu ini.
2. Peran dan fungsi Dewan Pers berkaitan dengan tanggung jawab Negara. Kita punya kewajiban untuk menegur siapa Negara yang lebih punya kewenangan ini : yaitu Infokom, Departemen Penerangan, dan sebagainya.
Bu Lilik menyampaikan ternyata opini anak itu tidak bisa untuk media elektronik, karena hak anak dilindungi, tetapi yang dimaksud ini lebih kepada kontennya. Bagaimana pendapat anak ini tersampaikan kepada masyarakat, bukan pada prosesnya.
3. Terkait dengan aparat penegak hukum kita ingin tahu bagaimana kebijakan Negara, ini juga harus dikasih space juga, aparat penegak hukum juga harus kita kasih space, jadi lengkap, sangat-sangat lengkap pemberitaan yang kita peroleh.
4. jurnalis harus bisa menaikkan posisi tawar, ini antara jurnalis dengan pimred atau dengan penentu kebijakan meminjam istilah Bu Lilik kita harus menjadi virus. Kalau tadi kita bagaimana kita memprovokasi masyarakat, kita pun harus menjadi provokator di dalam media kita sendiri, lha ini butuh keberanian tentunya. Resikonya besar, pecat. Bagaimana juga jaringan jurnalis baik koalisi jurnalis perempuan atau koalisi jurnalis yang lain mengembangkan jaringan yang kuat jadi pemred tidak bisa asal pecat, ada yang harus dia patuhi juga terkait dengan penghargaan terhadap idealisme itu.
5. Internalisasi ini juga sangat penting kaitannya dengan perspektif. Perspektif itu akan muncul kalau ada internalisasi dari jurnalis, alatnya yang kita butuhkan. Alat ini tentunya tidak bisa lepas dari misalkan kalau terkait trafiking ya UU PTPPO kemudian Palermo Protokol serta kebijakan-kebijakan lain yang lebih melindungi anak. Jadi kita memang harus memiliki tool ini,kode etik tentu, karena keberpihakan, perspektif, sensitifitas sangat bergantung sekali pada internalisasi pribadi atau personal jurnalis.
6. Kesimpulan terakhit dari moderator adalah penguatan masyarakat, ini sudah banyak disampaikan karena masyarakat dia ada di posisi yang sangat sentral dan satu lagi kaitannya tidak terlepaskan dari tanggung jawab Negara.



0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang