| 1 komentar ]

Donny Danardono*]

Dalam catatan saya sudah sejak 2003 LRC-KJHAM menjalankan monitoring tahunan terhadap kekerasan berbasis jender yang terjadi di Jawa Tengah dan mempublikasikannya. Sekali saja mereka absen, yaitu 2007. Data-data tentang kekerasan jender itu mereka kumpulkan dari berita-berita yang ada di harian Suara Merdeka, KOMPAS, Wawasan, Jawa Pos – Radar Semarang, dan Pos Solo; dan tentunya juga dari kasus-kasus yang dilaporkan ke LRC-KJHAM sendiri.
Mereka menjalankan monitoring itu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Wanita, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai instrumen hukum internasional dan nasional yang terkait dengan berbagai bentuk kekerasan seksual, fisik, psikologis, ekonomis terhadap perempuan (bentuk-bentuk perkosaan dan pelecehan seksual, maupun trafficking).
Maka, monitoring itu bukan sekedar kompilasi maupun kepedulian terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis jender di Jawa Tengah. Secara tak langsung ia juga merupakan sosialisasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita dan berbagai instrumen hukum yang melindunginya. Dalam jangka waktu tertentu masyarakat akan tahu tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap wanita. Monitoring ini mengubah peristiwa menjadi pengetahuan.

Dari Peristiwa Menjadi Pengetahuan: artikulasi kuasa dalam koran sebagai ruang
Goenawan Mohamad – wartawan, salah seorang pendiri majalah Tempo, dan penyair – pernah mengatakan setiap pembaca koran punya kecenderungan mengabaikan berita-berita yang tiap pagi ia baca. Berita-berita itu mengalir terlalu deras dan tak juga mampir. Ia mengharapkan seorang juru kisah – dalam hal ini penulis cerita pendek di berbagai koran – bisa menggantikan peran wartawan. Para penulis cerita pendek ini akan menebus kembali pemberitaan fragmen-fragmen kehidupan yang mengalir terlalu deras itu di koran-koran:

Ada momen ketika fragmen-fragmen kehidupan datang dengan deras dalam pemberitaan dalam pemberitaan, terserak-serak, dan tiap kali terancam akan hanyut oleh arus waktu (meskipun kelak mungkin akan menjadi anasir dari yang disebut “sejarah”). Dalam keadaan seperti itu, “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat” – untuk memakai kalimat masygul Walter Benjamin. Sebagai alternatif, sang juru kisah datang. Tiap fragmen boleh dikatakan punya peluang untuk ditebus kembali. Sebuah bentuk lain, khususnya cerita pendek, bisa melakukannya.

Walau demikian, Goenawan Mohamad mencatat bahwa tak semua cerita pendek di KOMPAS bisa menjadi penebus pemberitaan di KOMPAS yang mengalir terlalu deras itu. Tak sedikit cerita pendek yang ditulis sama realisnya dengan berita-berita koran. Cerita pendek-cerita pendek itu hanya menyajikan informasi seperti halnya pemberitaan. Maka isi-nya tak juga mampir di benak dan hati pembacanya:

Di tengah unggunan berita yang diletakkan di koran-koran, kita tak selamanya menemukan sebuah cerita pendek yang membawa kita ke sebuah pengalaman alternatif. Ada cerita pendek yang ditulis dan dimuat, tapi yang kita dapatkan tetap sederet informasi, tanpa mengalami metamorfosis. Dalam hal itu cerita pun praktis menjadi sebuah kotak wadah belaka, dengan apa seorang penulis memasukkan pikirannya. Kenapa orang menulis cerita pendek? Kenapa tidak menulis artikel, editorial, surat pembaca, brosus – hal-hal yang juga penting, jika yang hendak disampaikan adalah informasi, atau penjelasan, atau statemen politik?

Menurutnya, cerita pendek yang baik (yang berpotensi menebus kegagalan berita-berita mampir di benak dan hati pembaca) harus mengakhiri sifat fragmen informasi dari berita-berita koran. Caranya adalah dengan menghapuskan batas ‘baru’ dan ‘lama’ berita. Atau menghapuskan batas cerita pendek sebagai sebuah “bentuk” bertutur tertentu dengan “isi” cerita pendek itu sendiri. Sehingga menikmat cerita pendek adalah sekaligus menikmati “bentuk” dan “isi”. Hanya dengan cara ini cerita pendek akan menjadi peristiwa literer yang berkesan, yaitu menjadi penebus berita-berita koran yang fragmentaris, yang mengalir terlalu deras dan tak hendak mampir itu:

Berbeda dengan berita, kisah yang datang kemudian tidak dimaksudkan menambah atau memperbaiki apa yang sebelumnya. Masing-masing berdiri sendiri. Ketika pengisah datang dan menggantikan pewarta, dan kisah pun lahir; wujud yang sampai kepada kita mnejadi berarti justru karea ia telah meniadakan batas “baru” dan “lama”. Penebusan kembali itu berlangsung dalam sebuah proses yang umumnya disebut “bentuk”. [...]. “Isi” menjadi “bentuk”, dan “bentuk” menjadi “isi”. [...]. Dengan begitu sebuah cerita pendek menjadi peristiwa literer.

Pada dasarnya apa yang disampaikan oleh Goenawan Mohamad tersebut bukan sekedar bagaimana menulis cerita pendek yang baik. Ia terutama mau menyampaikan bagaimana cerita pendek di koran bisa mengartikulasikan makna-makna berbagai berita di koran. Tepatnya, tentang bagaimana cerita pendek dan berita-berita sebagai bentuk-bentuk kuasa (wacana) yang berbeda, yang “seharus” bisa saling mengartikulasikan dalam sebuah koran sebagai sebuah ruang pemberitaan. Sehingga baik berita koran maupun cerita pendek berhenti menjadi peristiwa dan berubah menjadi pengetahuan. Berita-berita dan cerita pendek bisa saling menebus kekurangan masing-masing.

Mengartikulasikan Peristiwa Kekerasan Jender sebagai Pengetahuan: Monitoring Tahunan LRC-KJHAM
Disadari atau tidak tampaknya LRC-KJHAM tahu, bahwa berita-berita koran tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah mengalir terlalu deras dan sulit mampir di benak pembacanya. Untuk itu mereka membuat monitoring tahunan tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita di Jawa Tengah dan mempublikasikannya. Maka, seperti sebuah cerita pendek yang baik, monitoring LRC-KJHAM ini menebus kembali berita-berita koran yang mengalir terlalu deras, maupun kasus-kasus yang mereka tangani yang nyaris jauh dari pengetahuan publik. Monitoring ini mengubah peristiwa kekerasan terhadap perempuan menjadi pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan. Sehingga pada waktunya ia membantu khalayak mencegah kekerasan terhadap wanita.
Perubahan dari peristiwa kekerasan terhadap wanita menjadi pengetahuan tentang kekerasan terhadap wanita tampak dari cara LRC-KJHAM menyeleksi peristiwa dan melaporkannya. Mereka “membaca” – dan dengan demikian menyeleksi – peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional dan nasional yang mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita dan yang bisa melindungi wanita. Dengan cara ini proses monitoring ini tak hanya mengkompilasikan kasus-kasus kekerasan terhadap wanita, tapi terutama juga menyebarkan pengetahuan “baru” tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita kepada masyarakat, dan juga para penegak hukum.
Misalnya pada monotoring 2007 secara rapi LRC-KJHAM membuat pemilahan bentuk-bentuk kasus kekerasan terhadap wanita di Jawa Tengah. Mulai dari perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual terhadap perempuan, kekerasan terhadap prostitut perempuan, kekerasan terhadap buruh migran perempuan, dan perdangan perempuan.
Pada masing-masing bentuk kekerasan tersebut mereka mengartikulasikan bentuk pemberitaan dari media massa tentangnya. Artikulasi itu mereka lakukan dalam bentuk kutipan yang kemudian mereka masukkan dalam BOX KASUS. Misalnya, mereka mengutip pemberitaan Wawasan – sebuah harian sore di Semarang – tentang perkosaan ayah terhadap putri kandungnya sebagai berikut:











Teknik kutipan yang kemudian dimasukkan dalam BOX KASUS ini tak hanya mengingatkan orang tentang kasus tersebut, tapi juga mengingatkan ayah sangat mungkin memerkosa anaknya dan kasus itu terjadi di Jawa Tengah. Mereka kemudian menyampaikan jumlah kasus perkosaan di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Tengah, relasi antara pemerkosa dan korban (kebanyakan pemerkosa adalah orang yang dikenal akrab oleh korbannya, yaitu tetangga, teman, orang tua, kepala sekolah, guru sekolah, majikan, dan kakak ipar. Hal ini membuktikan, bahwa perkosaan terjadi bukan karena hasrat seksual yang besar pada pria atau wanita korban yang berpenampilan seronok, tapi karena relasi-kuasa-gender yang timpang). Mereka juga menyampaikan usia pemerkosa dan korbannya. Yang mengerikan adalah ternyata 11 orang korban masih berusiah di bahwa lima tahun. Sementara 32 orang pemerkosa berusia antara 6 – 18 tahun. Catatan monitoring seperti ini tak hanya meminta kewaspadaan siapa siaja – terutama aparat penegak hukum – untuk mengetahui siapa yang potensial menjadi korban perkosaan dan pemerkosa. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus perkosaan juga beragama, yaitu mulai dari kekeluargaan, kedinasan, dilaporkan ke kepolisian, di periksa di pengadilan, ada juga yang mencabut laporan, tapi yang mencengangkan ada juga yang membiarkan. Dilaporkan juga besar tuntutan jaksa dan vonis hakim terhadap pemerkosa (mulai dari 2 tahun sampai seumur hidup). Tak kalah menariknya monitoring ini juga dilakukan terhadap strategi pemerkosaan (mulai dari iming-iming (janji) memberi permen, mainan, uang, ataupun ancaman kekerasan). Pengetahuan tentang strategi perkosaan ini terlalu penting untuk diabaikan oleh setiap orang, khususnya para wanita.
LRC-KJHAM juga memonitor hal-hal yang kurang lebih sama untuk kasus-kasus lainnya. Walau demikian ada juga kelemahaman dari proses monitoring ini. Misalnya, mereka memasukkan berbagai hal yang agak berbeda dalam satu tabel yang sama. Barang tentu hal ini akan membingungkan pembaca laporan monitoring ini. Misalnya, mereka menganggap kasus buronnya pemorkosa sebagai “bentuk penyelesaian kasus perkosaan” dan memasukkan dalam tabel yang sama dengan bentuk penyelesaian “dilaporkan ke kepolisian”, “diselesaikan secara kekeluargaan”, “diselesaiakan secara kedinasan” ataupun “pencabutan laporan”. Mereka juga memasukkan proses-proses penyelesaian di tingkat kepolisian dengan pelaporan ke polisi. Sesuatu yang membingungkan.


Tabel 5 : Penyelesaian Kasus-Kasus Perkosaan di Jawa Tengah :

No Penyelesaian kasus Kasus
1 Di Laporkan Polisi 14
2 Pelaku Buron Polisi 7
3 Pelaku Diamankan Polisi 2
4 Di Tangkap /Di tahan 75
5 Pemeriksaan Polisi 16
6 Penyidikan Polisi 12
7 Keluarga Mencabut Laporan -
8 Proses Persidangan 6
9 Putusan Pengadilan /Vonis 9
10 Kekeluargaan 1
11 Tidak ada penyelesaian (dibiarkan) 2
12 Kedinasan 1
13 Mencabut laporan 1
Jumlah 146 Kasus

artikel ini dipresentasikan tanggal 10 Desember 2008 di Gedung Serba Guna DPRD Jawa Tengah

1 komentar

Unknown mengatakan... @ 28 Juni 2013 pukul 16.05

yang mencabut laporan itu karena damai? apakah ada mediasi? mengapa kepolisian mau melepaskan tersangka, padahal perkosaan sifatnya delik bukan aduan, alasan polisi apa? terimakasih

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang