I. Pendahuluan
Budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan telah menjadi akar dari kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan. Hampir setiap hari perempuan harus berhadapan dengan pandangan yang misoginis, tindakan yang diskriminatif, pengalaman kekerasan, ketertindasan dan berbagai ketidakadilan atas dasar perbedaan laki-laki dan perempuan, berakibat pada hilangnya martabat kemanusiaan dari perempuan.
Perjuangan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan membutuhkan waktu yang panjang, yakni sejak munculnya gerakan perempuan pada tahun 1800an, sebagai reaksi atas situasi mayoritas perempuan yang masih buta huruf, miskin, dan tidak memiliki keahlian. Hal ini dikarenakan budaya yang memusuhi perempuan mengakar hampir disetiap budaya, dan setiap jaman. Parahnya lagi perjuangan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, melawan perbudakan, eksploitasi, kolonialisme tidak pernah dianggap sebagai gerakan hak asasi. Hal tersebut terus terjadi sampai dengan diselenggarakannya Konferensi Dunia PBBmengenai Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993, yang secara tegas diakuinya hak asasi perempuan sebagai hak asasi perempuan. segala bentuk diskriminasi, penindasan dan pelanggaran terhadap hak perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada konferensi dunia tersebut juga menekankan pentingnya melakukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Meski penegasan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia baru muncul pada tahun 1993, namun sesungguhnya telah terdapat instrumen HAM Internasional yang mengatur persoalan diskriminasi yang dialami perempuan yang dikenal dengan CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang lahir pada tahun 1979. Adapun persoalan Kekerasan terhadap Perempuan secara khusus dibahas dalam Rekomendasi Umum No. 19 CEDAW yang menyebutkan bahwa „kekerasan berdasarkan gender merupakan suatu bentuk diskriminasi yang secara serius menghambat kemampuan perempuan untuk menikmati hak dan kemerdekaannya atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi CEDAW ke dalam peraturan perundang-undangan melalui UU No.7 Tahun 1984, dengan demikian pemerintah Indonesia memegang tanggungjawab penuh atas terpenuhinya hak-hak perempuan sebagaimana terdapat dalam konvensi.
Merespon persoalan kekerasan terhadap perempuan tersebut LRC-KJHAM sebagai lembaga yang konsern dalam mendorong penghormatan hak asasi perempuan telah melakukan monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan dan mendokumentasikannya dari media massa maupun kasus masuk yang didampingi.Adapun tujuan dari monitoring kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut diantaranya adalah (1) Memberikan gambaran menyangkut situasi pemenuhan dan pelanggaran HAM yang dialami perempuan korban kekerasan (baik perempuan korban Perkosaan, Pelecehan Seksual, KDRT, KDP, Trafiking, Kekerasan terhadap Buruh Migran, maupun kekerasan terhadap Perempuan Prostitut). (2) Memberikan gambaran menyangkut dampak tindak pelanggaran HAK ASASI MANUSIA bagi perempuan korban kekerasan, (3) Menyampaikan rekomendasi penting berdasarkan instrumen HAM Internasional dan Nasional menyangkut perlindungan efektif yang perlu dibangun dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, dan upaya pemenuhan hak asasi lainnya, serta merekomendasikan berbagai upaya pencegahan tindakan pelanggaran HAM pada perempuan
Sementara dalam melakukan monitoring kasus kekerasan berbasis gender, berikut pelanggaran hak asasinya, LRC-KJHAM menggunakan metode pengumpulan data dan fakta melalui (1) Pengumpulan data kasus yang masuk ke LRC KJHAM, 4 PPTK, Hotline dan Kasus dari Media, (2) Pengumpulan data pendukung, berupa materi tertulis, kliping media, aturan hukum yang berkaitan dengan sasaran pantauan. Adapun wilayah monitoring adalah seluruh Kabupaten / Kota di Jawa Tengah.
II. Meningkatnya Intensitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap perempuan
Kasus KDRT
Kasus Kekekerasan berbasis Gender yang dipantau oleh LRC-KJHAM adalah (1) Kasus Kasus KDRT (2) Kasus KDP (3) Kasus Perkosaan (4) Kasus Pelecehan Seksual (5) Kasus Kekerasan terhadap Buruh Migran (6) Kasus Perdagangan Anak dan Perempuan dan (7) Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Prostitut. Dari jenis kasus yang dipantau oleh LRC-KJHAM, masing-masing menunjukkan kekhasan modus kekerasan.
Kasus KDRT mencapai 197 kasus dengan 227 perempuan menjadi korban dan 227 laki-laki menjadi pelaku. Dari jumlah korban terdapat 10 perempuan yang meninggal dunia karena dibunuh oleh suaminya, mereka ditebas, ditusuk, dicekik, diparang bahkan dimutilasi. Beberapa kekerasan fisik yang diterima korban juga dilakukan dengan cara yang amat kejam seperti disayat/disilet, disiram dengan air panas, disiram dengan air keras, dipukul dengan pipa besi bahkan dibakar. Perempuan korban KDRT juga diserang dengan secara psikologis dengan melakukan perselingkuhan.
Selain itu pada kelompok marjinal dan miskin, perempuan korban KDRT mengalami situasi yang terdesak terutama dengan situasi kemiskinan yang dialami oleh keluarga, karena pelaku cenderung memilih meninggalkan korban dengan meninggalkan korban, menceraikan korban, menekan korban bahkan membunuh korban. Sementara pada kelas menengah keatas, korban KDRT justru rentan menjadi korban kriminalisasi dari pelaku yang adalah tokoh masyarakat.
Kasus Perkosaan
Kasus Perkosaan tahun 2011 mencapai 140 kasus dengan 172 perempuan menjadi korban dan 182 orang pelaku, diantara korban terdapat 4 orang yang meninggal dunia. Dari 172 korban, tercatat 117 anak menjadi korban, yang terjadi hampir disetiap keberadaan anak, tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak perempuan. Mereka diperkosa dilingkungan bermain, di lingkungan sekolah, bahkan di dalam rumah mereka sendiri. Para pelaku adalah orang yang dekat dan sangat dikenal oleh korban, yakni ayah kandung, ayah tiri, guru olah raga, guru mengaji, tetangga, teman terdekatnya hingga perangkat desa dan perangkat kecamatan.
Apabila dilihat dari relasi pelaku dan korban, kasus perkosaan yang paling banyak menelan korban adalah pelaku yang dilakukan oleh pejabat publik / tokoh publik yakni sebesar 7 kasus, dengan 43 korban dan 9 pelaku. Menempati urutan selanjutnya adalah perkosaan yang dilakukan pada lingkungan yang dikenal korban seperti tetangga dengan 28 kasus, oleh 38 pelaku, yang mencapai hingga 32 perempuan dan anak menjadi korban. Adapun perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga seperti ayah tiri, ayah kandung, ayah angkat, paman yang mencapai 13 kasus dengan 13 korban dan 13 pelaku
Mengenai tempat kejadian perkosaan yang paling banyak justru ditempat teraman korban yakni dirumah korban / orang tua korban, disusul dirumah pelaku, dan beberapa kasus dilakukan dilahan yang kosong, persawahan yang kosong, kantor kecamatan yang belum berfungsi, dan diperkebunan. Fakta lokasi perkosaan yang mengejutkan justru terjadi dilingkungan sekolah, yakni di WC Sekolah, di kampus, dan beberapa tempat di sekitar sekolah tempat korban sekolah.
Perempuan korban perkosaan mengalami dampak yang serius seperti depresi berat dan berkepanjangan, mengalami cacat karena tulang pangkal pahanya lepas, mengalami kehamilan tidak dikehendaki, Seriusnya
dampak yang dialami korban tersebut, justru terdapat kasus-kasus yang didamaikan oleh polisi atau aparat desa yang menyebabkan banyak kasus perkosaan tidak terungkap.
Kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Kasus Kekerasan dalam pacaran (KDP) Di Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 137 Kasus dengan 139 perempuan menjadi korban 5 diantaranya meninggal dunia. Catatan kasus tertinggi ada di Kota semarang sebanyak 26 Kasus. Kemudian Kab Sukoharjo 9 Kasus, 1 diantaranya meninggal dunia Kab. Demak terdapat 9 Kasus, dan Kabupaten Kendal 6 kasus, 1 diantaranya meninggal akibat kekerasan yang dialaminya dari pacarnya sewaktu menjadi TKW di Singapura.
Data Monitoring Kasus Kekerasan dalam Pacaran Periode laporan November 2010 – Oktober 2011 mencatat sedikitnya 6 perempuan menjadi korban aborsi tidak aman yang menyebabkan masalah yang serius pada kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu data juga mengungkap para perempuan korban KDP juga rentan dijadikan korban pornografi, mereka dipaksa, dibujuk, dirayu untuk melakukan hubungan hubungan seksula, selanjutnya proses hubungan seksual tersebut direkam melalui video lalu kemudian disebarkan oleh pelaku, atau pelaku melakukan pengacaman akan menyebar video hubungan intim pelaku dan korban yang terjadi sebelumnya, jika tidak mau melakukan hubungan seksual dengan pelaku
Kasus Pelecehan Seksual
Dari Data Monitoring LRCKJHAM setidaknya terdapat 5 kasus pelecehan seksual dengan 10 perempuan menjadi korban. Meski secara kuantitas kasus pelecehan seksual selalu terbilang rendah dibanding data kasus KBJ lainnya, bukan berarti kasus ini sedikit. Hal ini disebabkan sedikitnya korban yang mau melaporkan kasusnya akibat rasa malu dan dianggap sebagai aib. Selain itu pada kasus tertentu pelecehan seksual juga dianggap sebagai tindakan yang lumrah/wajar. Anggapan ini berkaitan dengan elemen / bentuk pelecehan seksual yang luas seperti yang tercatat dalam Manual Pencatatan Kasus Kekerasan Berbasis Gender di Jawa Tengah LRC-KJHAM mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual diantaranya1 dapat berupa siulan, kata-kata, komentar, bisikan maupun bentuk-bentuk lainnya seperti rabaan, usapan, colekan, yang menyasar pada tubuh perempuan dan mengarah pada hubungan seksual, termasuk diantaranya meraba payudara, kemaluan/alat kelamin perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan dari laki-laki, ataupun menciumi tubuh perempuan. Data Monitoring LRC-KJHAM 2011 menemukan kasus pelecehan seksual yang justru dilakukan oleh tokoh publik, yakni Ketua RT dan Guru.
Kasus Kekerasan Buruh Migran
Kekerasan terhadap buruh migran asal Jawa Tengah terjadi pada pra keberangkatan, di penampungan, di negara tujuan, hingga kepulangan menunjukkan peningkatan secara drastis, dimana data pada tahun 2010 mencatat 46 kasus kekerasan buruh migran, dengan 51 perempuan buruh migran menjadi korban, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 107 kasus, dengan 169 korban diantaranya 21 perempuan meninggal dunia dan 13 perempuan dinyatakan hilang, 8 perempuan terancam hukuman mati/pancung baik di Arab Saudi maupun di Cina. Beberapa kasus lainnya diantaranya menjadi TKW Ilegal di Arab Saudi karena melarikan diri dari majikan setelah ada upaya perkosaan, tidak digaji selama bekerja 16 tahun, dan perlakuan yang tidak manusiawi. Kebanyakan korban kekerasan buruh migran adalah perempuan pedesaan yang berasal dari Cilacap, Banyumas, Grobogan dan Kendal.
Kasus Kekerasan terhadap Prostitusi
Kekerasan terhadap Perempuan Prostitut selalu mencapai jumlah yang dramatis, mereka mengalami kekerasan dari pelaku individual, kelompok, maupun negara. Teridentifikasi 60 korban adalah anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK dan 505 perempuan prostitut mengalami kriminalisasi. Persoalan kekerasan terhadap prostitut juga belum lepas dari pandangan moralitas yang direduksi pada persoalan tubuh perempuan, dan dikukuhkan melalui PERDA-PERDA diskriminatif yang menempatkan prostitut sebagai pelaku kriminal. Data juga menunjukkan sedikitnya 30 prostitut di Kota Semarang mengalami penyakit kelamin dan 2 prostitut dari pekalongan terkena HIV AIDS. Begitu halnya kasus perdagangan perempuan, dari 20 kasus terdapat 57 korban, diantaranya 17 korban adalah anak-anak.
Kasus Trafiking
Kasus perdagangan perempuan dan Anak di Jawa Tengah sedikitnya terdapat 20 kasus trafiking terdapat 50 korban, diantaranya terdapat 17 korban adalah anak-anak. Mereka menjadi korban trafiking untuk tujuan eksploitasi seksual (dijadikan PSK) dan eksploitasi atas tenaganya (diiming-imingi menjadi TKW).
lebih lanjut silahkan buka website lrc-kjham di
www.lrc-kjham.org
[12.02
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang