| 0 komentar ]

Urgent Action

HUKUM PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

Perkawinan pada usia anak (dibawah 18 tahun) yang masih dan terus dialami perempuan di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara Asia dan Afrika merupakan masalah serius yang mencemaskan seluruh umat manusia. Praktek mengawinkan anak perempuan pada usia 9, 10, 11, 12 atau 13 tahun terbukti merampas hak asasi anak dan perempuan. Bahkan di beberapa negara, anak perempuan yang baru berumur beberapa bulan telah dijanjikan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki dewasa. Anak-anak perempuan tersebut dibesarkan, dirawat dan dipercantik dengan perhiasan dan dipingit untuk membuat mereka menarik, sehingga dapat dikawinkan dengan penawar tertinggi.

Sejak dinikahkan, maka anak perempuan harus meninggalkan sekolah, orang tua, teman serta rumah tinggalnya. Mereka juga harus menjalani hubungan intim /persetubuhan secara emosional dan fisik dengan laki-laki dewasa walaupun secara fisik dan psikologis anak belum siap. Selanjutnya mereka memasuki situasi yang lebih mencemaskan, tatkala mengandung /hamil, melahirkan dan mengasuh anak, serta harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada perempuan yang telah menikah pada umumnya.

Mereka juga berpotensi besar mengalami kekurangan makanan, dan komplikasi kesehatan yang mengakibatkan kematian saat hamil dan melahirkan anak, karena resiko kelahiran melalui operasi, kurang berat badan, kurang gizi sebagai akibat dari kehamilan dan menyesui berulangkali pada masa dimana mereka sendiri masih dalam masa pertumbuhan.

Disamping itu relasi /hubungan kuasa yang sangat timpang dengan laki-laki dewasa yang menjadi suaminya, menjadikan anak perampuan yang memasuki pernikahan dini sangat rentan terhadap berbagai serangan kekerasan, eksploitasi dan perdagangan baik dari suami, keluarga maupun dari masyarakat.

Bahwa serangkaian pelanggaran hak asasi tersebut jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup anak perempuan dan melanggar Declaration Universal of Human Rights /DU HAM, International Convetion on Civil and Politic Rights (ICCPR) khususnya article 23 & 24, International Convention on Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR) khususnya article 10, International Convention Rights of Children (ICRC) khususnya article 2, 3, 27, 32, 34, 36, & 39, International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) khususnya article 14.

Bahwa Komite Hak Anak PBB dalam sejumlah rekomendasinya sehubungan dengan pasal 2 Konvensi Hak Anak, menyerukan Negara-Negara untuk mengakui prinsip persamaan di muka hukum, dan melarang diskriminasi berdasarkan gender, termasuk untuk menetapkan peraturan yang melarang praktek-praktek tradisional yang berbahaya seperti kawin paksa, kawin usia muda pada anak perempuan, kehamilan pada usia anak dan praktek-praktek yang merugikan kesehatan anak.

Komite Hak Anak PBB juga beranggapan bahwa kedewasaan anak perempuan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan fisik, sementara pertumbuhan mental dan sosial belum matang, dan bahwa berdasarkan kriteria tersebut para anak perempuan yang telah dianggap dewasa dimuka hukum untuk menikah, mengingkari perlindungan yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak /ICRC

Bahwa Konvensi Internasional tentang Penduduk dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo pada September 1994, mendorong pemerintah untuk meninggikan batas usia minumum untuk menikah bagi anak-anak perempuan.

Bahwa dalam laporan awal kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Pelapor Khusus untuk tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk sebab dan akibatnya, mengakui bahwa usia perkawinan merupakan faktor penyebab terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan (E/CN.4/1995/42 ayat 165).

Bahwa dalam kasus Perkawinan anak yang dilakukan Sdr. Pujiono CW terhadap LU (12 th) pada Agustus 2008, jelas mengancam kelangsungan hidup dan hak hidup LU dan melanggar hak asasi anak dan perempuan.

Bahwa berdasarkan Pasal 78, 81, 82 & 88 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka Sdr. Pujiono CW dan orang tua LU (Suroso), telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 23 tahun 2002.

Mengingat pula bahwa sebagian besar praktek-praktek pelanggaran, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak termasuk anak perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat seringkali dimaafkan oleh negara, sementara berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB tahun 1994/45, Pemerintah bertanggungjawab atas tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk anak perempuan yang dilakukan oleh perorangan.

Mengingat pada bulan Januari 2009, Pudjiono CW bersama Kuasa Hukumnya telah mengajukan Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Semarang terhadap LSM KOMPAK dalam hal ini Sdr. Legianto Toha, karena menganggap LSM KOMPAK telah melakukan pencemaran nama baik dan pada pemeriksaan persidangan tanggal 17 Februari 2009, dengan agenda Jawaban Tergugat (Sdr. Legianto Toha).

Mengingat berlarut-larutnya penanganan kasus tersebut, maka Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang, meminta dukungan agar kawan-kawan mengirimkan surat desakan kepada ;
1. KAPOLRI :
a. untuk mengambil alih penanganan kasus dari POLWILTABES Semarang dan menindaklanjuti proses hukum secara sungguh-sungguh dan segera atas dugaan tindakan pidana yang dilakukan oleh Sdr. Pujiono CW dan Sdr. Suroso (orang tua korban) terhadap UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, sebab tidak ada satu pun alasan pembenar dari aspek hukum, hak asasi dan keadilan masyarakat untuk tidak mempidanakan Sdr. Pujiono CW dan Suroso.
b. Secepatnya menetapkan Sdr. Pujiono CW dan Suroso sebagai tersangka untuk memenuhi rasa keadilan dan hak korban. Berdasarkan Ps. 21 KUHAP, Sdr. Pujiono CW dan Suroso dikawatirkan mengulangi perbuatanya dan menghilangkan alat bukti.
c. Memerintahkan kepada Penyidik agar berkoordinasi dengan Rumah Sakit/ Tenaga Medis untuk segera melakukan visum terhadap korban guna kepentingan pembuktian.
d. Memeriksa seluruh Penasehat Hukum Sdr. Pujiono, karena telah menghalang-halangi pemeriksaan terhadap korban.
e. Segera melakukan penahanan terhadap Sdr. Pujiono CW dan Suroso, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP

2. KOMNAS HAM untuk melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut secara independen, hal ini sesuai dengan kewenangan KOMNAS HAM yang dimandatkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

3. KOMNAS PEREMPUAN memberikan surat rekomendasi ke KAPOLRI, KEJAKSAAN AGUNG dan MAHKAMAH AGUNG agar ketiga Institusi tersebut mengeluarkan surat edaran untuk institusi di bawahnya supaya memprioritaskan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

4. KPAI:
a. untuk Mengambil Kuasa Asuh atas korban dan segera melakukan pemulihan atas korban dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan terhadap korban.
b. Menyelematkan anak dari praktek-praktek budaya yang merendahkan derajat dan martabatnya sebagai manusia, karena bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak

5. KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
a. untuk menghilangkan budaya patriarkhi yang mensubordinatkan perempuan, karena bertentangan dengan mandat UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
b. Harus segera dilakukan perubahan hukum baik dibidang perdata dan pidana, seperti misalnya menentukan batas usia minimum untuk menikah dan batas usia pertanggungjawaban pidana sebagai pencapaian masa dewasa berdasarkan Konvensi Hak Anak.

6. Ketua Pengadilan Negeri Semarang
Meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Semarang untuk menolak Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh Pujiono CW dan kuasa hukumnya, karena Gugatan/ Upaya Hukum tersebut merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dan pembaharuan hukum di Indonesia, dan merupakan bentuk penghinaan terhadap Hak Asasi Perempuan dan Hak Anak.

7. Bersama-sama membuat pengaduan kepada COMITEE CRC karena negara telah lalai melindungi hak anak.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang