Absenya Tanggungjawab Negara
Fatkhurozi
(Kabag Operasional LRC-KJHAM Semarang)
Sepanjang sejarah peradaban manusia selalu mencatat adanya pengingkaran terhadap hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, bahkan oleh gerakan HAM itu sendiri yang pada umumnya didominasi oleh kaum pria. Tiga peristiwa besar yang mempengaruhi perkembangan HAM terutama konstribusinya terhadap kategorisasi hak asasi (three generation of human rights) yaitu Revolusi Perancis, Revolusi Sosialis dan proses dekolonisasi juga mengabaikan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia.
Revolusi Perancis misalnya, meskipun melibatkan partisipasi aktif dari ribuan perempuan untuk menggulingkan monarkhi dan melahirkan Deklarasi Revolusi Perancis mengenai Hak-hak Manusia (man rights) dan Warganegara, tetapi Deklarasi tersebut telah mengebiri atau tidak memasukkan hak-hak perempuan sebagai hak-hak manusia, karena pengertian manusia saat itu adalah manusia yang laki-laki (man), sehingga Deklarasi Revolusi Perancis hanya mengatur hak-hak manusia laki-laki. Seorang revolusioner perempuan Perancis yang bernama, Olympe de Gouges kemudian memproklamasikan ‘Hak Perempuan dan Warganegara Perempuan’ untuk mengimbangi Deklarasi Revolusi Perancis mengenai Hak-hak Manusia (laki-laki) dan Warganegara. (Elizabeth Kingdom, ‘Gendering Rights’, Women’s Rights and the Rights of Man, Aberdeen University Press, 1990).
Hingga lahirnya Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusi pada tahun 1948, kemudian Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW pada tahun 1979 dan Deklarasi PBB mengenai HAM di Wina tahun 1993 yang menegaskan bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, tak serta merta mampu menghapuskan diskriminasi terhadap pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pememuhan hak asasi manusia perempuan di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Pelanggaran Hak Terus Berlangsung
Sejak tahun 1984, Pemerintah RI telah meratifikasi 4 konvenan dari 7 konvenan pokok hak asasi perempuan, yaitu Kovenan CEDAW melalui UU No.7/1984, Kovenan mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial melalui UU No.29/1999, Konvenan mengenai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya /ICESCR melalui UU No.11/2005 dan Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik /ICCR melalui UU No.12/2005.
Pasal 3 CEDAW, ICCR dan ICESCR secara tegas memerintahkan Negera peserta untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memastikan pelaksanaan pemenuhan hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam konvenan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Namun faktanya masih terus ditemukan pembatasan, pengurangan dan perampasan hak asasi perempuan di Indonesia.
Salah satu buktinya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan /KtP yang terus meningkat. Di Jawa Tengah saja sejak tahun 2006 telah tercatat 2633 kasus KtP dengan 7804 korban dan 125 korbanya meninggal dunia akibat sadisnya kekerasan yang dialaminya (Laporan LRC-KJHAM 2008).
Meski kasus dan korban meningkat namun belum terdapat perlindungan hukum yang tepat dan efektif. Ruang lingkup pemidanaan dan aturan pembuktian kasus KtP juga masih bertentangan dengan perintah Konvenan Hak Asasi yang mengakibatkan ketidakmampuan hukum nasional untuk melindungi korban dan untuk menyelidiki, mengadili serta menghukum pelakunya melalui pengadilan yang kompeten. Bahkan terdapat beberapa jenis /bentuk KtP yang tidak memiliki jaminan perlindungan hukum, seperti kekerasan yang terjadi dalam relasi intim diluar /sebelum perkawinan (kekerasan dalam relasi pacaran), pelecehan seksual dan perkosaan.
Dalam KUHP maupun dalam ketentuan perundangan nasional lainya tentang kejahatan terhadap perempuan tidak mengatur ketentuan tentang kekerasan dalam relasi pacaran bahkan dalam UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pada hal kekerasan tersebut dalam rumpun KtP dikategorisasikan sebagai kekerasan dalam wilayah domestik. Demikian pula dengan pelecehan seksual dan perkosaan, terdapat perbedaan unsur dan ruang lingkup yang sangat jauh dengan norma hak asasi Internasional sehingga beberapa kasus tidak dapat diajukan ke persidangan di pengadilan.
Akibatnya perempuan semakin rentan dan kekerasan terus meningkat. Hak-hak asasi yang fundamental pun terampas seperti hak hidup, hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak untuk terbebas dari penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi /sewenang-wenang atau merendahkan mertabat, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun, hak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional yang kompeten, hak untuk bebas bergerak, dan hak atas akses yang sama untuk memperoleh layanan umum.
Fakta ini semakin mempertegas Rekomendasi Umum PBB No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasan dasarnya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Gagal Realisasikan Tanggungjawab
Dengan demikian Pemerintah telah gagal untuk merealisasikan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagaimana diperintahkan pasal 1 – 5 CEDAW untuk menerapkan prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia, menempuh langkah-langkah konstitusional, legal dan administratif yang tepat untuk menjamin kesetaraan perempuan dengan laki-laki, menyediakan mekanisme remedies (pemulihan) serta sanksi-sanksi bagi tindakan diskriminasi publik maupun pribadi dan untuk menarik (repeal) perundang-undangan yang diskriminatif serta mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan praktek-praktek dan stereotype yang beresiko mengancam ataupun benar-benar mengancam dinikmatinya hak asasi oleh perempuan.
Pemerintah Indonesia juga gagal menjalankan Resolusi Komisi HAM PBB tahun 1994/45 yang menyatakan Pemerintah bertanggungjawab atas tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh perorangan, serta gagal menjalankan prinsip-prinsip Nuremberg, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasinal bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
Kegagalan-kegagalan tersebut terjadi salah satunya dikarenakan Pemerintah Indonesia tidak serius menjalankan prinsip, ‘to the maximum available resources’, ‘achieving progressively the full realization’, dan ‘by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures’ dalam menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah sengaja tidak menjalankan dan tidak memenuhi hak-hak asasi perempuan. Setiap pengabaian dan kesengajaan untuk mengurangi, membatasi dan menghilangkan hak asasi perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
[18.09
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang