| 1 komentar ]


Disampaikan oleh;
Nihayatul Mukharomah

I.    Abstraksi
Perempuan yang pada awalnya dianggap sebagai tokoh yang bertubuh sakral oleh mitologi kuno, yang kemudian perempuan dianggap menjadi awal seluruh kesengsaraan manusiawi pada saat lahirnya agama monoteis. Pada akhirnya perempuan adalah sasaran empuk sebagai korban kekerasan.
II. Pendahuluan
Adalah menarik untuk melihat bahwa sejak dahulu kala hampir disetiap negara atau bangsa, perempuan selalu digambarkan memiliki peran, fungsi, dan tanggung jawab sosial yang berbeda dengan laki-laki. Tetapi awalnya perbedaan tersebut selalu bersifat saling melengkapi dan tidak merendahkan antara yang satu dengan yang lainnya.[1]
Yang kemudian harus dicatat dari watak tersebut adalah nilai bahwa dalam mitologi kuno terdapat sebuah sakralisasi perempuan sebagai sumber kekuatan kehidupan. Sakralisasi tersebut bukan hanya terpusat untuk dirinya tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Satu hal yang layak dicatat adalah bahwa sakralisasi dari mitologi kuno tentang perempuan. Sifat tubuh perempuan yang dianggap menjadi sumber kekuatan sakral kehidupan adalah rahim yang memberi kelahiran dan payudara yang memberi dan mempertahankan kehidupan. Artinya sejak awal perempuan selalu diletakkan sebagai mahkluk social yang terikat dalam hubungan interaksi dengan mahkluk-mahkluk yang lain.[2]
Celakanya kemudahan yang diperoleh perempuan sebagai warga negara, ternyata menyisakan jejak perjalanan kebudayaan dalam setiap kemajuan yang berhasil dicapai. Tanpa bisa ditolak, perjalanan panjang kebudayaan selama 20 abad telah secara sistematis membagi ruang perempuan yang jauh dari laki-laki. Maka walaupun kemajuan telah memberi ruang lebih besar pada kegiatan publik, pada kenyataannya terbukti bahwa dalam banyak bidang perempuan tetap dilihat atau bahkan diperlakukan lebih rendah daripada laki-laki. Walaupun pendidikan telah berhasil mencetak kualitas berpengetahuan yang sama antara anak didik perempuan dengan anak didik laki-laki, tetapi ketika mereka harus terjun dan bersaing di pasar kerja, seluruh mitologi perempuan seperti dianggap lemah, kemampuan berpikirnya rendah, hanya bermodalkan tubuh dan tubuhnya bermasalah untuk mengikuti pola kerja industrial, membuat perempuan selalu dikalahkan dalam persaingan kerja.[3]
Terlalu sederhana kalau kita hanya melihat bahwa kekerasan adalah semata-mata bersifat fisik seperti pemukulan, penganiayaan, atau penyiksaan yang dengan mudah menyisakan bukti yang kasat mata. Dalam banyak hal kekerasan selalu bisa mengambil banyak ketakutan secara terus-menerus, menerima ancaman, membuat seseorang dalam perasaan selalu terhina adalah bentuk lain yang sangat sulit dibuktikan, akan tetapi meninggalkan jejak panjang pada ingatan setiap orang. Dalam kerangka negara sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka bentuk-bentuk kekerasan seperti tadi menjadi sebuah takdir lain yang menyertai takdir perempuan.[4] Selain kekerasan seperti yang disebutkan diatas ada juga kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Kekerasan seksual tersebut bisa berupa pencabulan, pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan kawin, dan juga prostitusi.
III. Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan, berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan :
  1. Kekerasan seksual berat, berupa:
a.       Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b.      Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
c.       Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
d.      Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e.       Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f.       Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
  1. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.[5]
Berita-berita di media massa menunjukkan bahwa kasus eksploitasi seksual komersial pada anak-anak telah merebak di tengah masyarakat, dan menjadi fenomena tersendiri. Praktik penyekapan gadis-gadis di bawah umur untuk dijadikan pelacur terjadi di Hotel S, kawasan Kebayoran, Jakarta (Pikiran Rakyat, 24 September 1998). Di Boyolali, Jawa Tengah, terungakap adanya sindikat penjualan gadis di bawah umur. Gadis-gadis itu dijual Rp 450.000/orang ke sebuah penampungan wanita “nakal” di daerah Sunter, Jakarta Utara. Penampungan ini mempunyai jaringan dengan germo-germo di Jakarta dan sekitarnya (Kedaulatan Rakyat, 18 September 1998).
Ironisnya lagi, adanya sindikat penjualan gadis ini tidak hanya melibatkan calo. Banyak kasus penjualan anak gadis untuk dijadikan pelacur juga melibatkan orang tua anak yang bersangkutan. Ini terjadi di Lampung, dimana 10 keluarga petani menjual keperawanan anak gadis mereka untuk menyambung hidup (Liputan 6 SCTV, 4 Agustus 1998).
Sebelumnya, penelitian Kuntjoro (1989) menunjukkan bahwa Indramayu, Jawa Barat termasuk salah satu daerah  pensuplai gadis-gadis muda pekerja seks, di samping beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah yaitu Ngadirojo Kabupaten Wonogiri, Dukuh Seti Kabupaten Pati dan Bangsri Kabupaten Jepara.[6]
Dari pengalaman yang dilakukan Yayasan Kakak Solo (1998) melalui klinik medis dan psikologis, didapatkan gambaran bahwa anak-anak atau remaja yang dilacurkan atau terpaksa melacurkan diri berasal dari keluarga miskin dan keluarga disharmonis (broken home). Selain itu terdapat pula faktor perilaku konsumtif yang ternyata menjadi faktor pemicu lebih kuat. Pada satu sisi, pengalaman seksual usia dini, apalagi yang dibarengi dengan tindak kekerasan mendorong anak-anak itu untuk terjun ke dunia prostitusi karena anggapan sudah kepalang basah karena sudah tidak perawan lagi. Berdasarkan pemerikasaan dan tes kesehatan, sebagian dari anak-anak itu menderita penyakit menular seksual.[7]
Fenomena kekerasan seksual yang sering terjadi di masyarakat seperti kisah nyata yang dialami beberapa perempuan di bawah ini :
Yani, 15(bukan nama sebenarnya) tak pernah menyangka bahwa apa yang disebut kakaknya sebagai rumah kos ternyata sebuah tempat penampungan. Di situlah Yani mulai berkenalan dengan dunia seks komersial. Sebernarnya Yani hanya berniat untuk menjenguk sang kakak. Hingga suatu ketika, oleh germo yang disangkanya seorang ibu kos, Yani diperkenalkan kepada seorang pria setengah baya. Itu terjadi beberapa waktu setelah sang “ibu kos” mengajaknya ke dukun. Pria itu membawa Yani pergi ke sebuah hotel mewah. Pria itu pula yang kemudian merenggut kegadisan Yani. Adapun Yani sendiri tak menyadari saat melakukannya. Dia baru sadar apa yang terjadi ketika pria itu memberinya uang tunai sejumlah Rp 1 juta. Itulah awal mula Yani terjun ke dunia seks komersial.[8]
Tak ada niatan dalam diri Yesyy (bukan nama sebenarnya), untuk sengaja menjerumuskan diri ke dunia prostitusi. Pengalaman masa kecil yang pahit rupanya menjadi factor pendorong yang kuat bagi diri Yesyy untuk masuk ke dunia tersebut. Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian kiranya ungkapa yang pas untuk menggambarkan nasib Yesyy. Yesyy kecil yang mempunyai gangguan pendengaran dan akhirnya membuat dia juga mempunyai gangguan bicara, diperkosa oleh pamannya sendiri saat berusia 4 tahun. Desakan ekonimi dan faktor lingkungan ditambah perasaan kepalang basah karena sudah tak prawan lagi, membuat Yesyy pun tak kuasa menolak ajakan seorang temanya untuk menerjuni dunia seks komersial dan sekaligus menambah daftar panjang anak yang dilacurkan.[9]
Nita (bukan nama sebenarnya), 15, tak berdaya ketika sembilan laki-laki itu menyergapnya di kawasan Terminal Tirtonadi. Di antara mereka ada yang membawa pisau. Nita diancam akan dilukai jika tidak mau melayani. Nita yang lemah mencoba melawan. Tapi malah kena pukul. Nita yang sehari-harinya mengamen di lampu merah itu pun pingsan. Setelah pingsan Nita mendapati dirinya dalam keadaan tak berbalut selembar benangpun. Sementara daerah selakangannya terasa perih luar biasa.[10]
Dampak kekerasan terhadap perempuan, selain menimbulkan luka fisik, juga psikologis. Jumlah perempuan korban yang melaporkan kasusnya ke kepolisian tidak mencerminkan realita kekerasan sesungguhnya, sebab kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Artinya sebenarnya peristiwa kekerasan terhadap perempuan lebih banyak pada kenyataannya. Para korban biasanya enggan mengadukan peristiwa kekerasan yang dialaminya karena takut pada ancaman pelaku, atau masih menganggap kekerasan itu sebagai aib keluarga.[11]

IV. Kesimpulan
Malasah kekerasan terhadap perempuan memang tak ada habisnya. Hal itu disebabkan karena wanita dipandang sebagai makhluk yang sangat rentan mengalami kekerasan. Perlu kita ketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang biasa dialami oleh perempuan. Yang pertama adalah kekerasan seksual berat, berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik seperti: pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban; pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan; pemaksaan seksual untuk tujuan pelacuran; tindakan seksual dengan kekerasn fisik. Yang kedua adalah kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual verbal dan non verbal ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban.
Banyak faktor yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan seksual. Pada awalnya si korban dijebak yang kemudian si perempuan ini terjun ke dunia seks komersial seperti kisah yang dialami Yani, 15 (bukan nama sebenarnya). Juga kisah yang dialami Yesyy (bukan nama sebenarnya) masuk ke dunia seks komersial karena pada awalnya dia mengalami pemaksaan hubungan seksual yang tidak di kehendakinya dan masih banyak kisah-kisah lain yang dialami oleh perempuan korban kekerasan yang tidak bias disebutkan satu-persatu.

V. Daftar Pustaka
Komnas Perempuan, 2009, Penaganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta
Titiana Adinda, 2008, Kekerasan Itu Berulang Padaku, PT.Elek Media Komputindo, Jakarta
Yayasan Kakak, 2002, Anak-anak yang dilacurkan Masa Depan yang Tercampakkan, Yogyakarta
Wikipedia Indonesia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http//:www.google.com


[1] Komnas Perempuan, 2009, Penaganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta, hal.11
[2] Ibid, hal.13
[3] Ibid, hal.22
[4] Ibid, hal.35
[5] Wikipedia Indonesia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, www.google.com
[6] Yayasan Kakak, 2002, Anak-anak yang dilacurkan Masa Depan yang Tercampakkan, Yogyakarta, hal.7-8
[7] Ibid, hal.9
[8] Ibid, hal 13-14
[9] Ibid, hal. 40
[10] Ibid, hal.44
[11] Titiana Adinda, 2008, Kekerasan Itu Berulang Padaku, PT.Elek Media Komputindo, Jakarta, hal. xi

Baca Selengkapnya »»
| 2 komentar ]


Policy Brief

(05/Advokasi/LRC-KJHAM/IX/2012)


Mundurnya Upaya Perlindungan
Perempuan Korban di Jawa Tengah


Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia
(LRC-KJHAM)

Jl. Panda Barat III No.1 Semarang

Pendahuluan ;

1.             Pemerintah Indonesia telah berjanji untuk menghormati, melindungi dan memenuhi seluruh hak asasi perempuan korban kekerasan, korban perdagangan manusia, korban eksploitasi seksual dalam rangka penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Janji tersebut dinyatakan secara jelas dalam Konvensi CEDAW yang sudah diratifikasi melalui UU No.7 tahun 1984, serta dalam Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.             Rekomendasi Nomor 19 Komite CEDAW PBB mengenai Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Untuk itu realisasi CEDAW juga berlaku dalam isu kekerasan terhadap perempuan.

3.             Dalam Deklarasi Internasional mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, kekerasan terhadap perempuan telah dikategorisasikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Membiarkan setiap perempuan korban kekerasan berbasis gender tanpa pertolongan atau bantuan atau perlindungan yang memadai dari negara adalah merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Untuk itu negara harus mengerahkan sumber dayanya untuk menghapuskanmnya.

4.             Upaya penghapusan tersebut juga mensyaratkan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak korbannya serta penghapusan segala bentuk hambatan dari faktor politik, hukum, kebijakan, sosial dan budaya yang menghalangi dan atau merampas kesempatan korban menikmati hak-hak dan kebebasan dasarnya.

5.             Untuk itu Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 3 Manteri yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan atau yang terkenal dengan sebutan SKB3 Manteri dan Kapolri. Kemudian dibentuklah Pusat Krisis Terpadu /PKT bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo /RSCM yang didirikan pada bulan Juni tahun 2002, kemudian Pusat Pelayanan Terpadu /PPT dan Pusat Pelayanan Medis /PPM di Rumah Sakit Bhayangkara Polri Keramat Jati Jakarta serta RPK di Kepolisian.

6.             Akibat dari SKB 3 Menteri tersebut, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) kemudian berdiri di banyak daerah di Indonesia, salah satunya yang pertama adalah di Provinsi Jawa Tengah dengan mendirikan PPKPA (Pusat Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak) di Rumah Sakit Provinsi Tugurejo pada tahun 2002.[1]

7.             Kini Pelayanan Terpadu bagi perempuan korban sudah berdiri /terbentuk di seluruh Kabupaten /Kota di Jawa Tengah dengan dasar pembentukanya dengan SK Bupati. Bahkan pada tahun 2010, pelayanan terpadu sudah dikembangkan di tingkat kecamatan-kecamatan, seperti Kota Semarang, Kab Grobogan, Kab Kendal dan sebagainnya.

8.             Namun berdasarkan pengalaman kerja hak asasi LRC-KJHAM dalam memberikan pendampingan kepada korban di di Jawa Tengah, penelitian FPAR dan dalam melakukan penilaian dampak kebijakan PPT terhadap pemajuan hak asasi perempuan korban kekerasan (Women’s Rights Impact Assessment /WRIA PPT) menemukan bahwa mayoritas perempuan korban masih mendapatkan berbagai hambatan dan diskriminasi dalam mengakses layanan yang disediakan PPT.

9.             Menurut Komisi Status Perempuan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB, pemajuan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi kelompok perempuan yang rentan dan terpinggirkan seperti kelompok perempuan korban kekerasan, korban perdagangan dan korban eksploitasi seksual menjadi kunci kemajuan pemberdayaan perempuan di suatu negara. Dengan demikian setiap pengabaian atau pelanggaran hak asasi perempuan korban kekerasan, korban perdagangan dan korban eksploitasi seksual atau diskriminasi kepada mereka merupakan indikasi bahwa kebijakan pemberdayaan perempuan tidak berhasil atau mundur.


Kebijakan Perlindungan Hak Asasi Perempuan Korban di Daerah di Jawa Tengah ;

10.         Komitmen Pemerintah Daerah di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah sangat rendah atau lemah untuk perlindungan hak asasi perempuan korban kekerasa, korban perdagangan manusia, dan korban eksploitasi seksual. Komitmen ini bisa dilihat dalam visi, misi dan target kinerjanya dalam RPJPD dan RPJMD Kabupaten /Kota di Jawa Tengah. Tidak ada satupun visi, misi di dalam RPJPD dan RPJMD[2] Kabupaten /Kota yang memasukkan masalah-masalah atau isu-isu perempuan korban kekerasan, korban perdagangan manusia, dan korban eksploitasi seksual. Rendahnya komitmen ini berakibat pada lemahnya atau tidak adanya sama sekali dukungan kebijakan, program, kelembagaan, anggaran, sarana /fasilitas dan SDM untuk menjamin dan memastikan setiap korban mendapatkan hak dan kebebasan dasarnya.

11.         Rendahnya status kebijakan daerah di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah untuk menjamin dan memastikan setiap hak asasi korban sebagaimana diatur dalam Konvensi CEDAW, Rekomendasi 19 Komite CEDAW PBB, Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, UUD 1945, UU RI No. 23 tahun 2002, UU RI No.23 tahun 2004, serta UU RI No. 21 tahun 2007, dapat dinikmati dan digunakan oleh setiap perempuan korban kekerasan, korban perdagangan manusia dan korban eksploitasi seksual. ini dapat dilihat dari lemahnya kebijakan pendirian PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah yang hanya dengan Surat Keputusan /SK Bupati /Walikota, Perbup atau SK Camat.[3] Akibatnya PPT tidak mendapatkan dukungan sumber daya anggaran, program, sarana dan staf yang berkualitas dari pemerintah daerahnya. Karena SK tidak memungkinkan ; (i) jaminan pelaksanaan atau larangan prinsip non diskriminasi  dalam pemenuhan hak korban; (ii) mengatur pelaksanaan /perwujudan hak asasi korban lebih rinci; dan (iii) menetapkan dan mengatur serta memaksa tanggungjawab dan kewajiban masing-masing SKPD dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan korban di daerah. Sehingga anggota PPT termasuk dari SKPD terkait sering mengabaikan kewajibannya dan dampaknya adalah penolakan laporan dan pengabaian hak asasi perempuan korban.

12.         Kebijakan anggaran di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah masih mendiskriminasikan perempuan, sehingga sektor-sektor prioritas dari isu-isu diskriminasi seperti kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual dan alokasi anggaran untuk PPT sangat kecil dan memiliki kecenderungan turun setiap tahunnya. Kabupaten Kendal misalnya, pada tahun 2010 mengalokasikan anggaran penanganan perempuan korban untuk PPT sebesar Rp. 64.000.000,-, kemudian turun pada tahun 2011 menjadi Rp. 49.000.000,- dan diturunkan lagi pada tahun 2012 hanya menjadi Rp. 27.100.000,-. Demikian pula dengan Kabupaten Grobogan, Demak dan Kabupaten Semarang yang juga diturunkan alokasi anggaranya untuk penanganan korban di PPT. Rendahnya alokasi anggaran ini mengakibatkan PPT di Kabupaten /Kota tidak dapat bekerja melayani korban secara baik dan telah terbukti mengakibatkan berbagai bentuk diskriminasi kepada perempuan korban kekerasan, misalnya penolakan, tidak adanya respon pertolongan segera, tidak adanya layanan medis, dan sebagainya.

13.         Kelembagaan Pemberdayaan Perempuan di Kabupatan /Kota di Jawa Tengah yang Lemah. Ini dibuktikan dengan digabungnya urusan pemberdayaan perempuan dalam satu lembaga (Badan atau Kantor) dengan 3 sampai 5 urusan. Seperti digabung dengan urusan Perlindungan Anak, Urusan Keluarga Berencana (KB) Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan sebagainya. Bahkan di Kabupaten Pekalongan pemberdayaan perempuan digabung dengan 4 urusan lain sehingga dalam 1 lembaga terdapat 5 bidang urusan. Akibatnya urusan pemberdayaan perempuan tetap tidak mendapatkan dukungan anggaran, program, sarana /fasilitas dan SDM yang memadai, karena anggaran 1 Badan atau Kantor yang sudah kecil /rendah harus dibagi dengan 3 atau 4 urusan lain. Akhirnya alokasi anggaran pemberdayaan perempuan untuk penanganan korban pun sangat kecil. Dampak lain adalah kewenangannya yang menjadi sangat kecil atau terbatas dan mempersulit koordinasi dengan SKPD yang lain. Situasi ini bertentangan dengan Rekomendasi Komite CEDAW kepada Pemerintah Indonesia agar memperkuat status kelembagaan, kewenangan, dukungan anggaran, sarana dan SDM pemberdayaan perempuan di Indonesia.[4]


Masalah-Masalah Penanganan Perempuan Korban Kekerasan, Korban Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual di Jawa Tengah;

14.         Tidak berjalannya system rujukan dari dan antar PPT Kabupaten/ Kota dan dari PPT Kabupaten /Kota ke PPT Provinsi dan sebaliknya. Secara kebijakan seluruh Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah sudah memiliki PPT, tetapi setiap kasus yang dirujuk ke PPT Kabupaten /Kota tidak berjalan dengan baik, atau sebaliknya meskipun sudah ada PPT Provinsi tetapi PPT Kabupaten /Kota tetap merujuk kasusnya kepada lembaga-lembaga penyedia layanan kepada perempuan korban. Sehingga meskipun sudah ada PPT, tetapi masih layanan kepada korban masih bergantung kepada layanan dari masyarakat sipil atau LSM. Akibatnya kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah justru beralih kepada LSM atau masyarakat sipil. Pengalaman ini didapapat ketika LRC-KJHAM menerima pengaduan kasus dari Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Grobogan, Brebes, Cilacap, Kabupaten Semarang, Salatiga, Kudus, Jepara, Rembang dan lain sebagainya untuk kemudian dirujuk ke PPT  tetapi di tolak atau dibiarkan.

15.         Belum adanya layanan medis khusus untuk perempuan korban berdasar standart tertinggi yang dapat dicapai di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah. Layanan medis untuk perempuan korban di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah masih menggunakan mekanisme dan standart pelayanan medis bagi penduduk miskin melalui asuransi Jamkesmas/Jamkesda /Jamkesmaskot atau melalui SKTM. Dalam beberapa kasus di Kabupaten /Kota, korban justru dimintai biaya untuk pemeriksaan medis, seperti yang terjadi di Kabupatenkendal, Grobogan, Demak, Ungaran dan Rembang. Fakta ini jelas bertentangan dengan Rekomendasi 19 Komite CEDAW PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan 1993 yang memerintahkan Negara-negara peserta harus  membentuk dan mendukung berbagai pelayanan untuk korban-korban kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk lain dari kekerasan berbasis gender. Deklarasi Internasional mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, menyebutkan bahwa perempuan korban kekerasan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya.[5] Berdasarkan Komentar Umum No. 12 Komite Hak Ekosob PBB, layanan kesehatan yang dimaksud adalah layanan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Selain itu hak perempuan korban kekerasan atau korban kekerasan berbasis gender lainnya terhadap layanan kesehatan juga sudah diperintahkan oleh UU RI No. 23 tahun 2002, UU RI No. 23 tahun 2004, UU RI No. 21 tahun 2007 serta UU RI No. 36 tahun 2009. Sehingga tidak alasan bagi Pemerintah Kabupaten /Kota untuk tidak menyediakan layanan medis khusus berdasarkan standart tertinggi yang dapat dicapai.

16.         Tidak adanya akses bantuan hukum cuma-cuma bagi perempuan korban di kabupaten /kota di Jawa Tengah. Menurut Rekomendasi 19 Komite CEDAW PBB, Deklarasi Internasional tentang Kekerasan terhadap Perempuan serta UU RI No. 23 tahun 2004 dan UU RI No. 21 tahun 2007, korban memiliki hak atas pendamping dan atau pendampingan psikologis dan bantuan hukum yang disediakan secara Cuma-Cuma (ditanggung pemerintah), tetapi PPT Kabupaten /Kota tidak menyediakan dan menanggung biaya pendampingan atau bantuan hukum kepada korban, meskipun di dalam struktur dan SOP PPT di Kabupaten /Kota dinyatakan terdapat layanan bantuan hukum. Akibatnya korban mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminasi termasuk dari anggota PPT sendiri misalnya dari petugas medis dan aparat penegak hukum. Misalnya pengaduan kasusnya yang di tolak, korban diminta mencari alat bukti sendiri, pemerasan /dimintai uang, didamaikan dan sebagainya. Sebagaimana yang dialami oleh korban perkosaan AN dari Kabupaten Kendal dimana korban dan keluareganya melaporkan dan mengurus sendiri kekerasan yang dialaminya tanpa didampingi PPT Kabupaten maupun pengacara, yang kemudian mengalami berbagai hambatan, seperti informasi yang berbelit-belit dan tidak ada informasi mengenai kelanjutan kasusnya.

17.         Terbatasnya akses informasi perempuan korban kekerasan, perdagangan manusia, dan eksploitasi seksual terutama yang tinggal di pedesaan dan perbatasan terhadap keberadaan layanan PPT yang disediakan pemerintah di Kabupaten /Kota dan di Kacamatan. Sehingga korban mencari sendiri, membiayai sendiri tanpa pertolongan atau bantuan dari PPT. Situasi ini turut meningkatkan kerentanan korban untuk mengalami berbagai bentuk diskriminasi termasuk penolakan dan pungutan biaya selama mengakses dan memulihkan dirinya. Hasil FPAR dan WRIA di Kabupaten Grobogan dan di Kendal, semua peserta FGD perempuan pedesaan seluruhnya tidak mengetahui adanya PPT di Kabupaten maupun di Kecamatan. Setiap kali terjadi kasus di desanya, mereka mengupayakan sendiri pemulihan medis dan kebutuhan korban lainya. Bagi perempuan korban dari keluarga tidak mampu, hanya pasrah dan hidup dengan tarumanya tanpa pemulihan.

18.         Ketersediaan Sarana yang tidak memadai atau kurang serta tidak adanya SDM atau petugas layanan PPT khusus yang terlatih atau berkualitas di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah. Banyak PPT berdiri sebatas SK saja, tidak ada sekretariat pengaduan dan pelayanan, tidak ada meja kerja dan almari penyimpanan arsip kasus, tidak ada petugas khusus, tidak memiliki shelter, serta tidak memiliki alat-alat pendokumentasian. Petugas PPT Kabupaten /Kota masih dirangkap oleh Staf /pegawai bagian atau sub bagian pemberdayaan perempuan yang juga terbatas pegawainya. Sehingga pelayanan pengaduan dan pendampingan korban masih dibuat “sampingan”.   Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Kendal, Demak, Batang, Jepara, Grobogan, Rembang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Purworejo dan sebagainya. Dampaknya adalah layanan yang lamban, tidak ramah /menyalahkan korban, tidak bersedia menerima rujukan dan korban tidak mau lapor ke PPT Kabupaten /Kota.

19.         Tidak ada partisipasi /keterlibatan perempuan korban dan masyarakat sipil /LSM dalam penyusunan perencanaan kebijakan, program dan anggaran pelayanan PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah. Akibatnya program dan anggaran banyak yang dibuat tidak untuk korban seperti untuk sosialisasi, untuk konsumsi rapat, untuk biaya perjalanan dinas, untuk pembuatan laporan, untuk honor pegawai dan sebagainya. Hasil FPAR dan WRIA di Kabupaten Kendal, Grobogan, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang, tidak ada satu pun perempuan korban kekerasan berbasis gender atau LSM lokal atau ormas lokal yang diajak menyusun perencanaan program dan anggaran PPT.[6]

20.         PPT Kabupaten /Kota menjadi pengumpul data atau kasus kekerasan terhadap perempuan di daerahnya. Alokasi anggaran PPT Kabupaten sangat kecil, dukungan sarana /fasilitas PPT kecil, tidak ada petugas khusus tetapi layanannya dirangkap /disambi oleh pegawai Badan Pemberdayaan Perempuan, tetapi kasus yang dilaporkan setiap tahunnya sangat banyak antara 40 s/d 90 kasus tiap tahunnya, seperti yanbg terjadi di Kabupaten Semarang, Kendal, Grobogan, Demak, Kota Semarang. Dalam penelitian FPAR dan WRIA diketahui bahwa kasus dan data korban  yang di dapat PPT adalah kumpulan data dari Polres, Rumah Sakit Daerah dan Swasta, Puskesmas, Ormas dan LSM anggota PPT.

21.         Bahwa bekerjanya fungsi pelayanan PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah masih sangat bergantung kepada komitmen perorangan pegawai di Badan Pemberdayaan Perempuan dan keberadaan LSM perempuan di dalamnya. Bahwa penegakan hak asasi perempuan korban, belum menjadi komitmen kelembagaan Badan Pemberdayaan Perempuan dan PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah.

22.         Pelayanan /penanganan perempuan korban, dalam prakteknya masih bersifat sektoral. Yaitu lebih menekankan pada salah satu bentuk pelayanan tertentu, misalnya hukum dan medis, serta bertumpu pada kelembagaan tertentu misalnya Badan Pemberdayaan Perempuan.


Kesimpulan ;

23.         Meskipun PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah sudah lama berdiri, bahkan sudah ada yang berdiri sejak tahun 2002, tetapi PPT di Kabupaten /Kota belum berfungsi untuk dapat melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan korban kekerasan, korban perdagangan perempuan, dan korban eksploitasi seksual. Keberadaan PPT di Kabupaten /Kota masih sebatas SK dan sekretariat. Dalam pandangan LRC-KJHAM, PPT di Kabupaten /Kota tersebut belum siap berdiri dan belum berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada perempuan korban, sehingga sangat dimungkinkan terjadi pelanggaran hak dan prinsip non diskriminasi kepada korban oleh PPT. Membiarkan buruknya kapasitas PPT Kabupaten /Kota berarti, membiarkan praktek pelanggaran hak asasi perempuan korban dan melanggengkan diskriminasi kepada perempuan korban. Ini bertentangan dengan Rekomendasi Komite CEDAW kepada Pemerintah Indonesia serta UU RI No. 7 tahun 1984 UU RI No. 23 tahun 2004 dan UU RI no. 21 tahun 2007. Situasi tersebut terjadi karena salah satunya lemahnya komitmen pemerintah daerah terhadap upaya pemajuan hak asasi perempuan korban masih sangat rendah dan status kebijakan pendirian PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah yang lemah (masih dalam bentuk SK Bupati /Walikota), sehingga berakibat pada buruknya dukungan anggaran, dukungan sarana /fasilitas kepada PPT.

24.         Bahwa kebijakan PuG (Pengarusutamaan Gender) dan ARG (Anggaran Responsif Gender) di Provinsi dan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah tidak mampu menghindarkan pendekatan sektoral dalam kenyataan pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan korban kekerasan. Akibatnya SKPD lain yang bersinggungan atau berkaitan dengan pemenuhan hak korban tidak berperan atau mengabaikan dan tidak bisa dikoordinasikan atau diintegrasikan dalam pelayanan terpadu /PPT. Berjalannya layanan PPT masih bertumpu pada komitmen Badan Pemberdayaan Perempuan serta masih terbatas pada upaya perawatan medis dan hukum. Ini pun tidak berjalan dengan baik. Sementara hak perempuan korban atas pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial, perumahan dan sebagainya tidak pernah diupayakan untuk memampukan atau memberdayakan korban dan keluarganya, sehingga dalam beberapa kasus justru korbanya mengalami berbagai bentuk kekerasan atau pelanggaran hak asasi yang baru. Seperti kasus di Kabupaten Grobogan, Kendal dan di Kota Semarang. Gagalnya PPT memenuhi hak korban, berujung kepada trafficking dan pelacuran paksa yang dialami korban.[7] Harusnya kebijalan PUG dan ARG mampu berkonstribusi untuk menghaspus pendekatan sektoral, memperbaiki /meningkatkan alokasi anggaran untuk penanganan korban, perluasan cakupan pelayanan hak asasi korban yang tidak hanya berorientasi pelayanan medis dan hukum, tetapi mencakup pelayanan berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya, sehingga korban dan keluarganya benar-benar termampukan dan terhindar dari pengulangan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Special Reporteur untuk Urusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Sekretaris PBB, layanan yang memadai dan menyeluruh bagi korban termasuk mencakup hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan pencegahan yang efektif terhadap kekerasan dan perdagangan perempuan.[8]

25.         Bahwa pelaksanaan pelayanan atau pendampingan korban oleh PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah masih mengabaikan prinsip - prinsip akuntabilitas seperti kerahasiaan korban, keterbukaan informasi dan transparansi program dan anggaran, partisipasi perempuan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat atau kepada kelompok perempuan. penyelenggaraan penanganan korban termasuk program, angaran dan laporan pertanggungjawabanya sangat tertutup dan tidak bisa diakses oleh perempuan atau masyarakat.

26.         Bahwa dengan tidak adanya dukungan kebijakan, sarana, anggaran, pelayanan dan SDM yang mencukupi dan berkualitas di PPT yang berujung pada tidak berfungsinya PPT telah mengakibatkan beralihnya tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten /Kota) terhadap hak asasi perempuan korban kekerasan kepada masyarakat sipil seperti LSM penyedia layanan perempuan korban kekerasan.

27.         Bahwa pelaksanaan kewajiban Pemerintah dalam merealisasikan atau mewujudkan seluruh hak asasi perempuan korban kekerasan yang mencakup hak atas perawatan medis, psikologis, hukum, reintegrasi sosial, bantuan keuangan, bentuan ekonomi /ketrampilan, akses jaminan sosial dan sebagainya harus menunjukkan kemajuan tiap tahunnya (prinsip realisasi progresif), tetapi kinerja pelayanan PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah justru memperlihatkan kemunduran.

28.         Kemunduran PPT di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah yang terjadi dan berlangsung lama, disebabkan karena pendirian, evaluasi dan pengembangannya tidak mendasarkan kepada kerangka dan standart hak asasi perempuan korban menurut hukum HAM internasional dan nasional dalam hal ini adalah Konvensi CEDAW, Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Rekomendasi Umum No. 19 Komite CEDAW PBB, Deklarasi Internasional mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Deklarasi Beijing tentang Perempuan dan Pembangunan.


Rekomendasi untuk Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana /BP3AKB Provinsi Jawa Tengah ;

29.         Segera melakukan evaluasi dan audit kinerja PPT di Kabupaten /Kota dengan sesungguh-sungguhnya secara menyeluruh /komprehensif dengan mendasarkan diri kepada kerangka dan standart hak asasi korban menurut hukum HAM internasional dan nasional, karena keberadaan atau pendirian PPT di Indonesia adalah perwujudan dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus kekeraan terhadap perempuan dan menegakkan seluruh hak asasi perempuan korban kekerasan termasuk menghapuskan seluruh hambatan yang mungkin dialami perempuan dalam megakses seluruh layanan.

30.         Mendorong atau mengadvokasi peningkatan status kebijakan penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan korban kekerasan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah setingkat Perda /Peraturan Daerah untuk menjamin dan memastikan bekerjanya setiap kelembagaan pemerintah daerah yang terkait dalam memenuhi hak asasi perempuan korban di daerah.

31.         Mengevaluasi pelaksanaan kebijakan PuG dan ARG di Provinsi Jawa Tengah dan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah, karena telah gagal berkonstribusi menaikan status perlindungan hak asasi perempuan korban di Jawa Tengah. PPT di Kabupaten /Kota masih mendapatkan rintangan untuk bekerja sesuai dengan amanat undang-undang karena keterbatasan anggaran dan rendahnya dukungan program dan kegiatan dari SKPD selain Badan Pemberdayaan Perempuan. Sementara PBB telah mengakui bahwa, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan korban kekerasan, korban perdagangan perempuan, korban eksploitasi seksual adalah kunci keberhasilan atau kemajuan pemberdayaan perempuan.

32.         Memperbarui strategi dan kebijakan pelaksanaan PuG dan ARG yang mampu berkonstribusi untuk memajukan atau meningkatkan dukungan kebijakan, anggaran, program, sarana dan sebagainya untuk penanganan perempuan korban di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah, serta untuk mewujudkan seluruh hak asasi perempuan korban baik hak sipil, politik maupun yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak mungkin atau bisa dipenuhi oleh satu lembaga pemerintah tertentu misalnya Badan Pemberdayaan Perempuan. Atau pelaksanaan PuG dan ARG yang mampu menaikkan realisasi kewajiban pemerintah kepada perempuan korban kekerasan. Atau pelaksanaan PuG dan ARG yang terintegrasi dengan kebijakan penghapusan kekerasan dan perlindungan hak asasi perempuan korban.

33.         Mengeluarkan kebijakan untuk menjadi patokan bagi Pemerintah Kabupaten /Kota di Jawa Tengah dalam megalokasikan anggaran minimal yang ditoleransi untuk PPT dan atau untuk penanganan perempuan korban kekerasan murni, sehingga tidak ada Kabupaten yang menganggarkan dibawah Rp. 50.000.000,- untuk penanganan korban murni.

34.         Mengalokasikan anggaran /dukungan anggaran untuk masyarakat sipil atau LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang dirujuk oleh Pemerintah Provinsi, karena mandat dan tanggungjawab atau kewajiban utama ada pada pemerintah.

35.         Mendorong atau mengadvokasi adanya layanan medis khusus bagi perempuan korban kekerasan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah, bukan dengan skenario layanan kesehatan untuk orang miskin baik dengan Jamkesmas /Jamkesmasda/Jamkesmaskot atau dengan SKTM. Layanan medis khusus ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa perawatan medis oleh PPT /RSUD dilakukan dengan menghormati standart dan prinsip-prinsip penanganan hak asasi perempuan korban kekerasan.

36.         Memperluas akses perempuan korban kekerasan dan keluarganya terhadap layanan bantuan hukum secara Cuma-Cuma (ditanggung pemerintah) di Provinsi dan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah, termasuk mengalokasikan anggaran bantuan hukum kepada perempuan korban kekerasan dan melakukan MoU atau kemiteraan dengan LSM, LBH atau kantor pengacaran yang memiliki perspektif hak asasi perempuan.

37.         Mendorong perluasan cakupan pelayanan PPT di Kabupaten /Kota dan di Provinsi Jawa Tengah yang tidak hanya memfokuskan layanan kepada perawatan medis dan hukum. Cakupan pelayanan PPT perlu dikembangkan mengacu kepada hak-hak asasi perempuan korban sebagaimana dijamin dan diperintahkan dalam instrumen hukum HAM internasional dan nasional.

Rekomendasi untuk Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak /KPK2BGA Provinsi Jawa Tengah ;
38.         Segera melakukan evaluasi dan audit kinerja PPT di Kabupaten /Kota dengan sesungguh-sungguhnya secara menyeluruh /komprehensif dengan mendasarkan diri kepada kerangka dan standart hak asasi korban menurut hukum HAM internasional dan nasional, karena keberadaan atau pendirian PPT di Indonesia adalah perwujudan dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus kekeraan terhadap perempuan dan menegakkan seluruh hak asasi perempuan korban kekerasan termasuk menghapuskan seluruh hambatan yang mungkin dialami perempuan dalam megakses seluruh layanan

39.         Perluasan atau pelibatan SKPD, LSM dan kelompok-kelompok perempuan dalam penyusunan rencana program kerja KPK2BGA.

40.         Menyusun rencana kongkrit advokasi kebijakan bagi PPT Kabupaten /Kota di Jawa Tengah berdasarkan hasil evaluasi yang sesunguhnya dengan mengacu kepada kerangka hukum hak asasi manusia, sesuai dengan kewenanganya menurut Pasal 18 dan 19 Perda Provinsi Jawa Tengah No. 3 tahun 2009.

41.         Menyusun mekanisme kerja yang efektif dengan SKPD, LSM dan Pemerintah Daerah untuk menjalankan fungsinya sesuai Perda Jawa Tengah No.3 tahun 2009.

42.         Meningkatkan kemiteraan kerja advokasinya dengan melibatkan masyarakat dan LSM.

43.         Meningkatkan transparansi dan pertangungjawaban kerja termasuk menyusuan laporan tahunan terhadap pelaksanaan mandat KPK2BGA menurut Perda Jawa Tengah No. 3 tahun 2009.

44.         Memperluas forum reguler meeting antara korban, keluarganya dan LSM dengan pemerintah terkait

45.         Memperluas forum-forum dialog dan konsultasi antara KPK2BGA dengan masayarakat, kelompok perempuan, perguruan tinggi dan LSM untuk mengembangkan program kerjanya dan memperkuat strategi advokasi kebijakan.

46.         Mempromosikan kerangka implementasi Konvensi CEDAW dalam penanganan perempuan korban kekerasan dan dalam pengembangan PPT di Provinsi dan di Kabupaten /Kota di Jawa Tengah.


[1] Sekarang menjadi Pusat Pelayanan Terpadu /PPT dengan dasar pembentukannya Perda Provinsi Jawa Tengah No. 3 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak.
[2] Lihat RPJPD dan RPJMD Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara.
[3] Contoh PPT Larasi Kabupaten Kendal didirikan berdasarkan Keputusan Bupati Kendal No.463/ 657/ 2009. Dan pada tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Kendal mendirikan PPT di semua kecamatan di wilayahnya berdasarkan SK Camat, termasuk PPT Kecamatan Gemuh dengan SK Camat Gemuh No: 463/11/2009. Sementara PPT Swastantra Kabupaten Grobogan didirikan berdasarkan Keputusan Bupati Grobogan No. 260/884/IV/2006 dan pada tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Grobogan sudah mendirikan PPT Kecamatan di 11 (sebelas) kecamatan, termasuk di Kecamatan Godong dengan dasar pendirian SK Camat.
[4] Lihat Concluding Comments Komite CEDAW PBB atas Laporan Ke-4 d Ke-5 Pemerintah Indonesia yang Disampaikan dalam Sesi Ke-39 Sidang Umum CEDAW pada tanggal 27 Juli 2007 di New York Amerika Serikat.
[5] Pasal 3 huruf (f), Deklarasi Internasional mengenai Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 1993
[6] Laporan FPAR dan WRIA PPT LRC-KJHAM tahun 2010 dan 2011 di Jawa Tengah
[7] Laporan Kasus Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM tahun 2011 dan 2012
[8] www.unwomen.org


dirilis oleh Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM Semarang 

Baca Selengkapnya »»