Sebagai pribadi yang dilahirkan dan dibesarkan di Pesantren salaf yang kuat dengan tradisinya. Gus Dur cukup berhasil memposisikan antara agama dengan pemikiran-pemikiran modern dan isu-isu kemanusiaan global seperti perdamaian, kemiskinan, pluralisme, demokrasi dan HAM. Menurutunya tidak ada pertentangan antara nilai-nilai agama dengan nilai-nilai universal HAM. Dengan demikian ketaqwaan /atau kepatuhan sesesorang terhadap nilai dan ajaran agamanya secara otomatis akan diikuti dengan penghormatan setinggi-tingginya terhadap nilai-nilai HAM. Disinilah visi agama sebagai rahmatal lil alamin atau pembawa manfaat, kebaikan, kesejahteraan dan perdamaian bagi seluruh alam, seluruh mahluk termasuk seluruh umat manusia (universal) mampu dijabarkan dan dijalankan tanpa harus melakukan tindakan-tindakan pemaksaan dan kekerasan yang dibenci agama.
Gus Dur mampu mencapai tingkat pemahaman yang utuh –tidak terpisah-pisah terhadap nilai-nilai HAM dan konsisten (istiqomah) dalam pemikiran dan tindakan perjuanganya. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia melihatnya secara parsial, sehingga yang terlihat dari sosok Gus Dur hanyalah peduli terhadap masalah-masalah perdamaian, pluralisme, demokrasi dan pembelaan kaum minoritas ansih. Pada hal ia juga memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Gus Dur juga berupaya merealisasikan pemikiran-pemikiran tersebut melalui tindakan-tindakan kongkret pembelaan hak asasi perempuan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tindakan-tindakan tersebut, diantaranya ; (i) Penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (RUU KdRT) yang selanjutnya disyahkan pada era pemerintahan Megawati; (ii) Perlawananannya terhadap poligami dan penggunaan Al-Qur’an /agama untuk pembenaranya dan mengatakan orang yang berpoligami adalah orang yang tidak paham Al-Qur’an; (iii) Perlawanannya terhadap fatwa haram tentang kepimpinan perempuan termasuk presiden perempuan; (iv) Penerapan kebijakan affirmative action untuk perempuan utamanya di partai politik yang didirikannya; (v) Bersama isterinya mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati untuk pemberdayaan dan perluasan wacana kesetaraan hak perempuan; (vi) Penolakannya terhadap peraturan-peraturan daerah /perda yang mengkriminalkan tubuh perempuan, misalnya keharusan perempuan termasuk non muslim menutup aurat dan memakai jilbab, larangan keluar malam bagi perempuan; (vii) Mendorong dilakukanya dekonstruksi penafsiran terhadap teks-teks keagamaan /Islam yang melanggar atau berpotensi melanggar hak asasi perempuan utamanya menyangkut masalah relasi perempuan dengan laki-laki di sector domestic dan masalah kepemimpinan perempuan; (viii) pembelaanya terhadap upaya kriminalisasi hak politik, sosial dan budaya Inul Daratista; (ix) Pembelaanya terhadap perjuangan perempuan korban 1965; (x) Penolakanya terhadap UU tentang Pornografi dan Pornoaksi.
Pemikiran dan tindakan nyata tersebut adalah bukti bahwa Gus Dur adalah pembela hak asasi perempuan dan bagian dari gerakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Nilai-nilai keadilan gender tersebut patut untuk terus dipromosikan dan dilanjutkan oleh siapa saja, termasuk pemimpin negara, para tokoh agama dan generasi muda baik dari kalangan Muslim, Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu maupun aliran kepercayaan.
Melalui Peringatan 7 Hari Wafatnya Gus Dur dengan ‘Doa Lintas Iman” ini, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak hendak mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa melanjutkan dan melaksanakan pemikiran-pemikiran almarhum utamanya dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia baik yang terjadi di wilayah domestic maupun public jauh lebih penting ketimbang sibuk membicarakan soal pengharggan untuk Gus Dur. Sesegera mungkin Pemerintah RI mengambil tindakan untuk mengamandemen segala peraturan kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah yang mendiskriminasikan perempuan serta mengambil tindakan nyata dan tepat untuk percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan atau percepatan kesetaraan gender yang diwujudkan dalam agenda-agenda pembangunan nasional dan daerah. Tindakan ini perlu dan penting untuk segera dilakukan sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai keadilan gender yang telah diperjuangkan almarhum Gus Dur.
Semarang, 5 Januari 2009.
Koordinator Aksi
Prof. Agnes Widanti, SH.,MH
[16.17
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang