| 0 komentar ]

Oleh : Donny Danardono

Saya telah menulis dua artikel yang, secara langsung dan tak langsung, menawarkan ide-ide pembentukan “mekanisme hukum nasional yang efektif bagi penyelesaian pelanggaran hak perempuan atas kesehatan”. Di situ saya mengusulkan mekanisme hukum khusus bagi penyelesaian kasus-kasus perempuan, yaitu mekanisme hukum berbasis gender. Sebuah mekanisme hukum yang menggabungkan pendekatan hukum formal dan metode peningkatan kesadaran (consciouness raising) perempuan korban.

Penggabungan itu penting, sebab tak semua perempuan korban diskriminasi gender dan seksualitas siap menggunakan norma hukum positif untuk menyelesaikan kasusnya. Mereka harus memerhatikan keunikan relasi gender, orientasi seksual, etnisitas, agama, status sosial, kelas atau nasionalisme (relasi-relasi kuasa) mereka dengan pelaku diskrimasi dan masyarakat sekitarnya. Mereka tak ingin diskriminasi gender dan seksualitas yang tengah mereka alami disusul oleh diskriminasi-diskriminasi berbasis etnis, agama atau status sosial.

Untuk itu para pendamping hukum, penegak hukum dan bahkan aparat kesehatan perlu menghapuskan dikotomi pandangan publik-privat, membentuk ruang-ruang hukum khusus di kepolisian, membentuk lembaga bantuan hukum khusus perempuan, dan membuatkan visum et repertum psikiatricum dan visum et repertum luka tubuh. Hanya dengan cara ini keunikan perempuan korban diskriminasi gender dan seksualitas bisa dipahami, dan kita tak lagi memikirkan sebuah mekanisme hukum baku untuk semua perempuan. Keunikan relasi kuasa antara perempuan korban, pelaku diskriminasi dan masyarakat telah mengakibatkan tak semua perempuan korban siap menerapkan norma hukum positif. Banyak juga yang menempuh mekanisme non-hukum.

Hal ini membuktikan, setidaknya dalam kasus-kasus perempuan, hukum bukan merupakan sebuah diskursus yang siap pakai. Hukum masih harus bersaing dengan diskursus lain, yaitu pengalaman pribadi perempuan korban dalam hal relasi gender, orientasi seksual, agama, etnisitas, status sosial, usia, kelas atau nasionalisme dengan pelaku kekerasan dan masyarakat sekitar. Bisa jadi perempuan itu lebih mementingkan perspektif diri dan orang-orang sekitarnya tentang relasi gender-etnisitas-agama tertentu, sehingga menganggap penyelesaian hukum atas diskriminasi gender yang ia alami akan menghasilkan diskriminasi etnis dan agama. Tentang hal ini Carol Smart― seorang penulis hukum post-modernisme Foucaultian dari Inggris―menulis:
If we accept that law, like science, makes a claim to truth and that this is indivisible from the exercise of power, we can see that law exercises power not simply in its material effects (judgements) but also in its ability to disqualify other knowledges and experiences. Non-legal knowledge is therefore suspect and/or secondary. Everyday experiences are of little interest in terms of their meaning for individuals.

UU Nomor 23 Tahun 2009:
Hegemoni Definisi dan Pelayanan Kesehatan Ketidaksiapan hukum, sebagai sebuah diskursus, untuk menyelesaikan berbagai kasus diskriminasi gender dan seksual membuat kita menunda anggapan konsep teori kontrak sosial klasik (Hobbes, Locke dan Montesquieu) dan kontemporer (Habermas) tentang hukum. Berbagai teori kontrak sosial itu menganggap hukum sebagai peredam dan penyelesai konflik. Hobbes, Locke dan Montesquieu menganggap tanpa negara dan hukum masyarakat akan terus berkonflik. “Homo homini lupus”, ujar Hobbes. Sementara Habermas mengatakan “hukum adalah perekat masyarakat majemuk. Karena ia dibentuk oleh para subyek hukum anggota masyarakat itu dan negara dalam sebuah komunikasi publik”.
Tapi―seperti yang dikatakan oleh Carol Smart―hukum tak selalu siap mendamaikan konflik, ia malah terus bersaing dengan norma-norma sosial lain (knowledges and experiences). Jadi seperti berbagai norma sosial lain, hukum adalah salah satu sumber konflik individu dan sosial. Di Indonesia hal ini bisa diketahui antara lain dari tak jelasnya patokan kedewasaan. Sebab UU Perkawinan, UU Lalu-Lintas, UU Perburuhan dan UU Perlindungan Anak menetapkan patokan berbeda-beda tentangnya.

Saya kira UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga berpotensi menimbulkan persoalan sosial dalam hal kesehatan.
UU Kesehatan ini memang lebih baik daripada UU Kesehatan yang sebelumnya. Ia setidaknya sudah memerhatikan kepentingan perempuan. Misalnya, UU ini membolehkan aborsi terhadap kehamilan karena perkosaan (Pasal 75 Ayat 2b). Sesuatu yang tak terbayangkan pada pasca perkosaan perempuan-perempuan Tionghoa atau yang diduga Tionghoa pada Mei 1998. Saat itu hanya sejumlah kecil pastor Katolik dan pendeta Protestan yang mengatakan, bahwa aborsi kehamilan, khususnya kehamilan karena perkosaan, adalah hak perempuan.
Kebaikan lain dari UU Kesehatan ini adalah anggapannya tentang kesehatan sebagai HAM (Bagian a “Menimbang”). Jadi ia menganggap manusia hanya bisa menjadi manusia bila sehat. UU ini juga mengatakan, bahwa pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dilaksanakan secara non-diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan (Bagian b “Menimbang). Jadi UU ini mewajibkan pemerintah, lembaga kesehatan dan masyarakat untuk tidak mendiskriminasikan seseorang berdasarkan gender, orientasi seksual, agama, status sosial, kelas, usia atau nasionalisme dalam hal pelayanan kesehatan dan berbagai kegiatan lain yang terkait dengan kesehatan. Ia bahkan meminta partisipasi warga.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Carol Smart, rupanya UU ini tidak bisa membebaskan diri dari persaingannya dengan norma-norma sosial lain yang terkait dengan gender, orientasi seksual, agama, status sosial, kelas, usia dan lain sebagainya. Contohnya: dalam Pasal 72 a UU ini secara diskriminatif hanya mengizinkan para “pasangan yang sah” untuk melakukan hubungan seksual dan reproduksi yang sehat, aman, dan bebas paksaan. Barang tentu yang dimaksud dengan “pasangan yang sah” adalah seperti yang ditetapkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jadi UU Kesehatan ini berpihak pada moralitas seksual puritan hetero-seksual dan pada enam agama resmi pemerintah, sehingga mendiskriminasikan kehidupan seksual kelompok gay, lesbian, pelacur, atau mereka yang tak bisa mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena menikah berdasarkan agama-agama yang tak diakui oleh pemerintah.
Persoalan lain adalah UU Kesehatan ini mengidap sebuah paradoks yang akan menyulitkan pelaksanaannya. UU ini tak tulus dalam menganggap kesehatan sebagai HAM. Sebab UU ini kesehatan mengaitkan konsep “kesehatan sebagai HAM” dengan kemanfaatannya, yaitu “dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional” (Bagian b “Menimbang”). Bahkan Pasal 3 UU ini menyatakannya secara lebih keras: “…sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, yakni menjadikan seseorang sebagai manusia berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang ditetapkan dalam Deklarasi Universal HAM dan berbagai instrumen internasional dan nasionalnya. Deklarasi Universal HAM dan berbagai instrumen internasional dan nasionalnya mewajibkan negara mewujudkan HAM itu. Sebaliknya UU Kesehatan ini, saya kira, dirumuskan berdasarkan filosofis negara fasis yang menganggap warganegara sebagai alat negara, bukan sebaliknya. Jadi UU Kesehatan ini menganggap yang sebenarnya punya kehidupan dan yang penting adalah negara, bukan warganegaranya.
Karena itu semangat fasistis UU ini tak terpisah dari cara mendefinisikan dan melaksanakan kesehatan (hidup sehat). Pasal 1 Ayat 1 UU ini mendefinisikan kesehatan seraya mengkaitkannya dengan asas manfaat di luar kesehatan atau di luar kemanusiaan (HAM) itu sendiri: “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
UU ini juga menetapkan Pemerintah sebagai pelaksana, pengawas dan pembina layanan kesehatan, fasilitas kesehatan, sumberdaya kesehatan, akses ke informasi kesehatan, upaya kesehatan, dan jaminan kesehatan (Pasal 14 – 20). Barang tentu untuk itu Pemerintah akan menyiapkan para konsultannya yang ahli di bidang kesehatan. Namun yang mencemaskan adalah UU ini memberi Pemerintah kesempatan untuk memonopoli definisi kesehatan (yang ternyata dirumuskan secara fasistis) dan menetapkan pemerintah sebagai “pembina” pelaksanaan hidup sehat warganegaranya. Tak tertutup kemungkinan bila suatu saat, atau barangkali sudah, Pemerintah hanya menjadi agen dari perusahaan-perusahaan farmasi dan rumahsakit-rumahsakit multi nasional. UU Kesehatan ini jauh dari semangat demokrasi.

Iatrogenic dan Kesehatan sebagai Virtue: Mempertimbangkan Ivan Illich
Ivan Illich (24 September 1926-2 Desember 2002) adalah pastor Katolik kelahiran Wina, Austria. Ia menempuh pendidikannya di Universitas Gregoriana, Roma dan memperoleh gelar doktor sejarah di Universitas Salzburg, Austria. di Pada 1951 ia mendapat tugas pastoral di Puerto Rico dan juga mengajar di Universitas Katolik Puerto Rico. Pada 1956 ia konflik dengan Uskup Puerto Rico yang melarang umat Katolik memilih seorang calon gubernur yang pro alat kontrasepsi. Akibatnya ia dipindah ke New York dan diangkat menjadi Uskup New York saat masih berusia 33 tahun.
Ivan Illich adalah seorang anarkis. Karya-karyanya mendorong orang untuk berpikir dan bertindak dengan menunda dan bahkan melampaui institusi-institusi sosial formal. Pada 1961 ia mendirikan “The Intercultural Centre for Documentation” di Mexico-city. Program lembaga ini adalah mengumpulkan berbagai informasi bagi masyarakat dan para tokoh masyarakat untuk mengurangi pengaruh budaya dan politik Amerika Serikat, sebuah program yang ia sebut sebagai “de-Yankification”. Lembaga ini berkembang menjadi semacam sekolah radikal yang membahas persoalan-persoalan Amerika Latin berdasarkan metode pendidikan—yang ia sebut sebagai— “dynamic group therapy”. Sebuah metode yang ia yakini bisa mengakhiri berbagai asumsi budaya imperalis.
Ia menulis sejumlah buku untuk mengakhiri, setidaknya mengurangi, ketergantungan individu dan masyarakat pada lembaga-lembaga formal seperti negara, hukum, sekolah dan rumah-sakit. Ia berharap individu dan masyarakat bisa mandiri mengupayakan berbagai kebutuhan hidupnya. Baginya berbagai lembaga sosial-formal hanya menghasilkan rasa tidak percaya individu dan masyarakat pada kemampuan sendiri dan berbagai bentuk kesenjangan sosial.
Dalam buku “De-schooling Society” (1971) ia menunjukkan betapa lembaga-lembaga pendirikan formal (sekolah dan universitas) sebenarnya hanya menghasilkan orang-orang yang tak terpelajar (unlearned) dan dengan demikian bodoh, karena tak bisa membedakan proses dari isi pelajaran, pengajaran dari belajar, peningkatan (grade advancement) dari pendidikan, ijazah dari kompetensi, atau kefasihan (fluency) dari kemampuan menyampaikan hal-hal baru. Mereka mengira, bahwa belajar sesuatu identik dengan sekolah di lembaga-lembaga pendidikan formal selama beberapa tahun dan dengan membayar mahal:

Many students, especially those who are poor, intuitively know what the schools do for them. They school them to confuse process and substance. Once these become blurred, a new logic is assumed: the more treatment there is, the better are the results; or, escalation leads to success. The pupil is thereby "schooled" to confuse teaching with learning, grade advancement with education, a diploma with competence, and fluency with the ability to say something new. His imagination is "schooled" to accept service in place of value.

Dalam Limits to Medicine: Medical Nemesis: Expropriation to Health (1976) ia menunjukkan, bahwa pelembagaan cara hidup sehat justru telah secara paradoksal menimbulkan berbagai penyakit baru dan kesenjangan sosial. Diagnosa penyakit dan proses penyembuhan dengan mengkonsumsi obat-obat tertentu seringkali hanya menimbulkan ketergantungan dan berbagai penyakit baru yang tak terkirakan sebelumnya. Misalnya, kebiasaan mengkonsumsi obat sakit kepala atau pain-killer lain akan menimbulkan penyakit baru: iritasi usus. Jadi, keinginan untuk hidup sehat ternyata dipusatkan pada pendirian rumah-sakit, pendidikan para dokter atau pendirian pabrik-pabrik obat ketimbang mengajak masyarakat mengenali dan menyembuhkan sendiri berbagai penyakit yang mereka derita. Dan akhirnya pendirian berbagai rumah sakit akan menimbulkan kesenjangan sosial. Hanya mereka yang punya uang yang bisa mendapat pelayanan utama sebuah rumah sakit. Maka, Ivan Illich menamai ketergantungan pada profesi dan lembaga-lembaga medik ini sebagai iatrogenic, yaitu penyakit-penyakit (epidemi) baru akibat praktek iatros (Yunani: dokter).
Banyak yang menganggap karya dan pemikiran Illich adalah intelektualisme yang tak bisa dipraktekkan. Tapi, saya kira, sinisme pada Illich ini muncul akibat ketergantungan seseorang pada lembaga-lembaga sosial formal (negara, hukum sekolah atau rumah-sakit). Pada sebuah ceramahnya di tahun 1990 Illich menganjurkan setiap orang untuk mengurangi ketergantungannya pada lembaga sosial formal dengan mempraktekkan the art or living, the art of suffering dan the art of dying. Secara sederhana ketiga hal itu bisa diartikan sebagai etika (prinsip berperilaku) hidup sehat dan mau secara wajar menerima rasa sakit. Tubuh yang sakit adalah tubuh yang dalam proses menyeimbangkan diri. Memahami ketiga hal itu akan membuat seseorang mau memperbaiki sanitasi, berbagi pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja, rajin membersihkan gigi dan terutama meningkatkan kebiasaan untuk peduli pada kesehatan pribadi dan berusaha hidup sehat sendiri. Sebaliknya pengabaian pada the art or living, the art of suffering dan the art of dying hanya akan membuat seseorang memasrahkan kesehatannya pada para dokter dan lembaga-lembaga kesehatan profesional. Karena itu Illich menyebut berperilaku hidup sehat sebagai keutamaan (virtue).

Iatrogenic: Kesehatan sebagai HAM vs Kesehatan sebagai Virtue
Saya kira pemikiran Ivan Illich—terutama tesisnya tentang iatrogenic—tersebut berguna untuk memahami bagaimana pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang autarkis (mandiri), demokratis dan jauh dari fasisme (yang menganggap warganegara sebagai alat negara).
Illich mencatat ada tiga bentuk iatrogenic atau munculnya berbagai penyakit baru akibat ketergantungan pada profesi dan lembaga-lembaga medik, yaitu iatrogenic klinis, sosial dan budaya. Jadi iatrogenic adalah paradoks dari praktek medis.
Iatrogenic klinis adalah penyakit baru yang muncul akibat praktek klinis kedokteran dan rumah-sakit. Penyakit ini bisa berupa ketergantungan pasien pada obat-obat tertentu atau pun munculnya penyakit baru akibat mengkonsumsi obat tertentu. Misalnya, obat-obat analgesik (salah satunya obat sakit kepala) yang menyebabkan iritasi usus.
Iatrogenic sosial adalah dampak sosial negatif yang ditimbulkan oleh praktek profesional medis. Misalnya, munculnya kesenjangan sosial-ekonomi akibat pembangunan sebuah rumah-sakit modern (tak semua orang bisa berobat di rumah-sakit itu), diproduksinya alat-alat kesehatan dan obat-obat baru yang mahal, meningkatnya jumlah orang yang stress akibat penyebaran informasi kesehatan ‘berbahaya’secara tidak hati-hati, meningkatnya ketergantungan orang sakit pada profesi medis dan rumah-sakit, dan berkurangnya rasa percaya diri individu dan komunitas untuk bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri.
Iatrogenic budaya adalah dampak budaya negatif yang ditimbulkan oleh praktek profesional medis. Bentuknya adalah melemah atau bahkan hilangnya keinginan seseorang untuk memahami dan mengalami rasa sakit yang diderita. Sejak munculnya praktek medis profesional, kemampuan individu dan masyarakat untuk memahami penyakit sebagai respon wajar dari proses-proses yang berlangsung dalam tubuhnya menjadi hilang. Penyakit menjadi sesuatu yang menakutkan dan dikira hanya bisa disembuhkan oleh para profesional, bukan oleh upaya pribadi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Ketiga bentuk iatrogenic tersebut menunjukkan dampak medik dan sosial bila profesi dan lembaga-lembaga medik memonoli definisi dan praktek kesehatan. Menurut Illich pada tahun 1970-an di Amerika Serikat telah muncul kesadaran umum tentang iatrogenic tersebut. Bahkan menurut Illich: “WHO menganjurkan de-profesionalisasi perawatan kesehatan primer sebagai langkah tunggal yang paling penting dalam meningkatkan taraf kesehatan”.
Namun di Indonesia, konstitusi dan UU Kesehatan hanya menganggap pelayanan kesehatan (oleh profesi medik dan lembaga-lembaga kesehatan) adalah hak asasi manusia. Bagaimanapun konsep ‘Hak” dalam HAM itu punya kelemahan mendasar. “Hak” akan membatasi pengetahuan seseorang dan lembaga pada “hak-hak” yang ditetapkan dalam norma hukum tertentu. Jadi seseorang atau lembaga merasa sudah hidup baik sepanjang tidak melanggar ‘hak hukum’ itu. Padahal seperti saya tuliskan di atas UU Kesehatan ini masih mengidap sebuah paradoks yang mendasar: yaitu menganggap kesehatan sebagai HAM dan sekaligus sebagai sarana pembangunan ekonomi dan sosial negara. UU Kesehatan ini berdiri di antara konsep kesehatan sebagai “upaya mewujudkan kemanusiaan seseorang” dan “manfaat ekonomis dari warganegara”.
Argumentasi hukum seperti ini telah merampas otonomi individu dan masyarakat untuk menjaga kesehatannya sendiri dan menganggap kesehatan sebagai kebajikan atau keutamaan (virtue) manusia, sebagai fitrah manusia. UU Kesehatan ini telah membuat pelayanan kesehatan menjadi heteronom, yaitu dilaksanakan dari luar oleh lembaga-lembaga kesehatan, profesi medik dan pemerintah. Hukum menjadi salah satu penyebab iatrogenic sosial.
Maka, sudah waktunya LSM-LSM perempuan dan mereka yang peduli pada perempuan, dalam mendampingi kasus-kasus kesehatan perempuan tak hanya bertumpu pada UU Kesehatan dan berbagai peraturan pelaksananya, tapi juga pada konsep kesehatan sebagai virtue. Untuk itu mereka juga harus memerhatikan kemajemukan identitas perempuan berdasarkan gender, orientasi seksual, agama, etnisitas, status sosial, kelas, nasionalisme dan lain sebagainya.

Makalah ini sebagai pengantar diskusi “Mendorong Mekanisme Adjudikasi yang Efektif atas Pelanggaran Hak Perempuan atas Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LRC-KJHAM dan Yayasan TIFA di Hotel Horizon, Semarang, Kamis, 15 Desember 2011.
**] Donny Danardono adalah pengajar filsafat di Fakultas Hukum dan PMLP [Program Magister Lingkungan dan Perkotaan] Unika Soegijapranata.

daftar pustaka
Donny Danardono, 2006, “Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme” dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Buku Obor, hal.3-27;
Donny Danardono, 2006, “Menghapuskan Pandangan Dikotomis dan Hirarkis Publik-Privat, Pidana-Perdata, Pria-Perempuan” dan“Strategi Perempuan dalam Mewujudkan Peradilan yang Fair - Epilog” dalam Perspektif Gender dalam Peradilan: Beberapa Kasus, Donny Danardono (ed.), Jakarta, Convention Watch, Universitas Indonesia dan NZAID.
Carol Smart, Feminism and the Power of Law, London, Routledge, 1989, hal.11.
Jürgen Habermas, 1996, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, Polity Press, hal. 105.

Bagian ini adalah penulisan ulang dari makalah yang pernah saya presentasikan di seminar KP2KKN “Diskusi Ahli dan Sinkronisasi Hasil Survey Terhadap Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (Jamkesmas/Jamkesmaskot) Melalui Metode Citizen Report Card (CRC) di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah” yang diadakan oleh KP2KKN di Hotel Semesta, 20-21 Juli 2011

Bagian ini saya dasarkan pada “Ivan Illich: Obituary”, 2002, The Times, London, 5 December.
Ivan Illich, 1971, De-Schooling Society, Harper and Row, New York, hal. 1.
Ivan Illich, 1995, Batas-Batas Pengobatan: Perampasan Hak untuk Sehat, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. xi-xx.
Lihat “Ivan Illich: Obituary”, 2002, The Times, London, 5 December
Francis C. Biley, 2010, “The ‘Sickening’ Search for Health: Ivan Illich’s Revised Thoughts on the Medicalization of life and Medical Iatrogenesis”, Wholistic Healing Publications, Vol. 10 No. 2, hal. 11.
Ivan Illich, 1995, Op.Cit., hal. 309-312.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang