* Oleh Evarisan
PRO-KONTRA RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Ini menunjukkan memang ada masalah dengan Undang-undang (UU) yang mengatur tentang Perkawinan, UU No 1 Tahun 1974, saat ini dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.
Hal yang menghebohkan lagi saat ini adalah munculnya ketakutan dan kecemasan sekelompok masyarakat terhadap pelarangan nikah siri. Padahal, RUU yang ada hanya memidanakan perkawinan yang tidak dicatatkan. Intinya, perkawinan yang hanya sah secara agama atau keyakinan belumlah cukup, sehingga harus sah pula di mata negara (UU), baik melalui Catatan Sipil (nonmuslim) dan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk muslim.
Selain memidanakan perkawinan yang tidak dicatatkan, RUU tersebut juga akan mempidanakan pelaku kawin kontrak (mut’ah), poligami tanpa melalui mekanisme pengadilan, dan perzinahan yang mengakibatkan perempuan hamil namun tidak mau menikahi, yang biasa dikenal dengan kekerasan dalam pacaran (KdP).
Hal lain yang diatur adalah memidanakan suami apabila menceraikan istri tanpa melalui mekanisme pengadilan. Ini seringkali terjadi, bahkan ada yang menceraikan (talak) istrinya hanya melalui pesan singkat (SMS).
Lahirnya RUU tentang Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang saat ini sudah masuk dalam daftar prolegnas bukanlah tanpa alasan. Selain belum ada undang-undang yang mengatur, juga dilihat dari dampaknya terhadap perempuan dan anak, karena hanya menyisakan kesengsaraan pada perempuan dan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Belum Lengkap Pada 2009, LRC-KJHAM setidaknya menangani 12 kasus perkawinan yang tidak dicatatkan dan perkawinan poligami yang korbannya tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Nikah siri adalah kerugian bagi istri. Secara hukum tidak dianggap sebagai istri sah, karena tidak memiliki bukti yang autentik. Akibatnya, istri tidak berhak atas nafkah apabila ditelantarkan, warisan apabila suaminya meninggal, harta gono-gini, nafkah iddah, dan mutÃah apabila terjadi perceraian.
Dampaknya pada anak yang dilahirkan pun tidak memiliki status hukum terhadap bapak biologisnya. Akibatnya, tidak mendapat nafkah, warisan, biaya pendidikan, dan secara psikologis akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam lingkungan sosial, karena dianggap anak di luar kawin.
Selain itu, apabila terjadi kekerasan fisik, psikhis, seksual, dan ekonomi terhadap istri dan anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) tidak dapat digunakan. Undang-undang ini mensyaratkan adanya bukti autentik yang menunjukkan relasi suami istri, yaitu surat nikah resmi yang dikeluarkan Catatan Sipil ataupun dari Kantor Urusan Agama (KUA).
Demikian pula terhadap kawin kontrak, karena perkawinan hanya dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan penghulu dan tidak mengikuti persyaratan sesuai ketentuan agama dan keyakinan yang berlaku dan perkawinan dilakukan dalam waktu tertentu.
Tentu saja perkawinan tersebut tidak sah secara agama, juga negara. Kawin kontrak identik dengan prostitusi terselubung. Dampaknya perempuan dan anak yang dilahirkan pun tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Sementara poligami, selain melukai perasaan istri (kekerasan psikis), perspektif yang mendasari diperbolehkannya laki-laki berpoligami mengabaikan perspektif perempuan yang sangat menyubordinatkan perempuan.
Tinjau Ulang Berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Pasal 16, Negara-negara Peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pada Ayat 2 dijelaskan, pertunangan dan perkawinan seorang anak-anak tidak boleh memiliki akibat hukum, dan harus diambil semua tindakan yang diperlukan, termasuk perundang-perundangan untuk menetapkan batas usia perkawinan, dan untuk mendaftarkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil yang resmi.
CEDAW merupakan instrumen pokok Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya dijadikan sebagai kerangka acuan dalam pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Perempuan di Indonesia. Sebuah keharusan bagi sebuah negara yang telah meratifikasi dan menjadikannya sebagai hukum nasional, karena telah mengesahkannya melalui UU No 7 Tahun 1984.
Selain CEDAW, instrumen lain yang sama pentingnya adalah Rekomendasi Umum No 21 tentang Kesetaraan dalam Perkawinan dan Hubungan Keluarga, khususnya pada poin 14, pelarangan dan pencegahan terhadap perkawinan poligami, karena bertentangan dengan hak perempuan untuk setara dengan laki-laki, dan dapat mengakibatkan konsekuensi emosional dan finansial yang serius bagi perempuan dan anak-anaknya.
Pada poin 17 terkait pelarangan kawin siri, karena berdampak pada pembatasan hak-hak untuk memiliki status dan tanggung jawab yang setara dalam perkawinan. Ini berlanjut pada poin 36, bahwa usia minimum untuk perkawinan adalah 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan, yang mengharuskan perkawinan harus dilarang sebelum mereka mencapai usia itu. Dari sisi kesehatan, WHO menengarai, perkawinan pada perempuan usia dini akan berdampak negatif saat melahirkan, kesehatan, dan pendidikannya.
Untuk merealisasikan Hak Asasi Perempuan di Indonesia, pemerintah sebagai pemegang mandat wajib melakukan upaya konkret dalam bentuk penyediaan aturan perundang-undangan, penyusunan program, dan anggaran untuk mempercepat pencapaian pemenuhan Hak Asasi Perempuan secara efektif dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh perempuan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain; pertama, negara harus intervensi terhadap dampak yang ditimbulkan dari perkawinan tidak dicatatkan, poligami tanpa izin pengadilan, kawin kontrak, dan perzinahan yang mengakibatkan perempuan hamil sedangkan pihak laki-laki tidak mau menikahi. Untuk itu, segera membahas draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Kedua, menyosialisasikan draft RUU secara luas ke seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan respons positif agar terwujud UU yang menghormati Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Asasi Perempuan dan Anak. Ketiga, mempersiapkan perangkat untuk dapat direalisasikannya RUU tersebut ketika sudah disahkan menjadi UU. (37)
- Evarisan SH MH, direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang
Pernah Di Muat di Suara Merdeka tanggal 24 Februari 2010 di Rubrik Perempuan
[13.29
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang