Dalam rangka ;
Memperingati 10 Desember Sebagai Hari HAM Internasional
Negara Terus Menerus Mengabaikan Hak Asasi Perempuan
Serta Memperkuat Diskriminasi terhadap Perempuan Berdasarkan Hukum
Dalam kurun waktu 12 bulan, selama bulan Nopember 2007 – Oktober 2008, LRC-KJHAM telah mencatat sedikitnya terdapat 383 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Jawa Tengah, dengan 1017 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender dan sedikitnya tercatat 39 perempuan korban kekerasan tersebut meninggal dunia akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya.
Dari 383 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat tersebut, kasus yang paling tinggi adalah kasus perkosaan ; dengan jumlah 117 kasus, 153 korban (setidaknya 3 perempuan korbanya meninggal) dan 206 pelaku perkosaan. Kemudian kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ; tercatat 104 kasus, 234 korban (9 perempuan korban meninggal akibat sadisnya KDRT), dan 235 pelaku KDRT. Selanjutnya tercatat pula kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 54 kasus, 57 korban (setidaknya 3 perempuan korbanya meninggal, juga akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya) dan 56 pelaku. Tercatat pula kasus pelecehan seksual dengan jumlah ; 6 kasus, 6 korban dan 6 pelaku. Kemudian kasus kekerasan /pelanggaran hak-hak buruh migran perempuan /TKW dengan jumlah ; 37 kasus, 114 korban/TKW (setidaknya 15 perempuan korbanya meninggal). Tercatat juga kasus kekerasan /pelanggaran terhadap perempuan prostitut dengan jumlah ; 51 kasus, 418 korban (setidaknya 8 korbanya meninggal). Selain itu juga tercatat kasus perdagangan perempuan dengan jumlah ; 14 kasus, 33 perempuan korban yang pelakunya terdiri dari korporasi /lembaga dan perorangan baik sebagai aparat pemerintah maupun bukan aparat pemerintah.
Kota Semarang tercatat sebagai daerah di Jawa Tengah dengan kasus KTP paling tinggi yaitu 92 kasus, kemudian Kota Surakarta tercatat 24 Kasus dan Kabupaten Semarang tercatat 22 kasus.
Modus dan bentuk-bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008, memperlihatkan adanya sadisme dan kebencian terhadap perempuan. Bagian tubuh perempuan yang menjadi target serangan kekerasan juga pada bagian-bagian yang membahayakan nyawa (mematikan) seperti kepala, leher, dada dan perut. Alat yang dipergunakan pelaku juga memperlihatkan alat-alat yang membahayakan, seperti racun, pisau dapur, gunting, palu, minyak tanah, bensin, alat pembersih lantai, tali, balok kayu dan sebagainya. Waktu dan tempat kejadian /kasus kekerasan juga menyulitkan korban untuk mendapatkan pertolongan, seperti pada waktu /jam 21.00 – 01.00 dini hari atau pada waktu /jam 09.00 – 16.00, sehingga dampak yang diderita perempuan korban kekerasan begitu sangat besar yang mengancam hak hidupnya. Inilah sebabnya, jumlah perempuan yang meninggal akibat KTP begitu besar, selain dikarenakan faktor lemahnya mekanisme perlindungan legal dari Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana tergambar pada salah satu kasus KDRT di Kabupaten Kudus, dimana suami meracun isterinya hingga meninggal karena menolak dipoligami. Juga tercatat kasus perkosaan di Kabupaten Karanganyar, dimana ayah tiri membekap anaknya dengan kain yang diberi alat pembersih lantai hingga pingsan, kemudian diperkosa dan dibuang ke sungai dan meninggal.
Fakta-fakta yang tercatat tersebut membuktikan bahwa kekerasan berbasis gender yang terus menerus dialami perempuan terbukti menghambat dan merampas penikmatan serta penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan dasar perempuan atas dasar persamaan hak dengan laki-laki sebagaimana dilindungi dan dijamin oleh ketentuan-ketentuan hak asasi manusia internasional.
Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan penghambat bagi tercapainya sasaran-sasaran persamaan, pembangunan dan perdamaian yang membuktikan suatu manifestasi adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat yang hakekatnya merupakan kontrol kepada perempuan yang menghambat mobilitas perempuan dalam mendapatkan sumberdaya-sumberdaya dan untuk melakukan kegiatan dasariahnya.
Dalam situasi dimana perempuan terus mengalami perampasan hak asasi dan kebebasan dasarnya, Negara justru semakin memperkuat diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan hukum dengan masih diberlakukannya ketentuan-ketentuan perundangan nasional yang mendiskriminasikan perempuan serta belum adanya ketentuan perundangan nasional yang tepat dan efektif untuk menjamin dan memastikan setiap hak asasi manusia dapat dinikmati dan digunakan oleh perempuan terutama perempuan korban serta untuk memastikan setiap pelaku pelanggaran HAM perempuan dapat diajukan ke pengadilan yang kompeten untuk diadili dan dihukum.
Rangkaian fakta KTP dan pelangaran hak asasi perempuan korban kekerasan sebagaimana tersebut diatas, membuktikan bahwa Pemerintah RI telah melanggar hak asasi perempuan sebab terbukti sengaja tidak menjalankan perintah hak asasi dalam konvenan-kovenan /instrumen pokok hak asasi perempuan yang telah diratifikasinya yaitu Kovenansi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW (UU No.7 tahun 1984), Kovensi mengenai Hak Sipil dan Politik (UU No.12 tahun 2005), Konvensi mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU No.11 tahun 2005) dan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial (UU No. 29 tahun 1999) dengan tetap memberlakukan pembatasan-pembatasan hak asasi perempuan berdasarkan hukum.
Oleh karena itu LRC-KJHAM mendesak kepada Pemerintah RI untuk ;
1. Mencabut dan mengamandemen segala peraturan perundangan nasional yang mengurangi serta membatasi hak asasi dan kebebasan dasar perempuan.
2. Menghapus prasangka-prasangka yang didasarkan atas stereotype peranan laki-laki dan perempuan baik oleh aparat pemerintah maupun oleh masyarakat.
3. Menciptakan mekanisme legal untuk memastikan tidak terjadinya tindakan-tindakan ilegal /diskriminasi terhadap perempuan terutama yang dilakukan oleh aparat negara /pemerintah dan dalam program-program pembangunan nasional.
4. Segera tanpa ditunda-tunda untuk meratifikasi Konvensi mengenai Perlindungan Buruh Migrant dan Keluarganya untuk menjamin dan memastikan setiap hak asasi perempuan yang menjadi TKW dapat dinikmati berdasarkan persamaan hak atas laki-laki.
5. Agar terus menerus untuk menjalankan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan untuk memastikan bahwa perempuan menikmati hak yang sama atas kesejahteraan yang mengurangi kerentanan perempuan atas kekerasan berbasis gender.
6. Segera menyusun dan menetapkan peraturan perundangan nasional tentang PUG untuk meningkatkan pemajuan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia terutama hak asasi dalam pembangunan.
7. Segera tanpa ditunda-tunda, agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak di Jawa Tengah dengan memastikan segala ketentuan didalamnya memenuhi hak atas standart yang setinggi-tinggianya atas hak asasi perempuan dan anak perempuan. Penundaan terhadap Raperda tersebut adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asasi perempuan korban kekerasan. Dan setiap pengabaian hak asasi perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
LRC-KJHAM Semarang
Jl. Panda Barat III/1 Semarang (024) 6723083.
[12.54
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang