‘ MENGEMBALIKAN HAK KONSTITUSIONAL PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN ‘
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional
Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah terus berlangsung hingga saat ini dan menujukkan kecenderungan yang terus meningkat tiap tahunnya. Data Monitoring LRC KJHAM tahun 2011 terhadap Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah, mencatat sedikitnya 1280 perempuan menjadi korban kekerasan, dan 40 korbannya meninggal dunia. Data tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2010 yang tercatat ada 1118 perempuan menjadi korban. Bahkan di awal tahun 2012 saja (Januari – Februari 2012) LRC-KJHAM telah mencatat 332 perempuan telah menjadi korban kekerasan di Jawa Tengah, dengan kasus yang paling tinggi adalah kasus perkosaan dan kriminalisasi terhadap perempuan prostitut. Dari data tersebut diatas, ditemukan berbagai kecenderungan kasus kekerasan yang terjadi di Jawa Tengah, diantaranya adalah (1) Kekerasan terhadap Perempuan dilingkungan Pendidikan / lembaga-lembaga pendidikan non formal berbasis Keagamaan (2) Kriminalisasi terhadap Perempuan Korban Kekerasan (3) Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam konteks perempuan desa dan migrasi.
Pada kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan pendidikan dan lembaga keagamaan, Data Monitoring LRC KJHAM mencatat 9 kasus kekerasan seksual telah terjadi di lingkungan pondok pesantren di Jawa Tengah, dengan 100 perempuan dan anak menjadi korban. Kecenderungan kasus ini dipicu oleh adanya pemahaman yang dangkal dalam menterjemahkan ajaran agama. Korban mempunyai hambatan serius dalam mengakses keadilan, diantaranya adalah sedikitnya korban yang mau melapor karena takut menanggung aib, ataupun adanya ancaman apabila melaporkan kasusnya, selain karena besarnya kekuasaan dan pengaruh ‘nama besar’ dari tokoh agama yang menyebabkan penanganan yang tertutup. Data Kasus Masuk LRC KJHAM juga menengarahi adanya kecenderungan kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, diantaranya 7 perempuan korban kekerasan berbasis gender yang melaporkan kasusnya justru ‘terjebak’ kepada kriminalisasi terhadap dirinya. Pelaku yang merupakan tokoh publik sangat sulit dijerat hukum. Kasus yang semula melaporkan pelaku justru tidak terjamah sama sekali, dan beralih pada penyangkaan pasal terhadap korban, yang terkesan dipaksakan seperti ; pencemaran nama baik, pencurian ATM, penculikan anak, perusakan barang dan lain sebagainya. Sementara hambatan korban untuk mendapatkan keadilan harus berhadapan dengan birokrasi yang tidak berpihak pada korban, pengaruh kuat dari pelaku, ditambah institusi dimana pelaku dan korban bekerja yang justru melemahkan perjuangan korban untuk mendapat keadilan. Sementara itu kecenderungan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perempuan desa dan migrasi nampak pada data monitoring LRC KJHAM 2011 yang menyebutkan sedikitnya terdapat 107 kasus dengan 169 perempuan buruh migran asal jawa tengah mengalami kekerasan diantaranya 21 perempuan meninggal dunia, 13 dinyatakan hilang, dan 8 perempuan terancam hukuman mati. Kebanyakan korban kekerasan buruh migran asal jawa tengah tersebut adalah perempuan pedesaan yang berasal dari daerah kantong buruh migran seperti Cilacap, Banyumas, Wonosobo, Grobogan dan Kendal. Mereka menjadi agen penting dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga ketahanan pangan, namun dirugikan dan dikeluarkan dari pengambilan keputusan, serta menanggung beban yang tidak proporsional dari situasi pekerjaan yang buruk tanpa ada mekanisme yang tidak mampu melindungi mereka. Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar, dalam jumpa persnya saat menghadiri Sidang ke-56 Komisi Kedudukan Perempuan PBB di New York Amerika Serikat pada tanggal 27 Februari – 9 Maret 2012 dengan tema ‘”Peran Perempuan Perdesaan dalam Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan”. Beliau menyampaikan bahwa bangsa Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan dalam percepatan pemberdayaan perempuan pada pembangunan nasional.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan tidak seriusnya negara yang diwakili aparat pemerintah, aparat penegak hukum, institusi pendidikan dan pihak-pihak terkait dalam menegakkan terpenuhinya hak perempuan korban kekerasan atas pemulihan, kebenaran dan keadilan. Penanganan yang tidak utuh atas kasus kekerasan terhadap perempuan terbukti telah menyebabkan pengurangan, pengabaian, dan pelanggaran hak-hak konstitusional perempuan sebagaimana yang diakui dan dijamin dalam UUD 1945. Selain itu juga sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen negara untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, seperti yang dijanjikannya melalui UU No.7 Tahun 1984. Maka bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional ini, kami LRC KJHAM menyerukan kepada pemerintah sebagai pemegang sah tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi perempuan, untuk mengembalikan hak konstitusional perempuan korban kekerasan diantaranya dengan ;
1. Memastikan adanya penegakan hukum untuk memutus impunitas pelaku, terlepas dari pelaku yang merupakan tokoh agama, tokoh publik maupun tokoh masyarakat, guna terpenuhinya rasa keadilan dan kebenaran korban.
2. Memastikan Surat Keputusan Menteri KPPPA No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi Perempuan dan Anak korban dapat dijalankan dan diadopsi di seluruh tingkatan layanan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan untuk
3. menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan korban kekerasan serta memastikan berjalannya fungsi layanan terpadu bagi perempuan korban yang dapat menjangkau kelompok perempuan miskin, rentan dan marjinal.
4. Mengembangkan langkah-langkah khusus untuk pemenuhan hak asasi perempuan korban kekerasan dan diskriminasi, agar dapat mengakses layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pekerjaan yang terintegral dengan upaya pemulihan bagi korban.
5. Menerapkan sistem peradilan terpadu bagi perempuan korban kekerasan untuk memastikan peradilan cepat, nyaman dan menghormati hak asasi perempuan korban
6. Memastikan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dan memastikan proses revisi UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dapat merepresentasikan pemenuhan hak-hak buruh migran sebagaimana yang terdapat dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran.
[12.19
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang