Oleh Evarisan
Sudah banyak kasus penyiksaan, penganiayaan bahkan sampai ada buruh yang meninggal di luar negeri. Ironisnya, hal itu selalu terulang dan terulang.
Kasus yang terbaru dialami oleh Siti Hajar buruh migran asal Jawa Barat yang dianiaya oleh majikannya di Malaysia.
PEMERASAN terhadap ”pahlawan devisa” kita ternyata tidak mengenal ruang dan waktu. Tidak sekadar setelah mereka sampai di negara tujuan. bahkan ketika masih di Indonesia pun kerap menjadi korban kekerasan fisik dan psikis.
Cerita sedih itu juga saya temui bersama Prof Agnes Widanti di Bandara 3 Internasional yang belum lama diresmikan oleh SBY. Saat itu, saya dan Prof Agnes Widanti baru pulang dari sidang judicial review atas UU Pornografi no 44 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum pidana berperspektif gender sementara saya sebagai salah satu pemohon judicial review bersama beberapa jaringan lainnya.
Saat itu, kami menjumpai tiga buruh migran yang baru saja pulang dari negara tempat mereka bekerja. Terjadilah perkenalan tanpa disengaja itu. Tujuan awalnya adalah untuk meminta tanda tangan kartu pos. Itu untuk mendesak Pemerintah Indonesia mengesahkan Konvensi 1990 tentang perlindungan buruh migran dan Keluarganya. Pengumpulan 5000 tanda tangan itu diprakarsai oleh Komnas Perempuan.
Usai perkenalan singkat itu berlanjut pada obrolan ringan seputar pengalaman mereka selama di negara penempatan, yaitu Arab Saudi. Salah satu dari mereka cukup terbuka dan antusias dengan kehadiran kami. Sebut saja namanya Ibu Y asal Demak. Dia telah bekerja 3 tahun 8 bulan. Di sana dia melayani pasangan suami-istri berikut 9 anak majikan. Sebuah pekerjaan yang mahaberat tentunya. Menurutnya mengurus 8 anak di Arab Saudi sama dengan mengurus 50 orang Indonesia. Pekerjaan yang seharusnya dilakoni oleh sedikitnya 5 orang pembantu.
Bisa dibayangkan, betapa berat tanggungan kerja yang dilakukan. Jam tiga pagi, dia sudah harus menyiapkan sarapan sambil bersih-bersih. Sehabis itu, ketika anak-anak bangun, harus dimandikan satu per satu, memakaikan baju, mengambilkan sarapan hingga mereka siap ke sekolah.
Pekerjaan selanjutnya mengepel rumah yang sangat besar dan bertingkat. Membersihkan kamar tidur. Kamar mandi. Menyiapkan makan siang. Makan malam dan lain sebagainya. Praktis, waktunya habis untuk mengerjakan tata laksana rumah tangga si bos tanpa istirahat.
Tapi menurutnya, itu belum seberapa. Yang lebih parah adalah saat bulan Ramadan ketika dia cuma punya waktu tidur satu jam sehari, bahkan tidak tidur sama sekali. Di bulan puasa, jam kerjanya justru semakin panjang karena mempersiapkan buka puasa menjelang maghrib dan menyiapkan makan sahur. Berapa gaji yang diterima dengan pekerjaannya itu? ”800 real,” katanya. Nilai ini setara dengan 1.2 juta rupiah. Penghasilannya tersebut dia kirim kepada keluarganya di kampung halaman.
Sapi Perah
Adakah lagi yang ironis dari penderitaan seorang buruh migran? Masih banyak. Karena ternyata penderitaan itu tidak hanya sewaktu mereka berada di tempat tujuan, tetapi di rumahnya. Keluarganya menantikan real, ringgit, atau dollar. Para buruh migran tak ubahnya sapi perah bagi keluarga.
Pengalaman ibu Y yang bekerja di Arab Saudi menjadi tumpuan ekonomi sembilan saudara laki-lakinya. Mereka tega menggerogoti kekayaannya. Modusnya, anaknya di minta kakak laki-lakinya untuk tinggal bersama mereka agar gampang meminta uang kepadanya. Berbagai alasan dikemukakan untuk mendapatkan uang kiriman dari negeri gurun sahara; mulai anaknya minta jajan sepuluh ribu sehari hingga minta dibelikan motor.
Sebagai ibu yang sangat sayang kepada anaknya, permintaan kakaknya dipenuhi. Namun lama-lama, ibu ini curiga karena setiap kali mau bicara langsung dengan anaknya itu tidak diperbolehkan. Padahal ia ingin mengobati rasa kangen terhadap anaknya lewat bicara, meski lewat telepon saja. Lalu, pada saat ibu Y ini menanyakan uang kirimannya itu apakah sudah dibelikan sawah, tanah, atau rumah, dijawab: ”Belum dapat apa-apa”. Sedihnya lagi, suaminya dibiarkan dan tidak pernah ikut merasakan manisnya real hasil kerjanya.
Pengalaman buruk lain dialami W. Kedua majikannya adalah Guru. Ibu W tidak finish kontrak. Dia hanya bertahan 1 tahun 3 bulan. Bekerja selama itu tidak mendapat apa-apa, bahkan untuk tiket pulang, dia beli sendiri. Padahal, di sana, ia merawat lima anak dan sepasang suami-istri sebagaimana Ibu Y. Kerja yang dilakukan tidak sesuai kontrak kerja. Namun ia masih beruntung karena memiliki empat jam sehari untuk istirahat. Hal yang tidak disukai di tempat kerjanya adalah kebiasaan majikan laki-lakinya yang sering melakukan pelecehan seksual.
Peran Negara
Pemerintah atau negara tidak seharusnya diam melihat berbagai penindasan atau tindakan tidak manusiawi yang dialami buruh migran di luar negeri. Peran itu tentunya tidak hanya dengan membuat UU yang melindungi buruh migran seperti UU No 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, tetapi juga mengawal pelaksanaan UU tersebut.
Wajar kalau kita merasa pesimis terhadap komitmen negara dalam melindungi buruh migran di luar negeri. Karena sudah banyak kasus penyiksaan, penganiayaan bahkan sampai ada buruh yang meninggal di luar negeri. Ironisnya, hal itu selalu terulang dan terulang. Kasus yang terbaru dialami oleh Siti Hajar Buruh Migran asal Jawa Barat yang dianiaya oleh majikannya di Malaysia.
Sebagai negara pengirim buruh migran yang cukup besar, berdasarkan data Komnas Perempuan, diperkirakan setiap tahun mencapai lebih dari 600.000 tenaga kerja. Itu sudah seharusnya diimbangi memberikan perlindungan yang memadai. Negara harus menjamin keterpenuhan hak-hak buruh migran, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan penempatan.
Berbagai kasus penganiayaan dan penindasan terhadap buruh migran semoga tidak hanya menjadi komoditas politik belaka. Itu haruslah dilihat sebagai persoalan kemanusiaan yang harus disikapi secara tegas agar nasib buruk yang menimpa buruh migran kita tidak berulang. Negara harus melindungi keberadaan mereka sebagai warga negara yang sepatutnya mendapat perlindungan. Ratifikasi terhadap Konvensi 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sangat mendesak. (80)
—Evarisan, SH, MH, Direktur LRC-KJHAM Semarang
Pernah Dimuat di Suara Merdeka 19 Juni 2009
[13.08
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang