Baru saat ini saya benar-benar berfikir kalau menjadi buruh migrant merupakan hak setiap manusia, kalau di Indonesia berarti hak setiap warga Negara Indonesia. Kenapa tidak dinegara ini sampai sekarang belum memiliki kapasitas cukup untuk memberikan lapangan kerja pada seluruh warganegaranya. Sebelumnya saya berfikir kalau masih ada pilihan lain kenapa harus menjadi TKI, bahkan saya berfikir menjadi TKI ke luar negeri atau istilah lainnya buruh migrant adalah pilihan orang-orang tidak kreatif yang tidak bisa bertahan dan mencari peluang di negeri sendiri.
Tapi bukankah setiap manusia punya hak untuk memilih apa yang akan dia lakukan termasuk menjadi TKI di luar negeri. Jadi sangat disayangkan di tengah permasalahan tantangan penderitaan yang di alami buruh migrant diantaranya gaji tidak di bayar, mengalami kekerasan fisik dan psikologis, pelecehan seksual, namun jalan keluar yang di tawarkan pemeritah begitu sederhana yaitu hentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Hal tersebut tak akan menjadi soal ketika Di dalam negeri tersedia lapangan kerja yang luas dan layak. Kebutuhan itu belum dipenuhi Pemerintah.
Mayoritas keberangkatan buruh migrant ke luar negeri di latar belakangi oleh persoalan ekonomi, karna kesempatan kerja sedikit, mau berwirausaha tak punya akses untuk mendapatkan modal, dan tidak memiliki lahan untuk digarap sehingga menjadi buruh tani sangat tidak menjanjikan untuk mencapai kesejahteraan .
Yang melatarbelakangi Perubahan mendasar pandangan saya terhadap pilihan menjadi TKI adalah FPAR. Apa sebenarnya FPAR sehingga harus sampai merubah cara pandang saya. FPAR atau Feminits participation action research adalah sebuah aktifitas penelitian yang sangat berbeda dengan penelitian konvensional. FPAR memposisikan peneliti untuk belajar banyak hal dan tidak memposisikan diri sebagai orang yang lebih tahu. FPAR adalah penelitian bersama komunitas yang harus melibatkan pengalaman komunitas, komunitas tidak hanya sebagai object penelitian tidak hanya sebagai sumber data tapi harus memberdayakan seluruh elemen komunitas sehingga pasca penelitian hasilnya tidak hanya karya tulis hitam diatas putih tapi ada langkah nyata atau aksi perubahan yang dilakukan bersama-sama. Dan FPAR memiliki ruh nilai yaitu nilai-nilai feminism yang meniscayakan solidaritas antar perempuan sehingga menjadi berdaya.
Kita bisa melihat betapa FPAR berbeda dengan penelitian konvensional, Saya berani mengatakan bahwa FPAR akan terus membantuku belajar dan terus belajar lebih humanis. Dari metodologinya tergambar FPAR bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa mengikuti keadaan. Story telling dan writing serta menggambar menjadi aktifitas yang dilaksanakan di FPAR, agar komunitas berekspresi.
Selain itu sangat penting bagi Peneliti dalam FPAR untuk merekam proses penelitian dalam sebuah buku harian( diary) sebagai refleksi dan untuk mengevaluasi langkah-langkahnya. FGD (focus group discussion) pun jadi aktifitas yang bisa dilaksanakan dengan komunits buruh migrant yang notabennya penduduk desa. Sungguh sebelum bersentuhan dengan FPAR saya merasa mustahil bisa berdiskusi dengan orang desa. Saya selalu merasa memiliki pengetahuan lebih dari mereka dan khawatir mereka tidak akan bisa mengikuti alur pikir saya. Ternyata tanpa sadar sayalah yang begitu picik karna selalu terjebak dengan pikiran semacam itu.
FPAR kali ini dilaksanakan LRC KJHAM di Desa Rowo Branten Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal. Salah satu latar belakang mengapa memilih lokasi penelitian di kabupaten Kendal adalah karena menurut Depnaker Kendal, Kab. Kendal terdata sebagai kapubaten terbesar kedua pengirim buruh migrant setelah Kabupaten Cilacap.
FPAR ini berusaha menggali keterkaitan antara Gender dengan persoalan migrasi perempuan dan perdagangan manusia dan prosesnya baru mencapai setengah perjalanaan. Dibutuhkan kesabaran tinggi untuk menggali data namun tetap memberi kontribusi pada sumber data tersebut. Karna sesuatu yang monoton sering terjadi, misalnya dalam menelusuri latar belakang keberangkatan buruh migrant ke luar negeri, hanya ada satu alasan yang selalu muncul yaitu masalah ekonomi. Sehingga masih butuh waktu untuk menggali persoalan lain misalnya relasi kuasa mengapa akhirnya perempuan menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh migrant., tanpa memaksakan pandangan kita tentang hal tersebut.
Perjalanan FPAR ini masih membutuhkan banyak langkah strategis untuk mampu memberdayakan masyarakat dan upaya menjadi problem solving bagi mereka sendiri, karna peneliti bukanlah problem solver. Peneliti merupakan bagian dari komunitas yag sedang belajar bersama dan menjadi fasilitator untuk mengetahui masalah dan mengupayakan penyelesaian. Membuat mereka bergantung dengan relasi kuasa lain misalnya LSM atau NGO yang hanya akan menimbulkan masalah baru.
Terinspirasi dari FPAR sebelumya di desa Wedoro Kabupaten Grobogan yang di motori Dewi Nova dan Evarisan yang telah berhasil mengorganisasikan beruh migrant disana untuk bisa berbuat untuk diri mereka sendiri. Serta karya yang merupakan dokumentasi asli dari aktivitas komunitas buruh migrant selama FPAR. Semoga perjalanan yang baru akan menginjak setengah ini akan mampu menghasilkan hal yang sama atau seharusnya menjadi lebih baik karna FPAR kali memiliki kesempatan banyak belajar dari yang sebelumnya telah dilaksanakan.
Afidah (Volunteer Divisi Pendidikan dan Riset LRC-KJHAM Semarang)
Catatan Pengalaman pendampingan pada kelompok buruh migran di Desa Rowobranten Kecamatan Ringinarum Kab. Kendal Provinsi Jawa Tengah
[15.07
|
2
komentar
]
2 komentar
semoga FPAR nya menghasilkan sesuatu yang revolusioner
DERITA KAUM BURUH
Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.
**********
Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.
THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.
Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).
Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.
Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.
“kesejahteraan kaum buruh Indonesia hanyalah impian kosong belaka”
Posting Komentar
Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang