| 0 komentar ]

Rencana Pembangunan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Mendiskriminasikan Perempuan

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Pemerintah Propinsi Jawa Tengah tahun 2010 yang dilakukan pada tanggal 16 – 17 April 2009 seharusnya menjadi instrument kebijakan yang penting untuk mempromosikan dan merealisasikan hak-hak dasar warga serta Visi Gubernur terpilih “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Oleh karena itu rencana program pembangunan Pemerintah Propinsi harus mampu merepresentasikan dan mengutamakan masalah-masalah hak asasi yang mengakibatkan kemiskinan di pedesaan terutama kemiskinan perempuan di pedesaan.

Penelitian UNDP membuktikan bahwa, pengintegrasian hak-hak asasi perempuan dalam penanggulangan kemiskinan atau dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat di Negara-negara berkembang terbukti mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih cepat, karena isu-isu kemiskinan sangat dekat atau terkait dengan perempuan.

Namun program-program pembangunan yang diusulkan oleh masing-masing SKPD dalam Musrenbang tahun 2009 justru tidak merepresentasikan masalah-masalah pokok kemiskinan yang dialami masyarakat dan perempuan di pedesaan yang dapat dilihat pada ; (i) anggaran yang diusulkan masing-masing SKPD lebih banyak untuk alokasi belanja pegawai; (ii) alokasi anggaran yang rendah untuk realisasi hak-hak dasar masyarakat yang terkait dengan isu kemiskinan di pedesaam; (iii) alokasi anggaran yang sangat kecil untuk merealisasikan hak-hak asasi perempuan di pedesaan; (iv) program yang diusulkan masing-masing SKPD masih sangat kecil serta tidak relevan dengan isu-isu / masalah-masalah kemiskinan perempuan di pedesaan; (v) program-program yang diusulkan dalam Musrenbang masih dalam level untuk mengatasi akibat tidak pada level sebab; (vi) target keluaran program yang ditetapkan masing-masing SKPD tidak spesifik, tidak terukur dan tidak relevan.

Badan Pembedayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BP3AKB) Propinsi Jawa Tengah misalnya, alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan hanya Rp 3.232.500.000,- dari Rp 28.856.515.000,- anggaran badan atau 11%. Kemudian dari Rp. 46.268.349.000,- anggaran Dinas Koperasi dan UMKM hanya Rp. 1.274.000.000,- untuk program peningkatan kualitas hidup perempuan atau 2,8 %. Dari Rp. 1.040.925.327.000,- anggaran Dinas Pendidikan hanya Rp. 3.190.000.000,- yang dialokasikan untuk perempuan atau 0,31%. Dari Rp. 68.299.765.000,- anggaran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa hanya Rp. 700.000.000,- untuk perempuan atau 1 %. Dan dari Rp. 72.493.070.000,- anggaran di Dinas Perindustrian dan Perdagangan hanya Rp. 1.000.000.000,- untuk perempuan atau 1 %.

Kecilnya anggaran serta tidak tepatnya program yang diusulkan dengan masalah-masalah yang dihadapi perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam pembangunan dan melanggar UU Dasar 1945 (hasil amandemen), UU No. 39 /1999 tentang HAM, UU No. 7 /1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW, UU No. 11 /2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Inpres No. 9 /2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Permendagri No. 15 /2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG.

Asumsi bahwa program-program yang diusulkan yang tidak secara khusus terkait dengan masalah-masalah perempuan akan berdampak kepada perempuan adalah asumsi yang tidak tepat dan tidak memahami masalah-masalah perempuan. Menurut Prof. Amartya Sen dalam studinya yang monumental, “Inequality Reexamined”, berpendapat bahwa pertimbangan persamaan bagi semua boleh jadi akan menghasilkan perlakuan yang sangat tidak adil bagi mereka yang tidak beruntung atau dalam situasi yang berbeda (tidak memiliki kapasitas untuk mencapai kesejahteraan). Sehingga suatu program /kebijakan yang netral gender, yang diberlakukan sama kepada laki-laki dan perempuan sementara keadaan /kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya yang melingkupi perempuan menghambat kapasitasnya untuk mampu mengakses /mencapai penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar yang sama dengan laki-laki, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat /dampak penikmatan hak yang berbeda pula, yang akhirnya melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi baru bagi perempuan.

Dengan demikian perempuan dan laki-laki dalam situasi yang tidak adil /masih timpang harus diperlakukan secara berbeda supaya mereka dapat memperoleh kesempataan /akses dan manfaat /hasil yang setara. Ini dinyatakan dengan mewujudkan kondisi pendukung (enable condition) dan atau aksi affirmative yang memungkinkan perempuan mendapatkan akses dan hasil yang sama /setara dengan laki-laki (Pasal 3 dan 4 Konvensi CEDAW).

Mengingat pentingnya anggaran sebagai instrument pemenuhan hak asasi maka, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM) Semarang, mendesak Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk ;

1. Menjalankan sepenuhnya mandat UU No. 7 /1984 dan memasukkanya dalam perencanaan pembangunan 2010 dengan menyusun dan menetapkan program-program untuk mempercepat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam pembangunan, sehingga perempuan mendapatkan kesetaraan kesempatan dan peluang (akses) serta mampu menikmati hasil-hasil pembangunan yang selanjutnya akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Program-program dan alokasi anggaran yang diusulkan oleh masing-masing SKPD harus bisa berkontribusi untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan atau kesenjangan penikmatan hak asasi oleh perempuan.
3. Meningkatkan alokasi anggaran untuk program-program pemberdayaan perempuan minimal 5% dari total APBD Propinsi Jawa Tengah.
4. Keluaran /hasil /penerima manfaat program dan anggaran yang diusulkan masing-masing SKPD harus bisa mencerminkan /memastikan perempuan menerima manfaat atas program-program pembangunan dengan merinci keluaran /penerima manfaat program /kegiatan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
5. Menyusun data pilah gender yang akurat untuk masing-masing SKPD sebagai bahan penyusunan program yang berkeadilan gender atau mampu menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.
6. Perlunya mengembangkan indikator pembangunan yang berperspektif gender untuk masing-masing SKPD untuk memastikan hak-hak asasi perempuan terjamin dalam pembangunan
7. Memperluas ruang konsultasi dan partisipasi perempuan terutama perempuan di pedesaan dalam penyusunan program-program pembangunan.

Perencanaan pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 tidak jelas dan tidak terukur. Program-program yang direncanakan dan anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan tahun 2010 disusun tanpa memperhatikan permasalahan-permasalahan yang jelas ada di masyarakat. Tentunya, keberhasilan pembangunan tidak mungkin terwujud dan dapat dipastikan gagal tanpa menghasilkan suatu capaian pasti dan tepat untuk mewujudkan masyarakat Jawa Tengah yang sejahtera sebagaimana amanat RPJMD.

Program-program yang dibuat pada RKPD Tahun 2010 oleh seluruh SKPD, tidak mampu menyentuh dan tidak relevan dengan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan dan kebutuhan dasar masyarakat di pedesaan tidak terakomodir dalam program. Perempuan sebagai pihak yang paling banyak berada dalam posisi kemiskinanpun menjadi termarjinalkan. Mereka tidak mampu menikmati hasil-hasil pembangunan yang menjadi haknya, yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi. Pembangunan yang sifatnya diskriminatif dan tidak adil bagi perempuan di Jawa Tengahpun muncul sebagai salah satu dari sebagian kecil bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yang justru paling banyak dilakukan oleh pemerintah.

Ketidakadilan pembangunan yang dihadapi oleh perempuan di Jawa Tengah ke depan, pertama dapat dilihat pada visi dan 6 (enam) misi RPJMD tahun 2008-2013 yang tidak mencantumkan secara jelas adanya permasalahan perempuan di dalamnya. Kedua, tentang sebaran anggaran yang ada. Anggaran yang ditujukan untuk mengatasi masalah perempuan sangat kecil. Sebaran anggaran banyak terserap ke belanja pegawai dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya, anggaran untuk memenuhi kebutuhan dasar, mengatasi permasalahan perempuan tersisih. Ketiga, pada aspek program. Program dibuat hanya pada batas untuk mengatasi akibat ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, tidak melihat pada akar penyebab permasalahan ketiadakadilan tersebut. Koordinasi program antar SKPD dalam implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) sangat buruk. Dengan program dan anggaran yang demikian, capaian pembangunan jelas tidak relevan dengan visi dan misi dan tidak mampu diukur dengan jelas.

Beberapa SKPD yang seharusnya menjadi central untuk mengakomodir kepentingan perempuan, tidak melakukan kewajibannya. Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak & Keluarga Berencana misalnya, hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3.232.500.000 (tiga miliar dua ratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk pemberdayaan perempuan dari anggaran keseluruhannya yang mencapai Rp 28.856.515.000 (dua puluh delapan miliar delapan ratus lima puluh enam juta lima ratus lima belas ribu rupiah). Artinya, hanya sekitar 11 % dari total anggaran badan. Sebagian program yang ada di badan ini lebih banyak untuk pelaksanaan publikasi dan informasi, serta sebagian besar untuk Urusan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Dinas Koperasi dan UMKM dari 11 (sebelas) program, hanya memasukkan 1 (satu) program untuk peningkatan kualitas hidup perempuan sedangkan anggarannya sangat kecil yaitu 2,8 %. Sama halnya dengan Dinas Pendidikan, yang saat ini adalah dinas yang sangat tercukupi dengan anggaran yang begitu besar dari APBN & APBD. Data angaran dari dinas ini yang totalnya mencapai 361 miliar lebih, justru mengalokasikan secara khusus untuk perempuan hanya 0,88 %. Program yang dicanangkan tidak jelas karena tidak mampu menjawab permasalahan pendidikan yang dihadapi perempuan yang ada di Jawa Tengah. Tetapi, sebatas menempelkan isu kekerasan terhadap perempuan di dalamnya. Dinas ini merupakan dinas dengan total anggaran paling banyak, tetapi paling sedikit mengalokasikan untuk menjawab masalah-masalah perempuan di bidangnya. Di bidang ekonomi, Dinas perindustrian dan Perdagangan melakukan diskriminasi yang sama. Hanya sekitar 1 % untuk perempuan, itupun hanya pada satu program.

Dilihat pada sisi yuridis, terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam perencanaan pembangunan tahun 2010. Amanat UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional pelaksanaan pemerintahan tidak terpenuhi terutama pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 31 dan Pasal 33. Di bawahnya, ada Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga tidak dijadikan dasar pertimbangan perencanaan. Dimana hak asasi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang mutlak harus dipenuhi dan secara universal telah diakui. Undang- Undang khusus, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Palaksanaan CEDAW (Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan ) yang telah menjadi hukum nasional tidak dilihat pahami oleh perencana pembangunan di Provinsi ini. UU lain seperti UU No. 11 Tahun 2005 dan Keppres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender ( PUG ) yang kemudian ditegaskan dengan adanya Permendagri No. 15 Tahun 2008 pun tidak dilaksanakan. Terbukti dengan tidak terpenuhinya alokasi sebesar 5 % anggaran APBD Provinsi untuk program pengarusutamaan gender. Pada aspek perencanaan, dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melanggar UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, karena tidak memberikan akses yang luas, partisipasi, dan kontrol dalam perencananaan pembangunan kepada perempuan.

Rencana pembangunan adalah titik awal dari pemenuhan hak-hak untuk perempuan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus segera merombak anggaran – anggaran yang tidak relevan untuk hak-hak masyarakat, dengan mengalokasikannya pada program yang benar-benar untuk menjawab masalah-masalah hak dasar masyarakat. Selain itu, perintah Keppres No. 9 tahun 2000 untuk mengalokasikan APBD sebesar 5 % sesegera mungkin harus diwujudkan. Pengarusutamaan Gender harus dipahami secara sadar sebagai strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dalam penikmatan hasil-hasil pembangunan, bukan untuk mengalokasikan program dan anggaran khusus untuk perempuan ataupun laki-laki. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh semua SKPD yang ada, dengan mengintegrasikan isu PUG pada seluruh program yang ada pada bidang masing-masing dan mengalokasikan anggaran untuk keadilan gender. Diharapkan, ke depannya pembangunan di Provinsi Jawa Tengah dapat mewujudkan peningkatan, pemajuan, pengakuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan di Provinsi Jawa Tengah.

Semarang, 15 April 2009

Divisi Advokasi Kebijakan
Legal Resource Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia
(LRC-KJHAM) Semarang
Jl. Panda Barat III No. 1 Semarang
Telp. (024) 6723083

0 komentar

Posting Komentar

Silakan berkomentar di blog LRC-KJHAM Semarang