| 0 komentar ]

UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR __ __ TAHUN __ __ __ __

TENTANG

HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. Bahwa penyelesaian perkara pada Badan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan ke-hakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan undang-undang;
b. Bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya belum memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara sehingga perlu menggunakan landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Pre-siden Nomor 1 Tahun 1991;
c. Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara Peradilan Agama perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur tentang hukum materiil peradilan agama di bidang per-kawinan;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2019);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lem¬baran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN.

B A B I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1x
Yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan:

Perkawinan adalah pernikahan yang berlaku bagi umat Islam;
peminangan atau disebut khitbah adalah permintaan dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada pihak perempuan yang dipinang untuk menikah;

Wali nikah adalah laki-laki yang berhak menikahkan seorang perempuan, menurut hukum Islam, baik wali nasab maupun wali hakim;

Wali nasab adalah laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan pihak ayah calon mempelai perempuan;

Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Agama, untuk bertindak sebagai wali nikah bagi mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali atau mempunyai wali yang tidak dapat menggunakan hak walinya;

Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dan kabul yang diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi;

Akta Nikah adalah dokumen resmi yang diterbitkan/dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan;

Pejabat Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh Menteri Agama dengan kewenangan untuk mencatat dan mengadminis-trasikan perkawinan menurut Undang-Undang;

Mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, dalam bentuk benda atau uang yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai laki-laki setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Kutipan Akta Nikah, berupa janji talak yang digantungkan kepada keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;

Pemeliharaan anak atau disebut hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;

Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wa-kil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orangtua, atau orangtua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada suami atau atas persetujuan suaminya;

Nusyuz adalah perilaku membangkang dan mengingkari kewajiban yang dilakukan oleh isteri terhadap suami atau sebaliknya;

Qabladdukhul adalah kondisi suami isteri belum melakukan hubungan badan;

Ba’dadukhul adalah kondisi suami isteri telah melakukan hubungan badan;

Mutah (mut’ah) adalah pemberian berupa benda atau uang dari bekas suami kepada isteri yang telah dijatuhi talak;

Perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual;

Zina adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan;

Lian (li’an) adalah sumpah dengan cara tertentu yang diucapkan oleh suami yang mengandung tuduhan bahwa isterinya telah berzina, atau sangkalan bahwa janin/bayi yang dikandung/ dilahirkan oleh isterinya sebagai anak kandungnya; dan diikuti dengan sumpah yang diucapkan oleh isteri yang mengandung penolakan atas tuduhan suami;

Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyah.

B A B II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2x
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai dengan hukum Islam.

Pasal 3x
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.

Pasal 4x
Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5x
(1) Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib di-langsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 6x
(1) Perkawinan dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan.
(3) Permohonan isbat nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dengan alasan hilangnya Akta Nikah dan Ku-tipannya.
(4) Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat diisbatkan dengan dikenai sanksi pidana yang diten-tukan dalam Undang-Undang ini.
(5) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berke-pentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 7x
Putusnya perkawinan selain karena kematian dibuktikan dengan Akta Cerai berdasarkan putusan Pengadilan.

Pasal 8x
(1) Apabila Akta Cerai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak ditemukan karena hilang atau sebab lain yang sah, dapat dimintakan keterangan resmi dari Pengadilan.
(2) Dalam hal keterangan resmi dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan atau gugatan perce-raian kepada Pengadilan.

Pasal 9x
Rujuk dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah.

B A B III
PEMINANGAN

Pasal 10x
Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya.

Pasal 11x
(1) Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang idahnya telah habis.
(2) Peminangan dilarang terhadap:
a. Perempuan yang masih berada dalam idah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sindiran (ta’-ridl);
b. Perempuan yang sedang dipinang laki-laki lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.
(3) Pinangan pihak laki-laki dinyatakan putus dengan adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan.

Pasal 12x
(1) Peminangan belum menimbulkan akibat hukum perkawinan bagi para pihak.
(2) Para pihak dapat memutuskan hubungan pinangan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama Islam dan kebi-asaan setempat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3)Dalam hal pemutusan hubungan pinangan menimbulkan keru-gian terhadap salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan da-pat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

B A B IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Pasal 13x
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
calon suami;
calon isteri;
wali nikah;
dua orang saksi;
ijab dan kabul;
mahar.

Pelaksanaan perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah.

Pasal 14x
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan mencapai umur 16 tahun.

Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ayat (1), orangtua atau walinya harus meminta dispensasi kepada Pengadilan.

Pasal 15x
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dengan lisan atau tulisan, dengan isyarat, atau dengan diam, dalam arti tidak ada penolakan.

Pasal 16
(1) Sebelum perkawinan berlangsung, Pejabat Pencatat Nikah mena-nyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah.
(2) Apabila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan.
(3) Persetujuan calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 17
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dan 16, perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak terdapat larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 18
(1) Wali nikah terdiri atas:
a. Wali nasab, dan
b. Wali hakim.

(2) Wali nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. Laki-laki,
b. Muslim,
c. Akil,
d. Balig, dan
e. Tidak sedang ihram.

Pasal 19
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok menurut kedudukan dan hubungan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, dengan urutan sebagai berikut:
a. Ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya;
b. Saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
c. saudara laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dari ayah, dan keturunan laki-laki mereka; dan
d. Saudara laki-laki kandung dari orangtua laki-laki ayah, saudara laki-laki seayah dari orangtua laki-laki ayah, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Dalam hal seorang janda tidak mempunyai wali kecuali anak kandungnya yang laki-laki, maka anak kandungnya tersebut menjadi wali bagi dirinya.
(3) Apabila terdapat beberapa orang dalam satu kelompok wali nikah maka yang paling berhak adalah wali yang memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan calon mempelai perempuan.
(4) Apabila dalam satu kelompok wali memiliki kesamaan derajat kekerabatan maka saudara kandung lebih berhak menjadi wali nikah dari pada saudara seayah.
(5) Dalam hal satu kelompok wali hanya terdiri dari saudara kandung atau saudara seayah maka hak menjadi wali nikah diberikan kepada yang berusia lebih tua.
(6) Perselisihan tentang wali nikah dapat diselesaikan melalui penetapan Pengadilan dan tidak dapat dimohonkan banding atau kasasi.

Pasal 20
Apabila wali nikah yang paling berhak menurut urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 21
(1) Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, atau enggan menikahkan (‘adhal).
(2) Dalam hal wali ‘adhal, wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan tentang ‘adhal-nya wali tersebut.’

Pasal 22
Selain wali nasab dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali nikah.

Pasal 23
Setiap perkawinan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat:
a. laki-laki,
b. muslim,
c. adil,
d. akil,
f. balig, dan
g. tidak tuna rungu dan/atau tidak tuna netra.

Pasal 24
Saksi wajib hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Pasal 25
Ijab dan kabul antara wali nikah dan calon mempelai laki-laki harus dilaksanakan secara jelas dan dilangsungkan dalam satu majelis akad nikah yang beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 26
(1) Ijab diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya, dan kabul diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
(2) Dalam hal calon mempelai perempuan atau wali berkeberatan terhadap calon mempelai laki-laki yang mewakilkan ucapan ka-bulnya maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan.

B A B V
MAHAR

Pasal 27
(1) Mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempelai perempuan.
(2) Bentuk, jenis, dan jumlah mahar didasarkan atas asas kesederhanaan dan kepatutan yang disepakati kedua belah pihak.
(3) Mahar menjadi hak milik pribadi mempelai perempuan.

Pasal 28
Mahar dibayar langsung secara tunai kepada mempelai perem-puan.

Apabila calon mempelai perempuan menyetujui, pembayaran mahar boleh ditangguhkan seluruhnya atau sebagian dan menjadi hutang mempelai laki-laki.

Pasal 29
(1) Suami yang menalak isterinya qabladdukhul dan belum membayar mahar, wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, kecuali jika qabladdukhul itu terjadi karena kesalahan atau nusyuznya isteri.
(2) Apabila suami meninggal dunia qabladdukhul maka seluruh ma-har yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
(3) Apabila terjadi perceraian qabladdukhul namun besarnya mahar belum ditetapkan maka suami wajib membayar mutah.

Pasal 30
(1) Mahar yang mengandung cacat atau kurang, tetapi diterima tanpa syarat oleh mempelai perempuan dianggap telah dibayar lunas.
(2) Suami harus mengganti mahar yang cacat atas permintaan isteri.
(3) Dalam hal terjadi perselisihan mengenai mahar maka penyele-saian perselisihan dapat diajukan ke Pengadilan.

B A B VI
LARANGAN PERKAWINAN
DAN PERKAWINAN YANG DILARANG

Pasal 31
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, disebabkan:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping, yaitu saudara, saudara orangtua, dan saudara kakek/nenek;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, menantu, anak tiri, dan ayah/ibu tiri;
d. Berhubungan susuan yaitu, ibu susuan, anak susuan, saudara susuan, dan paman/bibi susuan; atau
e. Mempunyai hubungan yang oleh hukum Islam dilarang melangsungkan perkawinan.

Pasal 32
(1) Seorang laki-laki dilarang memadu isterinya dengan seorang perempuan yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isterinya telah ditalak dan masih dalam idah.

Pasal 33
Seorang laki-laki dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang:
a. Terikat perkawinan dengan laki-laki lain;
b. Berada dalam masa idah dengan laki-laki lain; dan/atau
c. Tidak beragama Islam.

Pasal 34
(1) Dalam hal seorang laki-laki mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang bersangkutan dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan apabila:
a. Masih terikat tali perkawinan yang sah dengan isteri-iste-rinya;
b. Salah seorang atau beberapa orang dari keempat isterinya tersebut masih dalam idah talak raj’i; atau
c. Keempat isterinya masih dalam idah talak raj’i.

Pasal 35
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dan:
a. Seorang perempuan bekas isterinya yang ditalak tiga kali; atau
b. Seorang perempuan bekas isterinya yang dilian.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku, jika bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain sebagaimana layaknya.

Pasal 36
Seorang perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam.

Pasal 37
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, dilarang melangsungkan perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah dan menjadi saksi dalam perkawinan.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

Pasal 38
Seorang isteri dilarang memiliki suami lebih dari satu orang.

Pasal 39
Laki-laki muslim atau perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan mutah.


B A B VII
TAKLIK TALAK
DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Taklik Talak

Pasal 40
(1) Setelah akad nikah, suami dapat mengucapkan dan menandatangan taklik talak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Dalam hal pernyataan yang tercantum dalam taklik talak kemudian terjadi, talak jatuh jika isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan dan gugatan tersebut diterima.
(4) Perjanjian taklik talak bukan suatu kewajiban dalam perkawinan, tetapi jika sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Bagian Kedua
Perjanjian Perkawinan

Pasal 41
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pejabat Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perka-winan.
(2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Di samping ketentuan pada Ayat (1) dan (2) di atas, dapat pula isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 42
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebu-tuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tetap ter-jadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewa-jiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Pasal 43
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 44
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib didaftarkan di Kantor Pejabat Pencatat Nikah tempat perkawinan dilang-sungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 45
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan dapat dijadikan alasan bagi isteri atau suami untuk meminta pembatalan nikah atau meng-ajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.

Pasal 46
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.


B A B VIII
PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL
KARENA ZINA

Pasal 47
(1) Seorang perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya.
(2) Perkawinan dengan perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 48
Perempuan hamil akibat perkosaan dapat dikawinkan dengan laki-laki lain tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan ulang sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3).

Pasal 49
Dalam hal seorang laki-laki menzinai seorang perempuan yang belum kawin dan menyebabkan kehamilannya, sedangkan laki-laki tersebut menolak mengawininya sehingga terjadi perselisihan, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan.


B A B IX
BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG

Pasal 50
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, dibatasi hingga empat orang isteri.
(2) Untuk dapat beristeri lebih dari seorang, suami disyaratkan mampu memberikan nafkah lahir dan batin serta berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 51
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran, dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.

Pasal 52
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan.
(2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perudang-undangan.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 53
(1) Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan; atau
d. Terdapat alasan lain yang dibenarkan menurut hukum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus dibuktikan dengan keterangan tim dokter rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah atas permintaan pengadilan.

Pasal 54
(1) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) maka untuk memperoleh izin Pengadilan, harus dipenuhi pula syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan isteri/isteri-isteri; dan
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, harus dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila:
a. Isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;
b. Tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau
c. Sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 55
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan, dan terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.


B A B X
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 56
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang dan yang tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan harus dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
Tidak sepadan (sekufu) tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena alasan akhlak dan perbedaan agama.

Pasal 58
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Walaupun ayah kandung tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga, hak kewaliannya tidak gugur untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 59
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 60
Pejabat Pencatat Nikah berwenang mencegah perkawinan jika rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.

Pasal 61
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan di daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan serta diberitahukan kepada Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Pemberitahuan mengenai permohonan pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan Kepada calon mempelai oleh Pejabat Pencatat Nikah.

Pasal 62
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut oleh pemohon.

Pasal 63
Dalam hal Pengadilan menolak permohonan pencegahan maka perkawinan dapat dilangsungkan.

Pasal 64
Pejabat Pencatat Nikah dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 14, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 Undang-Undang ini, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 65
(1) Pejabat Pencatat Nikah wajib menolak perkawinan jika terdapat larangan menurut Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal adanya penolakan maka atas permintaan salah satu pihak yang berkehendak melangsungkan perkawinan, Pejabat Pencatat Nikah menerbitkan surat penolakan disertai dengan alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang kehendak nikahnya ditolak berhak mengajukan permohonan untuk mendapatkan penetapan Pengadilan yang mewilayahi Pejabat Pencatat Nikah, dengan menyerahkan surat penolakan tersebut.
(4) Pengadilan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan memberikan penetapan, apakah menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hilang ke-kuatannya jika larangan yang mengakibatkan penolakan tersebut telah hilang, dan para pihak yang hendak melangsungkan perka-winan dapat mengulangi pemberitahuan kehendak nikah mereka.


B A B XI
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 66
Perkawinan batal apabila:
(1) Seseorang melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam idah talak raj’i;
(2) Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya;
(3) Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak;
(4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, atau sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Undang-Undang ini;
(5) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain; atau
(6) Perkawinan dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

Pasal 67
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Pengadilan;
b. Perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri laki-laki lain yang mafqud;
c. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); atau
d. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 68
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman;
b. Terjadi penipuan dalam perkawinan; atau
c. Salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(2) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pemba-talan, maka haknya gugur.

Pasal 69
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
a. Suami atau isteri ;
b. Pejabat Pencatat Nikah; atau
c. Pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan.

Pasal 70
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 71
Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; dan/atau
b. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum putusan pembatalan perkawinan mempunyai ke¬kuatan hukum yang tetap.

Pasal 72
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya.


B A B XII
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 73
(1) Suami isteri berkewajiban menegakkan rumah tangga yang sakinah yang dilandasi mawadah dan rahmah.
(2) Suami isteri harus saling mencintai, menghormati, setia, dan membimbing serta saling memberi bantuan lahir batin.
(3) Suami isteri harus mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami isteri harus memelihara kehormatan diri dan nama baik keluarganya.
(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Pasal 74
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan bersama oleh suami isteri.

Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal 75
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga serta pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) Masing-masing suami dan isteri berhak untuk melakukan perbu-atan hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang ber-laku.

Bagian Ketiga
Kewajiban Suami

Pasal 76
(1) Suami adalah pembimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan penting dalam rumah tangga diputuskan bersama oleh suami isteri.
(2) Suami harus melindungi dan membantu isteri lahir dan batin serta memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami harus memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, pakaian dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi is¬teri dan anak; dan
c. Biaya pendidikan bagi anak.
(5) Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai-mana di¬maksud ayat (2) dan (4), isteri dengan kerelaannya dapat mem¬be¬bas¬kan suami dari kewajiban tersebut.
(6) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila is¬teri nusyuz.

Pasal 77
Dalam hal suami menunjukkan tanda-tanda nusyuz atau tidak mempergauli isteri dengan baik maka isteri dapat menentukan pilihannya apakah tetap mempertahankan perkawinan atau mengajukan gugat cerai.

Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal 78
(1) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk suami isteri dan anak-anaknya selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat yang disediakan oleh suami atau diusahakan ber¬sama.
(2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perlengkapan rumah tangga dan sarana penunjang lainnya sesuai dengan kemampuan suami.

Pasal 79
Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian per-kawinan.

Bagian Kelima
Kewajiban Isteri

Pasal 80
(1) Isteri wajib menaati suami lahir dan batin di dalam batas-batas yang di¬benarkan oleh hukum Islam.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Pasal 81
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 tanpa alasan yang sah.
(2) Kewajiban suami terhadap isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak berlaku kecuali yang berkaitan dengan kepentingan anak dan berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(3) Ketentuan tentang adanya nusyuz isteri harus berdasarkan bukti yang sah dan ditetapkan oleh Pengadilan.


B A B XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 82
(1) Perkawinan tidak mengakibatkan percampuran harta suami dan harta isteri kecuali suami isteri menentukan lain.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh oleh-nya.

Pasal 83
Harta kekayaan dalam perkawinan dapat terdiri dari:
a. Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh suami isteri baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun kecuali suami isteri menentukan lain;
b. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami atau isteri yang diperoleh sebelum terjadi perkawinan dan hasilnya;
c. Warisan, hibah, dan hadiah yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam perkawinan.

Pasal 84
(1) Harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b dan huruf c, di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang pa-ra pihak ti¬dak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan atau perjanjian lain.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah atau lainnya.
(3) Terhadap harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Pasal 85
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan.

Pasal 86
(1) Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
(2) Isteri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 87
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 huruf a di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak kekayaan intelektual dan hak lainnya yang bernilai ekonomis.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 88
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau mengalihkan hak atas harta bersama.

Pasal 89
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

Pasal 90
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
(3) Penghitungan pemilikan harta bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam putusan Pengadilan dalam perkara permohonan izin beristeri lebih dari satu.

Pasal 91
(1) Suami atau isteri dapat meminta Pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan izin talak atau gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, atau boros.
(2) Selama masa sita, dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan.

Pasal 92
(1) Dalam hal perkawinan putus karena kematian, seperdua harta bersama menjadi hak suami atau isteri yang masih hidup.
(2) Pembagian harta bersama bagi suami atau isteri yang mafqud di-tangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentang mafqud-nya isteri atau suami.

Pasal 93
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


B A B XIV
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 94
(1) Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.
(2) Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh isteri tersebut adalah anak yang sah.

Pasal 95
Anak yang lahir akibat perzinaan dan/atau di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 96
Dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 97
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri menyangkalnya, suami dapat meneguhkan pengingkarannya dan isteri dapat meneguhkan penyangkalannya dengan lian.

Pasal 98
Pengingkaran suami terhadap anak yang lahir dari isterinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 diajukan ke Pengadilan.

Pasal 99
(1) Asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan tersebut memberikan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.


B A B XV
PUTUSNYA PERKAWINAN

Pasal 100
Perkawinan putus karena:
a. kematian,
b. Perceraian, atau
c. Putusan Pengadilan.

Pasal 101
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak yang diikrarkan suami atau talak berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 102
Perceraian dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 103
Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Di antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik-talak; atau
h. Suami atau isteri keluar dari agama Islam (murtad).

Pasal 104
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Pasal 105
Talak sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 dapat berupa:
a. Talak raj’i,
b. Talak bain sugra dan bain kubra,
c. Talak suni (sunni),
d. Talak bid’i, dan
e. Talak khuluk.

Pasal 106
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua yang suami dapat merujuk isterinya selama idah.

Pasal 107
(1) Talak bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam idah.
(2) Talak bain sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a. Talak yang terjadi qabladdukhul;
b. Talak dengan tebusan atau khuluk;
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan

Pasal 108
Talak bain kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya yang menyebabkan tidak dapat rujuk dan tidak dapat nikah kembali, kecuali apabila perkawinan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’dadukhul dan habis masa idahnya.

Pasal 109
Talak suni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak campur dalam waktu suci tersebut.

Pasal 110
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu:
a. Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid; atau
b. Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 111
Perceraian terjadi dan terhitung pada saat dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

Pasal 112
Khuluk harus berdasarkan alasan perceraian yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 113
Putusnya perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf c, terjadi karena lian atau fasakh.

Pasal 114
Lian terjadi karena suami menuduh zina dan/atau mengingkari anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh isterinya; sedangkan isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran suami.

Pasal 115
Tata urutan lian diatur sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan ucapan: “Laknat Allah atas diriku apabila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dusta.”;
b. Isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut de-ngan bersumpah empat kali dengan ucapan: “Tuduhan dan /atau pengingkaran tersebut tidak benar,” dan diikuti sum-pah kelima dengan ucapan: “Murka Allah atas diriku bila tu-duhan dan/atau pengingkaran tersebut benar.”;
c. Tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. Apabila ketentuan pada huruf a tidak diikuti dengan keten-tuan pada huruf b, maka lian tidak terjadi.

Pasal 116
Lian hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan.

Pasal 117
Fasakh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat terjadi karena:
a. Perkawinan dilakukan tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan;
b. Melanggar larangan perkawinan; atau
c. Suami atau isteri keluar dari Islam.

Pasal 118
Tata cara perceraian dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di pengadilan.

Pasal 119
Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan maka isteri dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan dan/atau dirugikan akibat talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan.


B A B XVI
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Akibat Cerai Talak

Pasal 120
Putusnya perkawinan karena cerai talak mengakibatkan bekas suami wajib:
a. Memberikan mutah yang layak berupa uang atau benda kepada bekas isterinya, kecuali qabladdukhul yang sudah ditetapkan maharnya;
b. Memberi nafkah, tempat kediaman, dan pakaian kepada bekas isteri selama dalam idah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi seluruh mahar yang masih terhutang, dan separuhnya apabila qabladdukhul yang sudah ditetapkan maharnya; dan
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pasal 121
Bekas suami berhak melakukan rujuk dengan bekas isterinya yang masih dalam idah raj’i.

Pasal 122
Bekas isteri selama idah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak menikah dengan laki-laki lain.

Bagian Kedua
Waktu Tunggu

Pasal 123
(1) Waktu tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali perceraian qabladdukhul.
(2) Waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian suami;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 9 (sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; terhitung sejak:
- Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus ka-rena cerai talak, atau
putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perkawinan putus karena cerai gugat dan kare-na putusan Pengadilan;
- Apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
- Waktu tunggu bagi isteri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga bulan (90 hari).
- Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena menyusui, maka idahnya satu tahun, akan tetapi bila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 124
Apabila bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raj’i sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf b, ayat (3) dan ayat (4), maka idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung sejak kematian bekas suami.


Bagian Ketiga
Harta Bersama Akibat Perceraian

Pasal 125
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan Pasal 93.


Bagian Keempat
Akibat khuluk

Pasal 126
Perceraian dengan talak khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.


Bagian Kelima
Akibat lian

Pasal 127
(1) Apabila lian terjadi maka perkawinan putus untuk selamanya.
(2) Status anak yang lahir dari perkawinan yang putus karena lian dinasabkan kepada ibunya sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
(3) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah anak ayahnya, maka ia dinasabkan kepada ayahnya dan nafkahnya menjadi kewajiban ayahnya.


B A B XVII
PEMELIHARAAN ANAK (HADANAH)

Pasal 128
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Hak pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun dipegang oleh ibunya, kecuali untuk ke-pentingan anak, pengadilan memutuskan lain;
b. Apabila ibu anak sebagaimana dimaksud pada huruf a me-ninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1) Perempuan dalam garis lurus dari ibu,
2) Ayah,
3) Perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah,
4) Saudara perempuan anak yang bersangkutan,
5) Perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu, atau
6) Perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ayah.

Pasal 129
(1) Biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya, dan apabila ayahnya telah meninggal dunia, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ahli waris atau kerabat ayahnya.
(2) Dalam hal ahli waris atau kerabat ayahnya sebagaimana disebut pada ayat (1) tidak ada, biaya pemeliharaan dibebankan kepada ibunya atau kerabat ibunya.

Pasal 130
Ayah menurut kemampuannya menanggung biaya hadanah sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa atau sudah berumur 21 tahun dan dapat mengurus diri sendiri.
Pengadilan dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak ikut pada ayahnya berdasarkan kemampuannya.

Pasal 131
(1) Anak yang sudah mumayiz berhak memilih hadanah dari ayah atau ibunya.
(2) Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun telah memberikan biaya nafkah dan hadanahnya secara cukup maka atas permintaan kera-bat yang bersangkutan Pengadilan dapat menggantinya dengan pemegang hak hadanah lainnya.

Pasal 132
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan memberikan putusannya berdasarkan Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103.


B A B XVIII
PERWALIAN

Pasal 133
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan/atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perwalian atas diri dan harta kekayaan anak.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya maka atas permohonan kerabat yang lain, Peng-adilan dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali.
(4) Wali diutamakan dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang muslim, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkela-kuan baik; atau badan hukum.

Pasal 134
Orangtua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak/anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 135
Pengadilan dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabat anak bila pemegang hak perwalian tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan/atau melalaikan, atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali, demi kepentingan terbaik bagi anak yang berada di bawah perwalian.

Pasal 136
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan, dan keterampilan la-innya untuk masa depannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan anak atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggungjawab terhadap harta anak yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul seba-gai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di ba-wah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua keterangan mengenai perubahan yang terjadi atas harta benda anak/anak-anak itu.
(5) Pertanggungjawaban wali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.

Pasal 137
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin.
(2) Dalam hal anak telah mampu mengurus diri dan hartanya walau-pun belum mencapai umur 18 tahun, maka atas permintaan a-nak yang bersangkutan, wali dapat melepaskan hak perwali-annya.
(3) Pengadilan berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

Pasal 138
Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau cara yang makruf apabila wali itu fakir.


B A B XIX
RUJUK

Pasal 139
(1) Bekas suami dapat merujuk bekas isterinya dalam idah talak raj’i.
(2) Bekas isteri dalam idah talak raj’i berhak menyatakan keberatan atas kehendak rujuk bekas suaminya.
(3) Rujuk suami dan/atau keberatan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya dapat dilakukan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(4) Pejabat Pencatat Nikah hanya dapat mencatat rujuknya suami apabila memperoleh persetujuan isteri.

Pasal 138
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya dari Kantor Urus-an Agama Kecamatan yang mencatat peristiwa rujuknya.

Pasal 139
Tata cara rujuk dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


B A B XX
PERKAWINAN CAMPURAN

Pasal 140
(1) Pelaksanaan perkawinan di Indonesia antara pasangan warga negara asing dan warga negara Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 26.
(2) Calon suami atau isteri yang berkewarganegaraan asing harus mendapatkan izin tertulis dari negara asalnya berdasarkan bukti dari kedutaan Negara yang bersangkutan.
(3) Calon suami yang berkewarganegaraan asing telah membayar uang jaminan kepada calon isteri melalui bank syariah di Indonesia sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).


B A B XXI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 141
Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 142
Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinannya batal karena hukum.

Pasal 143
Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)bulan.

Pasal 144
Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan sidang Pengadilan sebagaimana dalam Pasal 110 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)bulan.

Pasal 145
Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 146
Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 147
Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 148
Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 149
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 145 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 144, Pasal 146, dan Pasal 147 adalah tindak pidana kejahatan.


B A B XXII
KETENTUAN LAIN

Pasal 150
Perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, dan Pasal 146 dan/atau kejahatan sebagaimana dimaksud Pasal 142, Pasal 145, Pasal 147, dan Pasal 148 Undang-Undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan setelah Pengadilan menerima perkara tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat.

Pasal 151
Kepolisian dan Kejaksaan Negeri melakukan penyelidikan, penyi-dikan, dan penuntutan perkara pidana tersebut dalam Pasal 141 sampai Pasal 148 setelah menerima laporan dari masyarakat atau dari pihak-pihak yang berkepentingan.


B A B XXIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 152
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
(1) Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib diajukan permohonan isbat ke Pengadilan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Undang-undang ini berlaku.
(2) Tindak pidana perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini yang belum diajukan ke Pengadilan Negeri maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Agama.


B A B XXIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 153
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 150 Undang-Undang ini adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 154
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indo-nesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN


I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip itu menuntut penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai ba-gian dari kekuasaan negara harus diselenggarakan dengan atau berdasarkan undang-undang.

Dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, Mahkamah Agung dan badan peradilan agama menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Mengingat hukum materiil di bidang perkawinan belum memadai, sedangkan sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing, maka dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, para hakim berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat hukum materiil di bidang perkawinan.
Untuk memenuhi kebutuhan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dengan atau berdasarkan Undang-undang, dan masyarakat yang memerlukan kepastian hukum di bidang perkawinan, maka materi Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan perlu diatur dengan undang-undang, sebagaimana halnya materi Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditampung dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dengan pertimbangan perlunya Hukum Islam di bidang Perkawinan dijadikan sebagai bagian dari sistem hukum nasional serta adanya berbagai perubahan kehidupan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pemahaman mengenai perkawinan, maka Undang-undang ini melengkapi beberapa ketentuan hukum materiil di bidang perkawinan.
Beberapa materi pokok Undang-undang ini adalah sebagai berikut:

a. Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Undang-Undang ini mewajibkan pencatatan perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah untuk menjamin ketertiban administrasi perkawinan dan kepastian hukum bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan guna membentuk keluarga sakinah. Kewajiban hukum pencatatan perkawinan membebankan tugas dan wewenang kepada Pejabat Pencatat Nikah untuk mencatat perkawinan dan mengadministrasikannya dalam Akta Nikah dan Buku Pencatatan Rujuk. Selain itu pencatatan perkawinan merupakan peristiwa penting dari aspek administrasi kependudukan, sehingga Akta Nikah merupakan akta autentik dalam sistem administrasi Akta Catatan Sipil berdasarkan Undang-Undang.

b. Perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke Pengadilan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

c. Perkawinan mensyaratkan mempelai pria mencapai umur 21 tahun dan mempelai wanita 18 tahun. Peningkatan batas minimum usia perkawinan ini dengan pertimbangan bahwa kondisi kehidupan keluarga (rumah tangga) sakinah menuntut kesiapan suami dan isteri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang makin berat antara lain dalam mengusahakan nafkah dan penyediaan tempat kediaman sehingga diperlukan tingkat kedewasaan yang umumnya ditandai dengan kematangan usia (maturity). Dengan demikian perkawinan di bawah umur yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan ini harus dengan dispensasi Pengadilan.

d. Mengingat perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum agama, maka larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam dimaksudkan untuk menghindari konflik yang terus menerus dalam rumah tangga yang dibangun atas dasar perbedaan agama (interfaith marriage). Perbedaan agama yang terjadi ka-rena salah satu pihak keluar dari agama Islam (murtad) menjadi alasan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan.

e. Mengingat penegakan hukum materiil di bidang perkawinan termasuk kewenangan yang berada dalam lingkungan peradilan agama, maka perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran Undang-Undang ini harus diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama setelah perkara tersebut dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri setempat.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
cukup jelas

Pasal 3
cukup jelas

Pasal 4
Kata “wajib” dalam pasal ini dimaksudkan sebagai kewajiban administrasi.

Pasal 5
ayat (1)
cukup jelas

ayat (2)
Perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah berakibat suami atau isteri tidak mendapatkan akta nikah sebagai bukti autentik sahnya perkawinan. Perkawinan yang tidak memiliki bukti autentik tersebut menyebabkan suami atau isteri tidak memperoleh perlindungan hukum dalam hal gugat menggugat di Pengadilan seperti gugatan perceraian, pembagian harta bersama, nafkah, waris mewaris atau untuk kepentingan lainnya.

Pasal 6
Ayat (1)
Kepada masing-masing suami dan isteri diberikan Kutipan Akta Nikah yang dapat digunakan sebagai alat bukti per-kawinannya.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan adanya tata cara peminangan menurut adat dan tata cara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Peminangan terhadap janda yang ditinggal mati suaminya tidak boleh menggunakan kalimat yang jelas (sharih) mengandung makna pinangan melainkan hanya dengan menggunakan kalimat sindiran/kiasan (ta’ridl).

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa antara peminang dan yang dipinang belum mempunyai ikatan sebagai layaknya suami isteri, sehingga berlaku ketentuan larangan khalwat.

Ayat (2)
Terdapat banyak ragam tata cara peminangan yang dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia yang telah menjadi tradisi. UU ini hendak memberi batasan bahwa kebiasaan/ tradisi yang diperbolehkan adalah yang tidak bertentangan dengan syariah.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kerugian adalah kerugian yang bersifat materiil. Dalam peminangan dapat saja terjadi penawaran atau pengajuan syarat-syarat tertentu yang telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Maka, dalam hal pemutusan hubungan pinangan menimbulkan kerugian materiil, ia dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Wali dikatakan ‘adhal apabila ia enggan menikahkan anak perempuannya yang telah balig dengan laki-laki yang sekufu.

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Yang dimaksud dengan perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu (misalnya sebulan atau setahun), dengan maksud untuk mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual. Perkawinan ini dilarang karena bertentangan dengan syariat dan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan hukum agama yang mengatur tentang zina. Kebolehan menikahi perempuan hamil berdasarkan dalil dalam surah An Nur ayat 4, kecuali dengan orang-orang yang diharamkan menikahi perempuan hamil tersebut karena mahram, serta orang yang berbeda kewarganegaraan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 48
Yang dimaksud dengan laki-laki lain dalam pasal ini adalah selain pelaku pemerkosa.

Pasal 49
Dalam hal terdapat lebih dari seorang laki-laki yang menzinai seorang perempuan yang belum kawin sehingga mengakibatkan kehamilan perempuan tersebut, maka dimungkinkan terjadi perselisihan mengenai siapa yang harus diminta pertanggungjawabannya oleh pihak perempuan.

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa isteri menempati kedudukan terhormat dalam keluarga sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab dalam mengurus dan mengatur rumah tangga serta sebagai pendamping suami (ro’iyah fi bayti zaujiha).

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Cukup jelas

Pasal 89
Cukup jelas

Pasal 90
Cukup jelas

Pasal 91
Cukup jelas

Pasal 92
Cukup jelas

Pasal 93
Cukup jelas

Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95
Cukup jelas

Pasal 96
Cukup jelas

Pasal 97
Cukup jelas

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bukti lainnya” adalah alat bukti menurut hukum acara.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 100
Cukup jelas

Pasal 101
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

Pasal 105
Cukup jelas

Pasal 106
Cukup jelas

Pasal 107
Cukup jelas

Pasal 108
Cukup jelas

Pasal 109
Cukup jelas

Pasal 110
Cukup jelas

Pasal 111
Cukup jelas

Pasal 112
Cukup jelas

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Cukup jelas

Pasal 115
Cukup jelas

Pasal 116
Cukup jelas

Pasal 117
Cukup jelas

Pasal 118
Cukup jelas

Pasal 119
Yang dimaksud dengan pihak lain dalam pasal ini seperti anak, wali nikah, orang tua, saudara, dan sebagainya.

Pasal 120
Cukup jelas

Pasal 121
Cukup jelas

Pasal 122
Cukup jelas

Pasal 123
Cukup jelas

Pasal 124
Cukup jelas

Pasal 125
Cukup jelas

Pasal 126
Cukup jelas

Pasal 127
Cukup jelas

Pasal 128
Cukup jelas

Pasal 129
Cukup jelas

Pasal 130
Cukup jelas

Pasal 131
Cukup jelas

Pasal 132
Cukup jelas

Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan badan hukum, antara lain yayasan atau perkumpulan yang bertindak sebagai wali pengampu yang tidak bertentangan dengan syariah.

Pasal 134
Cukup jelas

Pasal 135
Cukup jelas

Pasal 136
Cukup jelas

Pasal 137
Cukup jelas

Pasal 138
Cukup jelas

Pasal 139
Cukup jelas

Pasal 140
Cukup jelas

Pasal 141
Cukup jelas

Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan mengenai pembebanan uang jaminan terhadap calon suami warga negara asing dimaksudkan untuk melindungi hak-hak isteri dan anak-anak, apabila suami menelantarkan, tidak memberi nafkah, meninggalkan Indonesia secara diam-diam, murtad, menceraikan dan lain-lain yang merugikan kepentingan isteri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Uang jaminan tersebut menjadi hak isteri berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan eksekusi isteri. Apabila kehidupan perkawinan berjalan secara wajar dan baik selama 10 tahun maka uang jaminan tersebut dapat diminta oleh kedua belah pihak se¬bagai harta bersama.

Pasal 143
Cukup jelas

Pasal 144
Cukup jelas

Pasal 145
Cukup jelas

Pasal 146
Demi mewujudkan kemaslahatan umum (maslahat al-‘ammah) dan mencegah praktik talak di bawah tangan maka selain mengatur tata cara penjatuhan talak oleh suami terhadap isteri harus dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan di depan sidang Pengadilan, perlu ditetapkan pula sanksi pidana terhadap penyim¬pangan tersebut yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang ini agar hak talak yang dimiliki suami tidak digunakan secara ceroboh dan semena-mena.

Pasal 147
Cukup jelas

Pasal 148
Cukup jelas

Pasal 149
Cukup jelas

Pasal 150
Cukup jelas

Pasal 151
Cukup jelas

Pasal 152
Cukup jelas

Pasal 153
Cukup jelas

Pasal 154
Cukup jelas

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang