| 0 komentar ]

Edriana Noerdin
Women Research Institute
Semarang, 15 Desember 2011

Studi Kasus Pelayanan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Pada tahun 2010, Human Development Index (HDI) untuk Indonesia, seperti yang dipublikasikan oleh the United Nations Development Program (UNDP), menurun peringkatnya dari 107 menjadi 111. Beberapa indikator utama HDI berhubungan dekat dengan kesehatan, termasuk Tingkat Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu (AKI). Tingginya AKI di Indonesia pada tahun 2009 yang secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebesar 228/100.000 kelahiran menyebabkan menurunnya peringkat HDI Indonesia tersebut. Padahal angka 228/100.000 tersebut sebetulnya jauh berbeda dari angka yang dikeluarkan oleh UNFPA dan UNICEF, yang menyatakan bahwa pada tahun 2005 AKI di Indonesia masih 420/100.000 kelahiran.

Tingginya AKI mencerminkan tidak memadainya pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan, terutama perempuan miskin di daerah-daerah terpencil di berbagai pelosok negeri. Perempuan hamil di daerah terpencil, terutama perempuan miskin yang sedang hamil, mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan reproduksi. Apa yang sebaiknya dilakukan jika Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota, Puskesmas di wilayah kecamatan dan bidan yang tinggal di desa dianggap terlalu mahal dan terlalu jauh oleh perempuan miskin yang tinggal di daerah-daerah terpencil? Strategi yang diterapkan seharusnya membawa fasilitas kesehatan reproduksi mendekati rumah penduduk dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes”. Kebijakan tersebut harus mencakup pemenuhan fasilitas di Polindes berupa listrik, air bersih, sanitasi, peralatan yang memadai, dan Satu Bidan yang berdomisili di desa tersebut sehingga mudah bagi ibu hamil untuk mendapatkan pelayakan kesehatan reproduksi dan melahirkan secara cepat dan terjangkau. Pemerintah juga harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai kesejahteraan dan keselamatan bidan yang berdomisili di desa, terutama desa terpencil.

Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi sebaran Bidan yang tidak merata dan hanya berdomisili di daerah-daerah kota kecamatan sehingga sulit diakses oleh ibu hamil yang akan melahirkan. Bidan yang tinggal di desa dan mempunyai peralatan yang memadai dapat menjadi pelopor pelopor yang efektif dalam menghentikan tingginya AKI di Indonesia. Kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” perlu didukung agar bisa memberikan perlindungan kepada perempuan terutama perempuan miskin yang tinggal di daerah terpencil.

Jampersal/Jamkesmas sebagai syarat mutlak efektifitas implemetasi kebijakan ‘Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan’

Temuan penelitian Women Research Institute (WRI) tentang Akses dan Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin di Tujuh Kabupaten/Kota di Indonesia (Lampung Utara, Lebak, Indramayu, Jembrana, Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Surakarta), tahun 2007-2008, memperlihatkan bahwa meskipun masyarakat miskin dilindungi oleh asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Jaminan Persalinan/Jampersal, Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas) serta adanya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), mereka tetap sulit mengakses pelayanan kesehatan karena jauhnya jarak menuju fasilitas kesehatan tersebut. Kondisi alam yang bergunung-gunung, jalan rusak dan kurangnya transportasi umum juga menjadi penyebab sulitnya mereka mengakses pelayanan kesehatan. Kelemahan pertama dari Jampersal/Jamkesmas adalah karena system asuransi tersebut tidak menanggung biaya transportasi.

Kelemahan kedua dari system Jamkesmas/Jampersal adalah, seperti yang ditemukan oleh penelitian WRI, bahwa mereka tidak disosialisasikan dengan efektif. WRI menemukan bahwa banyak masyarakat miskin yang tidak mengetahui apapun tentang Jampersal/Jamkermas dan bagaimana cara mendapatkannya. Sehingga karna khawatir biaya persalinan mahal maka mereka lebih baik mencari bantuan persalinan kepada dukun atau melahirkan dirumah dengan fasilitas seadanya.

Kelemahan ketiga dari system Jamkesmas/Jampersal adalah sistem pengembalian klaim untuk persalinan yang memerlukan waktu pemrosesan yang lama sehingga membuat bidan enggan memberikan pelayanan gratis untuk pasien miskin. Menurut peraturan, proses klaim seharusnya selesai dalam dua atau tiga minggu, namun, dalam prakteknya, membutuhkan waktu yang lama, bahkan sampai enam bulan atau bahkan ada yang sampai 1 tahun. Kelambatan proses klaim ini mengganggu keuangan Puskesmas atau bahkan bidan desa sehingga banyak bidan yang akhirnya tetap menarik bayaran dari Masyarakat miskin.

Transformasi Jamkesmas menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) didasarkan pada Pasal 5 Ayat 1 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan: “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Pasal 5 Ayat 2 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang memiliki hak untuk menerima pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau”. Ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia memandang pelayanan kesehatan sebagai hak setiap warganegara. Setiap orang, apakah laki-laki atau perempuan, apakah mampu secara ekonomi atau dikategorikan sebagai masyarakat miskin, memiliki hak atas pelayanan kesehatan. Untuk memperkuat komitmen atas hak kesehatan ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2006. Karena itu, sebaiknya UU tersebut juga menegaskan perlunya Satu Desa, Satu Polindes, Satu Bidan, dan ketika hal itu belum tercapai, UU itu harus mengatur bahwa Jamkesnas harus menanggung biaya transportasi bagi ibu-ibu miskin yang tinggal desa terpencil untuk pergi ke Puskesmas atau tempat praktek bidan di luar desa.


Alokasi belanja kesehatan yang kuran memadai.

Kebijakan Satu Desa, Satu Ploindes, Satu Bidan memerlukan dukungan alokasi dana dari pemerintah. Tapi hasil riset WRI menunjukkan kurangnya kemauan politik pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dalam membiayai kesehatan termasuk kesehatan reproduksi perempuan. Alokasi belanja untuk kesehatan sangat minim. Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk belanja kesehatan pada tahun 2008 di 7 kabupaten/kota daerah penelitian WRI adalah sebagai berikut: Lampung Utara 8%, Lebak 10,7%, Indramayu 7,3%, Jembrana 10%, Lombok Tengah 7,1, Sumbawa Barat 9% dan Surakarta 5,8%. Dari 7 kabupaten/kota tersebut hanya Jembrana 10% dan Lebak 10,7% yang telah memenuhi mandat UU no.36/2009 tentang Kesehatan untuk mengalokasikan minimum 10% APBD untuk kesehatan.

Dibawah ini adalah table belanja kesehatan di 7 daerah penelitian WRI pada tahun 2007-2008

No Daerah Belanja Kesehatan
Jumlah (Juta) %APBD Per Kapita
1 Indramayu 73.646 7,3 41.838
2 Lombok Tengah 42.725 7,1 51.740
3 Lebak 75.662 10,7 64.319
4 Surakarta 37.155 5,8 65.934
5 Lampung Utara 43.593 8 74.857
6 Sumba Barat 38.098 9 95.182
7 Jembrana 38.887 10 151.043

Presentase alokasi anggaran daerah sebenarnya bukan ukuran yang akurat untuk melihat kebutuhan dana kesehatan karena jumlah penduduk daerah tersebut berbeda-beda. Jika kita menggunakan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk menentukan ambang batas anggaran kesehatan, target alokasi anggaran per kapita adalah Rp.120.000,- Ukuran tersebut dapat dipakai dalam melihat komitmen politik pemerintah daerah untuk pencapaian MDGs khususnya di bidang kesehatan dan penurunan AKI. Dari table di atas hanya Jembrana yang sudah memenuhi ambang batas untuk pencapaian MDGs.

Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai sebuah keniscayaan meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan.

Pendidikan kepada Masyarakat tentang keadilan dan kesetaraan gender akan mendorong Masyarakat lebih bisa menghargai dan berbagi beban dan tanggung jawab dalam menjaga dan memelihara rumah tangga dan Masyarakat. Perempuan, khususnya perempuan yang hamil dan melahirkan juga mendapat prioritas dalam penjagaan kesehatan dan keselamatan kehamilan dan persalinannya baik oleh keluarga maupun oleh Masyarakat

Masalahnya sekarang adalah bagaimana mendorong kebijakan “Satu Desa, Satu Polindes dan Satu Bidan” berjalan efektif dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai agar mampu menjadi pelopor pengurangan AKI secara drastis. Pendidikan keadilan dan kesetaraan gender untuk para pembuat keputusan dan Masyarakat perlu dilakukan agar mereka memahami bahwa hidup perempuan juga layak diselamatkan. Temuan penelitian WRI mendokumentasikan banyaknya kasus perempuan miskin yang tidak memiliki wewenang atas tubuhnya sendiri dan bahwa keputusan tentang hidup dan matinya selama persalinan berada di tangan suami dan keluarganya. Suami dan keluarga sering pasrah dan menganggap tidak ada gunanya membawa perempuan yang mengalami pendarahan dan komplikasi persalinan ke Polindes atau puskesmas yang berada di bagian lain dari desa tersebut karena selain membutuhkan biaya juga ada anggapan atau kepercayaan bahwa manusia atau perempuan melahirkan sesuai dengan suratan takdirnya, kematian ketika malahirkan dianggap sebagian Masyarakat sebagai mati syahid.


*Disampaikan dalam diskusi lokakarya “mendorong Mekaniskma Adjudikasi yang efektif atas Pelanggaran Hak Perempuan atas Kesehatan di Indonesia”. LRC-KJHAM – Yayasan TIFA. Semarang, 15 Desember 2011.

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang