| 0 komentar ]

LRC-KJHAM /Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan HAM



Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Peringatan tersebut sebagai penghormatan atas gerakan perempuan yang terjadi pada tahun 1900-an di negara-negara Eropa dan Amerika latin, dalam memperjuangkan hak asasi perempuan, diantaranya hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, memegang jabatan publik, hak atas pekerjaan, dan hak untuk tidak mengalami diskriminasi. Sementara itu PBB telah merayakan hari perempuan Internasional pada tahun 1975, dua tahun kemudian pada Tahun 1977, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi sebuah hari PBB untuk Hak-hak perempuan. Dalam Resolusi tersebut Majelis Umum PBB mengakui peran perempuan dalam upaya perdamaian dan pembangunan, serta mendesak negara-negara untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konteks Indonesia, peringatan hari Perempuan Internasional kali ini kembali dihenyakkan oleh bertubi-tubinya kasus kekerasan yang menimpa Buruh Migran Perempuan. Ini menunjukan rendahnya perlindungan hukum bagi Buruh Migran Indonesia. Adanyanya Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) tidak serta merta memberikan perlindungan bagi mereka. Data dari LRC KJHAM menunjukkan bahwa sepanjang UU tersebut disahkan (2004-2010) terdapat 241 kasus kekerasan terhadap buruh migran perempuan, dengan jumlah korban sebanyak 405 perempuan dan 85 orang diantaranya meninggal dunia. Bahkan padatahun 2011 telah terjadi 29 kasus dan 5 diantaranya meninggal dunia.
Kekerasan terjadi disetiap tahapan proses, mulai dari pra penempatan sampai purna penempatan. Bentuk kekerasan yang dialami tidak hanya fisik, melainkan psikis, seksual dan ekonomi dan dampak terburuk adalah kehilangan jiwa atau kehilangan kemerdekaan bahkan dipaksa membayar denda Milyaran rupiah karena terpaksa membunuh majikannya yang hendak memperkosanya, seperti yang dialami oleh Darsem. Tidak sedikit pula mereka menjadi korban perdagangan manusia.
Banyaknya perempuan yang terpaksa menjadi puruh migran tidak terlepas dari kemiskinan yang membelitnya. Karena miskin, para perempuan tidak bisa mengakses pendidikan dan keterampilan yang memadai sehingga tidak dapat mengakses pekerjaan yang layak kecuali menjadi PRT di Luar Negeri.
Melihat realitas ini Negara tidak melakukan apapun. Kemiskinan tetap merajalela, Buruh Migran terus saja menjadi korban. Hal ini menunjukkan kelambanan pemerintah dalam merealisasikan perlindungan hokum yang layak bagi buruh migrant
Fakta tersebut diperkuat dengan tidak segera diratifikasinya Konvensi PBB Tahun 1990 mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, yang diharapkan dapat menjamin pemenuhan hak-hak buruh migran beserta anggota keluarganya. Disamping itu masih berlarut-larutnya pembahasan MoU RI dan Malaysia bahkan ada yang sama sekali tidak ada MoU dengan negara tujuan penempatan. Substansi MOU juga dipandang tidak mendorong adanya kesetaraan daya tawar antara Buruh migrant dan majikan, didalam MOU juga diatur bahwa Pasport Pekerja Migran akan dibawa oleh majikan, akibatnya buruh migrant perempuan yang mengalami kekerasan atau tidak digaji dan melarikan diri, akan beresiko tidak memiliki dokumen secara legal.

Moratorim ikut menyelesaikan masalah dan juga tidak serta merta menghentikan pengiriman tenaga kerja migran ke Malaysia, jalan tikus dipilih sebagai alternatif dan ini sangat membahayakan. dalam skala nasional data kompas 2 September 2010 Hal 18, menyebutkan sepanjang tahun 2010 sedikitnya 5000 TKI sektor domestik ilegal masuk ke Malaysia.
Provinsi Jawa Tengah yang memiliki beberapa daerah kantong buruh migrant diantaranya Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kendal juga belum memiliki Komitmen nyata dalam mewujudkan perlindungan hokum bagi buruh migrant. Jawa Tengah belum memiliki PERDA yang mellindungi pekerja domestic baik yang bekerja di local jawa Tengah maupun bermigrasi ke daerah atau Negara lain. Buruknya realitas yang dialami Buruh migrant khusunya buruh migrant permpuan menjadi alasan mutlak bagi Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah untuk segera mewujudkan perlindungan hukum bagi buruh migrant dengan mengambil langkah-langkah konkrit sebagai berikut:
1. Meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990)
2. Mengadakan dan mempercepat MoU antara Pemerintah Indonesia dengan Negara-negara tempat tujuan penempatan Tenaga Kerja dari Indonesia misalnya dengan Pemerintah Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dll. MoU tersebut harus dibangun tanpa syarat apapun atas kepentingan utama untuk melindungi hak-hak para Buruh Migrant dan untuk memastikan keadilan dapat dinikmati dengan cepat oleh para Buruh migrant khusunya buruh migrant perempuan.
3. Segera melakukan Amandemen terhadap UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Buruh Migrant
4. Segera membuat PERDA Perlindungan Buruh Migran khususnya buruh migran perempuan, untuk menjamin realisasi penuh semua hak asasi para Buruh Migrant perempuan.

Baca Selengkapnya »»