| 0 komentar ]

1. Melibatkan kaum muda untuk melawan perdagangan manusia
Menginformasikan kepada mereka tentang isu ini. Meminta mereka untuk memimpin kampanye pendidikan di sekolah-sekolah dan komunitas masyarakat.

Tahun 2005, kaum muda di Sorsogon, Agusan del Sur, Kota Davao, Kota Dumaguete dan Metro Manila (Filipina) menggunakan teater sebagai media penyadaran masyarakat. Di Kota Dumaguete, anak-anak mengecat dinding Gereja Katedral dan melukis mural (lukisan/gambar pada tembok gedung-gedung) untuk mempopulerkan isu tersebut. Kontes musik Rap yang melibatkan partisipasi kaum muda diadakan di Kota Davao.

Kaum muda harus berpatisipasi dalam melindungi diri mereka dan teman-temannya dari bahaya.

2. Memperkuat manajemen kasus gender-responsif
Ini meliputi pusat konseling untuk anak-anak korban dan survivor (anak yang sudah terkuatkan).

Perempuan dan anak tetap merupakan kelompok yang paling rentan untuk diperdagangkan seperti yang disampaikan dalam kumpulan statistik tahun 2006 oleh Inter-Agency Council Melawan Perdagangan Manusia. Dari tahun 2003-2006, Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan merespon 1449 korban kasus perdagangan manusia. 311 korban diantaranya adalah anak-anak berusia dibawah 12 tahun, sementara 649 korban lainnya berusia 13-17 tahun. Dari keseluruhan jumlah 1449 korban kasus perdagangan manusia tersebut, 1175 diantaranya adalah perempuan dan anak.

Jumlah korban yang bisa diselamatkan akan bertambah seiring peningkatan jumlah kasus perdagangan manusia yang dilaporkan. Jadi, shelter/rumah aman bagi anak-anak harus didirikan di berbagai daerah di penjuru Negara.

3. Meningkatkan kesadaran/pengetahuan anak laki-laki dan mempromosikan sensitifitas gender di kalangan laki-laki
Ini adalah cara yang efektif untuk menghentikan siklus pelaku kejahatan – korban, dan menurunkan tingkat permintaan (dari sisi pelanggan laki-laki) terhadap anak perempuan dan perempuan.

Anak laki-laki bisa mendapat kursus/pelajaran tentang sensitifitas gender lewat keluarga dan melalui SD hingga SMA. Disamping pendekatan tersebut, anak perempuan diperlengkapi pemahaman tentang peran gender dan kesamaan hak antar anak perempuan dan laki-laki.

4. Tanggal 12 Desember, Hari Anti Perdagangan Mnausia, dijadikan hari peringatan
Tiap kota besar, kota pedalaman, komunitas masyarakat dan sekolah dapat mengadakan beragam kegiatan sebagai berikut :
• Mendistribusikan kaos, poster, pita-pita dan media informasi lainnya kepada masyarakat… (barangay) dan agen/PJTKI local
• Kursus/pendidikan komunitas
• Mencetak dan menyiarkan pemberitaan media mengenai aktifitas kampanye anti perdagangan anak

Tanggal 12 Desember 2000, merupakan sejarah disetujuinya Protokol PBB untuk Mencegah dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya perempuan dan anak, sebagai lampiran dari Konvensi PBB melawan Kejahatan Transnasional Terorganisir di Palermo, Italy.

5. Memasukkan materi perdagangan anak dalam kurikulum pendidikan sekolah
Menjadikan tiap sekolah sebagai pedoman sosialisasi/penyuluhan, seperti yang sekarang terjadi di beberapa SD dan SMA di Samar, Cavite, Nueva Ecija dan Bulacan (Filipina).

Pelajaran tentang perdagangan anak yang terintegrasi dalam materi akademik (kurikulum) seperti Pelajaran Sosial. Di Iloilo City (Filipina), anak-anak belajar tentang perdagangan anak melalui pelajaran Pramuka dan sesi pendidikan non formal.

Seharusnya tidak ada kesulitan dalam mengimplementasikan/melaksanakan langkah/peraturan ini. Departemen pendidikan memberi mandat lewat RA 9208 untuk memasukkan pesan pokok tentang migrasi (perpindahan penduduk) dan perdagangan manusia lewat kurikulum sekolah.

6. Memanfaatkan teknologi informasi
Filipina terkenal sebagai ibukota yang texting di dunia. Laporan mengenai peristiwa perekrutan anak dan perempuan secara illegal, penculikan atau kasus hilangnya perempuan dan anak dipublikasikan lewat layanan hotline DSWG, DILG dan PNP.

Mendistribusikan daftar agen perekrut/calo PJTKI yang legal pada semua calon buruh migran (barangay). Seperti contoh yang dilakukan oleh tokoh barangay di Kota Cagayan de Oro yang menciptakan cara sederhana untuk menjepit/memperkecil kemungkinan terjadinya perdagangan manusia. Mereka mendaftar semua nama calo/agen yang masuk ke masyarakat, kemudian membuat database yang sederhana dan sistem monitoring melawan perdagangan manusia.

RA 9208 memberi hak kepada pemerintah local untuk menyusun rencana monitoring terhadap masyarakat. Sementara itu, semua orang bisa mendapatkan daftar terbaru tentang agen/PJTKI yang legal pada www.poea.gov.ph, atau website dari Philippine Overseas Employment Administration/POEA (Data Buruh Migran Filipina).

7. Merumuskan hukum lokal
untuk melindungi anak dan perempuan pada tingkatan masyarakat bawah agar tidak menjadi korban oleh perekrut illegal (calo) dan pelaku perdagangan manusia.
Peraturan setempat yang memasukkan RA 9208 di daerah local sekarang berlaku di Kotamadya Bulacan; Dasmarinas, di Cavite; Kota Tagum, di Davao del Norte; dan Kota Tagaytay (Filipina). Perundang-undangan pemrintah lokal memastikan bahwa mekanisme perlindungan anak tersebut diterapkan.

8. Mengadakan/memimpin upaya antar/lintas agama.

Advokasi antar/lintas agama merupakan media efektif dalam penyadaran tentang perdagangan manusia.

Pada Desember 2005, kampanye bersama di Legazpi, Bukidnon, Taguig dan Kota Zamboangan (Filipina) mengadakan aktifitas antar/lintas agama yang disebut Hari Para Pendoa. Di Bukidnon, Uskup mengeluarkan Nota Pastoral yang mengutuk perdagangan anak dan berdoa bagi para korban perdagangan manusia. Nota Pastoral tersebut dibaca oleh semua jemaah gereja di seluruh profinsi.
Kelompok yang berdasar agama, dapat menarik sumber daya untuk menyokong shelter/rumah aman dan layanan pasca shelter; dan mencari bantuan dari para sukarelawan yang professional untuk beberapa kegiatan seperti penyediaan layanan kesehatan, memberikan konseling psikologi dan perawatan untuk penguatan lainnya.

9. Melihat kembali sistem nilai kita.

Nilai budaya kita mengalami pengikisan oleh media massa. Perusahaan besar mengendalikan media massa. Tujuannya adalah untuk mengubah setiap warga negara menjadi konsumen. Jadi, media dan iklan menciptakan kebutuhan yang tidak perlu dan keinginan yang tidak perlu pada anggota keluarga.

Anak-anak dan kaum muda harus diperingatkan untuk melawan iming-iming/daya tarik materiil (kebendaan) seperti kemahiran dari produk-produk bermerek, HP, peralatan yang praktis, dan komputer, terutama ketika tidak disertai harta/kemampuan ekonomi keluarga.

Ini adalah hubungan antara konsumerisme dan perpindahan penduduk kota pinggiran (migrasi urban).

Perdagangan anak terjadi ketika orang dibawah usia 18 tahun direkrut, diangkut, dipindahtangankan, disembunyikan atau penerimaan melalui strategi/cara yang berbeda-beda atau dimaksudkan untuk tujuan eksploitasi.

Pada penjelasan lebih lanjut perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penyembunyian atau penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seharusnya juga dipertimbangkan sebagai korban perdagangan manusia meskipun tidak melibatkan unsur yang ditetapkan kemudian oleh hukum.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

APA ITU DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN?
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN, berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi. Sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita (Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Peremuan, pasal 1)

APA ITU KEKERASAN BERBASIS GENDER?
KEKERASAN BERBASIS GENDER, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap seorang perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian, fisik, mental dan seksual atau penderitaan atau ancaman-ancaman, atas tindakan tersebut atau kekerasan/ paksaan dan perampasan kebebasan (UU Nomor 7 tahun 1984 jo. Rekomendasi Umum No. 19 tahun 1992 tentang Kekerasan terhadap Perempuan).

APA ITU KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN?
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau pshikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan).

APAYANG MENJADI PENYEBAB KEKERASAN BERBASIS GENDER?
• Budaya ptriarkhi –budaya yang mensubordinatkan perempuan
• Pemahaman atau penafsiran dan atau interpretasi agama yang keliru
• Pengaruh feodalisme maupun kehidupan sosial ekonomi dan politik yang tidak adil bagi perempuan

BENTUK-BENTUK KEKERASAN BERBASIS GENDER
• Perkosaan
• Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT)
• Kekerasan dalam Pacaran (KdP)
• Pencabulan dan pelecehan seksual
• Kekerasan terhadap buruh migran
• Kekerasan terhadap pekerja seks.
• Perdagangan terhadap manusia (trafficking in person)

JENIS-JENIS KEKERASAN BERBASIS GENDER
Kekerasan fisik; mencakup perbuatan mendorong, menyodok, menggigit, menjambak, mencubit, memukul, menampar, meninju, menendang dan lain-lain.
Kekerasan psikis; menghina, mencaci-maki, berselingkuh dan lain-lain.
Kekerasan seksual; memaksa berhubungan seksual, perkosaan dan lain-lain.
Kekerasan ekonomi; melarang bekerja, tidak memberi nafkah dan lain-lain.
DAMPAK KEKERASAN BERBASIS GENDER TERHADAP PEREMPUAN KORBAN
Secara pshikis ; korban mengalami trauma berat, gangguan tidur, gangguan makan, muntah-muntah, cemas, murung, rendah diri, menyalahkan diri, tidak percaya dengan suami.
Secara fisik; cacat permanen, patah tulang, memar, meninggal dunia, dll.
Secara seksual; menjadi frigid, kerusakan pada organ reproduksi, gangguan menstruasi, terkena penyakit menular seksual, HIV/ AIDS, dll.
Secara ekonomi; kehilangan penghasilan, tidak bekerja (dipecat) dll.
Secara sosial; dikucilkan dari masyarakat dan atau menjadi anti sosial, dll.

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENANGANAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER
• MASYARAKAT; cenderung menyalahkan korban (tidak berpihak pada korban).
• APARAT PENEGAK HUKUM; perilaku dalam penanganan masih sangat bias gender, tidak memahami kekerasan berbasis gender.
• ATURAN HUKUM; Undang-undang yang tidak berperspektif gender dan sangat merugikan korban, tidak ada Undang-undang perlindungan saksi, tidak ada UU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT), tidak ada Undang-undang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya dan tidak ada Undang-undang Anti Perdagangan Perempuan dan Anak (Anti Trafficking).
• PEMERINTAH; kebijakan yang dibuat tidak berpihak pada korban

MENGAPA PEMERINTAH HARUS BERPERAN AKTIF DALAM PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER?
Negara telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan pengesahan lewat UU No. 7 tahun 1984. Sehingga Negara wajib membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan lain termasuk sanksi-sanksinya

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN - PKTP) dengan konsep pendekatan “Zero Tolerance Policy” (kebijakan tidak mentolelir kekerasan terhadap perempuan sekecil apapun dan dalam bentuk apapun).

APA SAJA PERAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH
• PERUBAHAN KEBIJAKAN; menetapkan PERDA Perlindungan Perempuan dan Anak.
• PENYEDIAAN FASILITAS PUBLIK MEKANISME PELAYANAN YANG HOLISTIK; Pusat Layanan Terpadu, shelter.
• MENETAPKAN ANGGARAN BAGI PEREMPUAN DALAM APBD (WOMEN BUDGET)
• MEMASUKKAN SENSITIFITAS GENDER KE DALAM SETIAP PROGRAM KERJA.

KEMANA ANDA HARUS MELAPOR APABILA MENJUMPAI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN?.

1. Ke kentor Polisi terdekat
2. LRC-KJHAM
Jl. Panda Barat III No 1 Semarang
Telp. 024 – 3518248
3. Pusat Penanganan Krisis Perempuan dan Anak (PPKPA) RS .Tugurejo
JL. Raya Semarang - Kendal
Telp. 024 - 7608200
4. Rifka Annisa
Jl. Jambon IV, Kompleks Jatimulyo Indah Jogyakarta
Telp.0274 – 552904, Hotline: 0274 - 553333
5. Saphira
Jl. Perum Bank Niaga Blok B No. 13
Telp. 024 - 7615246
6. Lentera Perempuan
Jl. Jaya Diwangsa N0. 8 RT 02/ IV Karanglewas Lor
Purwekerto
Telp. 0281 - 636204
7. LSKAR
Jl. Menur No. 38 Salatiga
Telp. 0298 - 327719
8. SPEKHAM
Griyan Baru 107 Perum UNS Baturan Solo
Telp.0271 – 715012
9. Pusat Pelayanan Terpadu RS Bayangkara
Jl. Majapahit 140 Semarang
Telp. 024 – 6716280
10. KAKAK
Jl. Slamet Riyadi No. 534 B Solo
Telp. 0271 - 711453
11. ATMA PATI
Jl. Supriyadi Gg. Mangga No. 5 A Plangitan Pati
Telp. 0295 - 384892

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Term of Reference
DISKUSI PUBLIK
”PELUANG KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN DI PEMILU 2009”
Refleksi Pasal 7 CEDAW Tentang Hak Politik Perempuan
Dalam rangka ;
Memperingati Hari Perempuan Internasional
Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) bekerjasama dengan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang, Telp/ Fax. (024) 6723083
E-mail : lrc_kjham2004@yahoo.com


Latar Belakang :

“ Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya……. .”
(Ps. 7 CEDAW)

Tepatnya pada tanggal 24 Juli 1984 Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 untuk meningkatkan penghormatan serta untuk memastikan setiap hak asasi manusia dapat diakses dan dinikmati oleh setiap perempuan di Indonesia, yang meliputi seluruh hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Sudah 24 tahun Pemerintah RI bekerja dengan CEDAW dan ditemukan beberapa kemajuan serta kemunduran dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Salah satu kemajuan penting yang dicapai adalah dalam pelaksanaan pasal 7 Konvensi yang menghendaki negara-negara peserta termasuk Pemerintah RI, untuk melakukan 2 tahapan kegiatan dalam menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Pemerintah RI harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan pasal 25 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberikan jaminan kepada perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum.

Kedua, Pemerintah RI harus mengakui bahwa hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik, oleh sebab itu pasal 7 Konvensi juga menghendaki Pemerintah RI untuk memastikan perempuan mempunyai hak dipilih dalam badan-badan public dan untuk memegang jabatan-jabatan public lainnya. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota.

Pada tahun 2003, melalui UU No. 12 tahun 2003 (sekarang menjadi UU No. 2 tahun 2008), Pemerintah RI kemudian memberlakukan langkah /kebijakan affirmative action untuk percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik berupa kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen.

Hasilnya pada Pemilu 2004, terdapat 61 anggota DPR RI dari perempuan. Keterwakilan perempuan di DPR RI tersebut naik 3,1% jika dibandingkan pada hasil pemilu 1999 yaitu sebesar 8,5 % menjadi 11,6 % dari 500 anggota DPR RI. Ketewakilan perempuan di DPRD Provinsi /Kabupaten /Kota di Indonesia juga menunjukan peningkatan antara 3 – 10%, meskipun terdapat beberapa DPRD Kabupaten /Kota baik di Jawa maupun di luar Jawa yang tidak mempunyai keterwakilan perempuan alias laki-laki semua.

Di DPRD Provinsi Jawa Tengah misalnya, dari 100 anggota DPRD hasil Pemilu 2004 hanya 16 anggota dari perempuan (16%) atau meningkat 10% dari hasil Pemilu 1999 dimana jumlah anggota DPRD perempuan hanya 6 orang. Kemudian dari 1335 anggota DPRD se-Kabupaten /Kota di Jawa Tengah hasil Pemilu 2004, hanya 152 anggota dari perempuan (10,22%) atau naik 5,22% dari hasil Pemilu 1999 dimana jumlah anggota DPRD perempuan hanya 71 orang dari 1505 anggota DPRD se-Kabupaten /Kota di Jawa Tengah.

Kegagalan pencapaian kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2004 di Indonesia, diakibatkan karena beberapa hal, diantaranya ; pertama, masih kuatnya struktur masyarakat yang mendiskriminasikan perempuan. Meskipun perempuan telah diberikan hak politiknya serta terdapat kebijakan affirmative action, namun situasi social dan budaya yang menghambat berpartisipasi perempuan dalam kehidupan politik masih sepenuhnya kuat melingkupi perempuan terutama perempuan di pedesaan, misalnya pemberian tanggungjawab aktivitas /pekerjaan rumah tangga kepada perempuan serta stereotype yang merugikan perempuan.

Kedua, sebagian besar kebijakan dan elit Pemerintah RI termasuk elit partai politik belum memiliki gender sensitivity, sehingga banyak ditemukan hambatan lain dari kebijakan dan lembaga-lembaga pemerintah serta dari partai politik yang mempersempit ruang partisipasi politik perempuan.

Akhirnya hingga tahun 2008, lahirlah banyak kebijakan yang menyengsarakan masyarakat terutama kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan baik kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan persamaan kedudukan di depan hukum, sebagai akibat dari ketidakadilan /diskriminasi dalam kehidupan politik yang masih dialami perempuan di Indonesia yang terbukti mengakibatkan penderitaan ke semua wilayah kehidupan manusia, sebagaimana diungkapkan Susan Blackburn ;

The reason why gender is so often deemed irrelevant to the from of regime is that women of their gender roles are considered irrelevant to public political life, which is so dominated by men that their gender interests prevail. The public private dichotomy is used to define woman out of politics. (Blackburn, 1992).

Mengingat pentingnya partisipasi perempuan dalam kehidupan politik untuk percepatan penghapusan diskriminasi dan penikmatan hak asasi oleh perempuan di Indonesia, penting dilakukan koreksi atas pelaksanaan mandat CEDAW untuk hak politik perempuan di Indonesia, terutama merefleksikan bagaimana pelaksanaan kebijakan affirmative action kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Untuk itu LRC-KJHAM dan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah bermaksud untuk memfasilitasi kelompok masyarakat sipil termasuk perempuan dan lembaga-lembaga politik, dalam bentuk diskusi bersama untuk mendapatkan rekomendasi-rekomendasi penting bagi percepatan penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik terutama untuk pencapaian kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2009, terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial dan merugikan perempuan.


Tujuan dan Hasil yang Diharapkan :

1. Melakukan diskusi untuk refleksi terhadap implementasi CEDAW yang telah diundangkan melalui UU No. 7 Tahun 1984, terutama terhadap hak terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya. (Ps. 7 CEDAW);
2. Menemukan dan mendiskusikan hambatan-hambatan yang dialami perempuan untuk berdaya menggunakan dan menikmati hak politiknya baik yang bersifat structural maupun non structural.
3. Tumbuhnya sensitifitas gender yang memadai dalam kehidupan politik di Indonesia khususnya di Jawa Tengah.
4. Menemukan dan mendiskusikan rekomendasi-rekomendasi penting untuk percepatan penghapusan diskriminasi bagi perempuan dalam kehidupan politik terutama untuk percepatan pencapaian kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen.
5. Menumbuhkan kesadaran politik yang kritis bagi perempuan untuk memprioritaskan pilihan pada kualitas calon legislatif bukan popularitas, dalam Pemilu 2009.


Bentuk dan Gambaran Kegiatan ;

Kegiatan refleksi ini akan dilakukan dalam bentuk diskusi dengan menghadirkan 5 (lima) orang narasumber yang kompeten, 2 (dua) orang pembahas, yang dipandu oleh seorang moderator. Para narasumber akan memaparkan strategi dalam memperjuangkan keterwakilan dan kepentingan perempuan di parlemen. Adapun pembahas akan menyampaikan hasil kajian dan temuannya terkait fakta-fakta pemenuhan hak politik di Indonesia khususnya di Jawa Tengah.

Selanjutnya, hasil pemaparan para narasumber dan pembahas akan diperkaya melalui diskusi terbuka lewat tanya jawab atau sharing pengalaman yang terarah dipandu oleh moderator.

Notulis /panitia akan mencatat proses dan hasil diskusi termasuk rekomendasi-rekomendasi penting untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah khususnya partai politik dan akan dipublikasikan melalui media massa dan elektronik lokal maupun nasional.


Waktu dan Tempat Kegiatan ;

Hari & Tanggal : Kamis, 12 Maret 2009.
Waktu : 08.30 – 12.15 WIB
Tempat : Ruang Serba Guna DPRD Provinsi Jawa Tengah


Materi dan Narasumber ;

Narasumber diskusi terdiri dari 5 (orang) orang perwakilan calon legislatif perempuan dengan tema ”Strategi Dalam Memperjuangkan Keterwakilan dan Kepentingan Perempuan di Parlemen”, yang terdiri dari perwakilan calon legislatif perempuan dari 5 (lima) partai besar, sebagai berikut :
1. Nuniek Sriyuningsih, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
2. Katarina Pujiastuti, dari Partai Bintang Reformasi (PBR)
3. Farida Rahman, dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
4. Siti Ummu Adilah, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
5. Woro Haswini, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Untuk pembahas terdiri dari 2 (dua) orang dengan tema sebagai berikut :
1. Prof. Dr. Agnes Widanti, SH., dengan tema; “Komitmen negara untuk percepatan penghapusan diskriminasi /persamaan hak dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negara”.
2. Evarisan, SH.,MH dengan tema ; “Hambatan perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan”.

Dengan moderator diskusi adalah Bapak Triyanto Triwikromo.

Peserta Diskusi ;

Diskusi ini akan diikuit 100 orang dari berbagai lembaga baik dari pemerintah dan non pemerintah yang relevan, kompeten serta memiliki kepentingan dan komitmen terhadap percepatan persamaan hak politik di Indonesia. (Adapun daftar peserta diskusi, sebagaimana terlampir)

Jadwal Diskusi ;

No Waktu Agenda Penanggungjawab
1 ……. – 08.30 WIB Register Peserta
Panitia
2 08.30 – 08.50 WIB Pembukaan dan Sambutan dari Wakil Gubernur Jawa Tengah :
Ibu Hj. Dra. Rustriningsih, MSi.
Panitia
3 08.50 – 09.40 WIB Pemaparan Narasumber :
1. Nuniek Sriyuningsih, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
2. Katarina Pujiastuti, dari Partai Bintang Reformasi (PBR)
3. Farida Rahman, dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
4. Siti Ummu Adilah, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
5. Woro Haswini, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Moderator
4 09.40 – 10.10 WIB Pembahas :
1. Prof. Dr. Agnes Widanti, SH.,
2. Evarisan, SH.,MH Moderator
5 10.10 – 12.00 WIB Dialog dan Sharing Pengalaman
Moderator
6 12.00 – 12.15 WIB Rekomendasi dan Penutupan
Moderator














Lampiran 1 :

DAFTAR UNDANGAN PESERTA
NO LEMBAGA PERWAKILAN
PEMERINTAH
1 Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Prov. Jawa Tengah 1 orang
2 Biro Hukum Setda Prov. Jawa Tengah 1 orang
3 Biro Humas Setda Prov. Jawa Tengah 1 orang
4 Kesbanglinmas Prov. Jawa Tengah 1 orang
5 Disnakertrans Prov. Jawa Tengah 1 orang
6 Dinas Sosial Prov. Jawa Tengah 1 orang
7 Badan Pemberdayaan Masyarakat Prov. Jawa Tengah 1 orang
8 Bappeda Prov. Jawa Tengah 1 orang
9 Kanwil Departemen Hukum dan HAM Prov. Jawa Tengah 1 orang
10 PPKPA RS. Tugurejo 1 orang
11 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prov. Jawa Tengah 1 orang
12 Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Prov. Jawa Tengah 1 orang
13 Bappeda Kota Semarang 1 orang
14 Bapermas, Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Semarang 1 orang
15 Kesbanglinmas Kota Semarang 1 orang
16 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang 1 orang
17 Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Semarang 1 orang
18 Pusat Pelayanan Terpadu 4 Kecamatan Kota Semarang 8 orang
ORGANISASI MASYARAKAT /ORMAS
19 Muslimat NU Jawa Tengah 1 orang
20 Fatayat NU Jawa Tengah 1 orang
21 Aisiyah Jawa Tengah 1 orang
22 IPPNU Jawa Tengah 1 orang
23 Wanita Katholik Republik Indonesia (WKRI) Jawa Tengah 1 orang
24 Gabungan Organisasi Wanita /GOW Jawa Tengah 1 orang
25 PKK Provinsi Jawa Tengah 1 orang
26 Ikatan Advokat Perempuan /IKAP Jawa Tengah 1 orang
27 KPPI Jawa Tengah 1 orang
28 PKK Kota Semarang 1 orang
30 SERUNI Kota Semarang 1 orang
31 Aisiyah Kota Semarang 1 orang
32 Fatayat NU Kota Semarang 1 orang
33 Wanita Katholik Republik Indonesia (WKRI) Kota Semarang 1 orang
34 Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Tengah 3 orang
35 Koalisi Perempuan Indonesia Kota Semarang 3 orang
36 Support Group Survivor 10 orang
NGO /LSM
37 LBH APIK Semarang 1 orang
38 LBH Semarang 1 orang
39 LBH Saraswati 1 orang
40 LBH Jawa Tengah 1 orang
41 LRC-KJHAM Semarang 1 orang
42 Yayasan SETARA Semarang 1 orang
43 Perisai Semarang 1 orang
44 Perdikan Semarang 1 orang
45 Pattiro Semarang 1 orang
46 YAWAS Semarang 1 orang
47 PBHI Jawa Tengah 1 orang
48 ASA PKBI Jawa Tengah 1 orang
49 PILAR PKBI Jawa Tengah 1 orang
50 Griya ASA PKBI Semarang 1 orang
51 FSBI Semarang 1 orang
52 AJI Semarang 1 orang
53 SAPHIRA Semarang 1 orang
54 Yayasan Kepodang Jawa Tengah 1 orang
55 Serikat Pekerja Nasional 1 orang
56 Serikat Rakyat Miskin Kota 1 orang
57 Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia 1 orang
PARTAI POLITIK
58 Perempuan Partai Golkar Jawa Tengah 1 orang
59 Perempuan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Jawa Tengah 1 orang
60 Perempuan Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Tengah 1 orang
61 Perempuan Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah 1 orang
62 Perempuan Partai Kebangkitan Nasional Ulama Jawa Tengah 1 orang
63 Perempuan Partai Demokrat Jawa Tengah 1 orang
64 Perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Jawa Tengah 1 orang
65 Perempuan Partai Nasionalis Bung Karno Jawa Tengah 1 orang
66 Perempuan Partai Amanat Nasional Jawa Tengah 1 orang
67 Perempuan Partai Bintang Reformasi 1 orang
68 Perempuan Partai Keadilan Sejahtera 1 orang
AKADEMISI & MAHASISWA
69 PSW Universitas Diponegoro (UNDIP) 1 orang
70 PSG Universitas Negeri Semarang (Unnes) 1 orang
71 PSW UNIKA Seogijapranata Semarang 1 orang
72 PSW Universitas 17 Agustus (UNTAG) Semarang 1 orang
73 PSG IAIN Walisongo Semarang 1 orang
74 PSW Universitas Semarang (USM) 1 orang
75 PMKRI Semarang 1 orang
76 KAMMI Jawa Tengah 1 orang
77 HMI Semarang 1 orang
78 PMII Semarang 1 orang
79 LPSAP Semarang 1 orang
80 Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Semarang 1 orang
Jumlah 100 orang

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Press Release
Dalam rangka ;
Memperingati 8 Maret Sebagai Hari Perempuan Internasional
KETERPENUHAN HAK ASASI PEREMPUAN CERMINAN PEMERINTAH YANG BERTANGGUNG JAWAB
Oleh ;

Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM)
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang, Telp./Fax (024) 6723083

Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Sejarah ini bermula dari aksi protes para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil di New York, Amerika Serikat pada tanggal 8 Maret tahun 1857. Aksi ini menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Polisi menyerang para pemrotes dan membubarkannya.

Dua tahun kemudian, juga di bulan Maret, untuk pertama kalinya para perempuan ini mendirikan serikat buruh sebagai upaya melindungi diri mereka serta memperjuangkan beberapa hak dasar di tempat kerja. Selanjutnya disetiap tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional dan digunakan oleh organisasi perempuan di belahan dunia manapun sebagai upaya untuk mempertanyakan pemenuhan hak asasi perempuan termasuk dalam hal ini hak perempuan dalam politik.

Demikian pula di Indonesia, dimana Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan / CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 untuk meningkatkan penghormatan serta untuk memastikan setiap hak asasi manusia dapat diakses dan dinikmati oleh perempuan di Indonesia, yang meliputi seluruh hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya.

Akan tetapi sampai saat ini pemenuhan hak perempuan atas pekerjaan yang layak, lingkungan yang sehat, perumahan yang memadai, pendidikan yang tinggi, kesehatan yang baik, serta kebutuhan dasar lainnya, masih jauh dari harapan. Selain itu perempuan masih selalu mendapatkan kekerasan baik secara fisik, psikis, ekonomi dan seksual baik yang dilakukan oleh suaminya, pacarnya, majikannya maupun laki-laki yang belum dikenal. Ini bisa dilihat dari data monitoring yang berhasil dipantau oleh Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang. Dalam kurun waktu 4 Bulan, periode November 2008 – Februari 2009. LRC-KJHAM telah mencatat sedikitnya terdapat 169 Kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Jawa Tengah, dengan 356 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender.

Berdasarkan fakta tersebut di atas, LRC-KJHAM mendesak Kepada Pemerintah RI untuk:
1. Terus menerus menjalankan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan untuk memastikan bahwa perempuan menikmati hak yang sama atas kesejahteraan yang mengurangi kerentanan perempuan atas kekerasan berbasis gender dan untuk meningkatkan pemajuan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia terutama hak asasi dalam pembangunan;

2. Memastikan terhapusnya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan menindak tegas pelaku, tidak perduli status sosial pelaku ataupun dalil-dali agama atau keyakinan tertentu yang digunakan pelaku untuk mengesahkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan ataupun anak perempuan. Seperti halnya yang dilakukan Pujiono CW;

3. Segera mengevauasi implementasi peraturan perundangan nasional tentang terkait dengan Penghapusan kekerasan berbasis Gender dan membuat langkah-langkah strategis untuk menjamin keterpenuhan hak atas keadilan bagi korban;

4. Segera tanpa ditunda-tunda, agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengimplementasikan Peraturan Daerah (PERDA) No. 3 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Jawa Tengah dengan memastikan segala ketentuan didalamnya memenuhi hak atas standart yang setinggi-tinggianya atas hak asasi perempuan dan anak perempuan. Penundaan implementasi PERDA tersebut adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asasi perempuan di Jawa Tengah. Dan setiap pengabaian hak asasi perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

salam Pembebasan

evarisan

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Urgent Action

HUKUM PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

Perkawinan pada usia anak (dibawah 18 tahun) yang masih dan terus dialami perempuan di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika merupakan masalah serius yang mencemaskan seluruh umat manusia. Praktek mengawinkan anak perempuan pada usia 9, 10, 11, 12 atau 13 tahun terbukti merampas hak asasi anak dan perempuan. Bahkan di beberapa negara, anak perempuan yang baru berumur beberapa bulan telah dijanjikan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki dewasa. Anak-anak perempuan tersebut dibesarkan, dirawat dan dipercantik dengan perhiasan dan dipingit untuk membuat mereka menarik, sehingga dapat dikawinkan dengan penawar tertinggi.

Sejak dinikahkan, maka anak perempuan harus meninggalkan sekolah, orang tua, teman serta rumah tinggalnya. Mereka juga harus menjalani hubungan intim /persetubuhan secara emosional dan fisik dengan laki-laki dewasa walaupun secara fisik dan psikologis anak belum siap. Selanjutnya mereka memasuki situasi yang lebih mencemaskan, tatkala mengandung /hamil, melahirkan dan mengasuh anak, serta harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada perempuan yang telah menikah pada umumnya.

Mereka juga berpotensi besar mengalami kekurangan makanan, dan komplikasi kesehatan yang mengakibatkan kematian saat hamil dan melahirkan anak, karena resiko kelahiran melalui operasi, kurang berat badan, kurang gizi sebagai akibat dari kehamilan dan menyesui berulangkali pada masa dimana mereka sendiri masih dalam masa pertumbuhan.

Disamping itu relasi /hubungan kuasa yang sangat timpang dengan laki-laki dewasa yang menjadi suaminya, menjadikan anak perampuan yang memasuki pernikahan dini sangat rentan terhadap berbagai serangan kekerasan, eksploitasi dan perdagangan baik dari suami, keluarga maupun dari masyarakat.

Bahwa serangkaian pelanggaran hak asasi tersebut jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup anak perempuan dan melanggar Declaration Universal of Human Rights /DU HAM, International Convetion on Civil and Politic Rights (ICCPR) khususnya article 23 & 24, International Convention on Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR) khususnya article 10, International Convention Rights of Children (ICRC) khususnya article 2, 3, 27, 32, 34, 36, & 39, International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) khususnya article 14.

Bahwa Komite Hak Anak PBB dalam sejumlah rekomendasinya sehubungan dengan pasal 2 Konvensi Hak Anak, menyerukan Negara-Negara untuk mengakui prinsip persamaan di muka hukum, dan melarang diskriminasi berdasarkan gender, termasuk untuk menetapkan peraturan yang melarang praktek-praktek tradisional yang berbahaya seperti kawin paksa, kawin usia muda pada anak perempuan, kehamilan pada usia anak dan praktek-praktek yang merugikan kesehatan anak.

Komite Hak Anak PBB juga beranggapan bahwa kedewasaan anak perempuan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan fisik, sementara pertumbuhan mental dan sosial belum matang, dan bahwa berdasarkan kriteria tersebut para anak perempuan yang telah dianggap dewasa dimuka hukum untuk menikah, mengingkari perlindungan yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak /ICRC

Bahwa Konvensi Internasional tentang Penduduk dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo pada September 1994, mendorong pemerintah untuk meninggikan batas usia minumum untuk menikah bagi anak-anak perempuan.

Bahwa dalam laporan awal kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Pelapor Khusus untuk tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk sebab dan akibatnya, mengakui bahwa usia perkawinan merupakan faktor penyebab terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan (E/CN.4/1995/42 ayat 165).

Bahwa dalam kasus Perkawinan anak yang dilakukan Sdr. Pujiono CW terhadap LU (12 th) pada Agustus 2008, jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup LU dan melanggar hak asasi anak dan perempuan.

Bahwa berdasarkan Pasal 78, 81, 82 & 88 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka Sdr. Pujiono CW dan orang tua LU (Suroso), telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 23 tahun 2002.

Mengingat pula bahwa sebagian besar praktek-praktek pelanggaran, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak termasuk anak perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat seringkali dimaafkan oleh negara, sementara berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB tahun 1994/45, Pemerintah bertanggungjawab atas tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk anak perempuan yang dilakukan oleh perorangan.

Mengingat pada bulan Januari 2009, Pudjiono CW bersama Kuasa Hukumnya telah mengajukan Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Semarang terhadap LSM KOMPAK dalam hal ini Sdr. Legianto Toha, karena menganggap LSM KOMPAK telah melakukan pencemaran nama baik dan pada pemeriksaan persidangan tanggal 17 Februari 2009, dengan agenda Jawaban Tergugat (Sdr. Legianto Toha).

Mengingat berlarut-larutnya penanganan kasus tersebut, maka Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang, meminta dukungan agar kawan-kawan mengirimkan surat desakan kepada ;
1. KAPOLRI :
a. untuk mengambil alih penanganan kasus dari POLWILTABES Semarang dan menindaklanjuti proses hukum secara sungguh-sungguh dan segera atas dugaan tindakan pidana yang dilakukan oleh Sdr. Pujiono CW dan Sdr. Suroso (orang tua korban) terhadap UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, sebab tidak ada satu pun alasan pembenar dari aspek hukum, hak asasi dan keadilan masyarakat untuk tidak mempidanakan Sdr. Pujiono CW dan Suroso.
b. Secepatnya menetapkan Sdr. Pujiono CW dan Suroso sebagai tersangka untuk memenuhi rasa keadilan dan hak korban. Berdasarkan Ps. 21 KUHAP, Sdr. Pujiono CW dan Suroso dikawatirkan mengulangi perbuatanya dan menghilangkan alat bukti.
c. Memerintahkan kepada Penyidik agar berkoordinasi dengan Rumah Sakit/ Tenaga Medis untuk segera melakukan visum terhadap korban guna kepentingan pembuktian.
d. Memeriksa seluruh Penasehat Hukum Sdr. Pujiono, karena telah menghalang-halangi pemeriksaan terhadap korban.
e. Segera melakukan penahanan terhadap Sdr. Pujiono CW dan Suroso, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP

2. KOMNAS HAM untuk melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut secara independen, hal ini sesuai dengan kewenangan KOMNAS HAM yang dimandatkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

3. KOMNAS PEREMPUAN memberikan surat rekomendasi ke KAPOLRI, KEJAKSAAN AGUNG dan MAHKAMAH AGUNG agar ketiga Institusi tersebut mengeluarkan surat edaran untuk institusi di bawahnya supaya memprioritaskan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

4. KPAI:
a. untuk Mengambil Kuasa Asuh atas korban dan segera melakukan pemulihan atas korban dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan terhadap korban.
b. Menyelematkan anak dari praktek-praktek budaya yang merendahkan derajat dan martabatnya sebagai manusia, karena bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak

5. KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
a. untuk menghilangkan budaya patriarkhi yang mensubordinatkan perempuan, karena bertentangan dengan mandat UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
b. Harus segera dilakukan perubahan hukum baik dibidang perdata dan pidana, seperti misalnya menentukan batas usia minimum untuk menikah dan batas usia pertanggungjawaban pidana sebagai pencapaian masa dewasa berdasarkan Konvensi Hak Anak.

6. Ketua Pengadilan Negeri Semarang
Meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Semarang untuk menolak Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh Pujiono CW dan kuasa hukumnya, karena Gugatan/ Upaya Hukum tersebut merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan pembaharuan hukum di Indonesia, dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Hak Asasi Perempuan dan Hak Anak.

7. Bersama-sama membuat pengaduan kepada COMITEE CRC karena negara telah lalai melindungi hak anak.

Baca Selengkapnya »»