| 0 komentar ]

Saat perempuan mengalami
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT)

Anda Perlu Tahu

Kasus kekerasan dalam Rumah Tangga, merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagai bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

Keberanian perempuan untuk melaporkan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga semakin meningkat semenjak dikeluarkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal ini dapat dilihat dari Data Monitoring Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah yang dihimpun LRC KJHAM, seperti yang terdapat dalam table kecil berikut ini ;

Data kasus kekerasan dalam rumah tangga Pada tahun 2004 ada 132 kasus dengan korban 198 perempuan. Pada tahun 2005 ada 134 kasus kdrt dengan 184 korban perempuan. Tahun 2006 ada 140 kasus dengan 266 perempuan korban. Pada tahun 2007 ada 146 kasus dengan jumlah korban 285 perempuan. Dan pada tahun 2008 ada 104 kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan jumlah korban 234 perempuan.

Dari 104 kasus KdRT pada tahun 2008, modus kasus KdRT paling banyak adalah perselingkuhan (kekerasan psikis), yang juga disertai dengan penganiayaan dan penelantaran dan 10 korban meninggal akibat kekerasan yang dialaminya .

Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Istilah KdRT ini muncul setelah pemerintah mengeluarkan undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Adapun definisi KdRT menurut pasal 1 ayat 1 UU PKDRT adalah,

“ setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”

Mengapa KdRT ini diatur

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya KdRT merupakan sebuah fenomena gunung es, sementara system hukum di Indonesia masih belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

Dan sebagaimana kita tahu segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta segala bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Sehingga pemerintah merasa berkewajiban memberikan perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dalam lingkup domestic agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Siapa saja yang dapat menjadi korban KdRT

Menurut UU No.23 Tahun 2004 pasal 2 disebutkan Korban KdRT adalah orang/siapa saja yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan yang berada dalam ruang lingkup rumah tangga yang bersangkutan. Adapun pihak yang dimaksud adalah,
1. suami, isteri, dan anak;
2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan

Kapan anda mengalami KdRT
Saat anda mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran dalam lingkup rumah tangga, maka anda dapat dikatakan sebagai korban KdRT.

Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh korban ?

kekerasan fisik, dipukul, ditendang, ditusuk, disiram air keras, di sundut rokok, diperkosa, dianiaya, ditampar, dan lain sebagainya.
Kekerasan Psikis, menghina, mengata-ngatai, melakukan ancaman, dsb.
Kekerasan Seksual, perkosaan baik yang dilakukan terhadap istri maupun terhadap orang yang tinggal dalam rumah tersebut, pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan eksploitasi,
Penelantaran, tidak dinafkahi, tidak dipelihara/tidak di dirawat, dibebani hutang, dilarang/ dibatasi untuk bekerja sehingga memiliki ketergantungan ekonomi,


Apa saja Dampak yang dialami oleh korban ?

Dampak Fisik dan Seksual diantaranya adalah Luka Memar, Cacat Permanen, Cacat Temporer, Gangguan Menstruasi, Psikosomatis (maag, mual-mual, pegal-pegal), PMS, HIV AIDS, Infeksi pada organ reproduksi, Kehamilan, Luka Bakar, Luka Tusuk, Kematian.
Dampak Psikis diantaranya adalah sebagai berikut, kehilangan rasa percaya diri, apatis, pesimis, keinginan untuk bunuh diri, menyalahkan diri sendiri, perasaan tidak aman, curiga, gangguan pola makan, gangguan pola tidur, ragu dalam mengambil keputusan, gangguan aktivitas social, hingga membenci lawan jenis.
Dampak Sosial Ekonomi, diantaranya adalah tergantung pada bantuan orang lain, mendapat tanggungan hutang, kenyamanan dan ketentraman terganggu
Dampak yang dapat dialami oleh Anak, menjadi pelaku kekerasan, mengalami trauma, figur terhadap orang tua menjadi kabur.

Apa saja Hak-Hak Korban

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KdRT, dan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah disebutkan hak-hak korban, termasuk korban KdRT diantaranya :
pertatama, Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;kedua, Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, ketiga, Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;keempat, Pelayanan Rahabilitasi Psiko-sosial.kelima, Hak untuk ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; keenam, Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; ketujuh, Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun¬dang-undangan; dan Pelayanan bimbingan rohan serta Berhak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat juga Berhak memberikan keterangan tanpa tekanan, Berhak medapat informasi mengenai perkembangan kasus juga Berhak mendapat informasi mengenai putusan pengadilan serta Mendapat informasi pada saat terpidana (pelaku) dibebaskan dan juga Mendapat identitas baru. serta Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, Mendapat nasihat hokum, Mendapatkan kediaman baru, Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Langkah-langkah yang dapat diambil korban KdRT
Saat pertama kali korban mengalami KdRT dan hendak melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib, korban dapat melakukan hal-hal teknis berikut,
Apabila korban mengalami kekerasan yang mengharuskan pengobatan cepat, korban dapat mendatangi Rumah Sakit/Puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan sementara dan apabila diperlukan korban akan dirawat dan ditempatkan di ruang khusus. Adapun dalam konteks Jawa Tengah terdapat rumah sakit yang telah memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, diantaranya adalah,
a. Rumah Sakit Tugurejo Semarang
b. Rumah Sakit Amino Gondo Utomo Semarang
c. Rumah Sakit Muwardi Surakarta
d. Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
kedua, Korban datang ke kepolisian (datang sendiri atau minta didampingi oleh lembaga pendamping/LSM) untuk melaporkan kejadian yang dialaminya untuk dibuatkan BAP (Berkas Acara Pemeriksaan), jika memungkinkan korban dapat membawa kronologi (urut – urutan kejadian). Pada saat di kepolisian, korban akan mendapat beberapa pertanyaan guna memastikan apakah terdapat unsur pidana atau tidak.
Apabila terdapat unsure pidana, maka berkas yang dibuat oleh kepolisian akan ditandatangani oleh korban untuk dijadikan sebagai bahan penyeledikan dan penyidikan, dan selanjutnya akan dilimpahkan ke kejaksaan. Selanjutnya korban berhak meminta pendampingan dari lembaga pendamping dan korban akan mendapat layanan konseling untuk proses pemulihan. dan Apabila tidak terdapat unsure pidana, maka akan dilakukan proses konseling di tahap awal pelaporan, sampai ditemukan unsure pidana. Jika tidak ditemukan unsure pidana, korban juga berhak mendapat bimbingan rohani, maupun layanan konseling lanjutan untuk menggali akar persoalan, dan mencari alternative solusi bersama korban dan konselor,
Apa yang harus disiapkan korban untuk langkah-langkah hukum?
a. Membuat Kronologi Kasus, merupakan uraian yang menceritakan urut-uratan kejadian mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami korban
b. Korban dapat mempersiapkan terlebih dahulu bukti-bukti yang dapat menunjukkan adanya kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya alat bukti surat (alat bukti yang berupa tulisan), alat bukti ini dapat berupa surat biasa, akta otentik, akta dibawah tangan atau surat perjanjian. Alat bukti yang perlu disiapkan ini untuk mendukung yang dapat membuktikan adanya kekerasan dalam rumah tangga.
c. Mempersiapkan alat bukti saksi, merupakan orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri kekerasan dalam rumah tangga. Maka korban mulai dapat mengajak orang yang melihat, mendengar mengenai tindak kekerasan yang dialami korban.

Baca Selengkapnya »»
| 0 komentar ]

Dalam rangka ;
Memperingati 10 Desember Sebagai Hari HAM Internasional

Negara Terus Menerus Mengabaikan Hak Asasi Perempuan
Serta Memperkuat Diskriminasi terhadap Perempuan Berdasarkan Hukum

Dalam kurun waktu 12 bulan, selama bulan Nopember 2007 – Oktober 2008, LRC-KJHAM telah mencatat sedikitnya terdapat 383 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Jawa Tengah, dengan 1017 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender dan sedikitnya tercatat 39 perempuan korban kekerasan tersebut meninggal dunia akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya.
Dari 383 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat tersebut, kasus yang paling tinggi adalah kasus perkosaan ; dengan jumlah 117 kasus, 153 korban (setidaknya 3 perempuan korbanya meninggal) dan 206 pelaku perkosaan. Kemudian kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ; tercatat 104 kasus, 234 korban (9 perempuan korban meninggal akibat sadisnya KDRT), dan 235 pelaku KDRT. Selanjutnya tercatat pula kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 54 kasus, 57 korban (setidaknya 3 perempuan korbanya meninggal, juga akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya) dan 56 pelaku. Tercatat pula kasus pelecehan seksual dengan jumlah ; 6 kasus, 6 korban dan 6 pelaku. Kemudian kasus kekerasan /pelanggaran hak-hak buruh migran perempuan /TKW dengan jumlah ; 37 kasus, 114 korban/TKW (setidaknya 15 perempuan korbanya meninggal). Tercatat juga kasus kekerasan /pelanggaran terhadap perempuan prostitut dengan jumlah ; 51 kasus, 418 korban (setidaknya 8 korbanya meninggal). Selain itu juga tercatat kasus perdagangan perempuan dengan jumlah ; 14 kasus, 33 perempuan korban yang pelakunya terdiri dari korporasi /lembaga dan perorangan baik sebagai aparat pemerintah maupun bukan aparat pemerintah.
Kota Semarang tercatat sebagai daerah di Jawa Tengah dengan kasus KTP paling tinggi yaitu 92 kasus, kemudian Kota Surakarta tercatat 24 Kasus dan Kabupaten Semarang tercatat 22 kasus.
Modus dan bentuk-bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008, memperlihatkan adanya sadisme dan kebencian terhadap perempuan. Bagian tubuh perempuan yang menjadi target serangan kekerasan juga pada bagian-bagian yang membahayakan nyawa (mematikan) seperti kepala, leher, dada dan perut. Alat yang dipergunakan pelaku juga memperlihatkan alat-alat yang membahayakan, seperti racun, pisau dapur, gunting, palu, minyak tanah, bensin, alat pembersih lantai, tali, balok kayu dan sebagainya. Waktu dan tempat kejadian /kasus kekerasan juga menyulitkan korban untuk mendapatkan pertolongan, seperti pada waktu /jam 21.00 – 01.00 dini hari atau pada waktu /jam 09.00 – 16.00, sehingga dampak yang diderita perempuan korban kekerasan begitu sangat besar yang mengancam hak hidupnya. Inilah sebabnya, jumlah perempuan yang meninggal akibat KTP begitu besar, selain dikarenakan faktor lemahnya mekanisme perlindungan legal dari Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana tergambar pada salah satu kasus KDRT di Kabupaten Kudus, dimana suami meracun isterinya hingga meninggal karena menolak dipoligami. Juga tercatat kasus perkosaan di Kabupaten Karanganyar, dimana ayah tiri membekap anaknya dengan kain yang diberi alat pembersih lantai hingga pingsan, kemudian diperkosa dan dibuang ke sungai dan meninggal.
Fakta-fakta yang tercatat tersebut membuktikan bahwa kekerasan berbasis gender yang terus menerus dialami perempuan terbukti menghambat dan merampas penikmatan serta penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan dasar perempuan atas dasar persamaan hak dengan laki-laki sebagaimana dilindungi dan dijamin oleh ketentuan-ketentuan hak asasi manusia internasional.
Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan penghambat bagi tercapainya sasaran-sasaran persamaan, pembangunan dan perdamaian yang membuktikan suatu manifestasi adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat yang hakekatnya merupakan kontrol kepada perempuan yang menghambat mobilitas perempuan dalam mendapatkan sumberdaya-sumberdaya dan untuk melakukan kegiatan dasariahnya.
Dalam situasi dimana perempuan terus mengalami perampasan hak asasi dan kebebasan dasarnya, Negara justru semakin memperkuat diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan hukum dengan masih diberlakukannya ketentuan-ketentuan perundangan nasional yang mendiskriminasikan perempuan serta belum adanya ketentuan perundangan nasional yang tepat dan efektif untuk menjamin dan memastikan setiap hak asasi manusia dapat dinikmati dan digunakan oleh perempuan terutama perempuan korban serta untuk memastikan setiap pelaku pelanggaran HAM perempuan dapat diajukan ke pengadilan yang kompeten untuk diadili dan dihukum.
Rangkaian fakta KTP dan pelangaran hak asasi perempuan korban kekerasan sebagaimana tersebut diatas, membuktikan bahwa Pemerintah RI telah melanggar hak asasi perempuan sebab terbukti sengaja tidak menjalankan perintah hak asasi dalam konvenan-kovenan /instrumen pokok hak asasi perempuan yang telah diratifikasinya yaitu Kovenansi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW (UU No.7 tahun 1984), Kovensi mengenai Hak Sipil dan Politik (UU No.12 tahun 2005), Konvensi mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU No.11 tahun 2005) dan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial (UU No. 29 tahun 1999) dengan tetap memberlakukan pembatasan-pembatasan hak asasi perempuan berdasarkan hukum.
Oleh karena itu LRC-KJHAM mendesak kepada Pemerintah RI untuk ;
1. Mencabut dan mengamandemen segala peraturan perundangan nasional yang mengurangi serta membatasi hak asasi dan kebebasan dasar perempuan.
2. Menghapus prasangka-prasangka yang didasarkan atas stereotype peranan laki-laki dan perempuan baik oleh aparat pemerintah maupun oleh masyarakat.
3. Menciptakan mekanisme legal untuk memastikan tidak terjadinya tindakan-tindakan ilegal /diskriminasi terhadap perempuan terutama yang dilakukan oleh aparat negara /pemerintah dan dalam program-program pembangunan nasional.
4. Segera tanpa ditunda-tunda untuk meratifikasi Konvensi mengenai Perlindungan Buruh Migrant dan Keluarganya untuk menjamin dan memastikan setiap hak asasi perempuan yang menjadi TKW dapat dinikmati berdasarkan persamaan hak atas laki-laki.
5. Agar terus menerus untuk menjalankan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan untuk memastikan bahwa perempuan menikmati hak yang sama atas kesejahteraan yang mengurangi kerentanan perempuan atas kekerasan berbasis gender.
6. Segera menyusun dan menetapkan peraturan perundangan nasional tentang PUG untuk meningkatkan pemajuan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia terutama hak asasi dalam pembangunan.
7. Segera tanpa ditunda-tunda, agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak di Jawa Tengah dengan memastikan segala ketentuan didalamnya memenuhi hak atas standart yang setinggi-tinggianya atas hak asasi perempuan dan anak perempuan. Penundaan terhadap Raperda tersebut adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asasi perempuan korban kekerasan. Dan setiap pengabaian hak asasi perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.


LRC-KJHAM Semarang
Jl. Panda Barat III/1 Semarang (024) 6723083.

Baca Selengkapnya »»